POLEMIK
JUDICIAL REVIEW UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN PRESIDEN
DAN WAKIL PRESIDEN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI[1]
Oleh
Melkianus E. N.
Benu,SH.,M.Hum.
Dosen Bagian Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang
Abstract :
Polemic judicial review UU No.42/2008 on election
eliminate the existence of five Judges of the Constitutional Court in carrying
out the functions inherent in the presence of MK and implemented through the
authority the guardian of the constitution, the final interpreter of the
constitution, the protector of human rights, the protector of the citizen 's
constitutional rights, and the protector of democracy.
Of course, if the decision after followed by the
implementation of the polemics that no political party said to be a participant
elections should not waste the energy to build a coalition to . Constitutional
Court Decision No. 14/PUU-XI/2013 , stating the applicant's request for a
partial grant , Article 3, paragraph (5) , Article 12 paragraph (1) and
paragraph (2) , Article 14 paragraph (2) and Article 112 UU No. 42 of 2008 on
the Election of President and Vice President contrary to the 1945 Constitution.
Chapters are otherwise contrary to the 1945 Constitution does not pose a
fundamental legal consequences , except Article 112 UU. 42/2008, as in the
ruling explicitly states this article contrary to the constitution . The most
fundamental legal consequences , arising from the statement of the Court in a
verdict that is contrary to Article 112 of the 1945 Constitution, Article 6A,
so Pileg and presidential elections to be held simultaneously . Realized due to
the fundamental law , the Court around this by stating , the ruling of the
above applies to the general election and the 2019 election onwards .
Keywords : Polemic , Judicial Review , Law on
presidential election
Latar
Belakang
Keberadaan Mahkamah
Konstitusi (MK) di Indonesia sesungguhnya membawa ingin segar bagi para pencari
keadilan di negeri ini, terutama menyangkut harkat dan martabat manusia ketika
hak asasinya diabaikan dan dilanggar oleh regulasi ketentuan perundang-undangan
yang berlaku berdasarkan Undang-Undang Dasar. Sungguh sangat memprihatinkan
apabila kehadiran MK belum memberikan pengawalan terhadap demokrasi dan
konstitusi berkaitan dengan substansi hasil produk UU yang melanggar hak asasi
manusia[2]. Sepanjang
sejarah lahirnya MK, telah memberikan angin segar bagi para pencari keadilan di
negeri ini.
Namun hingga kehadiran
pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
setelah di tetapkan tanpa pleno namun menjadi polemik tersendiri akibat lamanya
waktu untuk membacakan hasil putusan itu. Lebih ironis lagi setelah dibacakan
tidak dapat dilaksanakan dalam pelaksanaan pemilu 9 April 2014 ini. Partai
poltik (parpol) sebagai peserta pemilu 2014-2019 siap melaksanakan apa pun
keputusan putusan MK mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Presiden (UU Pilpres). Konsekuensi yang harus dihadapi
jika gugatan tersebut dikabulkan adalah semua parpol peserta pemilu berhak
mengajukan pasangan capres dan calon wakil presiden (cawapres). Dengan begitu,
pengajuan pasangan capres-cawapres harus dilakukan sebelum Pemilu Legislatif
(Pileg) 9 April 2014. Namun yang terjadi adalah MK sengaja mengulur-ulur waktu
pembacaan putusan. Sehingga ada kecurigaan bahwa MK telah bermain dibalik
kepentingan parpol pengusung bakal calon presiden dan bakal calon wakil
presiden.
Secara konstitusional atau dalam
tataran teoritik, siasat MK tersebut menimbulkan masalah karena dalam
Pasal 47 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi berisi ketentuan
sebagai berikut : “Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai
diucapkan dalam sidang pleno terbuka umum.[3]”
Maka ketentuan hukumnya Pasal 112 UU No. 42/2008 tentang pemilihan presiden dan
wakil presiden, yang dinyatakan MK bertentangan bertentangan dengan UUD 1945,
berlaku positif sejak putusan MK dibacakan. Karena putusan tersebut di bacakan Tanggal
23 Januari 2014 maka keputusan tersebut berlaku sejak tanggal tersebut,
sehingga Pasal 112 tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal-Pasal
yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat, kehilangan sifat positifnya sebagai hukum, sehingga tidak bisa
digunakan sebagai dasar untuk melakukan tindakan hukum yang sah. Sehingga
seharusnya Komisi Pemilihan Umum tidak bisa lagi menggunakan Pasal 112 UU
Pilpres sebagai dasar penyelengaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada
tahun 2014 ini.
Perkembangan
Kewenangan MK dalam menguji konstitusionalitas suatu Undang-undang (Judicial
Review)
Pembentukan MK tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan hukum dan ketatanegaraan tentang pengujian produk hukum oleh
lembaga peradilan atau judicial review.[4]
Walaupun terdapat ahli yang mencoba menarik sejarah judicial review hingga
masa yunani kuno dan pemikiran sebelum abad ke-19,[5]
tetapi momentum utama munculnya judicial review adalah pada keputusan MA
Amerika Serikat dalam kasus Marbury vs. Madison pada 1803. Dalam kasus
tersebut, MA Amerika Serikat membatalkan ketentuan dalam Judiciary Act 1789
karena dinilai bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikat. Pada saat itu
tidak ada ketentuan dalam Konstitusi AS maupun undang-undang yang memberikan
wewenang judicial review kepada MA, namun para hakim agung MA AS yang
diketuai oleh John Marshal berpendapat hal itu adalah kewajiban konstitusional
mereka yang telah bersumpah untuk menjunjung tinggi dan menjaga konstitusi.
Sumpah hakim agung AS adalah sebagai berikut:[6]
I do solemnly
swear that I will administer justice without respect to persons, and do equal right
to the poor and to the rich; and that I will faithfully and impartially
discharge all the duties incumbent on me as according to the best of my
abilities and understanding, agreeably to the constitution, and laws of the
United States.
Berdasarkan
sumpah tersebut, MA memiliki kewajiban untuk menjaga supremasi konstitusi,
termasuk dari aturan hukum yang melanggar konstitusi. Oleh karena itu, sesuai
dengan prinsip supremasi konstitusi, hukum yang bertentangan dengan konstitusi
harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Hal itu bukan saja
merupakan kewajiban konstitusional pengadilan, melainkan juga lembaga negara
lain sebagaimana secara tegas dinyatakan oleh John Marshall di akhir opininya
sebagai berikut.[7]
Thus, the particular phraseology of the
constitution of the United States confirms and strengthens the principle,
supposed to be essential to all written constitutions, that a law repugnant to
the constitution is void; and that courts, as well as other departments, are
bound by that instrument.
Terhadap
perkembangan hukum di Amerika Serikat itu, Beard menyatakan bahwa judicial
review merupakan bagian dari sistem checks and balances yang telah
ditetapkan dalam Constitution Convention. Sistem checks and balances merupakan
elemen esensial konstitusi dan dibangun di atas doktrin bahwa cabang
pemerintahan tidak boleh berkuasa penuh, apalagi terkait dengan pelaksanaan
undang-undang yang menyangkut hak kepemilikan.[8]
Putusan MA Amerika Serikat tersebut memicu
perdebatan tentang judicial review hingga ke daratan eropa yang pada
saat itu didominasi pandangan bahwa hukum adalah manifestasi dari kedaulatan
rakyat yang menghendaki supremasi parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Suatu pengadilan tidak dapat menolak untuk menerapkan suatu undang-undang
walaupun dinilai melanggar Undang-Undang Dasar. Pandangan tersebut sedikit
berkurang dengan adanya prinsip pemisahan kekuasaan yang memberikan peluang
kepada pengadilan untuk menolak menerapkan suatu undang-undang yang dinilai
bertentangan dengan konstitusi tanpa mencampuri kekuasaan legislatif sehingga
penolakan itu tidak dapat diikuti dengan pencabutan oleh pengadilan.
Perkembangan di Amerika Serikat mendorong George
Jellinek mengembangkan gagasan pada akhir abad ke-19 agar terhadap MA Austria
ditambahkan kewenangan melakukan judicial review seperti yang
dipraktikkan oleh John Marshall. Pada saat itu MA Austria sudah memiliki
wewenang mengadili sengketa antara warga negara dengan pemerintahan terkait
dengan perlindungan hak politik, bahkan pengadilan negara bagian juga telah
memiliki wewenang memutus keberatan konstitusional yang diajukan warga negara
atas tindakan negara (constitutional complaint).[9]
Gagasan pembentukan peradilan tersendiri di luar MA
untuk menangani perkara judicial review pertama kali dikemukakan oleh
Hans Kelsen pada saat menjadi anggota Chancelery dalam pembaruan
Konstitusi Austria pada 1919-1920. Gagasan tersebut diterima dan menjadi bagian
dalam Konstitusi Austria 1920 yang di dalamnya dibentuk Mahkamah Konstitusi (Verfassungsgerichtshof).
Sejak saat itulah dikenal dan berkembang lembaga Mahkamah Konstitusi yang
berada di luar MA yang secara khusus menangani judicial review dan
perkara-perkara konstitusional lainnya.[10]
Berdasarkan latar belakang sejarah pembentukan MK,
keberadaan MK pada awalnya adalah untuk menjalankan wewenang judicial review,
sedangkan munculnya judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai
perkembangan hukum dan politik ketatanegaraan modern. Dari aspek politik,
keberadaan MK dipahami sebagai bagian dari upaya mewujudkan mekanisme checks
and balances antar cabang kekuasaan negara berdasarkan prinsip demokrasi.
Hal ini terkait dengan dua wewenang yang biasanya dimiliki oleh MK di berbagai
negara, yaitu menguji konstitusionalitas peraturan perundang-undangan dan
memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara.
Sistem demokrasi, baik
dari teori maupun praktik, berlandaskan pada suara mayoritas. Sistem politik
demokrasi pada dasarnya adalah pembuatan kebijakan publik atas dasar suara
mayoritas melalui mekanisme perwakilan yang dipilih lewat Pemilu. Kekuatan
mayoritas itu perlu dibatasi karena dapat menjadi legitimasi bagi
penyalahgunaan kekuasaan, bahkan membahayakan demokrasi itu sendiri. Oleh
karena itu diperlukan pembatasan yang rasional, bukan sebagai sesuatu yang
bertentangan dengan demokrasi, tetapi justru menjadi salah satu esensi
demokrasi.[11]
Mekanisme judicial review yang di banyak negara dijalankan oleh MK
merupakan mekanisme untuk membatasi dan mengatasi kelemahan demokrasi
tradisional.[12]
Dalam sistem demokrasi konstitusional,
penyelenggaraan negara diatur dengan model pemisahan ataupun pembagian
kekuasaan yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya konsentrasi kekuasaan agar
tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan“Power tends to corrupt, absolut power
corrupt absolutely”. Kekuasaan negara dibagi atas cabang-cabang tertentu
menurut jenis kekuasaan dan masing-masing dipegang dan dijalankan oleh lembaga
yang berbeda. Dalam perkembangnya kelembagaan negara dan pencabangan kekuasaan
semakin kompleks dan tidak dapat lagi dipisahkan secara tegas hanya menjadi
legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kondisi tersebut sangat memungkinkan
terjadinya konflik atau sengketa antar lembaga negara, baik horizontal maupun
vertikal yang harus dibuat mekanisme penyelesaiannya. Di sinilah keberadaan MK
diperlukan.
Mengingat permasalahan konstitusional di atas, MK
sering dicirikan sebagai pengadilan politik. Bahkan judicial review secara
tradisional dipahami sebagai tindakan politik untuk menyatakan bahwa suatu
ketentuan tidak konstitusional oleh pengadilan khusus yang berisi para hakim
yang dipilih oleh parlemen dan lembaga politik lain, dan bukan oleh pengadilan
biasa yang didominasi oleh hakim yang memiliki kemampuan teknis hukum.[13]
Dari sisi hukum, keberadaan MK adalah konsekuensi
dari prinsip supremasi konstitusi yang menurut Hans Kelsen untuk menjaganya
diperlukan pengadilan khusus guna menjamin kesesuaian aturan hukum yang lebih
rendah dengan aturan hukum di atasnya. Kelsen menyatakan:[14]
The application of the constitutional
rules concerning legislation can be effectively guaranted only if an organ
other than the legislative body is entrusted with the task of testing whether a
law is constitutional, and of annulling it if – according to the opinion of
this organ – it is “unconstitutional”. There may be a special organ established
for this purpose, for instance, a special court, a so-called “constitutional
court”...
Pandangan
tersebut merupakan konsekuensi dari dalil hierarki norma hukum yang berpuncak
kepada konstitusi sebagai the supreme law of the land. Hierarki tersebut
sekaligus menempatkan landasan validitas suatu norma hukum adalah norma hukum
yang berada di atasnya demikian seterusnya hingga ke puncak dan sampai pada
konstitusi pertama.
Konsekuensi dari
supremasi konstitusi tidak hanya terbatas bahwa semua aturan hukum tidak boleh
bertentangan dengan konstitusi. Supremasi konstitusi juga mengikat kepada
tindakan negara sehingga tidak ada satu pun tindakan negara yang boleh
bertentangan dengan konstitusi. Untuk mengontrol tindakan negara ini, terdapat
mekanisme constitutional complaint yang menjadi salah satu wewenang
pokok MK di berbagai negara.
Kedudukan, Fungsi,
dan Wewenang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Kekuasaan negara pada umumnya
diklasifikasikan menjadi tiga cabang, walaupun kelembagaan negara saat ini
mengalami perkembangan yang sangat pesat dan tidak sepenuhnya dapat
diklasifikasi ke dalam tiga cabang kekuasaan itu. Namun demikian, cabang
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif adalah tiga cabang kekuasaan
yang selalu terdapat dalam organisasi negara. Cabang kekuasaan yudikatif
diterjemahkan sebagai kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD
1945, kekuasan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan
kehakiman diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi [Pasal 24 ayat (2) UUD
1945]. Dengan demikian, kedudukan MK adalah sebagai salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman, di samping MA. MK adalah lembaga peradilan yang dibentuk untuk
menegakkan hukum dan keadilan dalam lingkup wewenang yang dimiliki. Kedudukan
MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman sejajar dengan pelaku kekuasaan kehakiman
lain, yaitu MA, serta sejajar pula dengan lembaga negara lain dari cabang
kekuasaan yang berbeda sebagai konsekuensi dari prinsip supremasi konstitusi
dan pemisahan atau pembagian kekuasaan. Lembaga-lembaga negara lainnya meliputi
Presiden, MPR, DPR, DPD dan BPK. Setiap lembaga negara menjalankan
penyelenggaraan negara sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat berdasarkan dan di
bawah naungan konstitusi.
Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman,
fungsi konstitusional yang dimiliki oleh MK adalah fungsi peradilan untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Namun fungsi tersebut belum bersifat spesifik
yang berbeda dengan fungsi yang dijalankan oleh MA. Fungsi MK dapat ditelusuri
dari latar belakang pembentukannya, yaitu untuk menegakkan supremasi
konstitusi. Oleh karena itu ukuran keadilan dan hukum yang ditegakkan dalam
peradilan MK adalah konstitusi itu sendiri yang dimaknai tidak hanya sekadar
sebagai sekumpulan norma dasar, melainkan juga dari sisi prinsip dan moral konstitusi,
antara lain prinsip negara hukum dan demokrasi, perlindungan hak asasi manusia,
serta perlindungan hak konstitusional warga negara.
Di dalam Penjelasan Umum UU MK
disebutkan bahwa tugas dan fungsi MK adalah menangani perkara ketatanegaraan
atau perkara konstitusional tertentu dalam rangka menjaga konstitusi agar
dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan
cita-cita demokrasi. Selain itu, keberadaan MK juga dimaksudkan sebagai koreksi
terhadap pengalaman ketatanegaraan yang ditimbulkan oleh tafsir ganda atas
konstitusi.[15]
Fungsi tersebut dijalankan melalui
wewenang yang dimiliki, yaitu memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
tertentu berdasarkan pertimbangan konstitusional. Dengan sendirinya setiap
putusan MK merupakan penafsiran terhadap konstitusi. Berdasarkan latar belakang
ini setidaknya terdapat 5 (lima) fungsi yang melekat pada keberadaan MK dan
dilaksanakan melalui wewenangnya, yaitu sebagai pengawal konstitusi (the
guardian of the constitution), penafsir final konstitusi (the
final interpreter of the constitution), pelindung hak asasi manusia (the
protector of human rights), pelindung hak konstitutional warga
negara (the protector of the citizen’s
constitutional rights), dan pelindung demokrasi (the
protector of democracy).
Wewenang yang dimiliki oleh MK telah
ditentukan dalam Pasal 24C UUD 1945 pada ayat (1) dan ayat (2) yang dirumuskan
sebagai wewenang dan kewajiban. Wewenang tersebut meliputi:
1. menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
2. memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar;
3. memutus
pembubaran partai politik dan
4. memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Sedangkan kewajiban MK adalah
memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Majelis
hakim di Mahkamah Konstitusi meniadakan asas-asas hukum beracara yang lasim
dipakai oleh Mahkamah Konstitusi
Asas secara umum
diartikan sebagai dasar atau prinsip yang bersifat umum yang menjadi titik
tolak pengertian atau pengaturan. Asas di satu sisi dapat disebut sebagai
landasan atau alasan pembentukan suatu aturan hukum yang memuat nilai, jiwa,
atau cita-cita sosial yang ingin diwujudkan. Asas hukum merupakan jantung yang
menghubungkan antara aturan hukum dengan cita-cita dan pandangan masyarakat di
mana hukum itu berlaku (asas hukum objektif)[16].
Di sisi lain, asas hukum dapat dipahami sebagai norma umum yang dihasilkan dari
pengendapan hukum positif (asas hukum subjektif).
Dalam konteks Hukum
Acara MK yang dimaksud dengan asas dalam hal ini adalah prinsip-prinsip dasar
yang bersifat umum sebagai panduan atau bahkan ruh dalam penyelenggaraan
peradilan konstitusi. Asas diperlukan untuk mencapai tujuan penyelenggaraan
peradilan itu sendiri, yaitu tegaknya hukum dan keadilan, khususnya supremasi
konstitusi dan perlindungan hak konstitusional warga negara. Asas-asas tersebut
harus dijabarkan dan dimanifestasikan baik di dalam peraturan maupun praktik
hukum acara. Dengan sendirinya asas Hukum Acara MK menjadi pedoman dan prinsip
yang memandu hakim dalam menyelenggarakan peradilan serta harus pula menjadi
pedoman dan prinsip yang dipatuhi oleh pihak-pihak dalam proses peradilan.
Mengingat sifatnya yang
umum dan tidak merujuk pada tindakan atau kasus tertentu, setiap asas memiliki
pengecualian. Asas peradilan terbuka untuk umum misalnya memiliki pengecualian
untuk perkara-perkara tertentu dapat ditetapkan bersifat tertutup.
Sebagaimana proses
peradilan pada umumnya, di dalam peradilan MK terdapat asas-asas baik yang
bersifat umum untuk semua peradilan maupun yang khusus sesuai dengan
karakteristik peradilan MK. Maruarar Siahaan, salah satu hakim konstitusi
periode pertama, mengemukakan 6 (enam) asas dalam peradilan MK yaitu (1) ius
curia novit; (2) Persidangan terbuka untuk umum; (3) Independen dan imparsial;
(4) Peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan; (5) Hak
untuk didengar secara seimbang (audi et alteram partem); dan (6) Hakim aktif
dan juga pasif dalam persidangan.[17]
Selain itu perlu ditambahkan lagi satu asas yaitu asas (7) Praduga Keabsahan (praesumptio iustae causa).[18]
1.
Ius Curia Novit
Asas ius curia novit
adalah asas bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, sebaliknya hakim harus memeriksa dan mengadilinya. Asas tersebut juga
ditegaskan dalam Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman.[19]
Asas ini berlaku dalam
peradilan MK sepanjang masih dalam batas wewenang MK yang telah diberikan
secara limitatif oleh UUD 1945, yaitu pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara,
pembubaran partai politik, perselisihan tentang hasil Pemilu, serta pendapat
DPR tentang dengan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Sepanjang suatu perkara diajukan dalam bingkai salah satu wewenang tersebut, MK
harus menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus.
Terdapat beberapa
perkara yang secara substansi sesungguhnya tidak termasuk ke dalam salah satu
wewenang MK namun diajukan dalam bingkai salah satu wewenang MK sehingga MK
harus memeriksa dan memutusnya. Perkara tersebut antara lain adalah Perkara
Nomor 001/PUU-IV/2006 yang pada hakikatnya mengajukan pengujian Putusan MA
Nomor 01/PK/Pilkada/2005 dengan konstruksi pengujian undang-undang dengan
mendalilkan bahwa Putusan MA yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut
kedudukannya sama dengan undang-undang. Dalam perkara ini MK memutuskan
permohonan tidak dapat diterima karena Putusan Peninjauan Kembali MA tidak
masuk dalam kategori undang-undang yang menjadi wewenang MK untuk mengujinya.
Selain itu, juga
terdapat Perkara Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 yang pada prinsipnya
bertujuan untuk menguji Putusan MA Nomor 15 P/HUM/2009 mengenai perhitungan
tahap kedua pada Pemilu 2009. Namun pengujian tersebut dibingkai dengan perkara
pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD,
khususnya terhadap Pasal 205 ayat (4). MK dalam putusan perkara ini mengabulkan
permohonan dengan menyatakan ketentuan yang dimohonkan sebagai konstitusional
bersyarat (conditionally constitutional)
sepanjang ditafsirkan seperti yang dituangkan dalam amar putusan MK. Dalam
pertimbangan putusan ini juga dinyatakan bahwa semua peraturan dan putusan
pengadilan yang tidak sesuai dengan putusan MK menjadi kehilangan dasar
pijakannya, dengan kata lain menjadi kehilangan kekuatan mengikat.
Contoh lain adalah
Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Pasal 24C UUD 1945 menyatakan bahwa salah satu wewenang MK adalah
memutus pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Pengertian Undang-undang
menurut Pasal 1 angka 3 UU No. 10 Tahun 2004 adalah peraturan perundang-undangan
yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden. Dengan demikian
pengertian merujuk pada bentuk hukum “Undang-Undang”. Di sisi lain, UU No. 10
Tahun 2004 juga mengatur keberadaan Perpu yang kedudukannya sejajar dengan UU.
Perpu adalah Peraturan Pemerintah yang menggantikan ketentuan dalam suatu
undang-undang.
UUD 1945 menyatakan
bahwa MK berwenang menguji UU terhadap UUD 1945, sedangkan MA menguji peraturan
perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Muncul permasalahan atau kekosongan
hukum, siapa yang dapat menguji Perpu. MA tidak memiliki wewenang karena
kedudukan Perpu sejajar dengan UU. Sebaliknya, MK juga tidak memiliki wewenang
jika dipahami dari pengertian UU sebagai bentuk hukum menurut UU No. 10 Tahun
2004.
Terhadap permohonan
pengujian Perpu dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 MK dinyatakan bahwa MK
berwenang menguji Perpu walaupun tidak ada ketentuan yang secara tegas tentang
hal tersebut. Pertimbangan putusan bahwa MK berwenang menguji Perpu antara lain
adalah; pertama, bahwa Perppu dimaksudkan untuk mengganti ketentuan suatu UU
sehingga materi muatan Perpu merupakan materi muatan UU; Kedua, Perpu dibuat
dan berlaku tanpa menunggu persetujuan DPR sehingga norma yang diatur di dalam
Perpu yang seharusnya menjadi materi muatan UU berlaku sebagai norma hukum yang
mengikat seperti halnya norma dalam suatu UU; dan ketiga, dalam keberlakuan
norma itu dapat melanggar hak konstitusional warga negara dan bertentangan
dengan UUD 1945.
Sesunggunya dengan asas
ius curia novit ini majelis hakim MK
memperlambat pembacaan putusan atau penetapan pengujian UU No. 42/2008 tentang
Pilpres sehingga para pihak yang patut mendapatkan putusan dan penetapan harus
menunggu lama atau mengikuti proses pemilihan umum. Sementara UU No. 42/2008
tentang Pilpres dalam tahapan pelaksanaanya di tahun 2014. Pembacaan putusan
dan penetapan majelis hakim MK yang menjadi molor atau tertunda-tunda
menimbulkan persepsi negatif terhadap para hakim MK dianggap telah ditunggagi
oleh kepentingan partai politik tertentu untuk bisa masuk dalam pencapresannya
di pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2014. Pihak pencapresan yang
menerobos melaksanakan putusan itu adalah bakal calon presiden dan bakal calon
presiden dari Partai Hati Nurani Rakyat (Parpol Hanura) yang akhirnya mendeklarasikan
pencapresannya hingga merugi untuk melakukan konsolidasi atas konstituennya
yang berujung pada pemberlakukan putusan MK untuk pemilu tahun 2019 nanti.
2.
Persidangan terbuka untuk umum
Asas bahwa persidangan pengadilan
dilakukan secara terbuka untuk umum merupakan asas yang berlaku untuk semua
jenis pengadilan, kecuali dalam hal tertentu yang ditentukan lain oleh
undang-undang. Hal ini tertuang di dalam Pasal 13 UU Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, serta juga ditegaskan dalam Pasal 40 ayat (1) UU
MK, bahwa sidang MK terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim.
Persidangan terbuka untuk umum
dimaksudkan agar proses persidangan dapat diikuti oleh publik sehingga hakim
dalam memutus perkara akan objektif berdasarkan alat bukti dan argumentasi yang
dikemukakan di dalam persidangan. Melalui persidangan yang terbuka untuk umum,
publik juga dapat menilai dan pada akhirnya menerima putusan hakim.
Namun demikian, dalam hal tertentu
dapat diputuskan oleh hakim konstitusi bahwa persidangan dilakukan secara
tertutup. Hal itu misalnya terjadi pada saat sidang pemeriksaan alat bukti
dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman,
khususnya tentang sensor film. Dalam pemeriksaan perkara Nomor 29/PUU-V/2007 ini
pernah dilakukan pemeriksaan persidangan secara tertutup untuk melihat alat
bukti berupa potongan-potongan adegan film yang disensor. Sidang dilakukan
secara tertutup karena alasan kesusilaan.
Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)
dilakukan secara tertutup karena dalam rapat tersebut hakim konstitusi
menyampaikan pendapat untuk pengambilan putusan suatu perkara. Di dalam rapat
tersebut terjadi perdebatan antar hakim konstitusi yang dapat berlangsung dalam
tensi tinggi. RPH dilakukan secara tertutup untuk menjaga kerahasiaan putusan
hakim sampai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka. Jika RPH tidak
dilakukan secara tertutup akan membuka peluang pihak-pihak tertentu untuk
memperjualbelikan informasi kecenderungan putusan atau putusan itu sendiri
karena terdapat rentang waktu antara pengambilan putusan dan pengucapan
putusan. Untuk menjaga kerahasiaan putusan, RPH hanya diikuti oleh para hakim
konstitusi, panitera, panitera pengganti, dan beberapa petugas persidangan yang
telah disumpah untuk tidak membocorkan apapun yang terjadi dan diputuskan dalam
RPH.
3.
Independen dan imparsial
Untuk dapat memeriksa dan mengadili
suatu perkara secara objektif serta memutus dengan adil, hakim dan lembaga
peradilan harus independen dalam arti tidak dapat diintervensi oleh lembaga dan
kepentingan apapun, serta tidak memihak kepada salah satu pihak yang berperkara
atau imparsial. Hal ini berlaku untuk semua peradilan yang dirumuskan dalam
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 sebagai kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang ditegaskan
dalam Pasal 2 UU MK. Sedangkan dalam Pasal 3 UU Kekuasaan Kehakiman ditegaskan
bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian
peradilan.
Independensi dan imparsialitas tersebut
memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi fungsional, struktural atau kelembagaan,
dan personal. Dimensi fungsional mengandung pengertian larangan terhadap
lembaga negara lain dan semua pihak untuk mempengaruhi atau melakukan
intervensi dalam proses memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara.
Dimensi fungsional itu harus didukung dengan independensi dan imparsialitas
dari dimensi struktural dan personal hakim.
Dari sisi struktural, kelembagaan
peradilan juga harus bersifat independen dan imparsial sepanjang diperlukan
agar dalam menjalankan peradilan tidak dapat dipengaruhi atau diintervensi
serta tidak memihak. Sedangkan dari sisi personal, hakim memiliki kebebasan
atas dasar kemampuan yang dimiliki (expertise), pertanggungjawaban, dan
ketaatan kepada kode etik dan pedoman perilaku. Untuk mendukung independensi
dan imparsialitas hakim konstitusi dan MK, telah ditetapkan PMK Nomor
09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim
Konstitusi. Terkait dengan independesi hakim konstitusi, pada bagian pertama
Deklarasi ditegaskan[20]
“Independensi Hakim merupakan
prasyarat pokok bagi terwujudnya cita negara hukum, dan merupakan jaminan bagi
tegaknya hukum dan keadilan. Prinsip ini melekat sangat dalam dan harus
tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap
perkara, dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi
peradilan yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim dan
pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik
sendiri-sendiri maupun sebagai institusi dari berbagai pengaruh, yang berasal
dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi secara
langsung atau tidak langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau
tindakan balasan karena kepentingan politik, atau ekonomi tertentu dari
pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan
tertentu, dengan imbalan atau janji berupa keuntungan jabatan, keuntungan
ekonomi, atau bentuk lainnya.”
Penerapan dari prinsip independensi
tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Hakim harus menjalankan fungsi judisialnya secara
independen atas dasar penilaian terhadap fakta-fakta, menolak pengaruh dari
luar berupa bujukan, iming-iming, tekanan, ancaman atau campur tangan, baik
langsung maupun tidak langsung, dari siapapun atau dengan alasan apapun, sesuai
dengan penguasaannya yang seksama atas hukum.
2.
Hakim harus bersikap independen dari tekanan
masyarakat, media massa, dan para pihak dalam suatu sengketa yang harus
diadilinya.
3.
Hakim harus menjaga independensi dari pengaruh
lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan lembaga-lembaga negara lainnya.
4.
Dalam melaksanakan tugas peradilan, hakim harus
independen dari pengaruh rekan sejawat dalam pengambilan keputusan.
5.
Hakim harus mendorong, menegakkan, dan meningkatkan
jaminan independensi dalam pelaksanaan tugas peradilan baik secara perorangan
maupun kelembagaan.
6.
Hakim harus menjaga dan menunjukkan citra independen
serta memajukan standar perilaku yang tinggi guna memperkuat kepercayaan masyarakat
terhadap peradilan.
Sedangkan prinsip imparsial
diuraikan pada bagian kedua Deklarasi sebagai berikut.[21]
“Ketakberpihakan merupakan prinsip
yang melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan
memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya.
Ketakberpihakan mencakup sikap netral, disertai penghayatan yang mendalam akan
pentingnya keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara. Prinsip
ini melekat dan harus tercermin dalam tahapan proses pemeriksaan perkara sampai
kepada tahap pengambilan keputusan, sehingga putusan pengadilan dapat
benar-benar diterima sebagai solusi hukum yang adil bagi semua pihak yang
berperkara dan oleh masyarakat luas pada umumnya.”
Pelaksanaan prinsip
ketidakberpihakan atau imparsial tersebut adalah sebagai berikut[22].
1.
Hakim harus melaksanakan tugas peradilan tanpa
prasangka (prejudice), melenceng (bias), dan tidak condong pada salah satu
pihak.
2.
Hakim harus menampilkan perilaku, baik di dalam maupun
di luar pengadilan, untuk tetap menjaga dan meningkatkan kepercayaan
masyarakat, profesi hukum, dan para pihak yang berperkara terhadap
ketakberpihakan hakim dan peradilan.
3.
Hakim harus berusaha untuk meminimalisasi hal-hal yang
dapat mengakibatkan hakim tidak memenuhi syarat untuk memeriksa perkara dan
mengambil keputusan atas suatu perkara.
4.
Hakim dilarang memberikan komentar terbuka atas
perkara yang akan, sedang diperiksa, atau sudah diputus, baik oleh hakim yang
bersangkutan atau hakim lain, kecuali dalam hal-hal tertentu dan hanya dimaksudkan
untuk memperjelas putusan.
5.
Hakim – kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya korum
– harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut
tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena
alasan-alasan di bawah ini:
a. Hakim
tersebut nyata-nyata mempunyai prasangka terhadap salah satu pihak; dan/atau
b. Hakim
tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap
putusan;
4. Peradilan
dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan
Prinsip peradilan cepat, sederhana,
dan biaya ringan dimaksudkan agar proses peradilan dan keadilan itu sendiri
dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Prinsip ini sangat terkait
dengan upaya mewujudkan salah satu unsur negara hukum, yaitu equality before
the law. Jika pengadilan berjalan dengan rumit dan kompleks, berbelit-belit,
serta membutuhkan biaya yang mahal, maka hanya sekelompok orang tertentu yang
memiliki kemampuan berperkara di pengadilan, dan hanya orang-orang inilah yang
pada akhirnya dapat menikmati keadilan.
Prinsip peradilan yang cepat,
sederhana dan biaya ringan ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan
Kehakiman. Dalam UU MK sendiri sama sekali tidak disebutkan mengenai biaya
perkara. Hal ini berbeda dengan beberapa perkara peradilan di bawah MA.
Pasal 81A ayat (3) UU Nomor 3 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung menyatakan bahwa untuk penyelesaian perkara perdata dan tata
usaha negara, biaya kepaniteraan dan biaya proses penyelesaian perkara
dibebankan kepada pihak atau para pihak yang berperkara. Pasal 89 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 menyatakan bahwa biaya perkara
dalam bidang perkawinan dibebankan penggugat atau pemohon. Pasal 59
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 menyatakan
bahwa untuk mengajukan gugatan, penggugat membayar uang muka biaya perkara yang
besarnya ditaksir oleh panitera pengadilan.
Dalam proses pembahasan UU MK, pada
awalnya terdapat ketentuan tentang biaya perkara. Namun dalam perkembangannya
ketentuan tersebut dihilangkan sehingga dapat dimaknai bahwa maksud dari
pembentuk undang-undang adalah memang menghapuskan biaya perkara dalam proses peradilan
MK. Hal inilah yang menjadi salah satu dasar keputusan hakim konstitusi untuk
menghilangkan biaya perkara dalam peradilan MK. Dengan demikian salah satu
prinsip peradilan MK yang lebih tepat adalah Cepat, Sederhana dan Bebas Biaya.[23]
Dengan tidak adanya biaya perkara
tersebut, pembiayaan penanganan perkara di MK sepenuhnya dibebankan kepada
anggaran negara. Pembebanan ini rasional karena perkara-perkara di MK menyangkut
masalah konstitusional yang di dalamnya kepentingan umum lebih mewarnai
dibanding dengan kepentingan individual.
Salah satu contoh penerapan prinsip
peradilan yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan adalah penggabungan perkara
yang memiliki substansi sama, khususnya untuk perkara pengujian UU. Dalam Pasal
11 ayat (6) PMK No. 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara
Pengujian Undang-Undang dinyatakan bahwa penggabungan perkara dapat dilakukan
berdasarkan usulan panel hakim terhadap perkara yang (a) memiliki kesamaan
pokok permohonan; (b) memiliki keterkaitan materi permohonan; atau (c)
pertimbangan atas permintaan pemohon.
Dengan adanya penggabungan perkara
maka sidang pemeriksaan terhadap perkara-perkara yang digabungkan dilakukan sekaligus
dalam suatu persidangan serta diputus dalam satu putusan. Hal ini akan
mempercepat dan menyederhanakan proses persidangan, serta dapat mencegah adanya
putusan yang bertentangan dengan materi permohonan yang sama.
5. Hak untuk
didengar secara seimbang (audi et alteram
partem)
Pada pengadilan biasa, para pihak
memiliki hak untuk didengar secara seimbang. Para pihak dalam hal ini adalah
pihak-pihak yang saling berhadap-hadapan, baik sebagai tergugat-penggugat,
pemohon-termohon, maupun penuntut-terdakwa. Dalam peradilan MK tidak selalu
terdapat pihak-pihak yang saling berhadapan (adversarial). Untuk perkara pengujian undang-undang misalnya, hanya
terdapat pemohon. Pembentuk undang-undang, pemerintah dan DPR tidak
berkedudukan sebagai termohon.
Dalam peradilan MK, hak untuk
didengar secara seimbang, berlaku tidak hanya untuk pihak-pihak yang saling
berhadapan, misalnya partai politik peserta Pemilu dan KPU dalam perkara
perselisihan hasil Pemilu, melainkan juga berlaku untuk semua pihak yang
terkait dan memiliki kepentingan dengan perkara yang sedang disidangkan. Untuk
perkara pengujian undang- undang, selain pemohon pihak terkait langsung yaitu
DPR dan Pemerintah sebagai pembentuk undang-undang juga memiliki hak untuk
didengar keterangannya. Bahkan, pihak terkait lain yang berkepentingan secara
tidak langsung terhadap undang-undang yang sedang diuji juga akan diberi
kesempatan menyampaikan keterangannya. Misalnya, pada saat pengujian
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, KPU akan diberikan
hak menyampaikan keterangan. Demikian pula pada saat UU Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat diuji, maka organisasi advokat dapat memberikan keterangan.
Demikian pula halnya dalam perkara
konstitusi yang di dalamnya terhadap pihak yang saling berhadapan, misalnya
PHPU, hak menyampaikan keterangan tidak hanya diberikan kepada pemohon (peserta
Pemilu) dan termohon (KPU), tetapi juga kepada pihak terkait yang
berkepentingan, yaitu peserta Pemilu lain yang walaupun tidak ikut berperkara
tetapi berkepentingan dengan putusan atas perkara dimaksud. Untuk menjadi pihak
terkait dan menyampaikan keterangan dalam persidangan konstitusi, dapat
dilakukan dengan mengajukan diri sebagai pihak terkait, atau atas undangan MK.
6. Hakim
aktif dalam persidangan
Maruarar Siahaan menyebut asas ini
“Hakim pasif dan juga aktif dalam proses persidangan”.[24]
Hakim pasif dalam arti tidak mencari-cari perkara. Hakim tidak akan memeriksa,
mengadili, dan memutus sesuatu sebelum disampaikan oleh pemohon ke pengadilan.
Hal ini merupakan prinsip universal lembaga peradilan.
Pada saat suatu perkara sudah masuk
ke pengadilan, hakim dapat bertindak pasif atau aktif bergantung dari jenis
kepentingan yang diperkarakan. Dalam perkara-perkara yang menyangkut
kepentingan individual, hakim cenderung pasif. Sebaliknya, dalam perkara yang
banyak menyangkut kepentingan umum, hakim cenderung aktif.
Hakim dapat bertindak aktif dalam
persidangan karena hakim dipandang mengetahui hukum dari suatu perkara. Hal ini
juga sesuai dengan asas ius curia novit, yang juga dapat diterjemahkan bahwa
hakim mengetahui hukum dari suatu perkara. Oleh karena itu pengadilan tidak
boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada hukumnya, dan hakim di
pengadilan itu dapat aktif dalam persidangan.
Sesuai dengan sifat perkara
konstitusi yang selalu lebih banyak menyangkut kepentingan umum dan tegaknya
konstitusi, maka hakim konstitusi dalam persidangan selalu aktif menggali
keterangan dan data baik dari alat bukti, saksi, ahli, maupun pihak terkait
(pemeriksaan inquisitorial).[25]
Hakim tidak hanya berpaku kepada alat bukti dan keterangan yang disampaikan
oleh pemohon dan pihak terkait maupun dari keterangan saksi dan ahli yang
diajukan oleh pihak-pihak tersebut. Hakim konstitusi untuk keperluan memeriksa
suatu perkara dapat memanggil saksi dan/atau ahli sendiri bahkan memerintahkan
suatu alat bukti diajukan ke MK.[26]
Hakim konstitusi juga dapat mengundang para pakar yang didengar keterangannya
dalam forum diskusi tertutup.[27]
Keaktifan hakim dalam menuntaskan para
pemohon pengujian UU No.42/2008 tentang Pilpres menjadi lambat atau tidak cepat
sehingga berakibat terhadap parpol sebagai peserta pemilu harus bekerja untuk
meyakinkan para konstituennya guna dapat memilihnya sebagai calon presiden dan
calon wakil presiden. Harapan besar para pemohon adalah majelis hakim harus
cepat memberikan putusan dan penetapan terhadap status UU No. 42/2008 tentang
Pilpres karena waktu untuk pencapresan sudah harus berjalan seiring dengan akan
diadakannya pemilu legislatif. Namun akhirnya Hakim MK akhirnya menetapkan
bukan untuk menyatakan UU No.42/2008 tentang Pilpres Inkonstitusional namun
pembatalan pelaksanaan UU tersebut dengan bersyarat yakni tetap berlaku untuk pemilu 2014.
7. Asas
Praduga Keabsahan (Praesumtio Iustae Causa).
Asas praduga keabsahan adalah bahwa
tindakan penguasa dianggap sah sesuai aturan hukum sampai dinyatakan
sebaliknya. Berdasarkan asas ini, semua tindakan penguasa baik berupa produk
hukum maupun tindakan konkret harus dianggap sah sampai ada pembatalan. Sah
dalam hal ini berarti sesuai dengan asas dan ketentuan hukum baik dari sisi
materi maupun prosedur yang harus ditempuh. Untuk menyatakan tidak sah tindakan
tersebut dapat dilakukan oleh lembaga yang melakukan tindakan itu sendiri
maupun oleh lembaga lain yang diberi kewenangan berdasarkan aturan hukum.
Sebagai konsekuensi dari asas ini, apabila ada upaya hukum untuk melakukan
pengujian terhadap tindakan dimaksud, maka tindakan itu tetap berlaku walaupun
sedang dalam proses pengujian.
Perwujudan dari asas ini dalam
wewenang MK dapat dilihat pada kekuatan mengikat putusan MK adalah sejak
selesai dibacakan dalam sidang pleno pengucapan putusan terbuka untuk umum.
Sebelum adanya putusan MK, maka tindakan penguasa yang dimohonkan tetap berlaku
dan dapat dilaksanakan. Hal ini secara khusus dapat dilihat dari wewenang MK
memutus pengujian UU, sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, dan
perselisihan tentang hasil Pemilu. Suatu ketentuan UU yang sedang diuji oleh MK
tetap berlaku dan harus dianggap sah (tidak bertentangan dengan UUD 1945)
sebelum ada putusan MK yang menyatakan ketentuan UU dimaksud bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam perkara
sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara juga demikian, tindakan termohon
harus dianggap sah dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebelum ada putusan
MK yang menyatakan sebaliknya. Pada perkara perselisihan hasil Pemilu,
keputusan KPU tentang penetapan hasil Pemilu yang dimohonkan keberatan oleh
peserta Pemilu harus dianggap benar dan dapat dijalankan sebelum ada putusan MK
yang membatalkan keputusan KPU itu.
Konsekuensi
keterlambatan Majelis Hakim MK dalam Pengucapan Putusan Atau Penetapan UU
No.42/2008 tentang Pilpres
Sidang pengucapan putusan pada
hakikatnya adalah sidang pleno, namun berbeda dengan sidang pleno pemeriksaan
persidangan. Dalam sidang pleno pengucapan putusan agendanya adalah hanya
pembacaan putusan atau ketetapan MK untuk suatu perkara yang telah diperiksa
dan diadili. Putusan biasanya dibacakan secara bergantian oleh majelis hakim
konstitusi, diawali oleh ketua sidang, dilanjutkan oleh hakim konstitusi yang
lain, dan pada bagian kesimpulan, amar putusan dan penutup dibacakan oleh ketua
sidang lagi. Setiap hakim konstitusi akan mendapatkan bagian tertentu dari
putusan untuk dibacakan secara berurutan, kecuali hakim konstitusi yang dalam
posisi mengajukan pendapat yang berbeda (dissenting opinion) atau alasan yang
berbeda (concurring opinion). Hakim
yang mengajukan dissenting opinion
atau concurring opinion membacakan
pendapatnya atau alasannya sendiri setelah ketua sidang membacakan amar
putusan.
Sidang pleno pengucapan putusan
harus dilakukan secara terbuka untuk umum. Hal ini merupakan keharusan karena
apabila putusan diucapkan dalam persidangan yang tertutup, akan berakibat
putusan MK tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.[28]
Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang
pleno pengucapan putusan terbuka untuk umum. Dengan demikian, putusan MK
bersifat tetap dan mengikat sejak setelah sidang pengucapan putusan selesai.[29]
Terhadap pengujian UU No.42/2008
tentang Pilpres setelah dibacakan oleh Majelis Hakim MK maka disyaratkan untuk
adanya penundaan terhadap pemberlakuannya di pemilu 2019 sehingga dapat
dibentuk berbagai regulasi yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilu legislatif
dan presiden secara bersamaan ditahun 2019 nanti. Namun penundaan itu
diprediksi para majelis hakim di MK telah berkonsultasi dengan para pihak yang
telah mengusulkan mereka untuk masuk menjadi anggota hakim MK. Karena anggota
hakim MK diusulkan oleh Presiden tiga orang, DPR tiga orang dan MA tiga orang,
tentu yang sangat berkepentingan dengan pengujian UU No.42/2008 adalah pihak
dari DPR dan Presiden sehingga patut disangkakan bahwa independensi dari
anggota hakim MK sangat diragukan eksistensinya dengan pengujian UU ini.
Implikasi
Hukum Judicial Review UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres
Menurut pakar hukum tata negara, Dr.
Margarito Kamis dari Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate,
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan pengujian Undang-Undang Nomor
42 Tahun 2008 tentang Pilpres menjadi polemik tersendiri. Kendati telah
diputuskan pelaksanaan Pileg dan Pilpres dihelat serentak, namun dalam implementasinya
keputusan tersebut baru berlaku pada pemilu 2019. Putusan MK Nomor
14/PUU-XI/2013, menyatakan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, Pasal
3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112
Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
bertentangan dengan UUD 1945. Pasal-pasal yang dinyatakan bertentangan dengan
UUD 1945 tidak menimbulkan akibat hukum yang fundamental, kecuali Pasal 112 UU
No. 42/2008, karena dalam amar putusannya secara tegas menyatakan pasal ini
bertentangan dengan konstitusi. Akibat hukum yang paling fundamental, yang
ditimbulkan dari pernyataan MK dalam amar putusannya bahwa Pasal 112
bertentangan dengan Pasal 6A UUD 1945, sehingga Pileg dan Pilpres harus dilaksanakan
secara bersamaan. Menyadari akibat hukum yang fundamental itu, maka MK
menyiasatinya dengan menyatakan, amar putusan tersebut diatas berlaku untuk
penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya.
Pendapat senada disampaikan juga
oleh Yusril Ihza Mahendra[30],
bahwa setiap putusan MK yang sudah diketok dan dibacakan secara otomatis
berlaku sejak diucapkan oleh majelis hakim. Namun dalam konteks putusan PUU
Pilpres, MK memerintahkan agar pemilu serentak (yang berarti sesuai Konstitusi)
dilaksanakan pada tahun 2019. Karena landasan untuk penyelenggaraan Pemilu 2014
inkonstusional, maka hasil dari Pemilu 2014 mendatang juga inskonstitusional.
Konsekuensinya DPR, DPD, DPRD dan Presiden serta Wapres terpilih dalam Pileg
dan Pilpres 2014 juga inkonstitusional.
Secara teoritik, terdapat dua akibat
hukum lanjutannya yang bisa diidentifikasi, pertama, akibat hukum pra Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,
adalah gugatan terhadap keputusan-keputusan KPU meliputi : penetapan tahapan
Pilpres, penetapan pasangan calon, dan pengadaan barang dan jasa. Kedua, akibat hukum pasca Pilpres
adalah gugatan terhadap keabsahan Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Semua gugatan akan dialamatkan ke Pengadailan Tata Usaha Negara di Jakarta,
karena locusnya ada di Jakarta.
Sebagai solusinya secara hukum bisa
dilakukan dengan Presiden menerbitkan Perppu mencabut Pasal 9 UU No 42
Tahun 2008, dimana pasal tersebut berisi ketentuan pasangan calon presiden dan
pasangan calon wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan suara paling
sedikit 20% dari jumlah kursi di DPR atau memperoleh 25% dari suara sah
nasional[31].
Apabila Pasal 9 ini dihapus/dicabut, maka pemisahan Pileg dan Pilpres
tersebut sah, karena sudah sesuai dengan norma dan Pasal 6A Ayat (2) UUD
1945. Sedangkan secara politik perlu diciptakan suasana demam politik
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2014 dengan dukungan dari
semua pihak. Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 ini perlu
melibatkan Ormas yang punya pengaruh besar, seperti PP Muhammadiyah, PB
Nahdatul Ulama, Persatuan Gereja Indonesia dan lain sebagainya. Pemerintah
perlu mendorong pihak-pihak terkait terutama para pemuka opini untuk
turut berpartisipasi agar Pemilu tetap berjalan dengan lancar dan aman.
Implikasi atas keputusan MK tersebut, harus diminimalisir agar tidak ada
peluang bagi pihak-pihak yang kalah dalam Pileg maupun Pilpres untuk menggugat
hasil pemilihan karena pelaksanaan Pemilu tahun 2014 masih dianggap ilegal.
Memang sangat ironis apabila disimak
sistem pemerintahan presidensial yang dianut negara-negara berkembang dan
negara-negara maju seperti AS, tentu disana tidak ada kualisi dalam sistem
pemerintahan presidensial. Sebab rakyat yang memilih presiden atau kepala
negara juga kepala pemerintahannya sehingga untuk membentuk pemerintahan dalam
menjalankan roda pemerintahan itu merupakan hak prerogatif bukan harus
menghimpun semua orang yang berkepentingan dari berbagai parpol. Karena parpol
merupakan komponen yang hanya menjalankan ideolginya bukan harus disatukan
ideolginya lagi sebab akan terkesan bagi-bagi kekuasaan, tentu tidak heran
apabila pemerintahan yang ada itu sangat korup sebab disana semua pihak akan
berusaha untuk menajalin hubungan yang baik tujuannya adalah memperkaya dirinya
dan golongannya. Rakyat bukan lagi yang menjadi target pencapaian dari tujuan
penyelenggaraan namun kepentinganlah individu dan kelompok yang diutamakan.
Yusril
Ihza Mahendra[32]
menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji UU Pilpres yang
dimohon oleh Effendi Ghazali dkk. Intinya seluruh pasal UU Pilpres yang dimohon
uji dinyatakan MK bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak punya
kekuatan hukum mengikat. MK dalam pertimbangannya menyatakan bahwa pemilu
serentak baru berlaku untuk Pemilu 2019 dan
seterusnya, bukan untuk Pemilu 2014. Meski pasal-pasal UU Pilpres bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak punya kekuatan hukum mengingat, namun pasal-pasal
tersebut tetap sah digunakan untuk Pemilu 2014.
Mahkamah Konstitusi juga mengatakan bahwa dengan putusan ini,
maka perlu perubahan UU Pileg maupun Pilpres untuk dilaksanakan tahun 2019 dan
seterusnya. Itu disebabkan Efendi Ghazali dkk., tidak memberikan jalan keluar
setelah pasal-pasal UU Pilpres yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD
1945. Dengan demikian, setelah dinyatakan bertentangan dan tidak punya kekuatan
hukum mengikat, akan terjadi kevakuman hukum.
Namun
Yusril Ihza Mahendra[33]
mengusulkan jalan keluar bagi MK adalah MK
menafsirkan secara langsung maksud Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E UUD 1945.
Kalau MK tafsirkan maksud Pasal 6A ayat (2) parpol
peserta pemilu mencalonkan pasangan capres sebelum Pileg, maka tak perlu UU
lagi untuk melaksanakanya. Kalau MK tafsirkan Pasal 22E ayat (1) bahwa pemilu
dilaksanakan sekali dalam lima tahun berarti pileg dan pilpres disatukan, tak
perlu mengubah UU untuk melaksanakanya. Maka penyatuan Pileg dan Pilpres dapat
dilaksakan tahun 2014 ini juga. Namun apa boleh buat MK sudah ambil keputusan
rupanya sejak setahun lalu, namun baru hari ini putusannya dibacakan.
Metrotvnews.com[34] memberitakan polemik MK dengan berbagai
kepentingan yakni permohonan Uji Materi (judicial review) Undang-Undang (UU) Pilpres
yang Yusril ajukan, usai sidang pendahuluan 21 Januari, dan 3 Februari 2014,
hingga kini oleh Mahkamah Konstitusi (MK) belum disidangkan lagi. Lebih lanjut,
Yusril menyatakan bahwa MK tidak lazim menunda sidang pleno begitu lama. MK
tampaknya sengaja menunda-nunda sidang pleno, sementara Kampanye Pileg akan
dimulai 16 Maret 2014. Sehingga dari segi waktu, MK sengaja menunda pembacaan
putusan pengujian UU Pilpres sebelum Kampanye Pileg yang dimulai 16 Maret
mendatang. Sehingga tentu disana pasti ada kepentingan parpol yang akan bermain
dibalik eksisitensi Hakim MK untuk Pileg dan Pilpres tetap dilaksanakan
terpisah.
Penutup
Penulis menyimpulkan
bahwa Hakim MK karena dipilih dan ditentukan oleh lembaga politik seperti
Presiden (eksekutif) dan DPR (legislatif) sehingga eksistensinya hilang dengan
sendirinya setelah berupaya untuk menetapkan UU No.42/2008 tentang Pilpres
untuk dilaksanakan ditahun 2014 dan harus ditunda pelaksanaannya ditahun 2019.
MK kehilangan juga fungsinya sebagai lembaga pengadilan untuk menjalankan
fungsinya sehingga kedepan independensi hakim MK wajib untuk diperbaiki dan
dikendalikan sehingga benar-benar dapat dipercaya sebagai lembaga pengawal
konstitusi di Indonesia.
Daftar
Pustaka
A.
Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006).
David
Wood,
Judicial Invalidation of Legislation and Democratic Principles, dalam
Charles Sampford and Kim Preston (eds.), Interpreting Constitution, (NSW: The
Federation Press, 1996)
Donald
P. Kommers, The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany,
(Durham and London: Duke University Press, 1989).
Deklarasi
Hakim Konstitusi Republik Indonesia tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim
Konstitusi Republik Indonesia (Sapta Karsa Hutama).
Dr.
Widodo Ekatjahjana, S.H., M.Hum, Buku Ajar : Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,
Penerbit: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Jakarta, 2010 Bekerjasama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi.
Hans
Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russell &
Russell, 1961),
I
Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2008).
Jimly
Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
(Jakarta: Konpress, 2005)
________,
Hukum
Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan MK RI, 2005).
Jose
H. Choper, Judicial Review and the National Political Process: A Functional
Reconsideration of the Role of the Supreme Court, (Chicago and London:
The University of Chicago Press, 1980),
Leonard
W. Levy (ed.), Judicial Review: Sejarah Kelahiran, Wewenang, dan Fungsinya dalam
Negara Demokrasi, Judul Asli: Judicial Review and the Supreme Court,
Penerjemah: Eni Purwaningsih, (Jakarta: Penerbit Nuansa, 2005).
Maruarar
Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006).
Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1982).
[1] Dipublikasikan melalui Jurnal
Mahkamah Konstitusi RI, edisi tahun 2014
[2] Mahkamah Konstitsui dalam
periode kepemimpinan Mahfud MD, memiliki Visi untuk mengawal demokrasi dan
menegakan konstitusi di Indonesia
[3] Lihat Ketentuan pasal 47 UU No.
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
[4] Istilah judicial review terkait
dengan istilah Belanda “toetsingsrecht”, tetapi keduanya memiliki perbedaan
terutama dari sisi tindakan hakim. Toetsingsrecht bersifat terbatas pada
penilaian hakim terhadap suatu produk hukum, sedangkan pembatalannya dikembalikan
kepada lembaga yang membentuk. Sedangkan dalam konsep judicial review secara
umum terutama di negara-negara Eropa Kontinental sudah termasuk tindakan hakim
membatalkan aturan hukum dimaksud. Selain itu, istilah judicial review juga
terkait tetapi harus dibedakan dengan istilah lain seperti legislative review,
constitutional review, dan legal review. Dalam konteks judicial review yang
dijalankan oleh MK dapat disebut sebagai constitutional review karena batu
ujinya adalah konstitusi. Lihat, Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian
Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta: Konpress, 2005), hal. 6 – 9.
[5] Perkembangan pemikiran judicial
review dari Yunani Kuno dan sebelum abad ke-19 digambarkan oleh Jimly
Asshiddiqie dalam Ibid, 10-16.
[6] http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw/MarburyvsMadison.mht,
diakses 8/01/ 2010.
[7] Ibid
[8] Leonard W. Levy (ed.), Judicial
Review: Sejarah Kelahiran, Wewenang, dan Fungsinya dalam Negara Demokrasi,
Judul Asli: Judicial Review and the Supreme Court, Penerjemah: Eni
Purwaningsih, (Jakarta: Penerbit Nuansa, 2005), hal. 3.
[9] Jimly Asshiddiqie, op. cit.,
hal. 24.
[10] Ibid, hal 29
[11] Lihat, David Wood, Judicial
Invalidation of Legislation and Democratic Principles, dalam Charles Sampford
and Kim Preston (eds.), Interpreting Constitution, (NSW: The Federation Press,
1996), hal. 171-183.
[12] Jose H. Choper, Judicial Review
and the National Political Process: A Functional Reconsideration of the Role of
the Supreme Court, (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1980),
hal. 4-7. Keberadaan MK dikenal sebagai fenomena Abad XX dan pada umumnya
dibentuk di negara-negara yang telah mencapai tahap akhir transisi demokrasi
yang salah satu cirinya adalah penerimaan mekanisme konstitusi untuk menjamin
hak dan kebebasan dasar warga negara serta pembatasan kekuasaan negara. Lihat,
I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2008), hal. 3.
[13] Donald P. Kommers, The
Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany, (Durham and
London: Duke University Press, 1989), hal. 3.
[14] Hans Kelsen, General Theory of
Law and State, (New York: Russell & Russell, 1961), hal. 157.
[15] A. Mukthie Fadjar, Hukum
Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan MK RI, 2006), hal. 119.
[16] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,
(Bandung: Alumni, 1982), hal. 85 – 86.
[17] Untuk asas Hakim aktif dan juga
pasif, penggunaan istilah tersebut dipandang kurang tepat karena seolah saling
bertentangan. Dalam buku ini akan digunakan istilah hakim aktif dalam
persidangan. Istilah pasif tidak digunakan karena asas itu dimaksudkan bahwa
hakim tidak mencari-cari perkara sehingga masih di luar persidangan. Selain
itu, pasif dalam arti tidak mencari-cari perkara lebih tepat melekat pada
lembaga peradilannya, bukan kepada hakim. Perubahan lain yang dilakukan adalah
menempatkan asas ius curia novit pada pembahasan pertama karena bersifat lebih
umum walupun urutan tidak menunjukkan prioritas. Lihat, Maruarar Siahaan, Hukum
Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan MK RI, 2006), hal. 61 – 81.
[18] Dikenal juga dengan istilah het
vermoeden van rechtmatigheid. Asas ini berarti bahwa tindakan penguasa dianggap
sah sesuai aturan hukum sampai ada pembatalannya. Asas ini dipandang perlu
khususnya terkait dengan wewenang memutus perkara Pengujian Undang-Undang,
Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, dan Perselisihan Hasil Pemilu, di mana
objek sengketanya adalah produk tindakan penguasa.
[19] Tentang latar belakang asas ius
curia novit, dapat dilihat pada pertimbangan Putusan MK Nomor 061/PUU-II/2004.
[20] Bagian Pertama Deklarasi Hakim
Konstitusi Republik Indonesia tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi
Republik Indonesia (Sapta Karsa Hutama).
[21] Bagian Kedua Deklarasi Hakim
Konstitusi Republik Indonesia tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi
Republik Indonesia (Sapta Karsa Hutama).
[22] Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H.,
M.Hum, Buku Ajar : Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Penerbit: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2010
Bekerjasama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, hal. 18-20.
[23] Jimly Asshiddiqie, Hukum
Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan MK RI, 2005), hal. 403.
[24] Maruarar Siahaan, op. cit., hal.
76.
[25] Pasal 41 ayat (2) UU MK
menyatakan “Untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
hakim konstitusi wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi
keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga
negara yang terkait dengan permohonan.”
[26] Misalnya pada saat MK
memerintahkan KPK membawa bukti percakapan Anggodo dengan beberapa pihak dan
memperdengarkan di dalam sidang MK terkait dengan pengujian Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Perkara Nomor
133/PUU-VII/2009.[27] Forum semacam ini misalnya
pernah dilakukan pada saat akan memutus pengujian Undang-Undang APBN Tahun
2006.
[28] Pasal 28 ayat (5) dan ayat (6)
UU No. 24 Tahun 2003.
[29] Pasal 47 UU No. 24 Tahun 2003.
[30]
Lihat Blog facebook Yusril
Ihza Mahendra, Pileg-Pilpres
Tak Serentak: "Semoga Saya Tidak Dipersalahkan!", Opini publik
melalui Facebooknya, diposting Tanggal 12 Pebruari 2014, akses Tanggal 8 Mei
2014.
[31] Lihat Ketentuan Pasal 9 UU
No.42/2008 dan bandingkan dengan Perppu
[32] Yusril Ihza Mahendra,
Pileg-Pilpres Tak Serentak: "Semoga Saya Tidak Dipersalahkan!", Opini
publik melalui Facebooknya, diposting Tanggal 12 Pebruari 2014, akses Tanggal 8
Mei 2014.
[33] Ibid
[34]
Berita Metrotvnews.com
tentang “penundaan pembacaan Uji mteril UU Pilpres”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar