Minggu, 10 Mei 2020


TEROBOSAN VICTOR BUNGTILU LAISKODAT SEBAGAI GUBERNUR NTT DALAM MELAKSANAKAN PROGRAM KERJANYA

Dr. Aksi Sinurat,SH.,M.Hum & Mel Benu
Dosen FH Undana

Nusa Tenggara Timur merupakan salah provinsi dari ke 34 daerah provinsi yang tersebar di seluruh wilayah Negara Kesatua Republik Indonesia (NKRI).  Konsep membangun daerah menurut ketentuan peraturan perundangan-undangan tentang pemerintahan daerah sejak Indonesia merdeka mengalami pasang surut namun intinya kebebasan dan kelonggaran dari pemerintah pusat untuk memberikan ruang yang sangat terbuka bagi daerah guna menata pemerintahannya dalam bingkai NKRI. Keunikan dari provinsi NTT yakni daerah kepulauan atau daerah yang dipisahkan oleh laut, sehingga provinsi NTT meliputi daerah yang berpulau-pulau, sekalipun ada pulau yang dihuni bahkan ada juga yang tidak pernah dihuni oleh manusia.
Pergantian kepemimpinan Gubernur dari masa ke masa selalu NTT diperhadapkan pada masalah kemiskinan, keterbelakangan, bahkan sekarang dijulukinya sebagai daerah perbatasan sebab NTT sebagian daerah baik darat maupun laut serta udara berbatasan dengan negara Timor Leste dan Australia. Maka fokus pemerintah pusat dalam konteks membangun negara dari pinggir salah satunya adalah NTT. Namun pemerintah provinsi NTT juga tidak tinggal diam dengan menonton pemerintah pusat yang lebih konsentrasi dengan membangun NTT sebagai daerah terpinggir atau daerah perbatasan antar negara. Salah satu program Victor Bungtilu Laiskodat (VBL) yakni menata sumber daya manusia NTT agar respon terhadap masalah pengelolaan potensi keunggulan daerah termasuk pariwisata sebagai lokomotif daerah NTT.

Responsivitas VBL sebagai Gubernur NTT terhadap produk lokal di Masyarakat
Selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad lamanya masyarakat terpola dengan budayanya namun dihimpit oleh kemauan pemerintah pusat dalam mengembangkan hasil produk daerah di dalam masyarakat NTT. Hal itu terlihat dari begitu banyaknya kreativitas warga masyarakat untuk memproduksi minuman beralkhol (sopi di Timor dan Moke di Flores), bahkan pulau-pulau di berbagai kabupaten dalam lingkup NTT juga memproduksinya. Yang terjadi selama ini disita dan dimusnahkan oleh aparat penegak hukum seperti polisi. Sementara terkait distribusi dan konsumsi tidak ditegakan secara hukum, sehingga menjadi aneh apabila barang hasil produksi yang hukum sementara warga masyarakat yang mengkonsumsi tidak dikenakan sanksi hukum.
Agus Dwiyanto, dkk mengemukakan bahwa responsivitas merupakan kemampuan birokrasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta mengembangkan program-program pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Artinya responsivitas ini mengukur daya tanggap birokrasi terhadap harapan, keinginan dan aspirasi serta tuntutan pengguna jasa dari keadaan yang dianggap menjadi bagian dari kehidupan warga masyarakat setempat. Tentu Gubernur NTT VBL memahami benar apa yang dihasilkan warga masyarakat dan menjadi harapan dari warga masyarakat yang sudah terpola dengan budaya memproduksi minuman beralkhol sebagai bagian dari budaya sosial kemasyarakat NTT.
Terobosan Gubernur NTT VBL dengan mengedepankan lima program utama dalam masa kepeminannya, yakni VBL setiap kali berhadapan dengan media selalu menjelaskan bahwa ia bersama wakil gubernur Yosef Nae Soi akan fokus pada lima program, yakni pariwisata, kesejahteraan rakyat, sumber daya manusia, infrastruktur dan reformasi birokrasi. Hal tersebut selama satu tahun memimpin banyak godaan baik dari porpol pendukung maupun oleh pesaing politiknya, misalnya di hebohkan dengan akan pulang ke Jakarta untuk menduduki jabatan menteri, maupun dipandang sebagai gubernur yang tidak pro terhadap masalah penegakan hukum terutama melegalkan minuman beralkhol seperti sopi dan moke harus diproduksi oleh masyarakat. Namun keadaan itupun VBL tetap dengan penderiannya untuk melayani masyarakat NTT dengan sepenuhnya hingga akhir masa jabatannya. Sementara upaya melegalkan minuman beralkhol sopi dipandang sebagai hasil temuan warga masyarakat secara komunal secara turun temurun dan dipandang sebagai hasil karya yang bernilai secara ekonomis dan secara budaya bagi warga masyarakat NTT.
Terobosan dengan membuat regulasi terhadap melegalkan minuman keras beralkhol bagi warga masyarakat NTT menjadi harapan. VBL dengan tegas dan berani membuat regulasi atas produk minuman beralkhol dengan menetapkan Peraturan Gubernur NTT Nomor 44 Tahun 2019 tentang Pemurnian Dan Tata Kelola Minuman Tradisional Beralkohol Khas Nusa Tenggara Timur. Menarik untuk dipelajari dari regulasi tersebut karena VBL mempertimbangkan keberadaan minuman tradisional beralkohol yang belum dimurnikan seperti arak, sopi, moke dan lain sebagainya di satu sisi sangat berbahaya bagi kesehatan, namun di sisi lainnya merupakan sumber penghasilan bagi segmen masyarakat tertentu yang melakukan penyulingan dan penjualan minuman tradisional beralkohol tersebut. Tentu bisa dipahami bahwa minuman beralkhol yang diproduksipun harus diawasi agar tidak terkesan ada masalah dalam produksi, sehingga apabila kedapatan ada warga masyarakat yang mestinya memproduksi wajib memperoleh petunjuk dari pemerintah daerah agar betul-betul hasil produksinya tidak berbahaya bagi kesehatan.

Tanggapan Miring masyarakat atas terobosan VBL dalam merealisasikan programnya
Sekalipun ada upaya dari VBL atas segala terobosannya dalam merealisasikan program-programnya, namun tidak sedikit masyarakat menyatakan seolah-olah program-program tersebut tidak berhasil, bahkan banyak masyarakat NTT belum rasakan adanya keberhasilan tersebut, sebab baru setahun VBL memimpin NTT dan kiranya perlu dipahami bahwa semua pelaksanaan program pada tahun pertama masa kepemimpinannya masih terpola dengan perencanaan tahun sebelumnya. Semua penganggaran merupakan hasil kesepakatan antara eksekutif (DPRD Provinsi NTT) dan SKPD Pemerintah Provinsi NTT sebelumnya. Hal inilah yang sulit dibedakan antara realisasi program VBL dengan perencanaan masa kepemimpinan daerah sebelumnya, bahkan harus diakui bahwa belum ada sinkronisasi antar daerah dalam merealisasikan program-program VBL.
Berbagai komentar dari para pakar yang dipublikasikan melalui media cetak atau media online menyatakan bahwa Gubernur VBL belum merealisasikan programnya sebagaimana yang disampaikan saat kampanye. Hal ini terungkap oleh Pengamat politik dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Lasarus Jehamat, yang menilai Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur belum fokus melaksanakan program kerja pembangunan setelah satu tahun kepemimpinan Gubernur VBL bersama Wakilnya. Beliau menjelaskan bahwa belum terlihat ada perubahan yang signifikan terhadap pembangunan NTT dalam satu tahun kepemimpinan gubernur dan wakil gubernur NTT. Misalnya beliau mengecek tentang janji-janji VBL saat kampanye berupa rencana pinjaman dana dari China untuk pembangunan jalan provinsi juga masih sebatas narasi (Koran ANTARANews,2/12/2019).
Sementara pengamat Pertanian dari Universitas Kristen Artha Wacana Kupang Zet Malelak menilai program kerja Gubernur NTT VBL dan wakilnya yang sudah berjalan selama satu tahun tak berjalan, beliau menilai kinerja VBL gagal. Selain itu pengamat tersebut menyebutkan bahwa "Saya melihat apa yang dilakukan oleh pemimpin NTT saat ini saya sebut gagal, dan baru kali ini NTT dipimpin oleh para pemimpin yang hanya bisa berwacana saja," (Koran Republika.com,3/12/2019).
Artinya menurut dosen pertanian itu, gubernur dan wakil gubernur tidak punya visi dan misi atau perencanaan untuk membangun NTT, sehingga program-program kerja yang disampaikan hanyalah wacana. Sebab di sektor pertanian, tidak terukur apa yang mestinya dilakukan, sebab semuanya hanya serba wacana saja. Sementara pakar ini masih lebih memuji mantan gubernur NTT Frans Lebu Raya, yang mempunyai program di sektor pertanian seperti anggur merah serta sektor peternakan.Walaupun untuk anggur merah ada kekurangannya, tetapi hal itu berjalan dan sebagian masyarakat merasakan manfaatnya.

Mencermati Realisasi Program secara Populis
Periode satu tahun pertama harus dianggap sebagai suatu cara dimana setiap pemimpin yang terlegitimasi perlu melakukan komunikasi secara intens dengan berbagai pihak baik secara vertikal maupun secara horisontal sebelum merealisasikan program kerjanya sesuai visi dan misinya. Bahkan menata regulasi dan mempersiapkan rancangan yang dipandang perlu dalam melakukan terobosan nanti, termasuk menata kelembagaannya sehingga tidak memberikan kesan yang dipandang negatif oleh para pihak termasuk lawan politiknya. Harus diakui juga bahwa NTT terdiri dari banyak pulau dan suku yang memiliki karakter yang berbeda-beda sehingga untuk menata suatu arah kebijakan mestinya lebih apresiatif terhadap hal-hal yang dipandang menjadi bagian dari budaya dan tata nilai sehingga tidak hilang makna apabila proses dan realisasinya berjalan.
Apabila kita membuat penilaian dengan melakukan perbandingan antar pemimpin Gubernur yang pernah memimpin di wilayah Provinsi NTT ini maka seolah kita ingin mengadu domba konstituen yang dengan rela mengambil keputusannya saat kampanye bahkan kita seolah tidak mau agar masa kepemimpinan daerah harus berganti dengan adanya pemilukada. Sementara secara regulasi atau aturan menghendaki agar kepemimpinan daerah harus bergantian atau tidak harus permanen sepanjang periode. Harus dipahami bahwa setiap kepemimpinan daerah maupun nasional memiliki strategi dan optimisme dalam merealisasikan programnya selama satu periode, hanya saja perlu ada pengawasan yang lebih intens dari rakyat melalui wakilnya (DPRD) termasuk stakeholder yang ada.
Meskipun regulasi yang sangat fenomenal sebagai terobosan VBL yakni melegalkan minuman beralkhol seperti sopi dan moke dengan ditetapkannya Pergub No.44/2019, namun apabila tidak diikuti dengan penataan kelembagaan dalam hal produksi, distribusi dan konsumsi maka akan berdampak bagi masalah kesehatan termasuk mengganggu masalah sosial di masyarakat. Perlu adanya terobosan dalam hal produksi baik terhadap masalah label, izin produksi dan pengawasannya. Selain itu, terkait dengan masalah distribusi pun mestinya diberikan keluasan bagi warga masyarakat untuk melakukan pengorganisasian sehingga bisa dengan gampang mengendalikan tata jualnya dan bisa memihak kepada warga masyarakat yang dipandang sebagai pemilik utama dari produksi, sebab apabila dibiarkan maka penjual tangan ketiga dan seterusnya yang lebih menikmati hasil produksi yang diupayakan secara rumit ditingkat warga masyarakat secara komunal. Tentu mesti juga didaftarkan hak kekayaan intelektualnya agar tidak bisa diambil secara gampang oleh daerah lain.
Sementara terkait dengan lima program utama, saya selaku penulis yang mungkin mewakili suara rakyat pemilih sangat mengharapkan masalah infrastruktur perlu direalisasikan secara merata sampai ke pelosok, sebab masalah pariwisata apabila tidak ditunjang dengan infrastruktur berupa jalan yang memadai maka pengunjung lokal maupun luar daerah akan sulit mengaksesnya. Reformasi birokrasi menurut saya mesti dipandang sebagai ketegasan akan pemimpin daerah sebab VBL harus  bisa membedakan kepala daerah dengan wakil pemerintah pusat di daerah. Tentu untuk kepala daerah maka wajib menindak tegas kepala daerah (walikota/bupati) yang tidak pro terhadap masalah pelayanan kepada masyarakat. Termasuk instansi-instansi yang perlu melakukan layanan bagi kehidupan masyarakat dalam mengangkat derajat kehidupan ekonominya. Bahkan semestinya baik produksi dan distribusi harus memberikan income bagi daerah kabupaten/kota sehingga ada keseriusan dalam mengelola produk unggulan daerah termasuk produk minuman beralkhol dari setiap daerah.
Apabila dikaji dari tugas VBL selaku wakil pemerintah pusat di daerah maka harus berani mengambil langkah-langkah yang apresiatif bagi dana-dana yang langsung diterima oleh masyarakat di desa-desa, kabupaten-kabupaten sehingga betul-betul bermanfaat bagi derajat kehidupan masyarakat setempat, sebab misalkan saja dana itu bersumber dari APBN maka tentu yang bisa mengawasi manfaat dari dana tersebut, merupakan tugas wakil pemerintah pusat di daerah dan tentu hal ini melekat pada VBL sebagai gubernur selaku wakil pemerintah pusat di daerah. Selain itu, harus bisa berkoordinasi dengan setiap instansi vertikal yang ada di daerah NTT termasuk daerah perbatasan, kajian konservasi bagi daerah baik di darat maupun di laut agar tidak memberikan poling pendapat yang negatif bagi pemerintah daerah, seolah-olah pemerintah daerah tidak memiliki politikal will bagi daerah sehingga masyarakat hanya mengharapkan dari pemerintah pusat.
Freming media yang sering mempublikasikan mengenai disiplin VBL bagi para pegawai menandakan bahwa VBL merupakan orang yang cukup tegas dalam menegakan disiplin kerja. Namun masih saja memberikan stigma negatif sebab ketegasan dalam hal disiplin mestinya dituntun dengan evaluasi kinerja secara kontinyu sehingga hasil luaran dari disiplin kerja berdampak bagi peningkatan layanan bagi masyarakat. Sebenarnya reformasi birokrasi lebih mengutamakan kinerja sesuai hasil luarannya. Misalnya VBL tidak boleh membiarkan daerah-daerah kabupaten/kota yang sering boros anggaran dalam hal melaksanakan kinerja, mengurangi masalah perjalanan dinas keluar daerah. Selain itu, harus berani menindak anggota-anggota DPRD disetiap daerah kabupaten/kota yang suka melakukan pemborosan terhadap penggunaan anggaran yang tidak pro terhadap kepentingan rakyat. Artinya tugas VBL selaku wakil pemerintah pusat di daerah harus dipahaminya secara luas dalam hal menegakan disiplin kerja.


Tidak ada komentar: