DESENTRALISASI
PENGELOLAAN PENDIDIKAN DALAM MENGHADAPI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0
(Kajian dalam Perspektif
Hukum Administrasi)
Norani Asnawi & Mel Benu
Dosen FH Universitas Nusa Cendana
Abstrak
Tulisan ini penulis ingin menguraikan
aspek hukum adminitrasi negara dalam desentralisasi pengelolaan pendidikan
dalam menghadapi era revolusi industri 4.0 yang sedang menjadi tren dunia.
Kebijakan negara dalam bidang pendidikan
bertujuan selain mencerdasakan
kehidupan bangsa dan negara namun guna menjawab tantangan di globalisasi. Aspek
hukum adminitrasi tentu berkaitan langsung dengan sistem pendidikan nasional
yang selama ini belum direformasi secara total dalam menjawab tantangan global.
Metode penulisan ini menggunakan pendekatan hukum normatif untuk mengkaji
asas-asas dan norma hukum positif terhadap desentralisasi pengelolaan
pendidikan dalam menghadapi era revolusi industri 4.0 dan juga mengkaji dampak
hukum yang diakhibatkan dalam tata kelola pendidikan secara desentralisasi
untuk menjawab tantangan revolusi industri 4.0
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional menjadi rohnya pengelolaan pendidikan secara
desentralisasi. Lembaga-lembaga pendidikan baik secara formal, informal dan non
formal terdesentralisasi namun hanya bagaimana menggerakan siswa untuk
memperoleh nilai yang tinggi namun meniadakan minat, hobi dan kegemaran siswa.
Sementara usia siswa yang berada pada tingkatan pendidikan menjadi tantangan
tersendiri dalam revolusi industri 4.0, sehingga yang patut dikembangkan dalam
sistem pendidikan dalam menghadapi era revolusi industri 4.0 yakni selain
kecerdasan intelektual, emosional dan spritual harus sepadan dengan hobi,
minat, bakat dan kegemaran sebab hal tersebut telah ada dalam diri setiap
orang. Percepatan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem komunikasi
seperti mudahnya akses internet menjadi salah satu ciri abad 21, dunia
seakan-akan menjadi kecil dan berada dalam genggaman, apa yang terjadi diujung
dunia sana, akan dengan mudah diketahui oleh orang yang berada di ujung dunia
yang lain, dalam waktu yang bersamaan, berbagai teknologi canggih yang pada
intinya untuk mempermudah segala macam urusan manusia ditemukan, dikembangkan,
dibuat dan dipakai oleh banyak orang dengan biaya yang sangat terjangkau.
Perkembangan teknologi digital telah
mendisrupsi berbagai aktivitas manusia, tidak hanya sebagai mesin penggerak
ekonomi namun juga termasuk bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta
pendidikan tinggi. Kebijakan strategis perlu dirumuskan dalam berbagai aspek
mulai dari kelembagaan, bidang studi, kurikulum, sumber daya, serta
pengembangan yang berinovasi.Pendidikan karakter penting untuk peserta didik
dalam mengembangkan nilai agama, pancasila, budaya dan tujuan pendidikan
nasional. Maka kebijakan pendidikan yang dilakukan adalah : (a) Persiapan
sistem pembelajaran yang lebih inovatif di perguruan tinggi. (b) Rekonstruksi
kebijakan kelembagaan pendidikan tinggi yang adaptif dan responsif terhadap
revolusi industri 4.0. (c) Persiapan sumber daya manusia khususnya dosen dan
peneliti serta perekayasa yang responsif, adaptif dan handal untuk menghadapi
revolusi industri 4.0. (d) Terobosan dalam riset dan pengembangan yang
mendukung Revolusi Industri 4.0 (e) Terobosan inovasi dan perkuatan sistem
inovasi untuk meningkatkan produktivitas industri dan meningkatkan perusahaan
pemula berbasis teknologi
Kata Kunci :
Desentralisasi, Pengelolaan Pendidikan, Revolusi Industri 4.0
Diskusi mengenai
fenomena kemanusiaan dan pemanusiaan tidak dapat dihindarkan dari pelaksanaan
pendidikan, baik dalam makna pendidikan formal, pendidikan non-formal, maupun
pendidikan informal. Definisi paling umum tentang pendidikan adalah proses
pemanusiaan menuju lahirnya insan bernilai secara kemanusiaan.[1]
Dari sudut pandang sosiologi, pendidikan selain berperan menyiapkan manusia
untuk memasuki masa depan, juga memiliki hubungan dengan transformasi sosial,
begitu juga sebaliknya.
Berbagai pola sistem pendidikan
menggambarkan corak, tradisi, budaya sosial masyarakat yang ada. Maka yang
penting diperhatikan adalah bahwa suatu sistem pendidikan dibangun guna
melaksanakan “amanah masyarakat” yaitu untuk menyalurkan anggota-anggotanya ke
posisi tertentu.[2]
Namun saat ini arus globalisasi yang telah merambah ke seluruh aspek kehidupan
adalah hal tak terhindarkan. Bahkan bersama globalisasi, kosmopolitanisme,
dianut sebagai semacam “ideologi” dan multikulturalisme semakin menjadi visi
hidup berperadaban. Kenyataan ini mengharuskan adanya strategi-strategi
kependidikan melalui pranata-pranata yang dikandungnya mampu mengakomodasi
perubahan-perubahan peradaban global. Arah perubahan ini mengacu kepada hal-hal
yang bersifat imperatif maupun empirik[3].
Pranata pendidikan
nasional harus melibatkan diri dalam pergumulan sosial, budaya, politik dan
ekonomi secara umum. Hal ini penting, sebab dunia pendidikan tidak mandul dan
gamang dalam mengantisipasi era globalisasi yang mendera seluruh aspek
kehidupan manusia dewasa ini. Fakta menunjukan bahwa sistem pengelolaan
pendidikan di Indonesia masih banyak menggunakan cara-cara konvensional dan
lebih menekankan pengembangan kecerdasan dalam arti yang sempit dan kurang
memberi perhatian kepada pengembangan bakat kreatif peserta didik[4].
Padahal kreativitas di samping bermanfaat untuk pengembangan diri anak didik
juga merupakan kebutuhan akan perwujudan diri sebagai salah satu kebutuhan
paling tinggi bagi manusia.
Banyak usaha telah
dilakukan oleh para pemikir, praktisi dan pelaku pendidikan untuk
mengkonstruksinya sebagai amunisi memasuki masa depan. Berbagai gagasan dan
kebijakan dalam kemajuan pendidikan sebagai pengembangan kecerdasan
intelektualitas, emosional dan spiritualitas di bidang pendidikan harus
mencerna dalam kehidupan sosial terutama pada pranata lembaga-lembaga
pendidikan yang ada.
Selanjutnya terkait
dengan permasalahan dan tantangan yang terjadi di era revolusi industri 4.0
antara lain terkait dengan adanya sikap dan perilaku manusia yang ciri-cirinya
antara lain: (1) suka dengan kebebasan; (2) senang melakukan personalisasi; (3)
mengandalkan kecepatan informasi yang instant (siap saji); (4) suka belajar;
(5) bekerja dengan lingkungan inovatif, (6) aktif berkolaborasi, dan (7) hyper
technology; (8) critivcal, yakni terbiasa berfikir out of the box, kaya ide dan gagasan; (9) confidence, yakni mereka sangat percaya diri dan berani
mengungkapkan pendapat tanpa ragu-ragu; (10) connected, yakni merupakan generasi yang pandai bersosialisasi,
terutama dalam komunitas yang mereka ikuti; (11) berselancar di sosial media
dan internet; (12) sebagai akibat dari ketergantungan yang tinggi terhadap
internet dan media sosial, mereka menjadi pribadi yang malas, tidak mendalam,
tidak membumi, atau tidak bersosialisasi; (13) cenderung lemah dalam
nilai-nilai kebersamaan, kegotong-royongan, kehangatan lingkungan dan
kepedulian sosial; (14) cenderung bebas, kebarat-baratan dan tidak memperhatikan
etik dan aturan formal, adat istiadat, serta tata krama[5].
Dari empat belas sikap yang ditimbulkan di era millennialitu, nampaknya hanya
butir 12, 13 dan 14 yang menyangkut dengan etos kerja, etika dan moral, yakni
malas, tidak mendalam, tidak membumi, kurang peduli pada lingkungan, cenderung
bebas, kebarat-baratan, dan melanggar etika.
Problem yang paling
mendasar dalam sistem pendidikan nasional sampai saat ini adalah efisiensi
dalam manajemen pendidikan. Oleh karena itu, berbagai ukuran efisiensi dan optimasi
dalam manajemen pendidikan perlu dipantau dan dievaluasi secara terus-menerus
serta dalam waktu yang teratur. Mengingat lembaga pendidikan berkaitan secara
langsung dengan manajemen pendidikan, baik pada satuan pendidikan maupun pada
daerah-daerah otonom, maka ukuran-ukuran efisiensi dan efektivitas pendidikan
perlu dijadikan indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja badan-badan
tersebut[6].
Beberapa indikator
manajemen pendidikan yang dapat dipantau secara terus-menerus adalah: (a).
Besarnya (kenaikan) anggaran pendidikan (sekolah dan daerah otonom) yang
diperoleh dari sumber-sumber pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan
masyarakat termasuk sumber lain seperti dunia usaha. (b). Kemampuan pengadaan
sarana-prasarana pendidikan di sekolah yang diperoleh dari masyarakat. (c).
Kemampuan pengadaan sumber daya manusia (guru dan tenaga kependidikan) yang
diperoleh dari sumber masyarakat. (d). Perubahan dalam tingkat efisiensi
pendayagunaan tenaga guru di sekolah yang diukur dengan tingkat “turn-over”. (e).
Penurunan persentase mengulang kelas rata-rata pada suatu satuan pendidikan
tertentu. (f). Penurunan persentase putus sekolah rata-rata pada suatu satuan
pendidikan. (g). Peningkatan angka melanjutkan sekolah (transition rate) dari
suatu sekolah ke sekolah pada jenjang pendidikan berikutnya[7].
Semakin berkembangnya
teknologi dan zaman, tak dipungkiri menyebabkan berubahnya pola Pendidikan yang
dialami oleh anak-anak masa kini. Perubahan kurikulum dan metode Pendidikan
yang kian beragam diterapkan di berbagai sekolah menyebabkan adanya fenomena baru
dalam proses Pendidikan anak di rumah maupun di sekolah. Maraknya kekerasan,
bullying maupun mental psychology anak-anak di lingkungannya menjadikan hal ini
menarik untuk di diskusikan.
Seto Mulyadi[8],
beliau menyatakan bahwa dalam menghadapi era digitalisasi maka Indonesia tak
bisa lepas penerapan pendidikan yang efektif bagi anak. Beliau menambahkan
bahwa penerapan status anak harus cerdas dalam kelas bukanlah sesuatu yang
dapat menjamin tumbuh kembang anak yang baik sebab erdas itu spektrumnya luas, bukan
hanya matematika, IPA ataupun Kimia. Sedangkan banyak ditemui masa kini, para
orangtua seringkali salah kaprah dalam mendefinisikan cerdas yang sesungguhnya.
Bahwa mendidik anak tidak harus terpaku pada kurikulum pelajaran sekolah yang
kerap mengesampingkan hak anak dalam belajar. Karena semua anak pada dasarnya
sangatlah cerdas pada bidang yang berbeda. Jika kecerdasannya setiap anak dapat
dihargai, maka sang anak tentunya dapat berkembang dengan baik pula.
Kurikulum di Indonesia
terlalu padat, dimana kurikulum Pendidikan kurang berpihak pada hak anak untuk
belajar” imbuh beliau saat menjelaskan kondisi lingkungan belajar anak di era
millennial. Menurut beliau terlalu banyak waktu yang dihabiskan dalam mengejar
nilai, sehingga tidak ada waktu yang tersisa untuk mendalami hobi, maupun
hal-hal yang mereka sukai. Karena pada dasarnya semua anak suka belajar, maka
belajar yang efektif adalah belajar dengan suasana hati yang gembira. Sementara
menurut Zirmansyah[9],
bahwa perkembangan generasi millennial tidak melulu buruk, banyak kemajuan dan
hal positif dilihat bagaimana meningkatnya rasa percaya diri dari masing-masing
anak.
1.
Desentralisasi
Pengelolaan Pendidikan di Indonesia
Desentralisasi pendidikan merupakan salah satu
model pengelolaan pendidikan yang menjadikan sekolah sebagai proses pengambilan
keputusan dan merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan
serta sumber daya manusia termasuk profesionalitas guru yang belakangan ini
dirisaukan oleh berbagai pihak baik secara regional maupun secara internasional[10].
Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan
sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan
dalam mutu dan keunggulan pendidikan di tanah air. Hal ini beralasan, karena
sistem birokrasi selalu menempatkan “kekuasaan” sebagai faktor yang paling
menentukan dalam proses pengambilan keputusan. Sekolah-sekolah saat ini telah
terkungkung oleh kekuasaan birokrasi sejak kekuasaan tingkat pusat hingga
daerah bahkan terkesan semakin buruk dalam era reformasi saat ini. Ironisnya,
kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak yang paling memahami realitas
pendidikan berada pada tempat yang dikendalikan. Merekalah seharusnya yang
paling berperan sebagai pengambil keputusan dalam mengatasi berbagai persoalan
sehari-hari yang menghadang upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun, mereka
ada dalam posisi tidak berdaya dan tertekan oleh berbagai pembakuan dalam bentuk
juklak dan juknis yang pasti tidak sesuai dengan kenyataan obyektif di
masing-masing sekolah[11].
Disamping itu pula, kekuasaan birokrasi juga yang menjadi
faktor sebab dari menurunnya semangat partisipasi masyarakat terhadap
penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dulu, sekolah sepenuhnya dimiliki oleh
masyarakat, dan merekalah yang membangun dan memelihara sekolah, mengadakan
sarana pendidikan, serta iuran untuk mengadakan biaya operasional sekolah. Jika
sekolah telah mereka bangun, masyarakat hanya meminta guru-guru kepada
pemerintah untuk diangkat pada sekolah mereka itu. Pada waktu itu, kita
sebenarnya telah mencapai pembangunan pendidikan yang berkelanjutan (sustainable development), karena sekolah adalah sepenuhnya milik masyarakat
yang senantiasa bertanggungjawab dalam pemeliharan serta operasional pendidikan
sehari-hari. Pada waktu itu, Pemerintah berfungsi sebagai penyeimbang, melalui
pemberian subsidi bantuan bagi sekolah-sekolah pada masyarakat yang benar-benar
kurang mampu.[12]
Berdasarkan pengalaman empiris tersebut, maka kemandirian
setiap satuan pendidikan sudah menjadi satu keharusan dan merupakan salah satu
sasaran dari kebijakan desentralisasi pendidikan saat ini. Sekolah-sekolah
sudah seharusnya menjadi lembaga yang otonom dengan sendirinya, meskipun
pergeseran menuju sekolah-sekolah yang otonom adalah jalan panjang sehingga
memerlukan berbagai kajian serta perencanaan yang hati-hati dan mendalam. Jalan
panjang ini tidak selalu mulus, tetapi akan menempuh jalan terjal yang penuh
dengan onak dan duri. Orang bisa saja mengatakan bahwa paradigma baru untuk
mewujudkan pengelolaan pendidikan yang demokratis dan partisipatif, tidak dapat
dilaksanakan di dalam suatu lingkungan birokrasi yang tidak demokratis. Namun,
pengembangan demokratisasi pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya menjadi
demokratis dulu, tetapi harus dilakukan secara simultan dengan konsep yang
jelas dan transparans[13].
Selanjutnya desentralisasi pendidikan memberikan kesempatan
kepada pemerintah daerah maupun sekolah untuk mengambil keputusan terbaik
tentang penyelenggaraan pendidikan di daerah atau sekolah yang bersangkutan
berdasarkan potensi daerah dan stakeholders sekolah. Olah karenanya,
desentralisasi pendidikan disamping diakui sebagai kebijakan politis yang berkaitan
dengan pendidikan, juga merupakan kebijakan yang berkait dengan banyak hal.
Paqueo dan Lammaert menunjukkan alasan-alasan desentralisasi penyelenggaraan
pendidikan yang sangat cocok untuk kondisi Indonesia, yaitu; (1) kemampuan
daerah dalam membiayai pendidikan, (2) peningkatan efektivitas dan efesiensi
penyelenggaraan pendidikan dari masing-masing daerah, (3) redistribusi kekuatan
politik, (4) peningkatan kualitas pendidikan, (5) peningkatan inovasi dalam
rangka pemuasan harapan seluruh warga negara.[14]
Sesuai dengan tuntutan reformasi dan demokratisasi di bidang
pendidikan, pengelolaan pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
keinginan dan tujuan bangsa Indonesia dalam penyelenggaran pendidikan itu
sendiri. Sebagai contoh dalam pendidikan dasar, propenas menyebutkan kegiatan
pokok dalam upaya memperbaiki manajemen pendidikan dasar di Indonesia adalah:
1. Melaksanakan
desentralisasi bidang pendidikan secara bertahap, bijaksana dan profesional,
termasuk peningkatan peranan stakeholders sekolah;
2. Mengembangkan
pola penyelenggaraan pendidikan secara desentralisasi untuk meningkatkan
efesiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan memperhatikan kondisi dan
kebutuhan masyarakat setempat;
3. Meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, seperti diversifikasi
penggunaan sumber daya dan dana;
4. Mengembangkan
sistem insentif yang mendorong terjadinya kompetensi yang sehat baik antara
lembaga dan personil sekolah untuk pencapaian tujuan pendidikan
5. Memberdayakan
personil dan lembaga, antara lain melalui pelatihan yang dilaksanakan oleh
lembaga profesional.
6. Meninjau
kembali semua produk hukum di bidang pendidikan yang tidak sesuai lagi dengan
arah dan tuntutan pembangunan pendidikan; dan
7. Merintis
pembentukan badan akreditasi dan sertifikasi mengajar di daerah untuk
meningkatkan kualitas tenaga kependidikan secara independen.[15]
Atas dasar amanat seperti yang dirumuskan dalam propenas di
atas, maka sangat jelas bahwa tekad bangsa Indonesia untuk mewujudkan sistem
pendidikan secara desentralistik terkesan sangat kuat. Dengan sistem ini
pendidikan dapat dilaksanakan lebih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
masyarakat, di mana proses pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh
pihak-pihak yang paling dekat dengan proses pembelajaran (kepala sekolah, guru,
dan orang tua peserta didik). Adanya otonomisasi daerah yang sekaligus disertai
dengan otonomi penyelenggaraan pendidikan atau desentralisasi pendidikan,
hendaknya dapat mencapai sasaran utama progam restrukturisasi sistem dan
manajemen pendidikan di Indonesia. Restrukturisasi dimaksud antara lain
mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Struktur
organisasi pendidikan hendaknya terbuka dan dinamis, mencerminkan
desentralisasi dan pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.
2. Sarana
pendidikan dan fasilitas pembelajaran dibakukan berdasarkan prinsip edukatif
sehingga lembaga pendidikan merupakan tempat yang menyenangkan untuk belajar,
berprestasi, berkreasi, berkomunikasi, berolah raga serta menjalankan syariat
agama.
3. Tenaga
kependidikan, terutama tenaga pengajar harus benar-benar profesional dan diikat
oleh sistem kontrak kinerja.
4. Struktur
kurikulum pendidikan hendaknya mengacu pada penerapan sistem pembelajaran
tuntas, tidak terikat pada penyelesaian target kurikulum secara seragam per
catur wulan dan tahun pelajaran
5. Proses
pembelajaran tuntas diterapkan dengan berbagai modus pendekatan pembelajaran,
peserta didik aktif sesuai dengan tingkat kesulitan konsep-konsep dasar yang
dipelajari.
6. Sistem
penilaian hasil belajar secara berkelanjutan perlu diterapkan di setiap lembaga
pendidikan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan pembelajaran tuntas.
7. Dilakukan
supervisi dan akreditasi. Supervisi dan pembinaan administrasi akdemik
dilakukan oleh unsur manajemen tingkat pusat dan provinsi yang bertujuan untuk
mengendalikan mutu (quality control).
Sedangkan akreditasi dilakukan untuk menjamin mutu (quality assurance) pelayanan kelembagaan.
8. Pendidikan
berbasis masyarakat seperti pondok pesantren, kursus-kursus keterampilan,
pemagangan di tempat kerja dalam rangka pendidikan sistem ganda harus menjadi
bagian dari sistem pendidikan nasional.
9. Formula
pembiayaan pendidikan atau unit cost dan subsidi pendidikan harus didasarkan
pada bobot beban penyelenggaraan pendidikan yang memperhatikan jumlah peserta
didik, kesulitan komunikasi, tingkat kesejahteraan masyarakat dan tingkat
partisipasi pendidikan serta kontribusi masyarakat terhadap pendidikan pada
setiap sekolah.[16]
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat dipahami
bahwa desentralisasi pendidikan pada hakekatnya berkorelasi positif terhadap
peningkatan mutu lulusan lembaga pendidikan dan efesiensi pengelolaan
pendidikan. Apabila sekolah dapat dikelola dengan optimal oleh personalia yang
profesional, pengambilan keputusan dilakukan oleh pihak-pihak yang lebih dekat
dan tahu tentang kebutuhan dan potensi sekolah, maka mutu pendidikan akan
semakin menunjukan pada tingkat maksimal sesuai yang diharapkan.
Pada awalnya istilah desentralisasi digunakan dalam
keorganisasian yang secara sederhana didefinisikan sebagai penyerahan
kewenangan. Sedangkan pengertian desentralisasi menurut Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia[17]. Dengan
adanya desentralisasi maka muncullah otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Model
desentralisasi di Indonesia sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah adalah bentuk yang ketiga, yaitu model devolusi[18].
Model ini memiliki konsekuensi tanggung jawab atas apa yang diputuskan termasuk
berimplikasi pada keuangan dan manajemen dibebankan pada kabupaten dan kota.
Oleh karenanya, pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenanangan dan tanggung jawab pada pelayanan dasar di daerahnya
seperti di bidang pertanahan, pertanian, pendidikan, kebudayaan dan yang
lainnya.
Sedangkan desentralisasi pendidikan merupakan gabungan dari
dua kata yaitu antara desentralisasi dan pendidikan. Ada beberapa pendapat
menurut para ahli mengenaipengertian
desentralisasi pendidikan, diantaranya
yaitu:
1.
Menurut Burnett e.al yang dikutip oleh M. Sirozi,
desentralisasi pendidikan adalah otonomi untuk menggunkan input pembelajaran
sesuai dengan tuntunan sekolah dan komunitas yang dapat dipertanggungjawabkan
kepada orang tua dan komunitas.[19]
2.
Abdul Halim, mengartikan desentralisasi pendidikan
yaitu terjadinya pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada
daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri dalam
mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi di bidang pendidikan.[20]
3.
Menurut Sufyarman, desentralisasi pendidikan adalah
sistem menajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan pada
kebhinekaan.[21]
Dengan demikian, desentralisasi pendidikan dapat diartikan
sebagai pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada daerah beserta
masyarakat, pengelola dan pengguna pendidikan itu sendiri, untuk membuat
perencanaan dan mengambil keputusan sendiri dalam mengatasi permasalahan yang
dihadapi di bidang pendidikan dengan mengacu kepada Sistem Pendidikan Nasional.
Otonomi daerah di bidang pendidikan secara tegas telah dinyatakan dalam PP
Nomor 25 tahun 2000 yang mengatur pembagian kewenangan pemerintah pusat dan
propinsi. Pemeritah pusat hanya menangani penetapan standar kompetensi siswa,
pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar nasional, penetapan
standar materi pelajaran pokok, pedoman pembiayaan pendidikan, persyaratan
penerimaan, perpindahan dan sertivikasi siswa, kalender pendidikan dan jumlah
jam belajar efektif. Untuk propinsi, kewenangan terbatas pada penetapan
kebijakan tentang penerimaan siswa dari masyarakat minoritas, terbelakang dan
tidak mampu, dan penyediaan bantuan pengadaan buku mata pelajaran pokok/modul
pendidikan bagi siswa.
Semua urusan pendidikan di luar kewenangan pemerintah pusat
dan propinsi tersebut sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah daerah. Ini
berarti bahwa tugas dan beban PEMDA dalam menangani layanan pendidikan amat
besar dan berat terutama bagi daerah yang capacity building dan sumberdaya
pendidikannya kurang. Karena itu, otonomi daerah bidang pendidikan bukan hanya
ditujukan bagi daerah tetapi juga dibebankan bagi sekolah sebagai penyelenggara
pendidikan terdepan dan dikontrol oleh stakeholders pendidikan (orangtua, tokoh
masyarakat, dunia usaha dan industri, Dewan Perwakilan Rakyat, serta LSM
pendidikan).
Sebagai Konsekuensi kebijakan ini, maka pelaksanaan konsepesi
school-based Management (Manajemen
Berbasis Sekolah) dan community-based
education (pendidikan berbasis masyarakat) merupakan suatu keharusan dalam
penyelenggaraan pendidikan dalam era otonomi daerah. School-based management sebagai konsepsi dasar manajemen pendidikan
masa kini merupakan konsep manajemen sekolah yang memberikan kewenangan dan kepercayaan
yang luas lagi, sekolah berdasarkan profesionalisme untuk menata organisasi
sekolah. Mencari, mengembangkan, dan mendayagunakan resources pendidikan yang
tersedia, dan memperbaiki kinerja sekolah dalam upaya meningkatkan mutu
pendidikan sekolah yang bersangkutan. Sebagian besar sekolah swasta sebenarnya
telah melaksanakan konsepsi ini walaupun sebagian dari mereka masih perlu
meningkatkan diri dalam upaya mencapai produktivitas sekolah yang diinginkan[22].
Konsep peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah muncul
dalam kerangka pendekatan manajemen berbasis sekolah. Pada hakekatnya MBS akan
membawa kemajuan dalam dua area yang saling tergantung, yaitu, pertama,
kemajuan program pendidikan dan pelayanan kepada siswa-orang tua, siswa dan
masyarakat. Kedua, kualitas lingkungan kerja untuk semua anggota organisasi[23].
Model MBS menempatkan sekolah sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam
menerapkan kebijakan, misi, tujuan, sasaran, dan strategi yang berdampak
terhadap kinerja sekolah. Keinerja sekolah akan sangat ditentukan oleh
kebijakan yang ditetapkan oleh sekolah yang menyangkut pengembangan kurikulum.
Namun demikian, dalam merumuskan kebijakan, sekolah mengacu kepada kebijakan
pusat dan memperhatikan aspirasi yang berkembang dari local state melalui dewan
sekolah (school council)[24].
Upaya peningkatan partisipasi orang tua dan masyarakat dalam pengelolaan dan
peningkatan mutu sekolah dikukuhkan dengan mencantumkan Dewan Pendidikan dan
Komite Sekolah/Madrasah dalam bagian ketiga pasal 56 Undang-Undang Republik
Indonesia No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem pendidikan Nasional.
Dasar hukum utama pembentukan Komite Sekolah untuk pertama
kalinya adalah Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan
Nasional (Propenas), Rumusan Propenas tentang pembentukan Komite Sekolah
kemudian dijabarkan dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 044/U/2002
yang merupakan acuan utama pembentukan Komite Sekolah, yang sekarang diubah
dengan Permendikbut Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Disebutkan sebagai
acuan karena pembentukan Komite Sekolah di berbagai satuan pendidikan atau
kelompok satuan pendidikan disesuaikan dengan kondisi di masing-masing satuan
pendidikan atau kelompok satuan pendidikan. Demikian pula sebutan Komite
Sekolah dapat berbeda di setiap satuan pendidikan atau kelompok satuan
pendidikan[25].
Namun demikian ada prinsip yang harus difahami dalam pembentukan Komite
Sekolah.
Secara terinci pelaksanaan Pasal 56 UU Sisdiknas dan dijelaskan
dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 044/U/2002[26].
Prinsip yang dimaksud adalah transparan, akuntabel dan demokratis. Pasal 56 UU No.
20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS menyebutkan[27]:
1. Masyarakat
berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan,
pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite
sekolah/madrasah.
2. Dewan
pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu
pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan
tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis.
3. Komite
sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan
tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan
pendidikan.
4. Ketentuan
mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
Ada semacam konsenseus global, khususnya di kalangan negara
berkembang, maka desentralisasi adalah cara terbaik untuk meningkatkan mutu
pendidikan. Karena mutu pendidikan ditentukan oleh banyak faktor yang saling
terkait, sehingga desentralisasi pendidikan melibatkan pendelegasian keputusan
tentang beberapa faktor. Menurut Depdiknas fungsi-fungsi yang dapat
didesentralisasikan ke sekolah adalah sebagai berikut :
a. Perencanaan
dan evaluasi program sekolah. Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan
perencanaan sesuai dengan kebutuhannya, misalnya kebutuhan untuk meningkatkan
mutu sekolah.Sekolah juga diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya
evaluasi internal dan evaluasi diri.
b. pengelolaan
kurikulum. Sekolah diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal,
namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional yang
dikembangkan oleh pemerintah pusat.
c. pengelolaan
proses belajar. Sekolah diberi kebebasan
untuk memilih strategi, metode dan tehnik pembelajaran dan pengajaran yang
paling efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik
siswa, karakteristik guru dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di
sekolah.
d. pengelolaan
ketenagaan. Pengelolaan ketenagaan mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan,
rekrutmen, pengembangan, penghargaan, sangsi, hubungan kerja hingga evaluasi
kinerja tenaga kerja sekolah dapat dilakukan oleh sekolah kecuali guru pegawai
negeri yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi di atasnya.
e. pengelolaan
peralatan dan perlengkapan. Pengelolaan fasilitas seharusnya dilakukan oleh
sekolah mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan hingga
pengembangannya. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling
mengetahui kebutuhan fasilitas baik kecukupan, kesesuaian dan kemutakhirannya
terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses
belajar mengajar.
f. pengelolaan
keuangan. Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian atau penggunaan uang
sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah.Sekolah juga harus diberi kebebasan
untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan, sehingga
sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah.
g. pelayanan
siswa. Pelayanan siswa mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan,
pembinaan, pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk
memasuki dunia kerja hingga pengurusan alumni telah didesentralisasikan.
h. hubungan
sekolah dan masyarakat. Esensi hubungan sekolah dan masyarakat adalah untuk
meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan dan dukungan dari
masyarakat, terutama dukungan moral dan finansial yang sudah merupakan
kewenangan sekolah, yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan
ekstensinya.
i. pengelolaan
iklim sekolah. Iklim sekolah yang kondusif untuk melakukan kegiatan akademik
merupakan prasayarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang
efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan yang
tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah dan kegiatan-kegiatan yang
terpusat pada siswa adalah contoh iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat
belajar siswa.Iklim sekolah sudah merupakan kewenangan sekolah dan yang
diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensinya.
Pemerintah pusat masih mempertahankan bentuk-bentuk
kewenangan di dunia pendidikan. Hal ini terlihat jelas pada Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah
dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi, khususnya pada pasal 2, butir
11, terdapat tujuh hal yang penetapannya masih digenggam oleh pemerintah pusat,
yaitu (1) Menetapkan standar kompetensi siswa; (2) Menetapkan standar materi
pelajaran pokok; (3) Menetapkan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar
akademik; (4) Menetapkan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan; (5) Menetapkan
persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan
mahasiswa; (6) Menetapkan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif
setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah, dan luar sekolah; dan, (7) Mengatur
dan mengembangkan pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh, serta mengatur
sekolah internasional.
Pemerintah provinsi memiliki kewenangan berupa (1) Menetapkan
kebijakan penerimaan siswa dan mahasiswa dari masyarakat minoritas,terbelakang
dan atau tidak mampu; (2) Menyediakan bantuan pengadaan buku pelajaran
pokok/modul pendidikan untuk TK, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan luar sekolah; (3) Mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan
tinggi, selain pengaturan kurikulum, akreditasi, dan pengangkatan tenaga
akademis; dan, (4) Pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi,
penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan dan/ atau penataran
guru.
2. Tata Kelola Lembaga Pendidikan Dalam
Menghadapi Tantangan Persaingan Revolusi Industri 4-0.
Dalam rangka untuk menghasilkan generasi emas yang
berkarakter, tentu harus mengetahui apa tuntutan dunia dan apa yang dibutukan
oleh masyarakat. Pada abad modern ini perkembangan ilmu, teknologi dan
komunikasi bergerak sangat cepat. Perkembangan ini menjadi kebutuhan bagi dunia
untuk berkembang. Hal ini harus seiring dengan sikap masyarakat yang terbuka,
beretika, dan toleran. Karena perkembangan ini berkaitan dengan kesehatan,
budaya, lingkungan, ekonomi, dan lainnya. Dengan adanya sikap ini masyarakat
dapat mengaplikasikan ilmu dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Salah satu tuntutan dunia abad 21 adalah keahlian dalam teknologi dan
layanan yang cepat sehingga dapat bertahan dlam persaingan industri[28].
Hal lain yang dapat menguntungkan dari mengikuti perkembangan
adalah adanya kemajuan, peningkatan efektifitas, dan efesiensi kerja. Tetapi
ada hal negatif dari mengikuti perkembangan jika tidak bisa dikontrol atau
dipilah-pilah yaitu budaya asing yang masuk ke masyarakat sehingga dapat
mengakibatkan ketidakharmonisan masyarakat, keenjangan mayarakat dan
kecemburuan sosial, maka dari itu pendidikan berkarakter sangat dibutuhkan yang
diajarkan oleh pendidik terhadap peseta didik. Solusi dari masalah yang muncul
dalam proses pendidikan karakter adalah memiliki guru yang professional. Guru
yang professional akan meningkatkan hal belajar siswa lebih baik daripada guru
yang belum professional.
Guru professional memiliki tugas yang lebih banyak daripada
guru biasa yaitu[29] (1)
membuat pembelajaran yang bermutu, (2) pembelajaran yang bermanfaat untuk
lulusan, dan (3) pembelajaran yang relevan dengan dunia kerja. Selain itu, Kompetensi
yang harus dimilki oleh guru professional adalah (1) basis pengetahuan, (2)
pedagogi, (3) personal atribut, dan (4) kepemimpinan. Disamping itu guru
professional harus terintegrai dan mempunyai kemampuan kolaborasi, teknologi,
komunikasi dan evaluasi. Dengan adanya kompetensi yang dimiliki oleh guru
professional maka peserta didik dapat mengecam pendidikan berkarakter sehingga
dapat menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.
Menristekdikti Muhamma Nasir menyatakan bahwa Kebijakan
strategis perlu dirumuskan dalam berbagai aspek mulai dari kelembagaan, bidang
studi, kurikulum, sumber daya, serta pengembangan cyber university, risbang hingga inovasi. Tentu yang dapat
harapakan dalam rakernas ini dapat dihasilkan rekomendasi pengembangan iptek
dikti dalam menghadapi revolusi industri 4.0. Selain itu, beliau menjelaskan
ada lima elemen penting yang harus menjadi perhatian dan akan dilaksanakan oleh
Kemenristekdikti untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa di
era Revolusi Industri 4.0, yaitu[30]:
1. Persiapan
sistem pembelajaran yang lebih inovatif di perguruan tinggi seperti penyesuaian
kurikulum pembelajaran, dan meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam hal data
Information Technology (IT), Operational Technology (OT), Internet of Things
(IoT), dan Big Data Analitic, mengintegrasikan objek fisik, digital dan manusia
untuk menghasilkan lulusan perguruan tinggi yang kompetitif dan terampil
terutama dalam aspek data literacy, technological literacy and human literacy.
2. Rekonstruksi
kebijakan kelembagaan pendidikan tinggi yang adaptif dan responsif terhadap
revolusi industri 4.0 dalam mengembangkan transdisiplin ilmu dan program studi
yang dibutuhkan. Selain itu, mulai diupayakannya program Cyber University,
seperti sistem perkuliahan distance learning, sehingga mengurangi intensitas pertemuan
dosen dan mahasiswa. Cyber University ini nantinya diharapkan menjadi solusi
bagi anak bangsa di pelosok daerah untuk menjangkau pendidikan tinggi yang
berkualitas.
3. Persiapan
sumber daya manusia khususnya dosen dan peneliti serta perekayasa yang responsive,
adaptif dan handal untuk menghadapi revolusi industri 4.0. Selain itu,
peremajaan sarana prasarana dan pembangunan infrastruktur pendidikan, riset,
dan inovasi juga perlu dilakukan untuk menopang kualitas pendidikan, riset, dan
inovasi.
4. Terobosan
dalam riset dan pengembangan yang mendukung Revolusi Industri 4.0 dan ekosistem
riset dan pengembangan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas riset dan
pengembangan di Perguruan Tinggi, Lembaga Litbang, LPNK, Industri, dan
Masyarakat.
5. Terobosan
inovasi dan perkuatan sistem inovasi untuk meningkatkan produktivitas industri
dan meningkatkan perusahaan pemula berbasis teknologi.
Selain itu, menurut Menteri Keuangan RI Ibu Sri Mulyani
mengatakan bahwa kemajuan suatu negara untuk mengejar ketertinggalan sangat
tergantung pada tiga faktor yang yakni Pendidikan, Kualitas Institusi dan
Kesediaan Infrastruktur. Hal ini menjadi penting untuk membangun fondasi
kemajuan bangsa Indonesia, karena masalah pendidikan harus terdesentralisasi
secara total dalam menjawab tantangan revolusi industri 4.0. selain itu, Sri
Mulyani juga mengatakan bahwa Anggaran Pendidikan tahun 2018 adalah 444,13
Triliun Rupiah, baik untuk alokasi pusat maupun alokasi daerah. Anggaran 20%
dari total APBN tersebut merupakan suatu pemihakan yang nyata bagi pendidikan
dan riset Indonesia. Anggaran tersebut dialokasikan bagi program-program
prioritas pendidikan dan penelitian antara lain Program Indonesia Pintar, Bidik
Misi, Bantuan Operasional Sekolah, Riset, dan program lainnya.
Perguruan Tinggi merupakan lembaga formal yang diharapkan
dapat melahirkan tenaga kerja kompeten yang siap menghadapi industri kerja yang
kian berkembang seiring dengan kemajuan teknologi. Keahlian kerja, kemampuan
beradaptasi dan pola pikir yang dinamis menjadi tantangan bagi sumber daya
manusia, di mana selayaknya dapat diperoleh saat mengenyam pendidikan formal di
Perguruan Tinggi[31]. Kuantitas
bukan lagi menjadi indikator utama bagi suatu perguruan tinggi dalam mencapai
kesuksesan, melainkan kualitas lulusannya. Kesuksesan sebuah negara dalam
menghadapi revolusi industri 4.0 erat kaitannya dengan inovasi yang diciptakan
oleh sumber daya yang berkualitas, sehingga Perguruan Tinggi wajib dapat
menjawab tantangan untuk menghadapi kemajuan teknologi dan persaingan dunia
kerja di era globalisasi.
Dalam menciptakan sumber daya yang inovatif dan adaptif
terhadap teknologi, diperlukan penyesuaian sarana dan prasarana pembelajaran
dalam hal teknologi informasi, internet, analisis big data dan komputerisasi.
Perguruan tinggi yang menyediakan infrastruktur pembelajaran tersebut
diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang terampil dalam aspek literasi data,
literasi teknologi dan literasi manusia. Terobosan inovasi akan berujung pada
peningkatan produktivitas industri dan melahirkan perusahaan pemula berbasis
teknologi, seperti yang banyak bermunculan di Indonesia saat ini.
Tantangan berikutnya adalah rekonstruksi kurikulum pendidikan
tinggi yang responsif terhadap revolusi industri juga diperlukan, seperti
desain ulang kurikulum dengan pendekatan human digital dan keahlian berbasis
digital. Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi M. Nasir mengatakan,
“Sistem perkuliahan berbasis teknologi informasi nantinya diharapkan menjadi
solusi bagi anak bangsa di pelosok daerah untuk menjangkau pendidikan tinggi
yang berkualitas.” Persiapan dalam menghasilkan lulusan yang mampu beradaptasi
dengan Revolusi Industri 4.0 adalah salah satu cara yang dapat dilakukan
Perguruan Tinggi untuk meningkatkan daya saing terhadap kompetitor dan daya
tarik bagi calon mahasiswa. Berbagai tantangan sudah hadir di depan mata, sudah
siap kah Perguruan Tinggi menyiapkan generasi penerus bangsa di era Revolusi
Industri 4.0 dan persaingan global?
Saat ini kita berada di ambang pintu revolusi teknologi yang
secara fundamental akan mengubah cara hidup kita, cara kita bekerja, dan cara
kita bekerja satu sama lain dalam lingkup domestik maupun mondial. Ada satu hal
yang paling menonjol dalam derap perubahan ini, yakni dunia harus merespons
perubahan tersebut dengan cara yang terintegrasi dan komprehensif dengan
melibatkan seluruh pemangku kepentingan, baik itu pelaku politik global, mulai
dari sektor pemerintah sampai sektor swasta, akademik, perusahaan, dan tentu
saja masyarakat luas. Ekonomi global saat ini pun sedang berada pada puncak
perubahan besar yang sebanding dengan munculnya Revolusi Industri Pertama,
Kedua, dan Ketiga. Sekarang kita segera masuk ke satu tahapan revolusi industri
yang dinamakan Revolusi Industri 4.0.
Pada awalnya, istilah Revolusi Industri 4.0 berasal dari
sebuah proyek strategis teknologi canggih Pemerintah Jerman yang mengutamakan
komputerisasi pada semua pabrik di negeri itu. Revoluasi Industri 4.0 ini
kemudian dibahas kembali pada 2011 di Hannover Fair, Jerman. Pada Oktober 2012,
Working Group on Industry 4.0 memaparkan rekomendasi pelaksanaan Revolusi
Industri 4.0 kepada Pemerintah Federal Jerman. Prof Bob Gordon dari Northwesten
University, Illinois, USA, juga memberikan beberapa tanggapan mengenai Revolusi
Industri 4.0 yang dirangkum oleh Prof Paul Krugman dari Princeton University,
New Jersey, USA (penerima Nobel Price on
Economic) pada 2008.
Pada perkembangan berikutnya, April 2013, Prof Krugman
mencatat beberapa hal tentang perkembangan revolusi industri yang terjadi sejak
abad ke-17, Revolusi Industri Pertama (1750-1830),
ditandai dengan penemuan mesin uap dan kereta api. Penggunaan mesin uap pada
waktu itu dimaksudkan untuk menggantikan tenaga manusia dan hewan dalam
produksi. Revoluasi industri ini pada saat itu juga berguna untuk melaksanakan
mekanisasi sistem produksi. Mekanisasi disini bermakna penggunaan tenaga mesin
dan sarana-sarana teknik lainnya untuk menggunakan tenaga manusia dan hewan
dalam proses produksi.
Revolusi Industri Kedua (1870-1900),
ditandai dengan penemuan listrik, alat komunikasi, bahan-bahan kimia, dan
minyak. Revolusi industri pada tahap ini dapat digunakan untuk melaksanakan
konsep produksi massal. Revolusi Industri Ketiga (1960 hingga sekarang),
ditandai dengan penemuan komputer, internet, dan telepon genggam. Revolusi
industri ketiga ini dapat digunakan untuk otomatisasi proses produksi dalam
kegiatan industri. Saat ini kita memasuki era baru, yaitu Revolusi Industri
Keempat
atau sering disebut dengan istilah populer Revolusi Industri 4.0. Revolusi
industri gelombang keempat ini tetap bertopang pada Revolusi Industri Ketiga. Namun,
Revoluasi Industri 4.0 mulai ditandai dengan bersatunya beberapa teknologi,
sehingga dapat dilihat dan merasakan suatu era baru yang terdiri atas tiga
bidang ilmu yang independen, yaitu fisika, digital, dan biologi. Dengan
komposisi yang demikian, maka Revolusi Industri 4.0 mempunyai potensi
memberdayakan individu dan masyarakat, karena revolusi industri fase ini dapat
menciptakan peluang baru bagi ekonomi, sosial, maupun pengembangan diri
pribadi. Tetapi Revolusi Industri 4.0 juga bisa menyebabkan pengerdilan dan
marginalisasi (peminggiran) beberapa kelompok dan ini dapat memperburuk
kepentingan sosial bahkan kohesi sosial, juga dapat menciptakan risiko keamanan
dan dapat pula merusak interelasi (hubungan) antarmanusia[32].
Agar mudah memahaminya, Revolusi Industri 4.0 ini sebetulnya
memiliki ciri tersendiri, yaitu transformasi yang berbeda dengan Revolusi
Industri I, II, dan III. Pada pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia (World
Economic Forum) pada Januari 2016 di Davos, Swiss, Revolusi Industri
Keempat menjadi fokus utama pembahasan dan perdebatan. Sekurang-kurangnya ada
tiga hal yang membedakan Revolusi Industri 4.0 dengan revolusi industri
sebelumnya. Tiga hal tersebutlah menjadi dasar mengapa transformasi yang
terjadi saat ini bukan merupakan perpanjangan atau kelanjutan dari revolusi
digital, melainkan menjadi revolusi transformasi baru (tersendiri), dengan
alasan[33]:
Pertama,
inovasi dapat dikembangkan dan menyebar jauh lebih cepat dibandingkan
sebelumnya. Dengan kecepatan ini terjadi terobosan baru pada era sekarang, pada
skala eksponensial, bukan pada skala linear;
Kedua, penurunan biaya produksi yang marginal dan munculnya
platform yang dapat menyatukan dan mengonsentrasikan beberapa bidang keilmuan
yang terbukti meningkatkan output pekerjaan. Transformasi dapat menyebabkan
perubahan pada seluruh system produksi, manajemen, dan tata kelola sebuah
lembaga; Dan, ketiga, revolusi secara global ini akan berpengaruh besar dan
terbentuk di hampir semua negara di dunia, di mana cakupan transformasi terjadi
di setiap bidang industri dan dapat berdampak secara menyeluruh di banyak
tempat. Seiring dengan itu, para ahli pun berpendapat bahwa Revolusi Industri
4.0 dapat menaikkan rata-rata pendapatan per kapita di dunia, memperbaiki
kualitas hidup, dan bahkan memperpanjang usia manusia (meningkatnya usia
harapan hidup).
Di sisi lain, penetrasi alat-alat elektronik, seperti telepon
genggam (handphone) yang harganya
semakin murah dan sudah sampai ke berbagai pelosok dunia, baik yang penduduknya
mempunyai pendapatan tinggi maupun rendah. Pada masa ini teknologi begitu
menyentuh ranah pribadi, pengatur kesehatan, pola diet, olahraga, mengelola
investasi, mengatur keuangan melalui mobile banking, memesan taksi, memanggil
Go-Jek, pesan makanan di restoran (go-food),
beli tiket pesawat, mengatur perjalanan, main game, menonton film terbaru, dan
sebagainya. Semua itu kini bisa dilakukan hanya melalui satu perangkat
teknologi saja, karena datanya sudah disimpan di “langit”. Dengan realitas yang
seperti itu, kita dapat membayangkan bahwa dalam bidang bisnis dan produksi,
Revolusi Industri 4.0 akan meningkatkan efisiensi, terutama dalam bidang
supply, logistik, dan komunikasi, di mana biaya keduanya akan terus menurun.
Hingga saat ini Pemerintah Indonesia sudah mulai mengarahkan
untuk kompetensi peningkatan keahlian tenaga kerja melalui program pendidikan vokasi link and match. Artinya,
pendidikan dirancang sedemikian rupa untuk meningkatkan relevansi sekolah
kejuruan sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, dunia usaha, dan dunia industri. Bagi
perusahaan yang bekerja sama dengan perguruan tinggi dalampendidikan vokasi,
pemerintah sedang menyiapkan insentif berupa superdeductible tax (yang diakui
oleh kantor pajak untuk mengurangi penghasilan bruto). Tentu wacana Revolusi
Industri 4.0, merupakan Revolusi Industri Pertama, Kedua, dan Ketiga sehingga
Revolusi Industri 4.0 ini pun diyakini bakal bermanfaat signifikan untuk
menaikkan produktivitas. Memang terdapat beberapa keraguan terhadap masa depan
Revolusi Industri 4.0. Namun, pada saat yang sama, hal tersebut akan dapat
mengurangi permintaan terhadap tenaga kerja, termasuk orang-orang yang pintar
sekalipun. Tapi, semua itu tidak terjadi seketika, pasti ada
tahapan-tahapannya. Selama proses yang panjang itu terjadi, maka perdebatan
tentang Revolusi Industri 4.0 akan terus berlangsung.
Kombinasi antara pertumbuhan ekonomi yang tidak bertambah
dengan cepat dan menurunnya peran manufaktur, menyisakan pertanyaan tentang
kehebatan Revolusi Industri 4.0. Belum lagi, misalnya, Revolusi Industri 4.0
ini masih menyisakan sisi gelapnya, yakni dampak negatifnya terhadap penciptaan
lapangan kerja. Namun yang menarik adalah orang bisa renungkan apa yang
disajikan pada majalah mingguan Amerika Serikat, The Economist pada 6 April
2018, sebab majalah tersebut ditulis laporan utamanya dengan judul “Prihatin”,
karena era Revolusi Industri 4.0 menyebabkan hilangnya privasi seseorang akibat
penyebaran data digital secara mudah, sebab tidak ada lagi tempat bagi data
untuk disembunyikan. Satu hal yang sudah pasti bahwa Revolusi Industri 4.0
telah datang di tengah-tengah dunia dan tidak mungkin lagi menolak atau
menghindarinya. Proses ini akan terus berjalan di tengah kemampuan atau bahkan
ketidakmampuan dunia yang menepis dampak negatifnya. Akan tetapi masyarakat Indonesia
tradisi-tradisi lama akan memiliki ketahanan budaya yang kuat, yakni akan mampu
menepis, minimal memperkecil dampak negatif dari Revolusi Industri 4.0 ini.
Ciri ciri Era Revolusi industri 4.0 adalah pertama robot outomation yaitu
artinya proses produksi tidak lagi mengandalkan massa (jumlah manusia) namun
digantikan dengan sistem robot. Hal ini dikarenakan dengan sistem robot dapat
lebih bekerja efektif dan efisien dibandingan jika diakukan oleh manusia. Ciri kedua adalah 3D printer yang memungkin
mencetak tidak lagi hanya untuk object 2D namun sekarang rumah pun sudah dapat
dicetak menggunakan mesin 3D printer. Ciri ketiga
adalah internet of things (IOT) yaitu
kecepatan yang dikendalikan oleh internet. Saat ini semua pekerjaan hampir
semua terhubung dengna koneksi internet. Ciri keempat adalah big data. Pernahkah kita disodori oleh iklan
mengenai barang-barang kesukaan kita? Bagaimana sistem itu tahu karena terdapat
sebuah data yang mengkoleksi informasi kita.
Gejala-gejala transformasi industri 4.0 yang dapat muncul
saat ini dapat dilihat seperti sektor retail sudah diganti[34]
dengan e-commerce, transportasi
sekarang muncul adaya transportasi online, pekerja pabrik sudah diganti dengan
teknologi robot, surat sudah diganti dengan message
service seperti whatsapp, surat
elektronik atau email, rumah produksi sekarang diganti dengan muculnya pembuat
konten elektronik di youtube. Tentu di
bidang pendidikan sendiri sudah banyak melihat dimana sumber atau konten
belajar bidang apapun sudah dapat dengan mudah diakses, gratis melalui koneksi
internet kapanpun dan dimanapun. Dari data menunjukkan bahwa saat ini peralatan
kita saat ini 30 persen dikendalikan oleh teknologi. Data menunjukkkan bahwa
Jumlah penduduk kelompok umur 15-64 tahun (usia produktif) mencapai 183,36 juta
jiwa atau sebesar 68,7% dari total populasi[35].
Menurut statistik lembaga riset pemasaran digital perkiraan
e-marketer pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari
100 juta orang Dari data tersebut terlihat bahwa pemanfaat teknologi sudah
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat indonesia. Beberapa start up di
indonesia bidang pendidikan saat ini sudah melihat peluang bidang bidang
pendidikan ini contohnya : ruangguru.com, quiper.com dan di luar indonesia ada
khan akademy, byjus dan masih banyak lagi. Ruang guru pada tahun 2017
mencatatkan bahwa pengguna sudah tercatat lebih dari 6 juta pengguna dan masih
terus bertambah saat ini. Dari data statistik jumlah pelajar di indonesia sd,
smp dan smp kurang lebih sebanyak 25 juta siswa.
Berarti pengguna dari ruangguru ini hampir disumbang oleh 25
persen dari total siswa di Indonesia. Beberapa tahun kedepan sistem
pembelajaran ini akan menggantikan model bimbel bimbel konvensional. Mengapa
startup startup bidang pendidikan ini kini menjadi favorite? Hal ini tentunya
tidak lepas dari adanya kebutuhan siswa yang tidak terpenuhi di sekolah dan
juga apa yang mereka tawarkan oleh penyedia layanan itu yaitu kemudahan akses
(bisa diakses kapan saja dan dimana saja), flexibel (bisa menyesuaikan dengan
materi), dan harga yang ditawarkan relatif lebih murah. Mereka menginginkan
model pembelajaran yang lain yang berbeda dengan model pembelajarn konvensional
yang masih terjadi saat ini. Kedepan model pembelajaran berbasis teknologi akan
lebih banyak muncul dengan variasi model yang lebih baik.
Kuncinya adalah layanan terbaik. Jadi disini kita bisa melihat
adanya pergeseran model pembelajaran yang diinginkan oleh pengguna (siswa).
Disini berarti tantangan bagi para pengajar di era revolusi industri 4.0 untuk
dapat merubah stategi dan model belajar yang sesuai dengan tuntutan
perkembangan jaman dan teknologi. Dari uraian di atas kita melihat bahwa
teknologi bertranformasi demikian pula dengan dunia pendidikan. Perubahan ini
mengakibatkan banyak perubahan dan pergeseran peran, termasuk dalam dunia
pendidikan, khususnya bidang keguruan. Muncul pertanyaan apakah para pengajar
sudah siap menghadapi tantangan ini?. “Jika guru atau pengajar hanya berperan
dalam proses transfer ilmu pengetahuan, maka peran guru dan pengajar akan
digantikan oleh teknologi “.
Lalu apakah peran guru, pengajar yang tidak dapat digantikan
oleh teknologi? Jawabannya adalah Peran guru atau pengajar dalam memberikan
pendidikan karakter, moral dan keteladanan tidak bisa digantikan dengan alat
dan teknologi secanggih apapun. Berbicara tentang perkembangan teknologi itu
seperti melihat dua belah mata pisau dimana satu sisi memberikan sisi positif
dan sisi yang lain dapat juga memberikan dampak negatif. Oleh karena itu kita
harus mampu menyikapi secara bijak perkembangan teknologi khususnya di era
Revolusi 4.0 di bidang pendidikan ini. Segala perubahan ini harusnya dapat
menjadi pendorong bagi dunia pendidikan untuk melahirkan kreativitas, sehingga
dapat menciptakan proses pendidikan yang menghasilkan (calon) guru yang
berkualitas, profesional dan berkarakter. Sistem pendidikan membutuhkan gerakan
kebaruan untuk merespon era industri 4.0. Salah satu gerakan yang dicanangkan
oleh pemerintah adalah gerakan literasi baru sebagai penguat bahkan menggeser
gerakan literasi lama.
Gerakan literasi baru yang dimaksudkan terfokus pada tiga
literasi utama yaitu 1) literasi digital, 2) literasi teknologi, dan 3)
literasi manusia[36].
Tiga keterampilan ini diprediksi menjadi keterampilan yang sangat dibutuhkan di
masa depan atau di era industri 4.0. Literasi digital diarahkan pada tujuan
peningkatan kemampuan membaca, menganalisis, dan menggunakan informasi di dunia
digital (Big Data), literasi teknologi bertujuan untuk memberikan pemahaman
pada cara kerja mesin dan aplikasi teknologi, dan literasi manusia diarahkan
pada peningkatan kemampuan berkomunikasi dan penguasaan ilmu desain. Literasi
baru yang diberikan diharapkan menciptakan lulusan yang kompetitif dengan
menyempurnakan gerakan literasi lama yang hanya fokus pada peningkatan
kemampuan membaca, menulis, dan matematika.
Adaptasi gerakan literasi baru dapat diintegrasi dengan
melakukan penyesuaian kurikulum dan sistem pembelajaran sebagai respon terhadap
era industri 4.0[37].
Apakah pendidikan kita sudah siap? Kita akan coba bahas satu persatu peluang
dan tantangan pendidikan kita di era revolusi industri 4.0 ini. Pertama
perlu dibahas dari infrastruktur. Karena pemanfaatan teknologi tidak lepas dari
pembangunan infrastruktur yang memadai. Berbicara tentang tantangan mengahadapi
pendidikan di era revolusi industri 4.0 ini pasti banyak antara lain adalah
Pemerataan pembangunan. Meskipun pemerintah telah berusaha untuk menekan
kesenjangan pembangunan di indonesia namun tidak dapat dipungkiri bahwa
kesenjangan pemerataan pembangunan di Indonesia masih terjadi. Salah satu ciri
suatu daerah sudah tersentuh pembangunan biasanya ditandai bahwa daerah
tersebut sudah dialiri oleh listrik. Menurut data, 42.352 Desa di Indonesia
Belum Tersentuh Listrik dari total 82.190 desa diindonesia[38].
Hal ini tentu berimplikasi pada pemerataan pendidikan di indonesia. Listrik
merupakan sebuah simbol dari kemajuan, sehingga bisa disebut daerah tersebut
tertinggal karena belum dialiri oleh listrik. Dari data ini saja menunjukkan
bahwa tidak semua daerah siap akan segala perubahan yang terjadi akibat
revolusi industri 4.0 ini. Konektivitas jaringan internet merupakan salah satu
syarat jika kita ingin mengimplementasikan pendidikan di era revolusi industri 4.0.
Saat ini belum semua wilayah Indonesia dapat terhubung dengan koneksi internet,
terutama sekolah sekolah. Namun berdasarkan target pemerintah bahwa pada tahun
2019, Seluruh Wilayah Indonesia Sudah Terhubung Internet[39].
Tentu kita semua menunggu saja target ini apakah terwujud
atau masih akan tertunda lagi. Tantangan lain yang harus dihadapi ketika
pemerintah memutuskan untuk beradaptasi dengan sistem Industri 4.0, adalah
pemerintah juga harus memikirkan keberlangsungannya. Jangan sampai penerapan
sistem industri digital ini hanya menjadi beban karena tidak dapat dimanfaatkan
secara optimal. Banyak hal yang harus dipersiapkan seperti: peran para
pengambil keputusan, tata kelola, manajemen risiko implementasi sistem, akses
publik pada teknologi, dan faktor keamanan sistem yang diimplementasikan.
Selain itu pemerintah juga harus mempersiapkan sistem pendataan yang
berintegritas, menetapkan total harga/biaya kepemilikan sistem, mempersiapkan
payung hukum dan mekanisme perlindungan terhadap data pribadi, menetapkan
standar tingkat pelayanan, menyusun peta jalan strategis yang bersifat
aplikatif dan antisipatif, serta memiliki design thinking untuk menjamin
keberlangsungan industri. Selain mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi,
revolusi ini juga memiliki dampak negatif. Industri ini akan mengacaukan bisnis
konvensional dan mengurangi permintaan terhadap tenaga kerja.
Untuk itu pemerintah harus mempersiapkan strategi antisipatif
terhadap berbagai kemungkinan yang akan berdampak negatif terhadap perekonomian
nasional. Tantangan lain dalam penerpan kurikulum di Indonesia. Seperti sudah
dijelaskan sebelumnya bahwa peningkatan kualitas SDM termasuk dalam 10 point
program making indoensia 4.0 yang di canangkan oleh pemerintah. Salah satu
programnya adalah menyelaraskan kurikulum pendidikan nasional dengan kebutuhan
industri di masa mendatang. Mengapa perlu diselaraskan dengan kebutuhan
industri? Dan apakah sudah sesuai dengan yang diharapkan? Untuk menjawab itu
sebelumnya kita akan bahas dulu tentang salah satu penerapan kurikulum KKNI.
Upaya upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam mengikuti
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang kurikulum antara lain menerapkan
perubahan kurikulum Kurikulum KKNI. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(KKNI) adalah kerangka penjenjangan kualifikasi sumber daya manusia Indonesia
yang menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan sektor pendidikan dengan
sektor pelatihan dan pengalaman kerja dalam suatu skema pengakuan kemampuan
kerja yang disesuaikan dengan struktur di berbagai sektor pekerjaan. KKNI
merupakan perwujudan mutu dan jati diri bangsa Indonesia terkait dengan sistem
pendidikan nasional, sistem pelatihan kerja nasional, dan sistem penilaian
kesetaraan capaian pembelajaran (learning
outcomes) nasional, yang dimiliki
Indonesia untuk menghasilkan sumber daya manusia nasional yang bermutu dan
produktif.
Respon terhadap perubahan kurikulum ini dapat dilihat dari
banyaknya aturan yang memayungi penerapan kurikulum baru, misalnya UU No.14
Tahunn 2005 tentang Guru dan Dosen, UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi, Peraturan Presiden No.8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 49 tahun
2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, Perpres No. 08 tahun 2012 dan
Pemendikbud No. 73 tahun 2013 tentang Capaian Pembelajaran Sesuai dengan Level
KKNI, UU PT No. 12 tahun 2012 pasal 29 tentang Kompetensi lulusan ditetapkan
dengan mengacu pada KKNI, Permenristek dan Dikti No. 44 tahun 2015 tentang Standar
Nasional Pendidikan Tinggi, namun dasar perilaku pendidikan sebenarnya ada pada
level dasar pada usia sekolah bukan berada pada tingkat akademik.
PENUTUP
Dalam UU No. 20 Tahun
2003 tentang sistem pendidikan nasional menjadi rohnya pengelolaan pendidikan
secara desentralisasi. Lembaga-lembaga pendidikan baik secara formal, informal
dan non formal terdesentralisasi namun hanya bagaimana menggerakan siswa untuk
memperoleh nilai yang tinggi namun meniadakan minat, hobi dan kegemaran siswa.
Sementara usia siswa yang berada pada tingkatan pendidikan menjadi tantangan
tersendiri dalam revolusi industri 4.0, sehingga yang patut dikembangkan dalam
sistem pendidikan dalam menghadapi era revolusi industri 4.0 yakni selain
kecerdasan intelektual, emosional dan spritual harus sepadan dengan hobi,
minat, bakat dan kegemaran sebab hal tersebut telah ada dalam diri setiap
orang. Percepatan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem komunikasi
seperti mudahnya akses internet menjadi salah satu ciri abad 21, dunia seakan-akan
menjadi kecil dan berada dalam genggaman, apa yang terjadi diujung dunia sana,
akan dengan mudah diketahui oleh orang yang berada di ujung dunia yang lain,
dalam waktu yang bersamaan, berbagai teknologi canggih yang pada intinya untuk
mempermudah segala macam urusan manusia ditemukan, dikembangkan, dibuat dan
dipakai oleh banyak orang dengan biaya yang sangat terjangkau.
Perkembangan teknologi digital telah mendisrupsi berbagai
aktivitas manusia, tidak hanya sebagai mesin penggerak ekonomi namun juga
termasuk bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta pendidikan tinggi.
Kebijakan strategis perlu dirumuskan dalam berbagai aspek mulai dari
kelembagaan, bidang studi, kurikulum, sumber daya, serta pengembangan yang
berinovasi.Pendidikan karakter penting untuk peserta didik dalam mengembangkan
nilai agama, pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional. Maka kebijakan
pendidikan yang dilakukan adalah : (a) Persiapan sistem pembelajaran yang lebih
inovatif di perguruan tinggi. (b) Rekonstruksi kebijakan kelembagaan pendidikan
tinggi yang adaptif dan responsif terhadap revolusi industri 4.0. (c) Persiapan
sumber daya manusia khususnya dosen dan peneliti serta perekayasa yang
responsif, adaptif dan handal untuk menghadapi revolusi industri 4.0. (d)
Terobosan dalam riset dan pengembangan yang mendukung Revolusi Industri 4.0 (e)
Terobosan inovasi dan perkuatan sistem inovasi untuk meningkatkan produktivitas
industri dan meningkatkan perusahaan pemula berbasis teknologi
Pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia yaitu
dengan diserahkannya otonomi yang lebih besar pada daerah-daerah yang kemudian
dilanjutkan ke lembaga pendidikan atau sekolah, maka sekolah memiliki
kewenangan otonomi yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga
sekolah lebih mandiri. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih mampu mengembangkan
program-program yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya.Dan
dalam pelaksanaanya perlu adanya pengambilan keputusan yang bersifat
partisipatif, demi tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Referensi
Abuddin,
Nata, 2018, Pendidikan Islam di Era Milenial, Jurnal Coniencia Raden
Fatah, Pendidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, No. 2, Vol. 2 Agustus-Desember 2018
Ace
Suryadi, 2003 Mewujudkan Sekolah-sekolah Yang Mandiri dan Otonom, Disampaikan
pada Sosialisasi Pemberdayaan Dewan Pendidikan Dan Komite Sekolah Juni 2003
Arifi, Ahmad.
2010. Politik Pendidikan Islam
Menelusuri Ideologi dan
Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi. Teras,
Yogyakarta.
Asrin,
2018, Desentralisasi Pendidikan Pada Konteks Sekolah Menengah,
El-HIKAM, Vol. 1, No. 1, Maret 2008
Azra,
Azyumardi, 2012. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium
III, Kencana Prenada Media Group. Ahmad, Intan, Jakarta.
Biro
Kerjasama dan Komunikasi Publik Kementerian Riset, Teknologi, dan Dikti, Read
moreat https://www.ristekdikti.go.id/siaran-pers/pengembangan-iptek-dan-pendidikan-tinggi-di-era-revolusi-industri-4-0/#wsi7C4I09q1ZvcPZ.99, diunduh
tanggal 21 Maret 2019.
Danim,
Sudarwan, 2006, Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Eko
Risdianto, M.Cs, 2018, Analisis Pendidikan Indonesia Di Era
Revolusi Industri 4.0, diunduh dari https://www.academia.edu/38353914/Analisis_Pendidikan_Indonesia_di_Era_Revolusi_Industri_4.0.pdf, tanggal 20 Maret 2019
Fadjar,
A, Malik, 2015, Holistika Pemikiran Pendidikan, Jakarta; Raja Grafindo Persada.
Ganto,
Adnan,
2018, Peluang dan Tantangan Era Revolusi Industri 4.0, http://aceh.tribunnews.com/2018/11/27/peluang-dan-tantangan-era-revolusi-industri-40?page=all. Diunggah
Tanggal 21 Maret 2019
Halim,
Abdul, 2010, Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, UPP Amp YPKN,
Yogyakarta
Hadiyanto,
2004, Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di Indonesia,
Jakarta : Rineka Cipta.
Hasbullah,
2010, Otonomi Pendidikan, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Komite
Reformasi Pendidikan, 2001, Naskah Akademik Rancangan Undang-undang
Nasional, Balitbang Depdiknas, Jakarta.
Musa,
Ibrahim, 2001, Otonomi Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jurnal
Pendidikan Volume 2 No. 2 September 2001.
Mulyasa,
E., 2005, Manajemen Berbasis Sekolah, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Misbah,
M., 2009, Peran dan Fungsi Komite Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan,
Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan, Insania, Vol. 14, No. 1, Jan-Apr
2009.
Safruddm,
Cepi & Abd Jabar, 2006, Meneropong Desentralisasi Pengelolaan
Pendidikan dengan Kacamata Politik Pendidikan, Jurnal Martajemen Pendidikan No. 01, Vol. IV, April
2006
Machali,
Ara H. I., 2010, Pengelolaan Pendidikan Konsep,Prinsip dan Aplikasi dalam Mengelola
Sekolah dan Madrasah, Pustaka Educa, Bandung.
Maulana
Ichsan, Tata Kelola Pemerintahan di Era Revolusi Industri 4.0, diakses
dari https://kumparan.com/maulana-ihsan1522156960298/tata-kelola-pemerintahan-di-era-revolusi-industri-4-0 diunduh Tanggal
21 Maret 2019.
Masganti
Sit, Peran
Majelis Madrasah dalam Peningkatan Mutu Madrasah, Jurnal Analytica
Islamica, Vol. 6, No. 1, 2004, bisa diakses di http://www.analytica-pps.com/file/61PDF/61masganti.pdf
Maemunah,
HJ., 2018, Kebijakan Pendidikan Pada Era Revolusi Industri 4.0, Prosiding
Seminar Nasional, Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala Sabtu, 29
September 2018
Paqueo,
V. & J. Lammert, 2000, Decentarlization in Education, New
York: Education Reform dan Management
Thematic Goup.
Rianti
Nugroho, 2008, Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi
dan
Strategi,
Pustaka Pelajar, Yogjakarta.
Rusniati,
Pendidikan
Nasional Dan Tantangan Globalisasi: Kajian kritis terhadap pemikiran A. Malik
Fajar, Jurnal Ilmiah Didaktika, Vol. 16, No. 1, Agustus 2015
Sirozi,
2005, Politik Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Sufyarman,
M., 2003, Kapita selekta Manajemen Pendidikan, Alfabeta, Bandung.
Sigit Priatmoko, 2018, Memperkuat Eksistensi Pendidikan
islam
Di
Era 4.0, Jurnal Studi Pendidikan Islam, Vol.1 No.2 Juli 2018.
Suwardana, Hendra.
2017. Revolusi Industri 4.
0 Berbasis Revolusi
Mental. JATI UNIK. Vol.1, No.2 April 2017.
Tim
Pengembangan Komite Sekolah Ditjen Dikdasmen Depdiknas, Indikator Kinerja Komite Sekolah,
dalam http://dpjp.wordpress.com/2007/04/28/indikator-kinerja-komite-sekolah/. Diakses
Tanggal 20 Maret 2019
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Zirmansyah,
2017,
Menjawab Tantangan Pendidikan di Era Millenial, diunggah dari https://uai.ac.id/2019/02/15/menjawab-tantangan-pendidikan-di-era-millenial/ diakses Tanggal
20 Maret 2019.
[1] Rusniati, Pendidikan Nasional Dan Tantangan
Globalisasi: Kajian kritis terhadap pemikiran A. Malik Fajar, Jurnal
Ilmiah Didaktika, VOL. 16, NO. 1, Agustus 2015, hlm. 105
[2] Sudarwan Danim, Agenda
Pembaharuan Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hal.
4
[3] A. Malik Fadjar, Holistika
Pemikiran Pendidikan, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2005, h.vi.
[4] Rusniati, Op. Cit, hlm. 107.
[5] Abuddin Nata, Pendidikan
Islam di era milenial, Jurnal Coniencia Raden Fatah, Pendidikan Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, No. 2, Vol. 2 Agustus-Desember 2018, hlm. 4
[6] M. Misbah, Peran dan Fungsi Komite Sekolah
dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan, Jurnal Pemikiran Alternatif
Kependidikan, Insania, Vol. 14, No. 1, Jan-Apr 2009, 68-91
[7] Tim Pengembangan Komite Sekolah
Ditjen Dikdasmen Depdiknas, Indikator Kinerja Komite Sekolah,
dalam http://dpjp.wordpress.com/2007/04/28/indikator-kinerja-komite-sekolah/. Diakses Tanggal 20 Maret 2019
[8] Zirmansyah, 2017, Menjawab
Tantangan Pendidikan di Era Millenial, diunggah dari https://uai.ac.id/2019/02/15/menjawab-tantangan-pendidikan-di-era-millenial/ diakses Tanggal 20 Maret 2019.
[9] Ibid,
[10] Hadiyanto, Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen
Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 2004), hlm. 63
[11] Asrin, 2018, Desentralisasi
Pendidikan Pada Konteks Sekolah Menengah, El-HIKAM, Vol. 1, No. 1,
Maret 2008
[12] Ace Suryadi, Mewujudkan
Sekolah-sekolah Yang Mandiri dan Otonom, Disampaikan pada Sosialisasi
Pemberdayaan Dewan Pendidikan Dan Komite Sekolah Juni 2003
[13] Cepi Safruddm Abd.Jabar, Meneropong
Desentralisasi Pengelolaan Pendidikan dengan Kacamata Politik Pendidikan,
Jurnal Martajemen Pendidikan No. 01/Th. IVApril
2006
[14] V. Paqueo dan J. Lammert, Decentarlization
in Education, Education Reform dan Management Thematic Goup, 2000, New
York, hlm. 23
[15] Komite Reformasi Pendidikan, Naskah
Akademik Rancangan Undang-undang Nasional, Balitbang Depdiknas, Jakarta,
2001, hlm. 154
[16] Ibid
[17] Ara Hidayatdan Imam Machali, Pengelolaan
Pendidikan Konsep,Prinsip dan Aplikasi dalam Mengelola Sekolah dan Madrasah,
Pustaka Educa, Bandung, 2010, hlm.55.
[18] Ibid,
[19]
Sirozi, Politik Pendidikan, PTRaja Grafindo Persada, Jakarta,2005, hlm. 83.
[20] bdul Halim, Bunga Rampai Manajemen Keuangan
Daerah, UPP AMP YPKN, Yogyakarta, 2010), hlm. 15.
[21] M. Sufyarman, Kapita Selekta
Manajemen Pendidikan , (Bandung: Alfabeta, 2003), hlm. 83.
[22] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah,
PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005, hlm 22
[23] Hasbullah, Otonomi Pendidikan, PT
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 12-14.
[24] Imma khasanah,
http://immakhasanah.blogspot.com/2013/03/makalah-desentralisasi-pendidikan.html,
di unduh pada tanggal 20 Maret 2019.
[25]
I. Musa, Otonomi Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jurnal
Pendidikan Volume 2 No. 2 September 2001.
[26] Masganti Sit, Peran
Majelis Madrasah dalam Peningkatan Mutu Madrasah, Jurnal Analytica
Islamica, Vol. 6, No. 1, 2004, hal. 90-91, bisa diakses di http://www.analytica-pps.com/file/61PDF/61masganti.pdf
[27] Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
[28] Rianti Nugroho, 2008, Pendidikan
Indonesia: Harapan, Visi,dan Strategi, Jogjakarta: Pustaka Pelajar,
hlm.98
[29] Azra, Azyumardi, 2012. Pendidikan
Islam Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, Cet. I,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Ahmad, Intan., hlm. 87.
[30] Biro Kerjasama dan Komunikasi
Publik Kementerian Riset, Teknologi, dan Dikti, Read moreat https://www.ristekdikti.go.id/siaran-pers/pengembangan-iptek-dan-pendidikan-tinggi-di-era-revolusi-industri-4-0/#wsi7C4I09q1ZvcPZ.99, diunduh tanggal 21 Maret 2019.
[31] HJ.Maemunah, Kebijakan
Pendidikan Pada Era Revolusi Industri 4.0, Prosiding Seminar Nasional
P-ISSN 2623-0291 & E-ISSN 2623-2774 Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP)
Mandala Sabtu, 29 September 2018
[32] Adnan Ganto, Peluang dan Tantangan Era Revolusi Industri
4.0, http://aceh.tribunnews.com/2018/11/27/peluang-dan-tantangan-era-revolusi-industri-40?page=all. Diunggah Tanggal 21 Maret 2019
[33] Ibid
[34] Maulana Ichsan, Tata
Kelola Pemerintahan di Era Revolusi Industri 4.0, diakses dari https://kumparan.com/maulana-ihsan1522156960298/tata-kelola-pemerintahan-di-era-revolusi-industri-4-0 diunduh Tanggal 21 Maret 2019.
[35] Sigit Priatmoko, Memperkuat Eksistensi Pendidikan islam
Di
Era 4.0, Jurnal Studi Pendidikan Islam, Vol.1 No.2 Juli 2018, hlm, 1-15.
[36] Eko Risdianto, M.Cs, 2018, Analisis
Pendidikan Indonesia Di Era Revolusi Industri 4.0, diunduh dari https://www.academia.edu/38353914/Analisis_Pendidikan_Indonesia_di_Era_Revolusi_Industri_4.0.pdf, tanggal 20 Maret 2019.
[37] Ibid
[38] Arifi, Ahmad.
2010. Politik Pendidikan Islam
Menelusuri Ideologi dan
Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi.
Yogyakarta: Teras. hlm.97.
[39] Suwardana, Hendra.
2017. Revolusi Industri 4.
0 Berbasis Revolusi
Mental. JATI UNIK. Vol.1, No.2,
hh. 102-110
Tidak ada komentar:
Posting Komentar