PENATAAN PEMBANGUNAN SECARA KONKUREN DALAM SEKTOR
KELAUTAN DAN PERIKANAN
Oleh
Mel Benu & Noraini Asnawi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana
Abstrak
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah merupakan penataan secara konsekuensi dalam pelaksanaan
urusan pemerintahan bagi sektor kelautan dan perikanan. Kewenangan itu
sebelumnya terdistribusi secara total pada daerah namun kemudian membatasinya
pada daerah provinsi sebagai perpanjangan pemerintah pusat. Tulisan ini
bertujuan untuk menggambarkan suasana penataan secara konkuren bagi pembangunan
di sektor perikanan dan kelautan, namun hal tersebut juga berimplikasi bagi
peran pemerintah di daerah sebab banyak faktor yang dianggap mengurangi beban
tugas daerah untuk mengatur pembangunan sektor kelautan dan perikanan.
Tulisan yang dibuat dengan koridor
doctrinal research yang menggunakan statute dan conceptual approach ini
menghasilkan temuan bahwa kewenangan pemerintah daerah dalam pembangunan sektor
kelautan dan perikanan yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tergolong urusan
pemerintahan pilihan dan merupakan kewenangan yang bersifat atribusi karena
digariskan oleh undang-undang.
Penataan itu, kemudian lebih mengarah
pada optimalisasi peranan pemerintah provinsi sementara di daerah
kabupaten/kota yang dulunya memiliki aau mendapatkan atribusi kewenangan
menjadi hilang. Sehingga hal tersebut membawa konsekuensi minimnya peranan
pemerintah kabupaten/kota pada sektor pembangunan kelautan dan perikanan.
Bahkan untuk sub urusan yang secara nyata pemerintah kabupaten/kota memiliki
kapasitas untuk berperan seperti: kelautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil;
pengolahan dan pemasaran; pengembangan SDM masyarakat kelautan dan perikanan,
sama sekali tidak ada kewenangan yang diberikan.
Kata
Kunci : Penataan, konkuren, sektor kelautan dan perikanan
PENDAHULUAN
Kondisi geografis
Indonesia yang sebagian besar terdiri wilayah laut yang menyatukan pulau-pulau,
sangat kaya akan sumber daya perikanan. Dalam rangka pemanfaatan sumber daya
tersebut, pemerintah dan pemerintah daerah berperan penting dalam membuat kebijakan
di bidang perikanan. Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis
dalam pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan
kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan taraf hidup bangsa
pada umumnya, nelayan kecil, pembudi daya-ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku
usaha di bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian, dan
ketersediaan sumber daya ikan.
Berdasarkan data dari
Badan Pangan Dunia (FAO), tercatat nilai perekonomian laut Indonesia
diperkirakan mencapai 3 triliun dollar AS sampai 5 triliun dollar AS, atau
setara Rp 36.000 triliun sampai Rp 60.000 triliun per tahun. Hasil studi FAO
tahun 2014, penangkapan ikan illegal di dunia diperkirakan berkisar 11 juta-26
juta ton pertahun, total kerugian 10-23 milyar dollar AS, dari jumlah itu 30
Persen kejahatan perikanan dunia berlangsung di Indonesia. Dengan ukuran FAO
itu potensi penerimaan ikan yang hilang akibat perikanan illegal di Indonesia
lebih dari Rp. 100 triliun/tahun[1].
Pengelolaan perikanan adalah suatu kebutuhan besar manusia, kebutuhan dunia.
Hal ini karena begitu banyak manusia di muka bumi ini yang bergantung pada
perikanan sebagai sumber mata pencahariannya. Selain itu juga bisnis perikanan
adalah bisnis milyar dollar yang menghasilkan jutaan ton ikan bagi umat
manusia.
Isu-isu penting lain
terkait kelautan dan perikanan antara lain mendesaknya memperkuat konservasi
sumberdaya ikan dan ekosistem laut, melahirkan penguatan regulasi/pengaturan
usaha perikanan, melahirkan kebijakan melarang penangkapan ikan dengan metode
destruktif, dan mewujudkan keadilan bagi nelayan[2].
Melalui pembagian kewenangan konkuren pemerintahan, beberapa hal ini perlu
mendapat perhatian dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang menjadi
tumpuan pokok dalam mewujudkan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Poros maritim yang
digagas oleh pemerintah mengubah paradigma pembangunan yang telah dilakukan
selama ini. Derasnya perhatian dan perubahan atas pembangunan yang berbasis
kelautan ternyata tidak secara otomatis berpengaruh terhadap strategi
percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi. Hal ini terlihat dari minimnya
peranan pemerintah daerah melalui pembagian urusan konkuren di bidang kelautan
dan perikanan yang digariskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Selain undang-undang pemda itu, menurut Heryandi[3],
berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, berimplikasi
kepada seluruh peraturan perundang-undangan terkait dengan wilayah laut. Implikasi
pertama, yaitu perlu adanya harmonisasi hukum. Kedua, perlu penyesuaian
penataan kelembagaan terkait dan ketiga pengembangan peran negara sampai pada
daerah dalam percaturan laut global, melalui perencanaan terpadu dan kerjasama
internasional.
Peranan yang optimal
dari pemerintah dan pemerintah daerah dalam memakmurkan sektor kelautan dan
perikanan sangat dibutuhkan untuk realisasi visi Indonesia sebagai poros
maritim dunia. Pemanfaatan kelautan dan peningkatan produksi perikanan di
daerah pada dasarnya akan sangat tergantung dengan kebijakan dan
program-program yang dijalankan pemerintah daerah. Kebijakan dan program daerah
(baik pada tataran perencanaan maupun juga pelaksanaan) di bidang kelautan dan perikanan pada dasarnya merupakan
elaborasi dari kewenangan yang dimilikinya. Berdasarkan uraian yang telah
dipaparkan, tulisan ini lebih lanjut akan menggambarkan konfigurasi kewenangan
konkuren pemerintah daerah dalam pembangunan di bidang kelautan dan perikanan.
1.
Analisis penataan
Kewenangan Konkuren Dalam Pembangunan Sektor Perikanan Dan Kelautan
Pembagian urusan pemerintahan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan konsekuensi dari sistem
otonomi daerah yang digunakan di Indonesia[4].
Sebagai negara kesatuan yang memiliki wilayah yang sangat luas dengan beragam
etnis dan budaya yang ada di Indonesia, pemberian otonomi kepada daerah seolah
menjadi salah satu pilihan tepat untuk memfasilitasi terjadinya akselerasi
pembangunan di daerah, termasuk di bidang kelautan dan perikanan. Secara
leksikal, kata kewenangan berasal dari kata dasar wenang yang diartikan sebagai
hal berwenang, hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.
Menurut
H.D Stout[5],
wewenang merupakan pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan,
yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan
perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik didalam
hukum publik. Menurut Prajudi Atmosudirjo, kewenangan adalah apa yang disebut
“kekuasaan formal”, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberi
oleh undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif administratif.
Philipus
M. Hadjon[6]
mengemukakan bahwa kewenangan diperoleh melalui tiga sumber, yaitu: atribusi,
delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian
kekuasaan negara oleh undang-undang dasar, kewenangan delegasi dan mandat
adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan. Delegasi adalah penyerahan
wewenang yang dimiliki oleh organ pemerintahan kepada organ pemerintahan yang
lain yang tanggungjawabnya juga berpindah pada penerima wewenang. Adapun pada
mandat, tidak dilakukan antar organ pemerintahan dan tanggung jawab kewenangan
atas dasar mandat masih tetap pada pemberi mandat, tidak beralih kepada
penerima mandat.
Menurut
Hart[7],
kaidah kewenangan masih dapat dibagi lagi. Dapat dibedakan adanya kaidah
kewenangan publik dan kaidah kewenangan perdata. Kaidah kewenangan publik dapat
dibagi lagi ke dalam kewenangan pembentukan undang-undang, kewenangan kehakiman
dan kewenangan pemerintahan. Juga dalam hukum perdata terdapat kaidah kewenangan,
yang pada gilirannya dapat dibagi lagi ke dalam misalnya kaidah-kualifikasi,
kaidah-kewenangan dalam arti sempit, dan kaidah-prosedur.
Kewenangan
merupakan dasar bagi pemerintah daerah dalam bertindak dibidang kelautan dan
perikanan. Berdasarkan konfigurasi kewenangan konkuren yang digariskan dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, kewenangan pemerintah daerah bidang kelautan dan perikanan hanya
merupakan salah satu kewenangan dalam urusan pilihan dalam Pasal 12 ayat (3)
huruf a, dengan pembagian kewenangan sebagaimana terdapat dalam tabel satu
berikut.
Tabel 1. Uraian Urusan Konkuren sektor Kelautan dan
Perikanan Antara Pemeirntah pusat, Pemerintah Provinsi Dan Pemerintah
Kabupaten/Kota
No
|
Sub Urusan
|
Pemerintah Pusat
|
Pemerintah Provinsi
|
Kabupaten/ Kota
|
1.
|
Kelautan,
Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil
|
a.
Pengelolaan ruang laut di atas 12 mil dan
strategis nasional.
b.
Penerbitan izin pemanfaatan ruang laut nasional.
c.
Penerbitan izin pemanfaatan jenis dan genetik
(plasma nutfah) ikan antarnegara.
d.
Penetapan jenis ikan yang dilindungi dan diatur
perdagangannya secara internasional.
e. Penetapan
kawasan konservasi.; dan
f. Database
pesisir dan pulau-pulau kecil.
|
a. Pengelolaan
ruang laut sampai dengan 12 mil di luar minyak dan gas bumi.
b. Penerbitan
izin dan pemanfaatan ruang laut di bawah 12 mil di luar minyak dan gas bumi.
c. Pemberdayaan
masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.
|
Tidak ada
|
2.
|
Perikanan
Tangkap
|
a. Pengelolaan
penangkapan ikan di wilayah laut di atas 12 mil.
b. Estimasi stok
ikan nasional dan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan (JTB).
c. Penerbitan
izin usaha perikanan tangkap untuk:
1)
kapal perikanan berukuran di atas 30 Gross Tonase (GT); dan
2)
di bawah 30 Gross Tonase (GT) yang menggunakan modal asing dan/atau tenaga
kerja asing.
d. Penetapan
lokasi pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan nasional dan
internasional.
e. Penerbitan
izin pengadaan kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan dengan ukuran
di atas 30 GT.
f. Pendaftaran
kapal perikanan di atas 30 GT
|
a. Pengelolaan
penangkapan ikan di wilayah laut sampai dengan 12 mil.
b. Penerbitan
izin usaha perikanan tangkap untuk kapal perikanan berukuran di atas 5 GT
sampai dengan 30 GT.
c. Penetapan
lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan provinsi.
d. Penerbitan
izin pengadaan kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan dengan ukuran
di atas 5 GT sampai dengan 30 GT.
e. Pendaftaran
kapal perikanan di atas 5 GT sampai dengan 30 GT.
|
a. Pemberdayaan
nelayan kecil dalam Daerah kabupaten/kota
b. Pengelolaan
dan penyelenggara an Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
|
3.
|
Perikanan
Budidaya
|
a. Sertifikasi
dan izin edar obat/dan pakan ikan.
b. Penerbitan
izin pemasukan
ikan dari luar negeri dan pengeluaran ikan hidup dari wilayah Republik
Indonesia.
c. Penerbitan
Izin Usaha Perikanan (IUP) di bidang pembudidayaan ikan lintas Daerah
provinsi dan/atau yang menggunakan tenaga kerja asing
|
Penerbitan
IUP di bidang pembudidayaan ikan yang usahanya lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1
(satu) Daerah provinsi.
|
a. Penerbitan
IUP di bidang pembudidayaa n ikan yang usahanya
dalam 1 (satu) Daerah kabupaten/kota
b. Pemberdayaan
usaha kecil pembudidayaa n ikan.
c. Pengelolaan
pembudidayaa n ikan
|
4.
|
Pengawasan
Sumber Daya Kelautan dan Perikanan
|
Pengawasan
sumber daya kelautan dan perikanan di atas 12 mil, strategis nasional dan
ruang laut tertentu.
|
Pengawasan
sumber daya kelautan dan perikanan sampai dengan 12 mil.
|
Tidak ada
|
5.
|
Pengolahan
dan Pemasaran
|
a. Standardisasi
dan sertifikasi pengolahan hasil perikanan.
b. Penerbitan
izin pemasukan hasil perikanan konsumsi dan nonkonsumsi ke dalam wilayah
Republik Indonesia.
c. Penerbitan
izin usaha pemasaran dan pengolahan hasil perikanan lintas Daerah provinsi
dan lintas negara.
|
Penerbitan
izin usaha pemasaran dan pengolahan hasil perikanan lintas Daerah kabupaten/kota
dalam 1 (satu) Daerah provinsi.
|
Tidak ada
|
6.
|
Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan
Hasil Perikanan
|
Penyelenggaraan
karantina ikan, pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan.
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
7.
|
Pengembangan
SDM Masyarakat Kelautan dan Perikanan
|
a. Penyelenggaraan
penyuluhan perikanan nasional.
b. Akreditasi dan
sertifikasi penyuluh perikanan.
c. Peningkatan
kapasitas SDM masyarakat kelautan dan perikanan.
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Sumber: UU No. 23 Tahun 2014.
Berdasarkan pemetaan pada tabel
satu dan uraian kerangka teoretik sebelumnya, kewenangan pemerintah daerah
dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang diatur dalam UU No. 23
Tahun 2014 tergolong urusan pemerintahan pilihan dan merupakan kewenangan yang
bersifat atribusi karena digariskan oleh undang-undang. Konfigurasi kewenangan
konkuren lebih mengarah pada optimalisasi peranan pemerintah provinsi sehingga
membawa konsekuensi minimnya peranan pemerintah kabupaten/kota pada sektor
pembangunan kelautan dan perikanan[8].
Bahkan untuk sub urusan yang secara nyata pemerintah kabupaten/kota memiliki
kapasitas untuk berperan seperti: kelautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil;
pengolahan dan pemasaran; pengembangan SDM masyarakat kelautan dan perikanan,
sama sekali tidak ada kewenangan yang diberikan. Kondisi demikian dikhawatirkan
akan kontra produktif dengan visi poros maritim dunia yang digagas oleh
pemerintah.
Undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang antara lain
mengatur perluasan kewenangan provinsi di sektor kelautan mulai berlaku efektif
pada tahun 2017 ini. Jika semula kewenangan provinsi dari 4-12 mil kini
diperluas menjadi 0-12 mil. Salah satu implikasi dari kebijakan ini adalah
semakin sulitnya pengawasan di laut. Sehingga apabila dibandingkan dengan aturan
lama dengan adanya pembagian wewenang antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota
itu sudah tepat[9].
Memang ada pembagian kewenangan namun tetap bisa bersinergi. Di pantai dengan
jarak 0-4 mil kalau pihak kabupaten/kota yang awasi kan semakin dekat, lebih
cepat karena lebih tahu kondisi.
Pada
aturan lama memang terdapat pembagian kewenangan pengelolaan dan pengawasan
laut, di mana untuk jarak 0–4 mil kewenangannya ada di kabupaten/kota,
sementara untuk 4-12 km dikelola oleh provinsi, dan 12 mil ke atas kewenangannya
ada di pemerintah pusat. Kebijakan ini juga secara otomatis menghapus
kewenangan kabupaten/kota. Sebagian besar daerah sudah merubah nomenklatur.
Dinas Kelautan dihilangkan, sehingga yang tersisa adalah Dinas Perikanan.
Kebijakan
ini dianggap memiliki banyak kelemahan, apalagi tidak ditopang dengan anggaran
yang memadai. Meski demikian, menurut Sulaiman[10],
kebijakan ini akan tetap dijalankan karena merupakan amanah UU. Salah satu
tantangannya pada jumlah personel untuk pengawasan masih sangat terbatas dengan
area kerja yang cukup luas. Kebijakannya seperti itu, tentu memberikan
perluasan bagi tenaga pengawasan terhadap wilayah laut dengan segala
konsekuensinya. Sementara apabila dilihat dari anggarannya pun terbatas dan
malah semakin berkurang. Minimnya anggaran memang menjadi masalah tersendiri
karena akan membatasi ruang gerak dinas. Sebaliknya apabila membandingkan
anggaran pengawasan dari pusat pada tahun 2016, sebelum diterapkannya kebijakan
tersebut, sebanyak Rp850 juta. Pada tahun 2017 ini jumlahnya justru berkurang
menjadi Rp360 juta. Sehingga kewenangan bertambah, namun biaya operasional
justru semakin berkurang.
Perubahan
kebijakan yang tidak dibarengi dengan konsekuensi anggaran ini dinilai sebagai
sesuatu yang seharusnya dikaji lebih jauh efektifitasnya. Sebab apabila membandingkan
dengan lahirnya UU Desa yang kemudian dibarengi kucuran dana untuk desa hingga
Rp1 miliar di desa. Semestinya, meluasnya lingkup kerja provinsi membuat Dinas Kelautan
dan Perikanan disetiap daerah provinsi harus berani mensiasati dengan membentuk sejumlah Unit
Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) pengawasan di daerah kabupaten/kota. Tentu UPTD
tersebut antara lain adalah semua daerah kabupaten/kota sebagai target utama
palaksanaan pengawasan dalam bidang pengelolaan kelautan dan perikanan di
daerah[11].
Artinya,
pengawasan di perairan wilayah daerah laut dan pesisir memang patut mendapat
perhatian karena masih tingginya aktivitas destructive fishing seperti bom dan
bius ikan. Tentu harapan besar akan fungsi pengawasan ini nantinya tetap bisa
dianggarkan bersama dengan pihak-pihak yang terkait, sehingga berbagai pihak
bisa saling bersinergi dan berbagi tugas.
Selama
ini di wilayah daerah kabupaten/kota yang memiliki kewenangan dalam bidang
perikanan dan kelautan membentuk kerja sama antara pihak DKP dengan Polair
serta TNI UL dan masyarakat pesisir dan tokoh nelayan guna melakukan pengawasan
terhadap segala aktifitas dari wilayah laut dan pesisir.artinya sudah lama dilakukan
dengan Polair dan polisi dalam bentuk patroli gabungan[12].
Secara
umum bisa dinilai banyak kebijakan nasional yang justru merugikan nelayan.
Misalnya pembatasan ruang dan alat tangkap yang digunakan oleh nelayan. Ini
dianggap membuat laju ekonomi di sektor kelautan dan perikanan menjadi lesu.
Banyak pelaku industri perikanan yang terpaksa gulung tikar. Apabila dilihat
secara seksama sekarang industri perikanan hancur-hancuran. Hanya dengan
pancing, berapa sih yang bisa dihasilkan. Pembatasan memang perlu tapi itu ada
ilmunya bagaimana ikan-ikan tetap diambil namun dijaga keberkelanjutannya.
Kebijakan
lain yang dianggap merugikan nelayan adalah pembatasan penangkapan kepiting
melalui PermenKP No.1/PermenKP/2015 tentang batasan ukuran tangkap lobster,
kepiting dan rajungan. Meski kita sepakat dengan adanya pengaturan, namun tidak
mesti melalui penutupan ruang atau larangan. Memang perlu diatur tapi kalau
main tutup, main larang, itu harus dipikirkan lagi. Kepiting kecil dilarang
padahal sebenarnya meski ukuran kecil tapi sebenarnya sudah dewasa. Bukti
menunjukkan bahwa meski dilarang namun tetap ada penangkapan kepiting dan
diselundupkan ke Malaysia[13].
Program
nasional yang dianggap cukup sukses adalah program JARING (program pendanaan
bagi nelayan kecil kerjasama KKP dengan OJK). DKP di daerah kabupaten/kota juga
banyak melakukan pembinaan-pembinaan dan memberi rekomendasi kelompok yang
dianggap bagus. JARING sebagai program sangat bagus untuk membantu nelayan.
Bank bahkan bikin sistem kemitraan ada namanya Pundi dengan bunga cuma 8
persen, dimana nelayan bisa utang Rp20 juta. Ini sudah diperiksa OJK dan
dinyatakan layak.
2.
Analisis implikasi
bagi pengawasan pembangunan di sektor perikanan dan kelautan menurut UU
Pemerintahan daerah
Pengawasan sumber daya perikanan
merupakan bagian integral dari pengelolaan sumber daya perikanan, untuk
memastikan ketaatan hukum dalam pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia
maka dibutuhkan pengawasan perikanan yang dilakukan oleh Pengawas Perikanan
yang mempunyai tugas mengawai tertib pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perikanan, hal ini berdasarkan Pasal 66 UU No. 45
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Untuk
mendukung pelaksanaan pengawasan sumber daya perikanan, Menteri Kelautan dan
Perikanan pada tanggal 14 April 2014 telah menetapkan instrumen hukum bagi
Pengawas Perikanan berupa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
17/PERMEN- KP/2014 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan.
Pengawas
Perikanan terdiri dari PNS pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Dinas
Kelautan dan Perikanan Provinsi (DKP Provinsi), Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten/Kota (DKP Kabupaten/Kota) hal ini berdasarkan pasal 4 Permen KP No.
17 Tahun 2014. Untuk pengangkatan dan pemberhentian Pengawas Perikanan yang
berasal dari pemerintah daerah atau kabupaten/kota dilakukan oleh Direktur
Jenderal Pengawasan Sumber Daya Perikanan (Dirjen PSDKP) berdasarkan usulan
dari Kepala DKP Provinsi dan DKP Kabupaten/Kota hal ini sesuai dengan pasal 6.
Selanjutnya
Peraturan Menteri tersebut juga mengatur kewenangan Menteri Kelautan dan
Perikanan mengangkat dan memberhentikan Pengawas Perikanan, yang pelaksanaannya
didelegasikan kepada Dirjen PSDKP. Adapun syarat seseorang dapat diangkat
sebagai Pengawas Perikanan meliputi PNS yang bekerja di bidang perikanan dengan
pangkat paling rendah Pengatur Muda Tingkat I, golongan ruang II/b, telah
mengikuti pendidikan dan pelatihan Pengawas Perikanan yang dibuktikan dengan
sertifikat dan sehat jasmani dan rohani. Sedangkan, pemberhentian Pengawas
Perikanan dilakukan apabila Pengawas Perikanan telah dialihtugaskan dari bidang
pengawasan perikanan, mengundurkan diri sebagai Pengawas Perikanan, tidak cakap
dalam menjalankan tugasnya, menyalahgunakan wewenang dalam menjalankan tugas
dan fungsinya, telah ditetapkan menjadi terdakwa, berhalangan tetap, atau
diberhentikan dari PNS[14].
Sesuai
ketentuan Pasal 9 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/PERMEN-
KP/2014 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan, diatur mengenai wilayah
tugas Pengawas Perikanan, yaitu
1.
WPP-RI;
2.
kapal perikanan;
3.
pelabuhan perikanan dan/atau pelabuhan
lainnya yang ditunjuk;
4.
pelabuhan tangkahan;
5.
sentra kegiatan perikanan;
6.
area pembinahan ikan;
7.
area pembenihan ikan;
8.
area pembudidayaan ikan;
9.
UPI; dan/atau
10.
kawasan konservasi perikanan
Apabila
dalam pelaksanaan pengawasan perikanan ditemukan atau patut diduga adanya
tindak pidana perikanan atau patut diduga adanya tindak pidana perikanan dan
adanya bukti permulaan yang cukup, Pengawas Perikanan wajib menindaklanjuti
dengan menyerahkan kepada Penyidik di bidang perikanan untuk diproses lebih
lanjut.
Dalam
Pasal 10 diatur mengenai pelaksanaan tugas Pengawas Perikanan di WPP RI
sebagaimana dalam Pasal 9 huruf a, dilakukan terhadap: penangkapan ikan, pembudidayaan
ikan dan pembenihan ikan, pengangkutan dan distribusi keluar masuk ikan,
perlindungan jenis ikan, terjadinya pencemaran akibat perbuatan manusia,
pemanfaatan plasma nutfah, penelitian dan pengembangan perikanan. Untuk
pelaksanaan tugasnya Pengawas Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan patroli pengawasan dan pemantauan pergerakan kapal perikanan.
Kewenangan
wilayah tugas untuk Pengawas Perikanan yang berasal dari DKP Provinsi dan DKP
Kabupaten/Kota, pada masa berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 diatur dalam Pasal 18
yang menentukan wilayah tugas Pengawas Perikanan DKP Provinsi yaitu 12 Mil laut
dari garis pantai sedangkan DKP Kabupaten/Kota 1/3 Mil laut atau 4 Mil laut
dari wilayah provinsi.
Dengan
adanya kewenangan Pengawas Perikanan Kabupaten/Kota anggaran pengawasan dari
KKP kepada pemerintah kabupaten/kota dapat langsung disalurkan melalui
pemerintah provinsi, demikian halnya juga dalam hal pendukung pengawasan
perikanan berupa speedboat dan barang invetaris pengawas lainnya.
Setelah
UU Nomor 32 Tahun 2004 tidak berlaku dan digantikan dengan UU Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah terdapat polemik khususnya, di sini membahas
kewenangan pemerintah kabupaten/kota atas urusan bidang kelautan dan perikanan.
Lebih khusus lagi karena kewenangan pengelolaan sumberdaya laut akan ada di
propinsi. Bahwa ini akan berimbas pada pengawasan sumber daya kelautan dan
perikanan yang notabene sebelumya dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota untuk
jarak 4 mil laut[15].
Dalam
Pasal 27 UU No. 32 Tahun 2014 sama sekali tidak tetulis kewenangan pemerintah
kabupaten/kota dalam hal mengelola sumber daya alam di laut, yang ada hanyalah
kewenangan pemerintah provisi dalam hal eksplorasi, eksploitasi, konservasi,
dan pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi, pengaturan
administratif, pengaturan tata ruang, ikut serta dalam memelihara keamanan di
laut dan ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara.
Kewenangan
pemerintah kabupaten/kota hanyalah dalam hal pembagian bagi hasil yang ada
dalam Pasal 14 UU No. 23 Tahun 2014 menyangkut masalah perikanan tangkap yang
terdiri dari pemberdayaan nelayan kecil, dan pengelolaan penyelenggaran tempat
pelelangan ikan. Dan juga menyagkut perikanan budidaya yang terdiri dari
penerbitan IUP, pemberdayaan usaha kecil pembudidayaan ikan dan pengelolaan
ikan.
Dengan
adanya perubahan aturan ini, ada kekhawatiran program yang disusun pemkab atau
pemkot tidak diakomodir. Apalagi turunan berupa peraturan pemerintah hingga
saat ini belum ada. Tentunya hal ini menimbulkan kekhawatiran dan kevakuman
kewenangan[16].
Sedangkan dengan dihapusnya kewenangan pengawas perikanan kabupaten/kota hal
ini berdampak pada pemberdayaan SDM Pengawas Perikanan kabupaten/kota, dan juga
anggaran KKP ke kabupaten/kota akan menggunakan dana dekonsentrasi kepada
pemerintah provinsi.
PENUTUP
1.
Kewenangan konkuren di bidang
pembangunan kelautan dan perikanan lebih mengarah pada optimalisasi peranan
pemerintah provinsi sehingga membawa konsekuensi minimnya peranan pemerintah
kabupaten/kota pada sektor pembangunan kelautan dan perikanan. Hal ini
berimplikasi juga, sebab pembatasan kewenangan tersebut bahkan untuk sub urusan
yang secara nyata pemerintah kabupaten/kota memiliki kapasitas untuk berperan
seperti: kelautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil; pengolahan dan pemasaran;
dan pengembangan SDM masyarakat kelautan dan perikanan.
2.
Pemerintah dan DPR perlu meninjau
kembali konfigurasi urusan pemerintahan konkuren di bidang kelautan dan
perikanan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah agar memberikan peranan yang adil dan seimbang kepada
pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk secara aktif ikut mewujudkan visi
Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Referensi
Aminuddin,
Ilmar. 2014. Hukum Tata Pemerintahan,
Prenada Media Grup: Jakarta.
Amrah,
Muslimin. 1986. Aspek-Aspek Hukum Otonomi
Daerah, Alumni: Bandung.
Budiyono,
Muhtadi, Ade Arif Firmansyah, 2015. Dekonstruksi
Urusan Pemerintahan Konkuren Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Kanun
Jurnal Ilmu Hukum, No. 67, Th. XVII, Desember.
Firmansyah,
Ade A. & Malicia Evendia, 2014. Konfigurasi
Kewenangan Konkuren Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Sektor Kelautan dan
Perikanan,
Prossiding, Kebijakan Negara dalam Bidang Kelautan dan Perikanan di Era Otonomi
Daerah.
Heryandi,
2018. Memperkuat Kedaulatan Indonesia Di
Laut Menuju Poros Maritim Dunia, Yogyakarta, Graha Ilmu.
Irawan
Soejito. 1990. Hubungan Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah, Rineka Cipta: Jakarta.
J.J.H.
Bruggink, 1996. Refleksi Tentang Hukum.
PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Philipus
M. Hadjon,2005. Hukum Administrasi Negara,
Gadjah Mada University Press: Yogyakarta
Prajudi
Atmosudirjo, 1994. Hukum Administrasi
Negara. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Ridwan
HR. 2006. Hukum Administrasi Negara.
Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Rusadi
Kantaprawira. 1998. Hukum dan Kekuasaan,
Universitas Islam Indonesia: Yogyakarta.
Sarman
MH. 2011. Hukum Pemerintah Daerah Di Indonesia, Rineka Cipta: Jakarta.
Sulaiman,
2010. Tantangan Pengelolaan Perikanan di
Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum Kanun Nomor 52 Edisi Desember.
Sulaiman,
2014. Membangun Hukum Perikanan Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal, Kanun Jurnal
Ilmu Hukum, No. 64, Th. XVI, Desember.
[1] Firmansyah, Ade A. & Malicia
Evendia, 2014. Konfigurasi Kewenangan
Konkuren Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan,
Prossiding, Kebijakan Negara dalam Bidang Kelautan dan Perikanan di Era Otonomi
Daerah., hlm. 196.
[2] Sulaiman, 2014. Membangun Hukum Perikanan Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal, Kanun Jurnal
Ilmu Hukum, No. 64, Th. XVI, Desember., hlm. 54.
[3] Heryandi, 2018. Memperkuat Kedaulatan Indonesia Di Laut
Menuju Poros Maritim Dunia, Yogyakarta, Graha Ilmu., hlm. 67.
[4] Sulaiman, 2014. Membangun Hukum Perikanan Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal, Kanun Jurnal
Ilmu Hukum, No. 64, Th. XVI, Desember, hlm. 55.
[5] Bandingkan dengan Rusadi
Kantaprawira. 1998. Hukum dan Kekuasaan,
Universitas Islam Indonesia: Yogyakarta, hlm 42.
[6] Philipus M. Hadjon,2005. Hukum Administrasi Negara, Gadjah Mada
University Press: Yogyakarta, 86.
[7] Bandingkan denganSarman MH.
2011. Hukum Pemerintah Daerah Di Indonesia, Rineka Cipta: Jakarta.
[8] Firmansyah, Ade A. & Malicia
Evendia, 2014, op. Cit,.hlm.199
[9] Ibid
[10] Sulaiman, 2010. Tantangan Pengelolaan Perikanan di Indonesia,
Jurnal Ilmu Hukum Kanun Nomor 52 Edisi Desember, hlm. 56
[11] Budiyono, Muhtadi, Ade Arif
Firmansyah, 2015. Dekonstruksi Urusan
Pemerintahan Konkuren Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Kanun Jurnal
Ilmu Hukum, No. 67, Th. XVII, Desember, hlm. 72
[12] Ibid, hlm.
[13] Budiyono, Muhtadi, Ade Arif
Firmansyah, 2015. Dekonstruksi Urusan
Pemerintahan Konkuren Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Kanun Jurnal
Ilmu Hukum, No. 67, Th. XVII, Desember.,
hlm. 121.
[14] Sulaiman, 2014, Op. Cit, hlm.
57.
[15] Firmansyah, Ade A. & Malicia
Evendia, 2014, Op, Cip. 199
[16] Budiyono, Muhtadi, Ade Arif
Firmansyah, op. Cit, hlm. 122.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar