Dr. Aksi
Sinurat,SH.,M.Hum & Mel Benu
Dosen
FH Undana
Nusa Tenggara Timur
merupakan salah provinsi dari ke 34 daerah provinsi yang tersebar di seluruh
wilayah Negara Kesatua Republik Indonesia (NKRI). Konsep membangun daerah menurut ketentuan
peraturan perundangan-undangan tentang pemerintahan daerah sejak Indonesia
merdeka mengalami pasang surut namun intinya kebebasan dan kelonggaran dari
pemerintah pusat untuk memberikan ruang yang sangat terbuka bagi daerah guna
menata pemerintahannya dalam bingkai NKRI. Keunikan dari provinsi NTT yakni
daerah kepulauan atau daerah yang dipisahkan oleh laut, sehingga provinsi NTT
meliputi daerah yang berpulau-pulau, sekalipun ada pulau yang dihuni bahkan ada
juga yang tidak pernah dihuni oleh manusia.
Pergantian kepemimpinan
Gubernur dari masa ke masa selalu NTT diperhadapkan pada masalah kemiskinan,
keterbelakangan, bahkan sekarang dijulukinya sebagai daerah perbatasan sebab
NTT sebagian daerah baik darat maupun laut serta udara berbatasan dengan negara
Timor Leste dan Australia. Maka fokus pemerintah pusat dalam konteks membangun
negara dari pinggir salah satunya adalah NTT. Namun pemerintah provinsi NTT
juga tidak tinggal diam dengan menonton pemerintah pusat yang lebih konsentrasi
dengan membangun NTT sebagai daerah terpinggir atau daerah perbatasan antar
negara. Salah satu program Victor Bungtilu Laiskodat (VBL) yakni menata sumber
daya manusia NTT agar respon terhadap masalah pengelolaan potensi keunggulan
daerah termasuk pariwisata sebagai lokomotif daerah NTT.
Responsivitas
VBL sebagai Gubernur NTT terhadap produk lokal di Masyarakat
Selama bertahun-tahun
bahkan berabad-abad lamanya masyarakat terpola dengan budayanya namun dihimpit
oleh kemauan pemerintah pusat dalam mengembangkan hasil produk daerah di dalam
masyarakat NTT. Hal itu terlihat dari begitu banyaknya kreativitas warga
masyarakat untuk memproduksi minuman beralkhol (sopi di Timor dan Moke di
Flores), bahkan pulau-pulau di berbagai kabupaten dalam lingkup NTT juga
memproduksinya. Yang terjadi selama ini disita dan dimusnahkan oleh aparat
penegak hukum seperti polisi. Sementara terkait distribusi dan konsumsi tidak
ditegakan secara hukum, sehingga menjadi aneh apabila barang hasil produksi
yang hukum sementara warga masyarakat yang mengkonsumsi tidak dikenakan sanksi
hukum.
Agus Dwiyanto, dkk
mengemukakan bahwa responsivitas merupakan kemampuan birokrasi untuk mengenali
kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta
mengembangkan program-program pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat. Artinya responsivitas ini mengukur daya tanggap birokrasi terhadap
harapan, keinginan dan aspirasi serta tuntutan pengguna jasa dari keadaan yang
dianggap menjadi bagian dari kehidupan warga masyarakat setempat. Tentu
Gubernur NTT VBL memahami benar apa yang dihasilkan warga masyarakat dan
menjadi harapan dari warga masyarakat yang sudah terpola dengan budaya
memproduksi minuman beralkhol sebagai bagian dari budaya sosial kemasyarakat
NTT.
Terobosan Gubernur NTT VBL
dengan mengedepankan lima program utama dalam masa kepeminannya, yakni VBL
setiap kali berhadapan dengan media selalu menjelaskan bahwa ia bersama wakil
gubernur Yosef Nae Soi akan fokus pada lima program, yakni pariwisata,
kesejahteraan rakyat, sumber daya manusia, infrastruktur dan reformasi
birokrasi. Hal tersebut selama satu tahun memimpin banyak godaan baik dari
porpol pendukung maupun oleh pesaing politiknya, misalnya di hebohkan dengan
akan pulang ke Jakarta untuk menduduki jabatan menteri, maupun dipandang
sebagai gubernur yang tidak pro terhadap masalah penegakan hukum terutama
melegalkan minuman beralkhol seperti sopi dan moke harus diproduksi oleh
masyarakat. Namun keadaan itupun VBL tetap dengan penderiannya untuk melayani
masyarakat NTT dengan sepenuhnya hingga akhir masa jabatannya. Sementara upaya
melegalkan minuman beralkhol sopi dipandang sebagai hasil temuan warga
masyarakat secara komunal secara turun temurun dan dipandang sebagai hasil
karya yang bernilai secara ekonomis dan secara budaya bagi warga masyarakat
NTT.
Terobosan dengan membuat
regulasi terhadap melegalkan minuman keras beralkhol bagi warga masyarakat NTT
menjadi harapan. VBL dengan tegas dan berani membuat regulasi atas produk
minuman beralkhol dengan menetapkan Peraturan Gubernur NTT Nomor 44 Tahun 2019
tentang Pemurnian Dan Tata Kelola Minuman Tradisional Beralkohol Khas Nusa
Tenggara Timur. Menarik untuk dipelajari dari regulasi tersebut karena VBL
mempertimbangkan keberadaan minuman tradisional beralkohol yang belum
dimurnikan seperti arak, sopi, moke dan lain sebagainya di satu sisi sangat
berbahaya bagi kesehatan, namun di sisi lainnya merupakan sumber penghasilan
bagi segmen masyarakat tertentu yang melakukan penyulingan dan penjualan
minuman tradisional beralkohol tersebut. Tentu bisa dipahami bahwa minuman
beralkhol yang diproduksipun harus diawasi agar tidak terkesan ada masalah
dalam produksi, sehingga apabila kedapatan ada warga masyarakat yang mestinya
memproduksi wajib memperoleh petunjuk dari pemerintah daerah agar betul-betul
hasil produksinya tidak berbahaya bagi kesehatan.
Tanggapan
Miring masyarakat atas terobosan VBL dalam merealisasikan programnya
Sekalipun ada upaya dari
VBL atas segala terobosannya dalam merealisasikan program-programnya, namun tidak
sedikit masyarakat menyatakan seolah-olah program-program tersebut tidak
berhasil, bahkan banyak masyarakat NTT belum rasakan adanya keberhasilan
tersebut, sebab baru setahun VBL memimpin NTT dan kiranya perlu dipahami bahwa
semua pelaksanaan program pada tahun pertama masa kepemimpinannya masih terpola
dengan perencanaan tahun sebelumnya. Semua penganggaran merupakan hasil kesepakatan
antara eksekutif (DPRD Provinsi NTT) dan SKPD Pemerintah Provinsi NTT
sebelumnya. Hal inilah yang sulit dibedakan antara realisasi program VBL dengan
perencanaan masa kepemimpinan daerah sebelumnya, bahkan harus diakui bahwa
belum ada sinkronisasi antar daerah dalam merealisasikan program-program VBL.
Berbagai komentar dari
para pakar yang dipublikasikan melalui media cetak atau media online menyatakan
bahwa Gubernur VBL belum merealisasikan programnya sebagaimana yang disampaikan
saat kampanye. Hal ini terungkap oleh Pengamat politik dari Universitas Nusa
Cendana (Undana) Kupang, Lasarus Jehamat, yang menilai Pemerintah Provinsi Nusa
Tenggara Timur belum fokus melaksanakan program kerja pembangunan setelah satu
tahun kepemimpinan Gubernur VBL bersama Wakilnya. Beliau menjelaskan bahwa belum
terlihat ada perubahan yang signifikan terhadap pembangunan NTT dalam satu
tahun kepemimpinan gubernur dan wakil gubernur NTT. Misalnya beliau mengecek
tentang janji-janji VBL saat kampanye berupa rencana pinjaman dana dari China
untuk pembangunan jalan provinsi juga masih sebatas narasi (Koran ANTARANews,2/12/2019).
Sementara pengamat
Pertanian dari Universitas Kristen Artha Wacana Kupang Zet Malelak menilai
program kerja Gubernur NTT VBL dan wakilnya yang sudah berjalan selama satu
tahun tak berjalan, beliau menilai kinerja VBL gagal. Selain itu pengamat
tersebut menyebutkan bahwa "Saya melihat apa yang dilakukan oleh pemimpin
NTT saat ini saya sebut gagal, dan baru kali ini NTT dipimpin oleh para
pemimpin yang hanya bisa berwacana saja," (Koran Republika.com,3/12/2019).
Artinya menurut dosen
pertanian itu, gubernur dan wakil gubernur tidak punya visi dan misi atau
perencanaan untuk membangun NTT, sehingga program-program kerja yang
disampaikan hanyalah wacana. Sebab di sektor pertanian, tidak terukur apa yang mestinya
dilakukan, sebab semuanya hanya serba wacana saja. Sementara pakar ini masih
lebih memuji mantan gubernur NTT Frans Lebu Raya, yang mempunyai program di
sektor pertanian seperti anggur merah serta sektor peternakan.Walaupun untuk
anggur merah ada kekurangannya, tetapi hal itu berjalan dan sebagian masyarakat
merasakan manfaatnya.
Mencermati
Realisasi Program secara Populis
Periode satu tahun pertama
harus dianggap sebagai suatu cara dimana setiap pemimpin yang terlegitimasi
perlu melakukan komunikasi secara intens dengan berbagai pihak baik secara
vertikal maupun secara horisontal sebelum merealisasikan program kerjanya sesuai
visi dan misinya. Bahkan menata regulasi dan mempersiapkan rancangan yang
dipandang perlu dalam melakukan terobosan nanti, termasuk menata kelembagaannya
sehingga tidak memberikan kesan yang dipandang negatif oleh para pihak termasuk
lawan politiknya. Harus diakui juga bahwa NTT terdiri dari banyak pulau dan
suku yang memiliki karakter yang berbeda-beda sehingga untuk menata suatu arah
kebijakan mestinya lebih apresiatif terhadap hal-hal yang dipandang menjadi
bagian dari budaya dan tata nilai sehingga tidak hilang makna apabila proses
dan realisasinya berjalan.
Apabila kita membuat
penilaian dengan melakukan perbandingan antar pemimpin Gubernur yang pernah
memimpin di wilayah Provinsi NTT ini maka seolah kita ingin mengadu domba
konstituen yang dengan rela mengambil keputusannya saat kampanye bahkan kita
seolah tidak mau agar masa kepemimpinan daerah harus berganti dengan adanya
pemilukada. Sementara secara regulasi atau aturan menghendaki agar kepemimpinan
daerah harus bergantian atau tidak harus permanen sepanjang periode. Harus
dipahami bahwa setiap kepemimpinan daerah maupun nasional memiliki strategi dan
optimisme dalam merealisasikan programnya selama satu periode, hanya saja perlu
ada pengawasan yang lebih intens dari rakyat melalui wakilnya (DPRD) termasuk
stakeholder yang ada.
Meskipun regulasi yang
sangat fenomenal sebagai terobosan VBL yakni melegalkan minuman beralkhol
seperti sopi dan moke dengan ditetapkannya Pergub No.44/2019, namun apabila
tidak diikuti dengan penataan kelembagaan dalam hal produksi, distribusi dan
konsumsi maka akan berdampak bagi masalah kesehatan termasuk mengganggu masalah
sosial di masyarakat. Perlu adanya terobosan dalam hal produksi baik terhadap
masalah label, izin produksi dan pengawasannya. Selain itu, terkait dengan
masalah distribusi pun mestinya diberikan keluasan bagi warga masyarakat untuk
melakukan pengorganisasian sehingga bisa dengan gampang mengendalikan tata
jualnya dan bisa memihak kepada warga masyarakat yang dipandang sebagai pemilik
utama dari produksi, sebab apabila dibiarkan maka penjual tangan ketiga dan
seterusnya yang lebih menikmati hasil produksi yang diupayakan secara rumit
ditingkat warga masyarakat secara komunal. Tentu mesti juga didaftarkan hak
kekayaan intelektualnya agar tidak bisa diambil secara gampang oleh daerah
lain.
Sementara terkait dengan
lima program utama, saya selaku penulis yang mungkin mewakili suara rakyat
pemilih sangat mengharapkan masalah infrastruktur perlu direalisasikan secara
merata sampai ke pelosok, sebab masalah pariwisata apabila tidak ditunjang
dengan infrastruktur berupa jalan yang memadai maka pengunjung lokal maupun
luar daerah akan sulit mengaksesnya. Reformasi birokrasi menurut saya mesti
dipandang sebagai ketegasan akan pemimpin daerah sebab VBL harus bisa membedakan kepala daerah dengan wakil
pemerintah pusat di daerah. Tentu untuk kepala daerah maka wajib menindak tegas
kepala daerah (walikota/bupati) yang tidak pro terhadap masalah pelayanan
kepada masyarakat. Termasuk instansi-instansi yang perlu melakukan layanan bagi
kehidupan masyarakat dalam mengangkat derajat kehidupan ekonominya. Bahkan semestinya
baik produksi dan distribusi harus memberikan income bagi daerah kabupaten/kota
sehingga ada keseriusan dalam mengelola produk unggulan daerah termasuk produk
minuman beralkhol dari setiap daerah.
Apabila dikaji dari tugas
VBL selaku wakil pemerintah pusat di daerah maka harus berani mengambil
langkah-langkah yang apresiatif bagi dana-dana yang langsung diterima oleh
masyarakat di desa-desa, kabupaten-kabupaten sehingga betul-betul bermanfaat
bagi derajat kehidupan masyarakat setempat, sebab misalkan saja dana itu
bersumber dari APBN maka tentu yang bisa mengawasi manfaat dari dana tersebut, merupakan
tugas wakil pemerintah pusat di daerah dan tentu hal ini melekat pada VBL sebagai
gubernur selaku wakil pemerintah pusat di daerah. Selain itu, harus bisa
berkoordinasi dengan setiap instansi vertikal yang ada di daerah NTT termasuk
daerah perbatasan, kajian konservasi bagi daerah baik di darat maupun di laut
agar tidak memberikan poling pendapat yang negatif bagi pemerintah daerah,
seolah-olah pemerintah daerah tidak memiliki politikal will bagi daerah
sehingga masyarakat hanya mengharapkan dari pemerintah pusat.
Freming media yang sering mempublikasikan
mengenai disiplin VBL bagi para pegawai menandakan bahwa VBL merupakan orang
yang cukup tegas dalam menegakan disiplin kerja. Namun masih saja memberikan
stigma negatif sebab ketegasan dalam hal disiplin mestinya dituntun dengan
evaluasi kinerja secara kontinyu sehingga hasil luaran dari disiplin kerja
berdampak bagi peningkatan layanan bagi masyarakat. Sebenarnya reformasi
birokrasi lebih mengutamakan kinerja sesuai hasil luarannya. Misalnya VBL tidak
boleh membiarkan daerah-daerah kabupaten/kota yang sering boros anggaran dalam
hal melaksanakan kinerja, mengurangi masalah perjalanan dinas keluar daerah.
Selain itu, harus berani menindak anggota-anggota DPRD disetiap daerah
kabupaten/kota yang suka melakukan pemborosan terhadap penggunaan anggaran yang
tidak pro terhadap kepentingan rakyat. Artinya tugas VBL selaku wakil
pemerintah pusat di daerah harus dipahaminya secara luas dalam hal menegakan
disiplin kerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar