Minggu, 10 Mei 2020


DESENTRALISASI PENGELOLAAN PENDIDIKAN DALAM MENGHADAPI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0
(Kajian dalam Perspektif Hukum Administrasi)

Norani Asnawi & Mel Benu
Dosen FH Universitas Nusa Cendana
Abstrak
Tulisan ini penulis ingin menguraikan aspek hukum adminitrasi negara dalam desentralisasi pengelolaan pendidikan dalam menghadapi era revolusi industri 4.0 yang sedang menjadi tren dunia. Kebijakan negara dalam bidang pendidikan bertujuan selain mencerdasakan kehidupan bangsa dan negara namun guna menjawab tantangan di globalisasi. Aspek hukum adminitrasi tentu berkaitan langsung dengan sistem pendidikan nasional yang selama ini belum direformasi secara total dalam menjawab tantangan global. Metode penulisan ini menggunakan pendekatan hukum normatif untuk mengkaji asas-asas dan norma hukum positif terhadap desentralisasi pengelolaan pendidikan dalam menghadapi era revolusi industri 4.0 dan juga mengkaji dampak hukum yang diakhibatkan dalam tata kelola pendidikan secara desentralisasi untuk menjawab tantangan revolusi industri 4.0
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menjadi rohnya pengelolaan pendidikan secara desentralisasi. Lembaga-lembaga pendidikan baik secara formal, informal dan non formal terdesentralisasi namun hanya bagaimana menggerakan siswa untuk memperoleh nilai yang tinggi namun meniadakan minat, hobi dan kegemaran siswa. Sementara usia siswa yang berada pada tingkatan pendidikan menjadi tantangan tersendiri dalam revolusi industri 4.0, sehingga yang patut dikembangkan dalam sistem pendidikan dalam menghadapi era revolusi industri 4.0 yakni selain kecerdasan intelektual, emosional dan spritual harus sepadan dengan hobi, minat, bakat dan kegemaran sebab hal tersebut telah ada dalam diri setiap orang. Percepatan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem komunikasi seperti mudahnya akses internet menjadi salah satu ciri abad 21, dunia seakan-akan menjadi kecil dan berada dalam genggaman, apa yang terjadi diujung dunia sana, akan dengan mudah diketahui oleh orang yang berada di ujung dunia yang lain, dalam waktu yang bersamaan, berbagai teknologi canggih yang pada intinya untuk mempermudah segala macam urusan manusia ditemukan, dikembangkan, dibuat dan dipakai oleh banyak orang dengan biaya yang sangat terjangkau.
Perkembangan teknologi digital telah mendisrupsi berbagai aktivitas manusia, tidak hanya sebagai mesin penggerak ekonomi namun juga termasuk bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta pendidikan tinggi. Kebijakan strategis perlu dirumuskan dalam berbagai aspek mulai dari kelembagaan, bidang studi, kurikulum, sumber daya, serta pengembangan yang berinovasi.Pendidikan karakter penting untuk peserta didik dalam mengembangkan nilai agama, pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional. Maka kebijakan pendidikan yang dilakukan adalah : (a) Persiapan sistem pembelajaran yang lebih inovatif di perguruan tinggi. (b) Rekonstruksi kebijakan kelembagaan pendidikan tinggi yang adaptif dan responsif terhadap revolusi industri 4.0. (c) Persiapan sumber daya manusia khususnya dosen dan peneliti serta perekayasa yang responsif, adaptif dan handal untuk menghadapi revolusi industri 4.0. (d) Terobosan dalam riset dan pengembangan yang mendukung Revolusi Industri 4.0 (e) Terobosan inovasi dan perkuatan sistem inovasi untuk meningkatkan produktivitas industri dan meningkatkan perusahaan pemula berbasis teknologi

Kata Kunci : Desentralisasi, Pengelolaan Pendidikan, Revolusi Industri 4.0


 PENDAHULUAN
Diskusi mengenai fenomena kemanusiaan dan pemanusiaan tidak dapat dihindarkan dari pelaksanaan pendidikan, baik dalam makna pendidikan formal, pendidikan non-formal, maupun pendidikan informal. Definisi paling umum tentang pendidikan adalah proses pemanusiaan menuju lahirnya insan bernilai secara kemanusiaan.[1] Dari sudut pandang sosiologi, pendidikan selain berperan menyiapkan manusia untuk memasuki masa depan, juga memiliki hubungan dengan transformasi sosial, begitu juga sebaliknya.
Berbagai pola sistem pendidikan menggambarkan corak, tradisi, budaya sosial masyarakat yang ada. Maka yang penting diperhatikan adalah bahwa suatu sistem pendidikan dibangun guna melaksanakan “amanah masyarakat” yaitu untuk menyalurkan anggota-anggotanya ke posisi tertentu.[2] Namun saat ini arus globalisasi yang telah merambah ke seluruh aspek kehidupan adalah hal tak terhindarkan. Bahkan bersama globalisasi, kosmopolitanisme, dianut sebagai semacam “ideologi” dan multikulturalisme semakin menjadi visi hidup berperadaban. Kenyataan ini mengharuskan adanya strategi-strategi kependidikan melalui pranata-pranata yang dikandungnya mampu mengakomodasi perubahan-perubahan peradaban global. Arah perubahan ini mengacu kepada hal-hal yang bersifat imperatif maupun empirik[3].
Pranata pendidikan nasional harus melibatkan diri dalam pergumulan sosial, budaya, politik dan ekonomi secara umum. Hal ini penting, sebab dunia pendidikan tidak mandul dan gamang dalam mengantisipasi era globalisasi yang mendera seluruh aspek kehidupan manusia dewasa ini. Fakta menunjukan bahwa sistem pengelolaan pendidikan di Indonesia masih banyak menggunakan cara-cara konvensional dan lebih menekankan pengembangan kecerdasan dalam arti yang sempit dan kurang memberi perhatian kepada pengembangan bakat kreatif peserta didik[4]. Padahal kreativitas di samping bermanfaat untuk pengembangan diri anak didik juga merupakan kebutuhan akan perwujudan diri sebagai salah satu kebutuhan paling tinggi bagi manusia.
Banyak usaha telah dilakukan oleh para pemikir, praktisi dan pelaku pendidikan untuk mengkonstruksinya sebagai amunisi memasuki masa depan. Berbagai gagasan dan kebijakan dalam kemajuan pendidikan sebagai pengembangan kecerdasan intelektualitas, emosional dan spiritualitas di bidang pendidikan harus mencerna dalam kehidupan sosial terutama pada pranata lembaga-lembaga pendidikan yang ada.
Selanjutnya terkait dengan permasalahan dan tantangan yang terjadi di era revolusi industri 4.0 antara lain terkait dengan adanya sikap dan perilaku manusia yang ciri-cirinya antara lain: (1) suka dengan kebebasan; (2) senang melakukan personalisasi; (3) mengandalkan kecepatan informasi yang instant (siap saji); (4) suka belajar; (5) bekerja dengan lingkungan inovatif, (6) aktif berkolaborasi, dan (7) hyper technology; (8) critivcal, yakni terbiasa berfikir out of the box, kaya ide dan gagasan; (9) confidence, yakni mereka sangat percaya diri dan berani mengungkapkan pendapat tanpa ragu-ragu; (10) connected, yakni merupakan generasi yang pandai bersosialisasi, terutama dalam komunitas yang mereka ikuti; (11) berselancar di sosial media dan internet; (12) sebagai akibat dari ketergantungan yang tinggi terhadap internet dan media sosial, mereka menjadi pribadi yang malas, tidak mendalam, tidak membumi, atau tidak bersosialisasi; (13) cenderung lemah dalam nilai-nilai kebersamaan, kegotong-royongan, kehangatan lingkungan dan kepedulian sosial; (14) cenderung bebas, kebarat-baratan dan tidak memperhatikan etik dan aturan formal, adat istiadat, serta tata krama[5]. Dari empat belas sikap yang ditimbulkan di era millennialitu, nampaknya hanya butir 12, 13 dan 14 yang menyangkut dengan etos kerja, etika dan moral, yakni malas, tidak mendalam, tidak membumi, kurang peduli pada lingkungan, cenderung bebas, kebarat-baratan, dan melanggar etika.
Problem yang paling mendasar dalam sistem pendidikan nasional sampai saat ini adalah efisiensi dalam manajemen pendidikan. Oleh karena itu, berbagai ukuran efisiensi dan optimasi dalam manajemen pendidikan perlu dipantau dan dievaluasi secara terus-menerus serta dalam waktu yang teratur. Mengingat lembaga pendidikan berkaitan secara langsung dengan manajemen pendidikan, baik pada satuan pendidikan maupun pada daerah-daerah otonom, maka ukuran-ukuran efisiensi dan efektivitas pendidikan perlu dijadikan indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja badan-badan tersebut[6].
Beberapa indikator manajemen pendidikan yang dapat dipantau secara terus-menerus adalah: (a). Besarnya (kenaikan) anggaran pendidikan (sekolah dan daerah otonom) yang diperoleh dari sumber-sumber pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat termasuk sumber lain seperti dunia usaha. (b). Kemampuan pengadaan sarana-prasarana pendidikan di sekolah yang diperoleh dari masyarakat. (c). Kemampuan pengadaan sumber daya manusia (guru dan tenaga kependidikan) yang diperoleh dari sumber masyarakat. (d). Perubahan dalam tingkat efisiensi pendayagunaan tenaga guru di sekolah yang diukur dengan tingkat “turn-over”. (e). Penurunan persentase mengulang kelas rata-rata pada suatu satuan pendidikan tertentu. (f). Penurunan persentase putus sekolah rata-rata pada suatu satuan pendidikan. (g). Peningkatan angka melanjutkan sekolah (transition rate) dari suatu sekolah ke sekolah pada jenjang pendidikan berikutnya[7].
Semakin berkembangnya teknologi dan zaman, tak dipungkiri menyebabkan berubahnya pola Pendidikan yang dialami oleh anak-anak masa kini. Perubahan kurikulum dan metode Pendidikan yang kian beragam diterapkan di berbagai sekolah menyebabkan adanya fenomena baru dalam proses Pendidikan anak di rumah maupun di sekolah. Maraknya kekerasan, bullying maupun mental psychology anak-anak di lingkungannya menjadikan hal ini menarik untuk di diskusikan.
Seto Mulyadi[8], beliau menyatakan bahwa dalam menghadapi era digitalisasi maka Indonesia tak bisa lepas penerapan pendidikan yang efektif bagi anak. Beliau menambahkan bahwa penerapan status anak harus cerdas dalam kelas bukanlah sesuatu yang dapat menjamin tumbuh kembang anak yang baik sebab erdas itu spektrumnya luas, bukan hanya matematika, IPA ataupun Kimia. Sedangkan banyak ditemui masa kini, para orangtua seringkali salah kaprah dalam mendefinisikan cerdas yang sesungguhnya. Bahwa mendidik anak tidak harus terpaku pada kurikulum pelajaran sekolah yang kerap mengesampingkan hak anak dalam belajar. Karena semua anak pada dasarnya sangatlah cerdas pada bidang yang berbeda. Jika kecerdasannya setiap anak dapat dihargai, maka sang anak tentunya dapat berkembang dengan baik pula.
Kurikulum di Indonesia terlalu padat, dimana kurikulum Pendidikan kurang berpihak pada hak anak untuk belajar” imbuh beliau saat menjelaskan kondisi lingkungan belajar anak di era millennial. Menurut beliau terlalu banyak waktu yang dihabiskan dalam mengejar nilai, sehingga tidak ada waktu yang tersisa untuk mendalami hobi, maupun hal-hal yang mereka sukai. Karena pada dasarnya semua anak suka belajar, maka belajar yang efektif adalah belajar dengan suasana hati yang gembira. Sementara menurut Zirmansyah[9], bahwa perkembangan generasi millennial tidak melulu buruk, banyak kemajuan dan hal positif dilihat bagaimana meningkatnya rasa percaya diri dari masing-masing anak.
1.      Desentralisasi Pengelolaan Pendidikan di Indonesia
Desentralisasi­ pendidikan merupakan salah satu model pengelolaan pendidikan yang menjadikan sekolah sebagai proses pengambilan keputusan dan merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta sumber daya manusia termasuk profesionalitas guru yang belakangan ini dirisaukan oleh berbagai pihak baik secara regional maupun secara internasional[10]. Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan dalam mutu dan keunggulan pendidikan di tanah air. Hal ini beralasan, karena sistem birokrasi selalu menempatkan “kekuasaan” sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses pengambilan keputusan. Sekolah-sekolah saat ini telah terkungkung oleh kekuasaan birokrasi sejak kekuasaan tingkat pusat hingga daerah bahkan terkesan semakin buruk dalam era reformasi saat ini. Ironisnya, kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak yang paling memahami realitas pendidikan berada pada tempat yang dikendalikan. Merekalah seharusnya yang paling berperan sebagai pengambil keputusan dalam mengatasi berbagai persoalan sehari-hari yang menghadang upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun, mereka ada dalam posisi tidak berdaya dan tertekan oleh berbagai pembakuan dalam bentuk juklak dan juknis yang pasti tidak sesuai dengan kenyataan obyektif di masing-masing sekolah[11].
Disamping itu pula, kekuasaan birokrasi juga yang menjadi faktor sebab dari menurunnya semangat partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dulu, sekolah sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat, dan merekalah yang membangun dan memelihara sekolah, mengadakan sarana pendidikan, serta iuran untuk mengadakan biaya operasional sekolah. Jika sekolah telah mereka bangun, masyarakat hanya meminta guru-guru kepada pemerintah untuk diangkat pada sekolah mereka itu. Pada waktu itu, kita sebenarnya telah mencapai pembangunan pendidikan yang berkelanjutan (sustainable development), karena sekolah adalah sepenuhnya milik masyarakat yang senantiasa bertanggungjawab dalam pemeliharan serta operasional pendidikan sehari-hari. Pada waktu itu, Pemerintah berfungsi sebagai penyeimbang, melalui pemberian subsidi bantuan bagi sekolah-sekolah pada masyarakat yang benar-benar kurang mampu.[12]
Berdasarkan pengalaman empiris tersebut, maka kemandirian setiap satuan pendidikan sudah menjadi satu keharusan dan merupakan salah satu sasaran dari kebijakan desentralisasi pendidikan saat ini. Sekolah-sekolah sudah seharusnya menjadi lembaga yang otonom dengan sendirinya, meskipun pergeseran menuju sekolah-sekolah yang otonom adalah jalan panjang sehingga memerlukan berbagai kajian serta perencanaan yang hati-hati dan mendalam. Jalan panjang ini tidak selalu mulus, tetapi akan menempuh jalan terjal yang penuh dengan onak dan duri. Orang bisa saja mengatakan bahwa paradigma baru untuk mewujudkan pengelolaan pendidikan yang demokratis dan partisipatif, tidak dapat dilaksanakan di dalam suatu lingkungan birokrasi yang tidak demokratis. Namun, pengembangan demokratisasi pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya menjadi demokratis dulu, tetapi harus dilakukan secara simultan dengan konsep yang jelas dan transparans[13].
Selanjutnya desentralisasi pendidikan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah maupun sekolah untuk mengambil keputusan terbaik tentang penyelenggaraan pendidikan di daerah atau sekolah yang bersangkutan berdasarkan potensi daerah dan stakeholders sekolah. Olah karenanya, desentralisasi pendidikan disamping diakui sebagai kebijakan politis yang berkaitan dengan pendidikan, juga merupakan kebijakan yang berkait dengan banyak hal. Paqueo dan Lammaert menunjukkan alasan-alasan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan yang sangat cocok untuk kondisi Indonesia, yaitu; (1) kemampuan daerah dalam membiayai pendidikan, (2) peningkatan efektivitas dan efesiensi penyelenggaraan pendidikan dari masing-masing daerah, (3) redistribusi kekuatan politik, (4) peningkatan kualitas pendidikan, (5) peningkatan inovasi dalam rangka pemuasan harapan seluruh warga negara.[14]
Sesuai dengan tuntutan reformasi dan demokratisasi di bidang pendidikan, pengelolaan pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari keinginan dan tujuan bangsa Indonesia dalam penyelenggaran pendidikan itu sendiri. Sebagai contoh dalam pendidikan dasar, propenas menyebutkan kegiatan pokok dalam upaya memperbaiki manajemen pendidikan dasar di Indonesia adalah:
1.      Melaksanakan desentralisasi bidang pendidikan secara bertahap, bijaksana dan profesional, termasuk peningkatan peranan stakeholders sekolah;
2.      Mengembangkan pola penyelenggaraan pendidikan secara desentralisasi untuk meningkatkan efesiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat;
3.      Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, seperti diversifikasi penggunaan sumber daya dan dana;
4.      Mengembangkan sistem insentif yang mendorong terjadinya kompetensi yang sehat baik antara lembaga dan personil sekolah untuk pencapaian tujuan pendidikan
5.      Memberdayakan personil dan lembaga, antara lain melalui pelatihan yang dilaksanakan oleh lembaga profesional.
6.      Meninjau kembali semua produk hukum di bidang pendidikan yang tidak sesuai lagi dengan arah dan tuntutan pembangunan pendidikan; dan
7.      Merintis pembentukan badan akreditasi dan sertifikasi mengajar di daerah untuk meningkatkan kualitas tenaga kependidikan secara independen.[15]
Atas dasar amanat seperti yang dirumuskan dalam propenas di atas, maka sangat jelas bahwa tekad bangsa Indonesia untuk mewujudkan sistem pendidikan secara desentralistik terkesan sangat kuat. Dengan sistem ini pendidikan dapat dilaksanakan lebih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat, di mana proses pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang paling dekat dengan proses pembelajaran (kepala sekolah, guru, dan orang tua peserta didik). Adanya otonomisasi daerah yang sekaligus disertai dengan otonomi penyelenggaraan pendidikan atau desentralisasi pendidikan, hendaknya dapat mencapai sasaran utama progam restrukturisasi sistem dan manajemen pendidikan di Indonesia. Restrukturisasi dimaksud antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut:
1.      Struktur organisasi pendidikan hendaknya terbuka dan dinamis, mencerminkan desentralisasi dan pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.
2.      Sarana pendidikan dan fasilitas pembelajaran dibakukan berdasarkan prinsip edukatif sehingga lembaga pendidikan merupakan tempat yang menyenangkan untuk belajar, berprestasi, berkreasi, berkomunikasi, berolah raga serta menjalankan syariat agama.
3.      Tenaga kependidikan, terutama tenaga pengajar harus benar-benar profesional dan diikat oleh sistem kontrak kinerja.
4.      Struktur kurikulum pendidikan hendaknya mengacu pada penerapan sistem pembelajaran tuntas, tidak terikat pada penyelesaian target kurikulum secara seragam per catur wulan dan tahun pelajaran
5.      Proses pembelajaran tuntas diterapkan dengan berbagai modus pendekatan pembelajaran, peserta didik aktif sesuai dengan tingkat kesulitan konsep-konsep dasar yang dipelajari.
6.      Sistem penilaian hasil belajar secara berkelanjutan perlu diterapkan di setiap lembaga pendidikan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan pembelajaran tuntas.
7.      Dilakukan supervisi dan akreditasi. Supervisi dan pembinaan administrasi akdemik dilakukan oleh unsur manajemen tingkat pusat dan provinsi yang bertujuan untuk mengendalikan mutu (quality control). Sedangkan akreditasi dilakukan untuk menjamin mutu (quality assurance) pelayanan kelembagaan.
8.      Pendidikan berbasis masyarakat seperti pondok pesantren, kursus-kursus keterampilan, pemagangan di tempat kerja dalam rangka pendidikan sistem ganda harus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.
9.      Formula pembiayaan pendidikan atau unit cost dan subsidi pendidikan harus didasarkan pada bobot beban penyelenggaraan pendidikan yang memperhatikan jumlah peserta didik, kesulitan komunikasi, tingkat kesejahteraan masyarakat dan tingkat partisipasi pendidikan serta kontribusi masyarakat terhadap pendidikan pada setiap sekolah.[16]
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa desentralisasi pendidikan pada hakekatnya berkorelasi positif terhadap peningkatan mutu lulusan lembaga pendidikan dan efesiensi pengelolaan pendidikan. Apabila sekolah dapat dikelola dengan optimal oleh personalia yang profesional, pengambilan keputusan dilakukan oleh pihak-pihak yang lebih dekat dan tahu tentang kebutuhan dan potensi sekolah, maka mutu pendidikan akan semakin menunjukan pada tingkat maksimal sesuai yang diharapkan.
Pada awalnya istilah desentralisasi digunakan dalam keorganisasian yang secara sederhana didefinisikan sebagai penyerahan kewenangan. Sedangkan pengertian desentralisasi menurut  Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia[17]. Dengan adanya desentralisasi maka muncullah otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Model desentralisasi di Indonesia sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah adalah bentuk yang ketiga, yaitu model devolusi[18]. Model ini memiliki konsekuensi tanggung jawab atas apa yang diputuskan termasuk berimplikasi pada keuangan dan manajemen dibebankan pada kabupaten dan kota. Oleh karenanya, pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenanangan dan tanggung  jawab pada pelayanan dasar di daerahnya seperti di bidang pertanahan, pertanian, pendidikan, kebudayaan dan yang lainnya.
Sedangkan desentralisasi pendidikan merupakan gabungan dari dua kata yaitu antara desentralisasi dan pendidikan. Ada beberapa pendapat menurut para ahli  mengenaipengertian desentralisasi pendidikan,  diantaranya yaitu:
1.         Menurut Burnett e.al yang dikutip oleh M. Sirozi, desentralisasi pendidikan adalah otonomi untuk menggunkan input pembelajaran sesuai dengan tuntunan sekolah dan komunitas yang dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tua dan komunitas.[19]
2.         Abdul Halim, mengartikan desentralisasi pendidikan yaitu terjadinya pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi di bidang pendidikan.[20]
3.         Menurut Sufyarman, desentralisasi pendidikan adalah sistem menajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan pada kebhinekaan.[21]
Dengan demikian, desentralisasi pendidikan dapat diartikan sebagai pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada daerah beserta masyarakat, pengelola dan pengguna pendidikan itu sendiri, untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusan sendiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi di bidang pendidikan dengan mengacu kepada Sistem Pendidikan Nasional. Otonomi daerah di bidang pendidikan secara tegas telah dinyatakan dalam PP Nomor 25 tahun 2000 yang mengatur pembagian kewenangan pemerintah pusat dan propinsi. Pemeritah pusat hanya menangani penetapan standar kompetensi siswa, pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar nasional, penetapan standar materi pelajaran pokok, pedoman pembiayaan pendidikan, persyaratan penerimaan, perpindahan dan sertivikasi siswa, kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif. Untuk propinsi, kewenangan terbatas pada penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dari masyarakat minoritas, terbelakang dan tidak mampu, dan penyediaan bantuan pengadaan buku mata pelajaran pokok/modul pendidikan bagi siswa.
Semua urusan pendidikan di luar kewenangan pemerintah pusat dan propinsi tersebut sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah daerah. Ini berarti bahwa tugas dan beban PEMDA dalam menangani layanan pendidikan amat besar dan berat terutama bagi daerah yang capacity building dan sumberdaya pendidikannya kurang. Karena itu, otonomi daerah bidang pendidikan bukan hanya ditujukan bagi daerah tetapi juga dibebankan bagi sekolah sebagai penyelenggara pendidikan terdepan dan dikontrol oleh stakeholders pendidikan (orangtua, tokoh masyarakat, dunia usaha dan industri, Dewan Perwakilan Rakyat, serta LSM pendidikan).
Sebagai Konsekuensi kebijakan ini, maka pelaksanaan konsepesi school-based Management (Manajemen Berbasis Sekolah) dan community-based education (pendidikan berbasis masyarakat) merupakan suatu keharusan dalam penyelenggaraan pendidikan dalam era otonomi daerah. School-based management sebagai konsepsi dasar manajemen pendidikan masa kini merupakan konsep manajemen sekolah yang memberikan kewenangan dan kepercayaan yang luas lagi, sekolah berdasarkan profesionalisme untuk menata organisasi sekolah. Mencari, mengembangkan, dan mendayagunakan resources pendidikan yang tersedia, dan memperbaiki kinerja sekolah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan sekolah yang bersangkutan. Sebagian besar sekolah swasta sebenarnya telah melaksanakan konsepsi ini walaupun sebagian dari mereka masih perlu meningkatkan diri dalam upaya mencapai produktivitas sekolah yang diinginkan[22].
Konsep peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah muncul dalam kerangka pendekatan manajemen berbasis sekolah. Pada hakekatnya MBS akan membawa kemajuan dalam dua area yang saling tergantung, yaitu, pertama, kemajuan program pendidikan dan pelayanan kepada siswa-orang tua, siswa dan masyarakat. Kedua, kualitas lingkungan kerja untuk semua anggota organisasi[23]. Model MBS menempatkan sekolah sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam menerapkan kebijakan, misi, tujuan, sasaran, dan strategi yang berdampak terhadap kinerja sekolah. Keinerja sekolah akan sangat ditentukan oleh kebijakan yang ditetapkan oleh sekolah yang menyangkut pengembangan kurikulum. Namun demikian, dalam merumuskan kebijakan, sekolah mengacu kepada kebijakan pusat dan memperhatikan aspirasi yang berkembang dari local state melalui dewan sekolah (school council)[24]. Upaya peningkatan partisipasi orang tua dan masyarakat dalam pengelolaan dan peningkatan mutu sekolah dikukuhkan dengan mencantumkan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah dalam bagian ketiga pasal 56 Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem pendidikan Nasional.
Dasar hukum utama pembentukan Komite Sekolah untuk pertama kalinya adalah Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), Rumusan Propenas tentang pembentukan Komite Sekolah kemudian dijabarkan dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 044/U/2002 yang merupakan acuan utama pembentukan Komite Sekolah, yang sekarang diubah dengan Permendikbut Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Disebutkan sebagai acuan karena pembentukan Komite Sekolah di berbagai satuan pendidikan atau kelompok satuan pendidikan disesuaikan dengan kondisi di masing-masing satuan pendidikan atau kelompok satuan pendidikan. Demikian pula sebutan Komite Sekolah dapat berbeda di setiap satuan pendidikan atau kelompok satuan pendidikan[25]. Namun demikian ada prinsip yang harus difahami dalam pembentukan Komite Sekolah.
Secara terinci pelaksanaan Pasal 56 UU Sisdiknas dan dijelaskan dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 044/U/2002[26]. Prinsip yang dimaksud adalah transparan, akuntabel dan demokratis. Pasal 56 UU No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS menyebutkan[27]:
1.      Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.
2.      Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis.
3.      Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
4.      Ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Ada semacam konsenseus global, khususnya di kalangan negara berkembang, maka desentralisasi adalah cara terbaik untuk meningkatkan mutu pendidikan. Karena mutu pendidikan ditentukan oleh banyak faktor yang saling terkait, sehingga desentralisasi pendidikan melibatkan pendelegasian keputusan tentang beberapa faktor. Menurut Depdiknas fungsi-fungsi yang dapat didesentralisasikan ke sekolah adalah sebagai berikut :
a.    Perencanaan dan evaluasi program sekolah. Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya, misalnya kebutuhan untuk meningkatkan mutu sekolah.Sekolah juga diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi internal dan evaluasi diri.
b.    pengelolaan kurikulum. Sekolah diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal, namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional yang dikembangkan oleh pemerintah pusat.
c.    pengelolaan proses belajar.  Sekolah diberi kebebasan untuk memilih strategi, metode dan tehnik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah.
d.   pengelolaan ketenagaan. Pengelolaan ketenagaan mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, rekrutmen, pengembangan, penghargaan, sangsi, hubungan kerja hingga evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah dapat dilakukan oleh sekolah kecuali guru pegawai negeri yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi di atasnya.
e.    pengelolaan peralatan dan perlengkapan. Pengelolaan fasilitas seharusnya dilakukan oleh sekolah mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan hingga pengembangannya. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas baik kecukupan, kesesuaian dan kemutakhirannya terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar.
f.     pengelolaan keuangan. Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian atau penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah.Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan, sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah.
g.    pelayanan siswa. Pelayanan siswa mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan, pembinaan, pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja hingga pengurusan alumni telah didesentralisasikan.
h.    hubungan sekolah dan masyarakat. Esensi hubungan sekolah dan masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan dan dukungan dari masyarakat, terutama dukungan moral dan finansial yang sudah merupakan kewenangan sekolah, yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensinya.
i.      pengelolaan iklim sekolah. Iklim sekolah yang kondusif untuk melakukan kegiatan akademik merupakan prasayarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa adalah contoh iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa.Iklim sekolah sudah merupakan kewenangan sekolah dan yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensinya.
Pemerintah pusat masih mempertahankan bentuk-bentuk kewenangan di dunia pendidikan. Hal ini terlihat jelas pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi, khususnya pada pasal 2, butir 11, terdapat tujuh hal yang penetapannya masih digenggam oleh pemerintah pusat, yaitu (1) Menetapkan standar kompetensi siswa; (2) Menetapkan standar materi pelajaran pokok; (3) Menetapkan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik; (4) Menetapkan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan; (5) Menetapkan persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa; (6) Menetapkan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah, dan luar sekolah; dan, (7) Mengatur dan mengembangkan pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh, serta mengatur sekolah internasional.
Pemerintah provinsi memiliki kewenangan berupa (1) Menetapkan kebijakan penerimaan siswa dan mahasiswa dari masyarakat minoritas,terbelakang dan atau tidak mampu; (2) Menyediakan bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/modul pendidikan untuk TK, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan luar sekolah; (3) Mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi, selain pengaturan kurikulum, akreditasi, dan pengangkatan tenaga akademis; dan, (4) Pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi, penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan dan/ atau penataran guru.
2. Tata Kelola Lembaga Pendidikan Dalam Menghadapi Tantangan Persaingan Revolusi Industri 4-0.
Dalam rangka untuk menghasilkan generasi emas yang berkarakter, tentu harus mengetahui apa tuntutan dunia dan apa yang dibutukan oleh masyarakat. Pada abad modern ini perkembangan ilmu, teknologi dan komunikasi bergerak sangat cepat. Perkembangan ini menjadi kebutuhan bagi dunia untuk berkembang. Hal ini harus seiring dengan sikap masyarakat yang terbuka, beretika, dan toleran. Karena perkembangan ini berkaitan dengan kesehatan, budaya, lingkungan, ekonomi, dan lainnya. Dengan adanya sikap ini masyarakat dapat mengaplikasikan ilmu dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidup. Salah satu tuntutan dunia abad 21 adalah keahlian dalam teknologi dan layanan yang cepat sehingga dapat bertahan dlam persaingan industri[28].
Hal lain yang dapat menguntungkan dari mengikuti perkembangan adalah adanya kemajuan, peningkatan efektifitas, dan efesiensi kerja. Tetapi ada hal negatif dari mengikuti perkembangan jika tidak bisa dikontrol atau dipilah-pilah yaitu budaya asing yang masuk ke masyarakat sehingga dapat mengakibatkan ketidakharmonisan masyarakat, keenjangan mayarakat dan kecemburuan sosial, maka dari itu pendidikan berkarakter sangat dibutuhkan yang diajarkan oleh pendidik terhadap peseta didik. Solusi dari masalah yang muncul dalam proses pendidikan karakter adalah memiliki guru yang professional. Guru yang professional akan meningkatkan hal belajar siswa lebih baik daripada guru yang belum professional.
Guru professional memiliki tugas yang lebih banyak daripada guru biasa yaitu[29] (1) membuat pembelajaran yang bermutu, (2) pembelajaran yang bermanfaat untuk lulusan, dan (3) pembelajaran yang relevan dengan dunia kerja. Selain itu, Kompetensi yang harus dimilki oleh guru professional adalah (1) basis pengetahuan, (2) pedagogi, (3) personal atribut, dan (4) kepemimpinan. Disamping itu guru professional harus terintegrai dan mempunyai kemampuan kolaborasi, teknologi, komunikasi dan evaluasi. Dengan adanya kompetensi yang dimiliki oleh guru professional maka peserta didik dapat mengecam pendidikan berkarakter sehingga dapat menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.
Menristekdikti Muhamma Nasir menyatakan bahwa Kebijakan strategis perlu dirumuskan dalam berbagai aspek mulai dari kelembagaan, bidang studi, kurikulum, sumber daya, serta pengembangan cyber university, risbang hingga inovasi. Tentu yang dapat harapakan dalam rakernas ini dapat dihasilkan rekomendasi pengembangan iptek dikti dalam menghadapi revolusi industri 4.0. Selain itu, beliau menjelaskan ada lima elemen penting yang harus menjadi perhatian dan akan dilaksanakan oleh Kemenristekdikti untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa di era Revolusi Industri 4.0, yaitu[30]:
1.      Persiapan sistem pembelajaran yang lebih inovatif di perguruan tinggi seperti penyesuaian kurikulum pembelajaran, dan meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam hal data Information Technology (IT), Operational Technology (OT), Internet of Things (IoT), dan Big Data Analitic, mengintegrasikan objek fisik, digital dan manusia untuk menghasilkan lulusan perguruan tinggi yang kompetitif dan terampil terutama dalam aspek data literacy, technological literacy and human literacy.
2.      Rekonstruksi kebijakan kelembagaan pendidikan tinggi yang adaptif dan responsif terhadap revolusi industri 4.0 dalam mengembangkan transdisiplin ilmu dan program studi yang dibutuhkan. Selain itu, mulai diupayakannya program Cyber University, seperti sistem perkuliahan distance learning, sehingga mengurangi intensitas pertemuan dosen dan mahasiswa. Cyber University ini nantinya diharapkan menjadi solusi bagi anak bangsa di pelosok daerah untuk menjangkau pendidikan tinggi yang berkualitas.
3.      Persiapan sumber daya manusia khususnya dosen dan peneliti serta perekayasa yang responsive, adaptif dan handal untuk menghadapi revolusi industri 4.0. Selain itu, peremajaan sarana prasarana dan pembangunan infrastruktur pendidikan, riset, dan inovasi juga perlu dilakukan untuk menopang kualitas pendidikan, riset, dan inovasi.
4.      Terobosan dalam riset dan pengembangan yang mendukung Revolusi Industri 4.0 dan ekosistem riset dan pengembangan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas riset dan pengembangan di Perguruan Tinggi, Lembaga Litbang, LPNK, Industri, dan Masyarakat.
5.      Terobosan inovasi dan perkuatan sistem inovasi untuk meningkatkan produktivitas industri dan meningkatkan perusahaan pemula berbasis teknologi.
Selain itu, menurut Menteri Keuangan RI Ibu Sri Mulyani mengatakan bahwa kemajuan suatu negara untuk mengejar ketertinggalan sangat tergantung pada tiga faktor yang yakni Pendidikan, Kualitas Institusi dan Kesediaan Infrastruktur. Hal ini menjadi penting untuk membangun fondasi kemajuan bangsa Indonesia, karena masalah pendidikan harus terdesentralisasi secara total dalam menjawab tantangan revolusi industri 4.0. selain itu, Sri Mulyani juga mengatakan bahwa Anggaran Pendidikan tahun 2018 adalah 444,13 Triliun Rupiah, baik untuk alokasi pusat maupun alokasi daerah. Anggaran 20% dari total APBN tersebut merupakan suatu pemihakan yang nyata bagi pendidikan dan riset Indonesia. Anggaran tersebut dialokasikan bagi program-program prioritas pendidikan dan penelitian antara lain Program Indonesia Pintar, Bidik Misi, Bantuan Operasional Sekolah, Riset, dan program lainnya.
Perguruan Tinggi merupakan lembaga formal yang diharapkan dapat melahirkan tenaga kerja kompeten yang siap menghadapi industri kerja yang kian berkembang seiring dengan kemajuan teknologi. Keahlian kerja, kemampuan beradaptasi dan pola pikir yang dinamis menjadi tantangan bagi sumber daya manusia, di mana selayaknya dapat diperoleh saat mengenyam pendidikan formal di Perguruan Tinggi[31]. Kuantitas bukan lagi menjadi indikator utama bagi suatu perguruan tinggi dalam mencapai kesuksesan, melainkan kualitas lulusannya. Kesuksesan sebuah negara dalam menghadapi revolusi industri 4.0 erat kaitannya dengan inovasi yang diciptakan oleh sumber daya yang berkualitas, sehingga Perguruan Tinggi wajib dapat menjawab tantangan untuk menghadapi kemajuan teknologi dan persaingan dunia kerja di era globalisasi.
Dalam menciptakan sumber daya yang inovatif dan adaptif terhadap teknologi, diperlukan penyesuaian sarana dan prasarana pembelajaran dalam hal teknologi informasi, internet, analisis big data dan komputerisasi. Perguruan tinggi yang menyediakan infrastruktur pembelajaran tersebut diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang terampil dalam aspek literasi data, literasi teknologi dan literasi manusia. Terobosan inovasi akan berujung pada peningkatan produktivitas industri dan melahirkan perusahaan pemula berbasis teknologi, seperti yang banyak bermunculan di Indonesia saat ini.
Tantangan berikutnya adalah rekonstruksi kurikulum pendidikan tinggi yang responsif terhadap revolusi industri juga diperlukan, seperti desain ulang kurikulum dengan pendekatan human digital dan keahlian berbasis digital. Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi M. Nasir mengatakan, “Sistem perkuliahan berbasis teknologi informasi nantinya diharapkan menjadi solusi bagi anak bangsa di pelosok daerah untuk menjangkau pendidikan tinggi yang berkualitas.” Persiapan dalam menghasilkan lulusan yang mampu beradaptasi dengan Revolusi Industri 4.0 adalah salah satu cara yang dapat dilakukan Perguruan Tinggi untuk meningkatkan daya saing terhadap kompetitor dan daya tarik bagi calon mahasiswa. Berbagai tantangan sudah hadir di depan mata, sudah siap kah Perguruan Tinggi menyiapkan generasi penerus bangsa di era Revolusi Industri 4.0 dan persaingan global?
Saat ini kita berada di ambang pintu revolusi teknologi yang secara fundamental akan mengubah cara hidup kita, cara kita bekerja, dan cara kita bekerja satu sama lain dalam lingkup domestik maupun mondial. Ada satu hal yang paling menonjol dalam derap perubahan ini, yakni dunia harus merespons perubahan tersebut dengan cara yang terintegrasi dan komprehensif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, baik itu pelaku politik global, mulai dari sektor pemerintah sampai sektor swasta, akademik, perusahaan, dan tentu saja masyarakat luas. Ekonomi global saat ini pun sedang berada pada puncak perubahan besar yang sebanding dengan munculnya Revolusi Industri Pertama, Kedua, dan Ketiga. Sekarang kita segera masuk ke satu tahapan revolusi industri yang dinamakan Revolusi Industri 4.0.
Pada awalnya, istilah Revolusi Industri 4.0 berasal dari sebuah proyek strategis teknologi canggih Pemerintah Jerman yang mengutamakan komputerisasi pada semua pabrik di negeri itu. Revoluasi Industri 4.0 ini kemudian dibahas kembali pada 2011 di Hannover Fair, Jerman. Pada Oktober 2012, Working Group on Industry 4.0 memaparkan rekomendasi pelaksanaan Revolusi Industri 4.0 kepada Pemerintah Federal Jerman. Prof Bob Gordon dari Northwesten University, Illinois, USA, juga memberikan beberapa tanggapan mengenai Revolusi Industri 4.0 yang dirangkum oleh Prof Paul Krugman dari Princeton University, New Jersey, USA (penerima Nobel Price on Economic) pada 2008.
Pada perkembangan berikutnya, April 2013, Prof Krugman mencatat beberapa hal tentang perkembangan revolusi industri yang terjadi sejak abad ke-17, Revolusi Industri Pertama (1750-1830), ditandai dengan penemuan mesin uap dan kereta api. Penggunaan mesin uap pada waktu itu dimaksudkan untuk menggantikan tenaga manusia dan hewan dalam produksi. Revoluasi industri ini pada saat itu juga berguna untuk melaksanakan mekanisasi sistem produksi. Mekanisasi disini bermakna penggunaan tenaga mesin dan sarana-sarana teknik lainnya untuk menggunakan tenaga manusia dan hewan dalam proses produksi.
Revolusi Industri Kedua (1870-1900), ditandai dengan penemuan listrik, alat komunikasi, bahan-bahan kimia, dan minyak. Revolusi industri pada tahap ini dapat digunakan untuk melaksanakan konsep produksi massal. Revolusi Industri Ketiga (1960 hingga sekarang), ditandai dengan penemuan komputer, internet, dan telepon genggam. Revolusi industri ketiga ini dapat digunakan untuk otomatisasi proses produksi dalam kegiatan industri. Saat ini kita memasuki era baru, yaitu Revolusi Industri Keempat atau sering disebut dengan istilah populer Revolusi Industri 4.0. Revolusi industri gelombang keempat ini tetap bertopang pada Revolusi Industri Ketiga. Namun, Revoluasi Industri 4.0 mulai ditandai dengan bersatunya beberapa teknologi, sehingga dapat dilihat dan merasakan suatu era baru yang terdiri atas tiga bidang ilmu yang independen, yaitu fisika, digital, dan biologi. Dengan komposisi yang demikian, maka Revolusi Industri 4.0 mempunyai potensi memberdayakan individu dan masyarakat, karena revolusi industri fase ini dapat menciptakan peluang baru bagi ekonomi, sosial, maupun pengembangan diri pribadi. Tetapi Revolusi Industri 4.0 juga bisa menyebabkan pengerdilan dan marginalisasi (peminggiran) beberapa kelompok dan ini dapat memperburuk kepentingan sosial bahkan kohesi sosial, juga dapat menciptakan risiko keamanan dan dapat pula merusak interelasi (hubungan) antarmanusia[32].
Agar mudah memahaminya, Revolusi Industri 4.0 ini sebetulnya memiliki ciri tersendiri, yaitu transformasi yang berbeda dengan Revolusi Industri I, II, dan III. Pada pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) pada Januari 2016 di Davos, Swiss, Revolusi Industri Keempat menjadi fokus utama pembahasan dan perdebatan. Sekurang-kurangnya ada tiga hal yang membedakan Revolusi Industri 4.0 dengan revolusi industri sebelumnya. Tiga hal tersebutlah menjadi dasar mengapa transformasi yang terjadi saat ini bukan merupakan perpanjangan atau kelanjutan dari revolusi digital, melainkan menjadi revolusi transformasi baru (tersendiri), dengan alasan[33]: Pertama, inovasi dapat dikembangkan dan menyebar jauh lebih cepat dibandingkan sebelumnya. Dengan kecepatan ini terjadi terobosan baru pada era sekarang, pada skala eksponensial, bukan pada skala linear;
Kedua, penurunan biaya produksi yang marginal dan munculnya platform yang dapat menyatukan dan mengonsentrasikan beberapa bidang keilmuan yang terbukti meningkatkan output pekerjaan. Transformasi dapat menyebabkan perubahan pada seluruh system produksi, manajemen, dan tata kelola sebuah lembaga; Dan, ketiga, revolusi secara global ini akan berpengaruh besar dan terbentuk di hampir semua negara di dunia, di mana cakupan transformasi terjadi di setiap bidang industri dan dapat berdampak secara menyeluruh di banyak tempat. Seiring dengan itu, para ahli pun berpendapat bahwa Revolusi Industri 4.0 dapat menaikkan rata-rata pendapatan per kapita di dunia, memperbaiki kualitas hidup, dan bahkan memperpanjang usia manusia (meningkatnya usia harapan hidup).
Di sisi lain, penetrasi alat-alat elektronik, seperti telepon genggam (handphone) yang harganya semakin murah dan sudah sampai ke berbagai pelosok dunia, baik yang penduduknya mempunyai pendapatan tinggi maupun rendah. Pada masa ini teknologi begitu menyentuh ranah pribadi, pengatur kesehatan, pola diet, olahraga, mengelola investasi, mengatur keuangan melalui mobile banking, memesan taksi, memanggil Go-Jek, pesan makanan di restoran (go-food), beli tiket pesawat, mengatur perjalanan, main game, menonton film terbaru, dan sebagainya. Semua itu kini bisa dilakukan hanya melalui satu perangkat teknologi saja, karena datanya sudah disimpan di “langit”. Dengan realitas yang seperti itu, kita dapat membayangkan bahwa dalam bidang bisnis dan produksi, Revolusi Industri 4.0 akan meningkatkan efisiensi, terutama dalam bidang supply, logistik, dan komunikasi, di mana biaya keduanya akan terus menurun.
Hingga saat ini Pemerintah Indonesia sudah mulai mengarahkan untuk kompetensi peningkatan keahlian tenaga kerja melalui program pendidikan vokasi link and match. Artinya, pendidikan dirancang sedemikian rupa untuk meningkatkan relevansi sekolah kejuruan sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, dunia usaha, dan dunia industri. Bagi perusahaan yang bekerja sama dengan perguruan tinggi dalampendidikan vokasi, pemerintah sedang menyiapkan insentif berupa superdeductible tax (yang diakui oleh kantor pajak untuk mengurangi penghasilan bruto). Tentu wacana Revolusi Industri 4.0, merupakan Revolusi Industri Pertama, Kedua, dan Ketiga sehingga Revolusi Industri 4.0 ini pun diyakini bakal bermanfaat signifikan untuk menaikkan produktivitas. Memang terdapat beberapa keraguan terhadap masa depan Revolusi Industri 4.0. Namun, pada saat yang sama, hal tersebut akan dapat mengurangi permintaan terhadap tenaga kerja, termasuk orang-orang yang pintar sekalipun. Tapi, semua itu tidak terjadi seketika, pasti ada tahapan-tahapannya. Selama proses yang panjang itu terjadi, maka perdebatan tentang Revolusi Industri 4.0 akan terus berlangsung.
Kombinasi antara pertumbuhan ekonomi yang tidak bertambah dengan cepat dan menurunnya peran manufaktur, menyisakan pertanyaan tentang kehebatan Revolusi Industri 4.0. Belum lagi, misalnya, Revolusi Industri 4.0 ini masih menyisakan sisi gelapnya, yakni dampak negatifnya terhadap penciptaan lapangan kerja. Namun yang menarik adalah orang bisa renungkan apa yang disajikan pada majalah mingguan Amerika Serikat, The Economist pada 6 April 2018, sebab majalah tersebut ditulis laporan utamanya dengan judul “Prihatin”, karena era Revolusi Industri 4.0 menyebabkan hilangnya privasi seseorang akibat penyebaran data digital secara mudah, sebab tidak ada lagi tempat bagi data untuk disembunyikan. Satu hal yang sudah pasti bahwa Revolusi Industri 4.0 telah datang di tengah-tengah dunia dan tidak mungkin lagi menolak atau menghindarinya. Proses ini akan terus berjalan di tengah kemampuan atau bahkan ketidakmampuan dunia yang menepis dampak negatifnya. Akan tetapi masyarakat Indonesia tradisi-tradisi lama akan memiliki ketahanan budaya yang kuat, yakni akan mampu menepis, minimal memperkecil dampak negatif dari Revolusi Industri 4.0 ini.
Ciri ciri Era Revolusi industri 4.0 adalah pertama robot outomation yaitu artinya proses produksi tidak lagi mengandalkan massa (jumlah manusia) namun digantikan dengan sistem robot. Hal ini dikarenakan dengan sistem robot dapat lebih bekerja efektif dan efisien dibandingan jika diakukan oleh manusia. Ciri kedua adalah 3D printer yang memungkin mencetak tidak lagi hanya untuk object 2D namun sekarang rumah pun sudah dapat dicetak menggunakan mesin 3D printer. Ciri ketiga adalah internet of things (IOT) yaitu kecepatan yang dikendalikan oleh internet. Saat ini semua pekerjaan hampir semua terhubung dengna koneksi internet. Ciri keempat adalah big data. Pernahkah kita disodori oleh iklan mengenai barang-barang kesukaan kita? Bagaimana sistem itu tahu karena terdapat sebuah data yang mengkoleksi informasi kita.
Gejala-gejala transformasi industri 4.0 yang dapat muncul saat ini dapat dilihat seperti sektor retail sudah diganti[34] dengan e-commerce, transportasi sekarang muncul adaya transportasi online, pekerja pabrik sudah diganti dengan teknologi robot, surat sudah diganti dengan message service seperti whatsapp, surat elektronik atau email, rumah produksi sekarang diganti dengan muculnya pembuat konten elektronik di youtube. Tentu di bidang pendidikan sendiri sudah banyak melihat dimana sumber atau konten belajar bidang apapun sudah dapat dengan mudah diakses, gratis melalui koneksi internet kapanpun dan dimanapun. Dari data menunjukkan bahwa saat ini peralatan kita saat ini 30 persen dikendalikan oleh teknologi. Data menunjukkkan bahwa Jumlah penduduk kelompok umur 15-64 tahun (usia produktif) mencapai 183,36 juta jiwa atau sebesar 68,7% dari total populasi[35].
Menurut statistik lembaga riset pemasaran digital perkiraan e-marketer pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang Dari data tersebut terlihat bahwa pemanfaat teknologi sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat indonesia. Beberapa start up di indonesia bidang pendidikan saat ini sudah melihat peluang bidang bidang pendidikan ini contohnya : ruangguru.com, quiper.com dan di luar indonesia ada khan akademy, byjus dan masih banyak lagi. Ruang guru pada tahun 2017 mencatatkan bahwa pengguna sudah tercatat lebih dari 6 juta pengguna dan masih terus bertambah saat ini. Dari data statistik jumlah pelajar di indonesia sd, smp dan smp kurang lebih sebanyak 25 juta siswa.
Berarti pengguna dari ruangguru ini hampir disumbang oleh 25 persen dari total siswa di Indonesia. Beberapa tahun kedepan sistem pembelajaran ini akan menggantikan model bimbel bimbel konvensional. Mengapa startup startup bidang pendidikan ini kini menjadi favorite? Hal ini tentunya tidak lepas dari adanya kebutuhan siswa yang tidak terpenuhi di sekolah dan juga apa yang mereka tawarkan oleh penyedia layanan itu yaitu kemudahan akses (bisa diakses kapan saja dan dimana saja), flexibel (bisa menyesuaikan dengan materi), dan harga yang ditawarkan relatif lebih murah. Mereka menginginkan model pembelajaran yang lain yang berbeda dengan model pembelajarn konvensional yang masih terjadi saat ini. Kedepan model pembelajaran berbasis teknologi akan lebih banyak muncul dengan variasi model yang lebih baik.
Kuncinya adalah layanan terbaik. Jadi disini kita bisa melihat adanya pergeseran model pembelajaran yang diinginkan oleh pengguna (siswa). Disini berarti tantangan bagi para pengajar di era revolusi industri 4.0 untuk dapat merubah stategi dan model belajar yang sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman dan teknologi. Dari uraian di atas kita melihat bahwa teknologi bertranformasi demikian pula dengan dunia pendidikan. Perubahan ini mengakibatkan banyak perubahan dan pergeseran peran, termasuk dalam dunia pendidikan, khususnya bidang keguruan. Muncul pertanyaan apakah para pengajar sudah siap menghadapi tantangan ini?. “Jika guru atau pengajar hanya berperan dalam proses transfer ilmu pengetahuan, maka peran guru dan pengajar akan digantikan oleh teknologi “.
Lalu apakah peran guru, pengajar yang tidak dapat digantikan oleh teknologi? Jawabannya adalah Peran guru atau pengajar dalam memberikan pendidikan karakter, moral dan keteladanan tidak bisa digantikan dengan alat dan teknologi secanggih apapun. Berbicara tentang perkembangan teknologi itu seperti melihat dua belah mata pisau dimana satu sisi memberikan sisi positif dan sisi yang lain dapat juga memberikan dampak negatif. Oleh karena itu kita harus mampu menyikapi secara bijak perkembangan teknologi khususnya di era Revolusi 4.0 di bidang pendidikan ini. Segala perubahan ini harusnya dapat menjadi pendorong bagi dunia pendidikan untuk melahirkan kreativitas, sehingga dapat menciptakan proses pendidikan yang menghasilkan (calon) guru yang berkualitas, profesional dan berkarakter. Sistem pendidikan membutuhkan gerakan kebaruan untuk merespon era industri 4.0. Salah satu gerakan yang dicanangkan oleh pemerintah adalah gerakan literasi baru sebagai penguat bahkan menggeser gerakan literasi lama.
Gerakan literasi baru yang dimaksudkan terfokus pada tiga literasi utama yaitu 1) literasi digital, 2) literasi teknologi, dan 3) literasi manusia[36]. Tiga keterampilan ini diprediksi menjadi keterampilan yang sangat dibutuhkan di masa depan atau di era industri 4.0. Literasi digital diarahkan pada tujuan peningkatan kemampuan membaca, menganalisis, dan menggunakan informasi di dunia digital (Big Data), literasi teknologi bertujuan untuk memberikan pemahaman pada cara kerja mesin dan aplikasi teknologi, dan literasi manusia diarahkan pada peningkatan kemampuan berkomunikasi dan penguasaan ilmu desain. Literasi baru yang diberikan diharapkan menciptakan lulusan yang kompetitif dengan menyempurnakan gerakan literasi lama yang hanya fokus pada peningkatan kemampuan membaca, menulis, dan matematika.
Adaptasi gerakan literasi baru dapat diintegrasi dengan melakukan penyesuaian kurikulum dan sistem pembelajaran sebagai respon terhadap era industri 4.0[37]. Apakah pendidikan kita sudah siap? Kita akan coba bahas satu persatu peluang dan tantangan pendidikan kita di era revolusi industri 4.0 ini. Pertama perlu dibahas dari infrastruktur. Karena pemanfaatan teknologi tidak lepas dari pembangunan infrastruktur yang memadai. Berbicara tentang tantangan mengahadapi pendidikan di era revolusi industri 4.0 ini pasti banyak antara lain adalah Pemerataan pembangunan. Meskipun pemerintah telah berusaha untuk menekan kesenjangan pembangunan di indonesia namun tidak dapat dipungkiri bahwa kesenjangan pemerataan pembangunan di Indonesia masih terjadi. Salah satu ciri suatu daerah sudah tersentuh pembangunan biasanya ditandai bahwa daerah tersebut sudah dialiri oleh listrik. Menurut data, 42.352 Desa di Indonesia Belum Tersentuh Listrik dari total 82.190 desa diindonesia[38]. Hal ini tentu berimplikasi pada pemerataan pendidikan di indonesia. Listrik merupakan sebuah simbol dari kemajuan, sehingga bisa disebut daerah tersebut tertinggal karena belum dialiri oleh listrik. Dari data ini saja menunjukkan bahwa tidak semua daerah siap akan segala perubahan yang terjadi akibat revolusi industri 4.0 ini. Konektivitas jaringan internet merupakan salah satu syarat jika kita ingin mengimplementasikan pendidikan di era revolusi industri 4.0. Saat ini belum semua wilayah Indonesia dapat terhubung dengan koneksi internet, terutama sekolah sekolah. Namun berdasarkan target pemerintah bahwa pada tahun 2019, Seluruh Wilayah Indonesia Sudah Terhubung Internet[39].
Tentu kita semua menunggu saja target ini apakah terwujud atau masih akan tertunda lagi. Tantangan lain yang harus dihadapi ketika pemerintah memutuskan untuk beradaptasi dengan sistem Industri 4.0, adalah pemerintah juga harus memikirkan keberlangsungannya. Jangan sampai penerapan sistem industri digital ini hanya menjadi beban karena tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Banyak hal yang harus dipersiapkan seperti: peran para pengambil keputusan, tata kelola, manajemen risiko implementasi sistem, akses publik pada teknologi, dan faktor keamanan sistem yang diimplementasikan. Selain itu pemerintah juga harus mempersiapkan sistem pendataan yang berintegritas, menetapkan total harga/biaya kepemilikan sistem, mempersiapkan payung hukum dan mekanisme perlindungan terhadap data pribadi, menetapkan standar tingkat pelayanan, menyusun peta jalan strategis yang bersifat aplikatif dan antisipatif, serta memiliki design thinking untuk menjamin keberlangsungan industri. Selain mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, revolusi ini juga memiliki dampak negatif. Industri ini akan mengacaukan bisnis konvensional dan mengurangi permintaan terhadap tenaga kerja.
Untuk itu pemerintah harus mempersiapkan strategi antisipatif terhadap berbagai kemungkinan yang akan berdampak negatif terhadap perekonomian nasional. Tantangan lain dalam penerpan kurikulum di Indonesia. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa peningkatan kualitas SDM termasuk dalam 10 point program making indoensia 4.0 yang di canangkan oleh pemerintah. Salah satu programnya adalah menyelaraskan kurikulum pendidikan nasional dengan kebutuhan industri di masa mendatang. Mengapa perlu diselaraskan dengan kebutuhan industri? Dan apakah sudah sesuai dengan yang diharapkan? Untuk menjawab itu sebelumnya kita akan bahas dulu tentang salah satu penerapan kurikulum KKNI.
Upaya upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang kurikulum antara lain menerapkan perubahan kurikulum Kurikulum KKNI. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) adalah kerangka penjenjangan kualifikasi sumber daya manusia Indonesia yang menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan sektor pendidikan dengan sektor pelatihan dan pengalaman kerja dalam suatu skema pengakuan kemampuan kerja yang disesuaikan dengan struktur di berbagai sektor pekerjaan. KKNI merupakan perwujudan mutu dan jati diri bangsa Indonesia terkait dengan sistem pendidikan nasional, sistem pelatihan kerja nasional, dan sistem penilaian kesetaraan capaian pembelajaran (learning outcomes) nasional, yang dimiliki Indonesia untuk menghasilkan sumber daya manusia nasional yang bermutu dan produktif.
Respon terhadap perubahan kurikulum ini dapat dilihat dari banyaknya aturan yang memayungi penerapan kurikulum baru, misalnya UU No.14 Tahunn 2005 tentang Guru dan Dosen, UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Peraturan Presiden No.8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 49 tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, Perpres No. 08 tahun 2012 dan Pemendikbud No. 73 tahun 2013 tentang Capaian Pembelajaran Sesuai dengan Level KKNI, UU PT No. 12 tahun 2012 pasal 29 tentang Kompetensi lulusan ditetapkan dengan mengacu pada KKNI, Permenristek dan Dikti No. 44 tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, namun dasar perilaku pendidikan sebenarnya ada pada level dasar pada usia sekolah bukan berada pada tingkat akademik.
PENUTUP
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menjadi rohnya pengelolaan pendidikan secara desentralisasi. Lembaga-lembaga pendidikan baik secara formal, informal dan non formal terdesentralisasi namun hanya bagaimana menggerakan siswa untuk memperoleh nilai yang tinggi namun meniadakan minat, hobi dan kegemaran siswa. Sementara usia siswa yang berada pada tingkatan pendidikan menjadi tantangan tersendiri dalam revolusi industri 4.0, sehingga yang patut dikembangkan dalam sistem pendidikan dalam menghadapi era revolusi industri 4.0 yakni selain kecerdasan intelektual, emosional dan spritual harus sepadan dengan hobi, minat, bakat dan kegemaran sebab hal tersebut telah ada dalam diri setiap orang. Percepatan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem komunikasi seperti mudahnya akses internet menjadi salah satu ciri abad 21, dunia seakan-akan menjadi kecil dan berada dalam genggaman, apa yang terjadi diujung dunia sana, akan dengan mudah diketahui oleh orang yang berada di ujung dunia yang lain, dalam waktu yang bersamaan, berbagai teknologi canggih yang pada intinya untuk mempermudah segala macam urusan manusia ditemukan, dikembangkan, dibuat dan dipakai oleh banyak orang dengan biaya yang sangat terjangkau.
Perkembangan teknologi digital telah mendisrupsi berbagai aktivitas manusia, tidak hanya sebagai mesin penggerak ekonomi namun juga termasuk bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta pendidikan tinggi. Kebijakan strategis perlu dirumuskan dalam berbagai aspek mulai dari kelembagaan, bidang studi, kurikulum, sumber daya, serta pengembangan yang berinovasi.Pendidikan karakter penting untuk peserta didik dalam mengembangkan nilai agama, pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional. Maka kebijakan pendidikan yang dilakukan adalah : (a) Persiapan sistem pembelajaran yang lebih inovatif di perguruan tinggi. (b) Rekonstruksi kebijakan kelembagaan pendidikan tinggi yang adaptif dan responsif terhadap revolusi industri 4.0. (c) Persiapan sumber daya manusia khususnya dosen dan peneliti serta perekayasa yang responsif, adaptif dan handal untuk menghadapi revolusi industri 4.0. (d) Terobosan dalam riset dan pengembangan yang mendukung Revolusi Industri 4.0 (e) Terobosan inovasi dan perkuatan sistem inovasi untuk meningkatkan produktivitas industri dan meningkatkan perusahaan pemula berbasis teknologi
Pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia yaitu dengan diserahkannya otonomi yang lebih besar pada daerah-daerah yang kemudian dilanjutkan ke lembaga pendidikan atau sekolah, maka sekolah memiliki kewenangan otonomi yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih mampu mengembangkan program-program yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya.Dan dalam pelaksanaanya perlu adanya pengambilan keputusan yang bersifat partisipatif, demi tercapainya tujuan pendidikan nasional.


Referensi

Abuddin, Nata, 2018, Pendidikan Islam di Era Milenial, Jurnal Coniencia Raden Fatah, Pendidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, No. 2, Vol. 2   Agustus-Desember 2018

Ace Suryadi, 2003 Mewujudkan Sekolah-sekolah Yang Mandiri dan Otonom, Disampaikan pada Sosialisasi Pemberdayaan Dewan Pendidikan Dan Komite Sekolah Juni 2003

Arifi,    Ahmad.  2010. Politik  Pendidikan  Islam  Menelusuri  Ideologi  dan  Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi. Teras, Yogyakarta.

Asrin, 2018, Desentralisasi Pendidikan Pada Konteks Sekolah Menengah, El-HIKAM, Vol. 1, No. 1, Maret 2008

Azra, Azyumardi, 2012. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, Kencana Prenada Media Group. Ahmad, Intan, Jakarta.

Biro Kerjasama dan Komunikasi Publik Kementerian Riset, Teknologi, dan Dikti, Read moreat https://www.ristekdikti.go.id/siaran-pers/pengembangan-iptek-dan-pendidikan-tinggi-di-era-revolusi-industri-4-0/#wsi7C4I09q1ZvcPZ.99, diunduh tanggal 21 Maret 2019.

Danim, Sudarwan, 2006, Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Eko Risdianto, M.Cs, 2018, Analisis Pendidikan Indonesia Di Era Revolusi Industri 4.0, diunduh dari https://www.academia.edu/38353914/Analisis_Pendidikan_Indonesia_di_Era_Revolusi_Industri_4.0.pdf,  tanggal 20 Maret 2019

Fadjar, A, Malik, 2015, Holistika Pemikiran Pendidikan, Jakarta; Raja Grafindo Persada.

Ganto, Adnan, 2018, Peluang dan Tantangan Era Revolusi Industri 4.0, http://aceh.tribunnews.com/2018/11/27/peluang-dan-tantangan-era-revolusi-industri-40?page=all. Diunggah Tanggal 21 Maret 2019

Halim, Abdul, 2010, Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, UPP Amp YPKN, Yogyakarta

Hadiyanto, 2004, Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta.

Hasbullah, 2010, Otonomi Pendidikan, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Komite Reformasi Pendidikan, 2001, Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Nasional, Balitbang Depdiknas, Jakarta.

Musa, Ibrahim, 2001, Otonomi Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jurnal Pendidikan Volume 2 No. 2 September 2001.

Mulyasa, E., 2005, Manajemen Berbasis Sekolah, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.

Misbah, M., 2009, Peran dan Fungsi Komite Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan, Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan, Insania, Vol. 14, No. 1, Jan-Apr 2009.

Safruddm, Cepi & Abd Jabar, 2006, Meneropong Desentralisasi Pengelolaan Pendidikan dengan Kacamata Politik Pendidikan, Jurnal  Martajemen Pendidikan No. 01, Vol. IV, April 2006

Machali, Ara H. I., 2010, Pengelolaan Pendidikan Konsep,Prinsip dan Aplikasi dalam Mengelola Sekolah dan Madrasah, Pustaka Educa, Bandung.

Maulana Ichsan, Tata Kelola Pemerintahan di Era Revolusi Industri 4.0, diakses dari https://kumparan.com/maulana-ihsan1522156960298/tata-kelola-pemerintahan-di-era-revolusi-industri-4-0 diunduh Tanggal 21 Maret 2019.

Masganti Sit, Peran Majelis Madrasah dalam Peningkatan Mutu Madrasah, Jurnal Analytica Islamica, Vol. 6, No. 1, 2004, bisa diakses di http://www.analytica-pps.com/file/61PDF/61masganti.pdf

Maemunah, HJ., 2018, Kebijakan Pendidikan Pada Era Revolusi Industri 4.0, Prosiding Seminar Nasional, Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala Sabtu, 29 September 2018

Paqueo, V. & J. Lammert, 2000, Decentarlization in Education, New York:  Education Reform dan Management Thematic Goup.

Rianti Nugroho, 2008, Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi dan Strategi, Pustaka Pelajar, Yogjakarta.

Rusniati, Pendidikan Nasional Dan Tantangan Globalisasi: Kajian kritis terhadap pemikiran A. Malik Fajar, Jurnal Ilmiah Didaktika, Vol. 16, No. 1, Agustus 2015

Sirozi, 2005, Politik Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

Sufyarman, M., 2003, Kapita selekta Manajemen Pendidikan, Alfabeta, Bandung.

Sigit Priatmoko, 2018, Memperkuat Eksistensi Pendidikan islam Di Era 4.0, Jurnal Studi Pendidikan Islam, Vol.1 No.2 Juli 2018.

Suwardana,  Hendra.  2017. Revolusi  Industri  4.  0  Berbasis  Revolusi  Mental. JATI UNIK. Vol.1, No.2 April 2017.

Tim Pengembangan Komite Sekolah Ditjen Dikdasmen Depdiknas, Indikator Kinerja Komite Sekolah, dalam http://dpjp.wordpress.com/2007/04/28/indikator-kinerja-komite-sekolah/. Diakses Tanggal 20 Maret 2019

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Zirmansyah, 2017, Menjawab Tantangan Pendidikan di Era Millenial, diunggah dari https://uai.ac.id/2019/02/15/menjawab-tantangan-pendidikan-di-era-millenial/ diakses Tanggal 20 Maret 2019.




[1] Rusniati, Pendidikan Nasional Dan Tantangan Globalisasi: Kajian kritis terhadap pemikiran A. Malik Fajar, Jurnal Ilmiah Didaktika, VOL. 16, NO. 1, Agustus 2015, hlm. 105
[2] Sudarwan Danim, Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hal. 4
[3] A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2005, h.vi.
[4] Rusniati, Op. Cit, hlm. 107.
[5] Abuddin Nata, Pendidikan Islam di era milenial, Jurnal Coniencia Raden Fatah, Pendidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, No. 2, Vol. 2   Agustus-Desember 2018, hlm. 4
[6] M. Misbah, Peran dan Fungsi Komite Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan, Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan, Insania, Vol. 14, No. 1, Jan-Apr 2009, 68-91
[7] Tim Pengembangan Komite Sekolah Ditjen Dikdasmen Depdiknas, Indikator Kinerja Komite Sekolah, dalam http://dpjp.wordpress.com/2007/04/28/indikator-kinerja-komite-sekolah/. Diakses Tanggal 20 Maret 2019
[8] Zirmansyah, 2017, Menjawab Tantangan Pendidikan di Era Millenial, diunggah dari https://uai.ac.id/2019/02/15/menjawab-tantangan-pendidikan-di-era-millenial/ diakses Tanggal 20 Maret 2019.
[9] Ibid,
[10] Hadiyanto,  Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 2004), hlm. 63
[11] Asrin, 2018, Desentralisasi Pendidikan Pada Konteks Sekolah Menengah, El-HIKAM, Vol. 1, No. 1, Maret 2008
[12] Ace Suryadi, Mewujudkan Sekolah-sekolah Yang Mandiri dan Otonom, Disampaikan pada Sosialisasi Pemberdayaan Dewan Pendidikan Dan Komite Sekolah Juni 2003
[13] Cepi Safruddm Abd.Jabar, Meneropong Desentralisasi Pengelolaan Pendidikan dengan Kacamata Politik Pendidikan, Jurnal  Martajemen Pendidikan No. 01/Th. IVApril 2006
[14] V. Paqueo dan J. Lammert, Decentarlization in Education, Education Reform dan Management Thematic Goup, 2000, New York, hlm. 23
[15] Komite Reformasi Pendidikan, Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Nasional, Balitbang Depdiknas, Jakarta, 2001, hlm. 154
[16] Ibid
[17] Ara Hidayatdan Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan Konsep,Prinsip dan Aplikasi dalam Mengelola Sekolah dan Madrasah, Pustaka Educa, Bandung, 2010, hlm.55.
[18] Ibid,
[19]  Sirozi, Politik Pendidikan, PTRaja Grafindo Persada, Jakarta,2005,  hlm. 83.
[20] bdul Halim, Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, UPP AMP YPKN, Yogyakarta, 2010), hlm. 15.
[21] M. Sufyarman, Kapita Selekta Manajemen Pendidikan , (Bandung: Alfabeta, 2003), hlm. 83.
[22] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005, hlm 22
[23] Hasbullah, Otonomi Pendidikan, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 12-14.
[24] Imma khasanah, http://immakhasanah.blogspot.com/2013/03/makalah-desentralisasi-pendidikan.html, di unduh pada tanggal 20 Maret 2019.
[25]  I. Musa, Otonomi Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jurnal Pendidikan Volume 2 No. 2 September 2001.
[26] Masganti Sit, Peran Majelis Madrasah dalam Peningkatan Mutu Madrasah, Jurnal Analytica Islamica, Vol. 6, No. 1, 2004, hal. 90-91, bisa diakses di http://www.analytica-pps.com/file/61PDF/61masganti.pdf
[27] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
[28] Rianti Nugroho, 2008, Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi,dan Strategi, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, hlm.98
[29] Azra, Azyumardi, 2012. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, Cet. I, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Ahmad, Intan., hlm. 87.
[30] Biro Kerjasama dan Komunikasi Publik Kementerian Riset, Teknologi, dan Dikti, Read moreat https://www.ristekdikti.go.id/siaran-pers/pengembangan-iptek-dan-pendidikan-tinggi-di-era-revolusi-industri-4-0/#wsi7C4I09q1ZvcPZ.99, diunduh tanggal 21 Maret 2019.
[31] HJ.Maemunah, Kebijakan Pendidikan Pada Era Revolusi Industri 4.0, Prosiding Seminar Nasional P-ISSN 2623-0291 & E-ISSN 2623-2774 Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala Sabtu, 29 September 2018
[32] Adnan Ganto,  Peluang dan Tantangan Era Revolusi Industri 4.0, http://aceh.tribunnews.com/2018/11/27/peluang-dan-tantangan-era-revolusi-industri-40?page=all. Diunggah Tanggal 21 Maret 2019
[33] Ibid
[34] Maulana Ichsan, Tata Kelola Pemerintahan di Era Revolusi Industri 4.0, diakses dari https://kumparan.com/maulana-ihsan1522156960298/tata-kelola-pemerintahan-di-era-revolusi-industri-4-0 diunduh Tanggal 21 Maret 2019.
[35] Sigit Priatmoko, Memperkuat Eksistensi Pendidikan islam Di Era 4.0, Jurnal Studi Pendidikan Islam, Vol.1 No.2 Juli 2018, hlm, 1-15.
[36] Eko Risdianto, M.Cs, 2018, Analisis Pendidikan Indonesia Di Era Revolusi Industri 4.0, diunduh dari https://www.academia.edu/38353914/Analisis_Pendidikan_Indonesia_di_Era_Revolusi_Industri_4.0.pdf, tanggal 20 Maret 2019.
[37] Ibid
[38] Arifi,    Ahmad.  2010. Politik  Pendidikan  Islam  Menelusuri  Ideologi  dan  Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi. Yogyakarta: Teras. hlm.97.
[39] Suwardana,  Hendra.  2017. Revolusi  Industri  4.  0  Berbasis  Revolusi  Mental. JATI UNIK. Vol.1, No.2,  hh. 102-110

Tidak ada komentar: