Minggu, 10 Mei 2020


POLEMIK JUDICIAL REVIEW UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI[1]
Oleh
Melkianus E. N. Benu,SH.,M.Hum.
Dosen Bagian Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang

Abstract :
Polemic judicial review UU No.42/2008 on election eliminate the existence of five Judges of the Constitutional Court in carrying out the functions inherent in the presence of MK and implemented through the authority the guardian of the constitution, the final interpreter of the constitution, the protector of human rights, the protector of the citizen 's constitutional rights, and the protector of democracy.
Of course, if the decision after followed by the implementation of the polemics that no political party said to be a participant elections should not waste the energy to build a coalition to . Constitutional Court Decision No. 14/PUU-XI/2013 , stating the applicant's request for a partial grant , Article 3, paragraph (5) , Article 12 paragraph (1) and paragraph (2) , Article 14 paragraph (2) and Article 112 UU No. 42 of 2008 on the Election of President and Vice President contrary to the 1945 Constitution. Chapters are otherwise contrary to the 1945 Constitution does not pose a fundamental legal consequences , except Article 112 UU. 42/2008, as in the ruling explicitly states this article contrary to the constitution . The most fundamental legal consequences , arising from the statement of the Court in a verdict that is contrary to Article 112 of the 1945 Constitution, Article 6A, so Pileg and presidential elections to be held simultaneously . Realized due to the fundamental law , the Court around this by stating , the ruling of the above applies to the general election and the 2019 election onwards .
Keywords : Polemic , Judicial Review , Law on presidential election

Latar Belakang
Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia sesungguhnya membawa ingin segar bagi para pencari keadilan di negeri ini, terutama menyangkut harkat dan martabat manusia ketika hak asasinya diabaikan dan dilanggar oleh regulasi ketentuan perundang-undangan yang berlaku berdasarkan Undang-Undang Dasar. Sungguh sangat memprihatinkan apabila kehadiran MK belum memberikan pengawalan terhadap demokrasi dan konstitusi berkaitan dengan substansi hasil produk UU yang melanggar hak asasi manusia[2]. Sepanjang sejarah lahirnya MK, telah memberikan angin segar bagi para pencari keadilan di negeri ini.
Namun hingga kehadiran pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden setelah di tetapkan tanpa pleno namun menjadi polemik tersendiri akibat lamanya waktu untuk membacakan hasil putusan itu. Lebih ironis lagi setelah dibacakan tidak dapat dilaksanakan dalam pelaksanaan pemilu 9 April 2014 ini. Partai poltik (parpol) sebagai peserta pemilu 2014-2019 siap melaksanakan apa pun keputusan putusan MK mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden (UU Pilpres). Konsekuensi yang harus dihadapi jika gugatan tersebut dikabulkan adalah semua parpol peserta pemilu berhak mengajukan pasangan capres dan calon wakil presiden (cawapres). Dengan begitu, pengajuan pasangan capres-cawapres harus dilakukan sebelum Pemilu Legislatif (Pileg) 9 April 2014. Namun yang terjadi adalah MK sengaja mengulur-ulur waktu pembacaan putusan. Sehingga ada kecurigaan bahwa MK telah bermain dibalik kepentingan parpol pengusung bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden.
Secara konstitusional atau dalam tataran teoritik, siasat MK tersebut menimbulkan masalah  karena dalam Pasal 47 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi berisi ketentuan sebagai berikut : “Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka umum.[3]” Maka ketentuan hukumnya Pasal 112 UU No. 42/2008 tentang pemilihan presiden dan wakil presiden, yang dinyatakan MK bertentangan bertentangan dengan UUD 1945, berlaku positif sejak putusan MK dibacakan. Karena putusan tersebut di bacakan Tanggal 23 Januari 2014 maka keputusan tersebut berlaku sejak tanggal tersebut, sehingga Pasal 112 tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal-Pasal yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kehilangan sifat positifnya sebagai hukum, sehingga tidak bisa digunakan sebagai dasar untuk melakukan tindakan hukum yang sah. Sehingga seharusnya  Komisi Pemilihan Umum tidak bisa lagi menggunakan Pasal 112 UU Pilpres sebagai dasar penyelengaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2014 ini.
Perkembangan Kewenangan MK dalam menguji konstitusionalitas suatu Undang-undang (Judicial Review)
Pembentukan MK tidak dapat dilepaskan dari perkembangan hukum dan ketatanegaraan tentang pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan atau judicial review.[4] Walaupun terdapat ahli yang mencoba menarik sejarah judicial review hingga masa yunani kuno dan pemikiran sebelum abad ke-19,[5] tetapi momentum utama munculnya judicial review adalah pada keputusan MA Amerika Serikat dalam kasus Marbury vs. Madison pada 1803. Dalam kasus tersebut, MA Amerika Serikat membatalkan ketentuan dalam Judiciary Act 1789 karena dinilai bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikat. Pada saat itu tidak ada ketentuan dalam Konstitusi AS maupun undang-undang yang memberikan wewenang judicial review kepada MA, namun para hakim agung MA AS yang diketuai oleh John Marshal berpendapat hal itu adalah kewajiban konstitusional mereka yang telah bersumpah untuk menjunjung tinggi dan menjaga konstitusi. Sumpah hakim agung AS adalah sebagai berikut:[6]
I do solemnly swear that I will administer justice without respect to persons, and do equal right to the poor and to the rich; and that I will faithfully and impartially discharge all the duties incumbent on me as according to the best of my abilities and understanding, agreeably to the constitution, and laws of the United States.
Berdasarkan sumpah tersebut, MA memiliki kewajiban untuk menjaga supremasi konstitusi, termasuk dari aturan hukum yang melanggar konstitusi. Oleh karena itu, sesuai dengan prinsip supremasi konstitusi, hukum yang bertentangan dengan konstitusi harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Hal itu bukan saja merupakan kewajiban konstitusional pengadilan, melainkan juga lembaga negara lain sebagaimana secara tegas dinyatakan oleh John Marshall di akhir opininya sebagai berikut.[7]
Thus, the particular phraseology of the constitution of the United States confirms and strengthens the principle, supposed to be essential to all written constitutions, that a law repugnant to the constitution is void; and that courts, as well as other departments, are bound by that instrument.
Terhadap perkembangan hukum di Amerika Serikat itu, Beard menyatakan bahwa judicial review merupakan bagian dari sistem checks and balances yang telah ditetapkan dalam Constitution Convention. Sistem checks and balances merupakan elemen esensial konstitusi dan dibangun di atas doktrin bahwa cabang pemerintahan tidak boleh berkuasa penuh, apalagi terkait dengan pelaksanaan undang-undang yang menyangkut hak kepemilikan.[8]
Putusan MA Amerika Serikat tersebut memicu perdebatan tentang judicial review hingga ke daratan eropa yang pada saat itu didominasi pandangan bahwa hukum adalah manifestasi dari kedaulatan rakyat yang menghendaki supremasi parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat. Suatu pengadilan tidak dapat menolak untuk menerapkan suatu undang-undang walaupun dinilai melanggar Undang-Undang Dasar. Pandangan tersebut sedikit berkurang dengan adanya prinsip pemisahan kekuasaan yang memberikan peluang kepada pengadilan untuk menolak menerapkan suatu undang-undang yang dinilai bertentangan dengan konstitusi tanpa mencampuri kekuasaan legislatif sehingga penolakan itu tidak dapat diikuti dengan pencabutan oleh pengadilan.
Perkembangan di Amerika Serikat mendorong George Jellinek mengembangkan gagasan pada akhir abad ke-19 agar terhadap MA Austria ditambahkan kewenangan melakukan judicial review seperti yang dipraktikkan oleh John Marshall. Pada saat itu MA Austria sudah memiliki wewenang mengadili sengketa antara warga negara dengan pemerintahan terkait dengan perlindungan hak politik, bahkan pengadilan negara bagian juga telah memiliki wewenang memutus keberatan konstitusional yang diajukan warga negara atas tindakan negara (constitutional complaint).[9]
Gagasan pembentukan peradilan tersendiri di luar MA untuk menangani perkara judicial review pertama kali dikemukakan oleh Hans Kelsen pada saat menjadi anggota Chancelery dalam pembaruan Konstitusi Austria pada 1919-1920. Gagasan tersebut diterima dan menjadi bagian dalam Konstitusi Austria 1920 yang di dalamnya dibentuk Mahkamah Konstitusi (Verfassungsgerichtshof). Sejak saat itulah dikenal dan berkembang lembaga Mahkamah Konstitusi yang berada di luar MA yang secara khusus menangani judicial review dan perkara-perkara konstitusional lainnya.[10]
Berdasarkan latar belakang sejarah pembentukan MK, keberadaan MK pada awalnya adalah untuk menjalankan wewenang judicial review, sedangkan munculnya judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai perkembangan hukum dan politik ketatanegaraan modern. Dari aspek politik, keberadaan MK dipahami sebagai bagian dari upaya mewujudkan mekanisme checks and balances antar cabang kekuasaan negara berdasarkan prinsip demokrasi. Hal ini terkait dengan dua wewenang yang biasanya dimiliki oleh MK di berbagai negara, yaitu menguji konstitusionalitas peraturan perundang-undangan dan memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara.
Sistem demokrasi, baik dari teori maupun praktik, berlandaskan pada suara mayoritas. Sistem politik demokrasi pada dasarnya adalah pembuatan kebijakan publik atas dasar suara mayoritas melalui mekanisme perwakilan yang dipilih lewat Pemilu. Kekuatan mayoritas itu perlu dibatasi karena dapat menjadi legitimasi bagi penyalahgunaan kekuasaan, bahkan membahayakan demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan pembatasan yang rasional, bukan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan demokrasi, tetapi justru menjadi salah satu esensi demokrasi.[11] Mekanisme judicial review yang di banyak negara dijalankan oleh MK merupakan mekanisme untuk membatasi dan mengatasi kelemahan demokrasi tradisional.[12]
Dalam sistem demokrasi konstitusional, penyelenggaraan negara diatur dengan model pemisahan ataupun pembagian kekuasaan yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya konsentrasi kekuasaan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan“Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutely”. Kekuasaan negara dibagi atas cabang-cabang tertentu menurut jenis kekuasaan dan masing-masing dipegang dan dijalankan oleh lembaga yang berbeda. Dalam perkembangnya kelembagaan negara dan pencabangan kekuasaan semakin kompleks dan tidak dapat lagi dipisahkan secara tegas hanya menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kondisi tersebut sangat memungkinkan terjadinya konflik atau sengketa antar lembaga negara, baik horizontal maupun vertikal yang harus dibuat mekanisme penyelesaiannya. Di sinilah keberadaan MK diperlukan.
Mengingat permasalahan konstitusional di atas, MK sering dicirikan sebagai pengadilan politik. Bahkan judicial review secara tradisional dipahami sebagai tindakan politik untuk menyatakan bahwa suatu ketentuan tidak konstitusional oleh pengadilan khusus yang berisi para hakim yang dipilih oleh parlemen dan lembaga politik lain, dan bukan oleh pengadilan biasa yang didominasi oleh hakim yang memiliki kemampuan teknis hukum.[13]
Dari sisi hukum, keberadaan MK adalah konsekuensi dari prinsip supremasi konstitusi yang menurut Hans Kelsen untuk menjaganya diperlukan pengadilan khusus guna menjamin kesesuaian aturan hukum yang lebih rendah dengan aturan hukum di atasnya. Kelsen menyatakan:[14]
The application of the constitutional rules concerning legislation can be effectively guaranted only if an organ other than the legislative body is entrusted with the task of testing whether a law is constitutional, and of annulling it if – according to the opinion of this organ – it is “unconstitutional”. There may be a special organ established for this purpose, for instance, a special court, a so-called “constitutional court”...
Pandangan tersebut merupakan konsekuensi dari dalil hierarki norma hukum yang berpuncak kepada konstitusi sebagai the supreme law of the land. Hierarki tersebut sekaligus menempatkan landasan validitas suatu norma hukum adalah norma hukum yang berada di atasnya demikian seterusnya hingga ke puncak dan sampai pada konstitusi pertama.
Konsekuensi dari supremasi konstitusi tidak hanya terbatas bahwa semua aturan hukum tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Supremasi konstitusi juga mengikat kepada tindakan negara sehingga tidak ada satu pun tindakan negara yang boleh bertentangan dengan konstitusi. Untuk mengontrol tindakan negara ini, terdapat mekanisme constitutional complaint yang menjadi salah satu wewenang pokok MK di berbagai negara.
Kedudukan, Fungsi, dan Wewenang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Kekuasaan negara pada umumnya diklasifikasikan menjadi tiga cabang, walaupun kelembagaan negara saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat dan tidak sepenuhnya dapat diklasifikasi ke dalam tiga cabang kekuasaan itu. Namun demikian, cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif adalah tiga cabang kekuasaan yang selalu terdapat dalam organisasi negara. Cabang kekuasaan yudikatif diterjemahkan sebagai kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, kekuasan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi [Pasal 24 ayat (2) UUD 1945]. Dengan demikian, kedudukan MK adalah sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping MA. MK adalah lembaga peradilan yang dibentuk untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam lingkup wewenang yang dimiliki. Kedudukan MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman sejajar dengan pelaku kekuasaan kehakiman lain, yaitu MA, serta sejajar pula dengan lembaga negara lain dari cabang kekuasaan yang berbeda sebagai konsekuensi dari prinsip supremasi konstitusi dan pemisahan atau pembagian kekuasaan. Lembaga-lembaga negara lainnya meliputi Presiden, MPR, DPR, DPD dan BPK. Setiap lembaga negara menjalankan penyelenggaraan negara sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat berdasarkan dan di bawah naungan konstitusi.
Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi konstitusional yang dimiliki oleh MK adalah fungsi peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Namun fungsi tersebut belum bersifat spesifik yang berbeda dengan fungsi yang dijalankan oleh MA. Fungsi MK dapat ditelusuri dari latar belakang pembentukannya, yaitu untuk menegakkan supremasi konstitusi. Oleh karena itu ukuran keadilan dan hukum yang ditegakkan dalam peradilan MK adalah konstitusi itu sendiri yang dimaknai tidak hanya sekadar sebagai sekumpulan norma dasar, melainkan juga dari sisi prinsip dan moral konstitusi, antara lain prinsip negara hukum dan demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, serta perlindungan hak konstitusional warga negara.
Di dalam Penjelasan Umum UU MK disebutkan bahwa tugas dan fungsi MK adalah menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusional tertentu dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Selain itu, keberadaan MK juga dimaksudkan sebagai koreksi terhadap pengalaman ketatanegaraan yang ditimbulkan oleh tafsir ganda atas konstitusi.[15]
Fungsi tersebut dijalankan melalui wewenang yang dimiliki, yaitu memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu berdasarkan pertimbangan konstitusional. Dengan sendirinya setiap putusan MK merupakan penafsiran terhadap konstitusi. Berdasarkan latar belakang ini setidaknya terdapat 5 (lima) fungsi yang melekat pada keberadaan MK dan dilaksanakan melalui wewenangnya, yaitu sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution), pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights), pelindung hak konstitutional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional rights), dan pelindung demokrasi (the protector of democracy).
Wewenang yang dimiliki oleh MK telah ditentukan dalam Pasal 24C UUD 1945 pada ayat (1) dan ayat (2) yang dirumuskan sebagai wewenang dan kewajiban. Wewenang tersebut meliputi:
1.      menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
2.      memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
3.      memutus pembubaran partai politik dan
4.      memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Sedangkan kewajiban MK adalah memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Majelis hakim di Mahkamah Konstitusi meniadakan asas-asas hukum beracara yang lasim dipakai oleh Mahkamah Konstitusi
Asas secara umum diartikan sebagai dasar atau prinsip yang bersifat umum yang menjadi titik tolak pengertian atau pengaturan. Asas di satu sisi dapat disebut sebagai landasan atau alasan pembentukan suatu aturan hukum yang memuat nilai, jiwa, atau cita-cita sosial yang ingin diwujudkan. Asas hukum merupakan jantung yang menghubungkan antara aturan hukum dengan cita-cita dan pandangan masyarakat di mana hukum itu berlaku (asas hukum objektif)[16]. Di sisi lain, asas hukum dapat dipahami sebagai norma umum yang dihasilkan dari pengendapan hukum positif (asas hukum subjektif).
Dalam konteks Hukum Acara MK yang dimaksud dengan asas dalam hal ini adalah prinsip-prinsip dasar yang bersifat umum sebagai panduan atau bahkan ruh dalam penyelenggaraan peradilan konstitusi. Asas diperlukan untuk mencapai tujuan penyelenggaraan peradilan itu sendiri, yaitu tegaknya hukum dan keadilan, khususnya supremasi konstitusi dan perlindungan hak konstitusional warga negara. Asas-asas tersebut harus dijabarkan dan dimanifestasikan baik di dalam peraturan maupun praktik hukum acara. Dengan sendirinya asas Hukum Acara MK menjadi pedoman dan prinsip yang memandu hakim dalam menyelenggarakan peradilan serta harus pula menjadi pedoman dan prinsip yang dipatuhi oleh pihak-pihak dalam proses peradilan.
Mengingat sifatnya yang umum dan tidak merujuk pada tindakan atau kasus tertentu, setiap asas memiliki pengecualian. Asas peradilan terbuka untuk umum misalnya memiliki pengecualian untuk perkara-perkara tertentu dapat ditetapkan bersifat tertutup.
Sebagaimana proses peradilan pada umumnya, di dalam peradilan MK terdapat asas-asas baik yang bersifat umum untuk semua peradilan maupun yang khusus sesuai dengan karakteristik peradilan MK. Maruarar Siahaan, salah satu hakim konstitusi periode pertama, mengemukakan 6 (enam) asas dalam peradilan MK yaitu (1) ius curia novit; (2) Persidangan terbuka untuk umum; (3) Independen dan imparsial; (4) Peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan; (5) Hak untuk didengar secara seimbang (audi et alteram partem); dan (6) Hakim aktif dan juga pasif dalam persidangan.[17] Selain itu perlu ditambahkan lagi satu asas yaitu asas (7) Praduga Keabsahan (praesumptio iustae causa).[18]
1. Ius Curia Novit
Asas ius curia novit adalah asas bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, sebaliknya hakim harus memeriksa dan mengadilinya. Asas tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman.[19]
Asas ini berlaku dalam peradilan MK sepanjang masih dalam batas wewenang MK yang telah diberikan secara limitatif oleh UUD 1945, yaitu pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, pembubaran partai politik, perselisihan tentang hasil Pemilu, serta pendapat DPR tentang dengan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sepanjang suatu perkara diajukan dalam bingkai salah satu wewenang tersebut, MK harus menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus.
Terdapat beberapa perkara yang secara substansi sesungguhnya tidak termasuk ke dalam salah satu wewenang MK namun diajukan dalam bingkai salah satu wewenang MK sehingga MK harus memeriksa dan memutusnya. Perkara tersebut antara lain adalah Perkara Nomor 001/PUU-IV/2006 yang pada hakikatnya mengajukan pengujian Putusan MA Nomor 01/PK/Pilkada/2005 dengan konstruksi pengujian undang-undang dengan mendalilkan bahwa Putusan MA yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut kedudukannya sama dengan undang-undang. Dalam perkara ini MK memutuskan permohonan tidak dapat diterima karena Putusan Peninjauan Kembali MA tidak masuk dalam kategori undang-undang yang menjadi wewenang MK untuk mengujinya.
Selain itu, juga terdapat Perkara Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 yang pada prinsipnya bertujuan untuk menguji Putusan MA Nomor 15 P/HUM/2009 mengenai perhitungan tahap kedua pada Pemilu 2009. Namun pengujian tersebut dibingkai dengan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, khususnya terhadap Pasal 205 ayat (4). MK dalam putusan perkara ini mengabulkan permohonan dengan menyatakan ketentuan yang dimohonkan sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang ditafsirkan seperti yang dituangkan dalam amar putusan MK. Dalam pertimbangan putusan ini juga dinyatakan bahwa semua peraturan dan putusan pengadilan yang tidak sesuai dengan putusan MK menjadi kehilangan dasar pijakannya, dengan kata lain menjadi kehilangan kekuatan mengikat.
Contoh lain adalah Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 24C UUD 1945 menyatakan bahwa salah satu wewenang MK adalah memutus pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Pengertian Undang-undang menurut Pasal 1 angka 3 UU No. 10 Tahun 2004 adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden. Dengan demikian pengertian merujuk pada bentuk hukum “Undang-Undang”. Di sisi lain, UU No. 10 Tahun 2004 juga mengatur keberadaan Perpu yang kedudukannya sejajar dengan UU. Perpu adalah Peraturan Pemerintah yang menggantikan ketentuan dalam suatu undang-undang.
UUD 1945 menyatakan bahwa MK berwenang menguji UU terhadap UUD 1945, sedangkan MA menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Muncul permasalahan atau kekosongan hukum, siapa yang dapat menguji Perpu. MA tidak memiliki wewenang karena kedudukan Perpu sejajar dengan UU. Sebaliknya, MK juga tidak memiliki wewenang jika dipahami dari pengertian UU sebagai bentuk hukum menurut UU No. 10 Tahun 2004.
Terhadap permohonan pengujian Perpu dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 MK dinyatakan bahwa MK berwenang menguji Perpu walaupun tidak ada ketentuan yang secara tegas tentang hal tersebut. Pertimbangan putusan bahwa MK berwenang menguji Perpu antara lain adalah; pertama, bahwa Perppu dimaksudkan untuk mengganti ketentuan suatu UU sehingga materi muatan Perpu merupakan materi muatan UU; Kedua, Perpu dibuat dan berlaku tanpa menunggu persetujuan DPR sehingga norma yang diatur di dalam Perpu yang seharusnya menjadi materi muatan UU berlaku sebagai norma hukum yang mengikat seperti halnya norma dalam suatu UU; dan ketiga, dalam keberlakuan norma itu dapat melanggar hak konstitusional warga negara dan bertentangan dengan UUD 1945.
Sesunggunya dengan asas ius curia novit ini majelis hakim MK memperlambat pembacaan putusan atau penetapan pengujian UU No. 42/2008 tentang Pilpres sehingga para pihak yang patut mendapatkan putusan dan penetapan harus menunggu lama atau mengikuti proses pemilihan umum. Sementara UU No. 42/2008 tentang Pilpres dalam tahapan pelaksanaanya di tahun 2014. Pembacaan putusan dan penetapan majelis hakim MK yang menjadi molor atau tertunda-tunda menimbulkan persepsi negatif terhadap para hakim MK dianggap telah ditunggagi oleh kepentingan partai politik tertentu untuk bisa masuk dalam pencapresannya di pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2014. Pihak pencapresan yang menerobos melaksanakan putusan itu adalah bakal calon presiden dan bakal calon presiden dari Partai Hati Nurani Rakyat (Parpol Hanura) yang akhirnya mendeklarasikan pencapresannya hingga merugi untuk melakukan konsolidasi atas konstituennya yang berujung pada pemberlakukan putusan MK untuk pemilu tahun 2019 nanti.
2. Persidangan terbuka untuk umum
Asas bahwa persidangan pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum merupakan asas yang berlaku untuk semua jenis pengadilan, kecuali dalam hal tertentu yang ditentukan lain oleh undang-undang. Hal ini tertuang di dalam Pasal 13 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta juga ditegaskan dalam Pasal 40 ayat (1) UU MK, bahwa sidang MK terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim.
Persidangan terbuka untuk umum dimaksudkan agar proses persidangan dapat diikuti oleh publik sehingga hakim dalam memutus perkara akan objektif berdasarkan alat bukti dan argumentasi yang dikemukakan di dalam persidangan. Melalui persidangan yang terbuka untuk umum, publik juga dapat menilai dan pada akhirnya menerima putusan hakim.
Namun demikian, dalam hal tertentu dapat diputuskan oleh hakim konstitusi bahwa persidangan dilakukan secara tertutup. Hal itu misalnya terjadi pada saat sidang pemeriksaan alat bukti dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, khususnya tentang sensor film. Dalam pemeriksaan perkara Nomor 29/PUU-V/2007 ini pernah dilakukan pemeriksaan persidangan secara tertutup untuk melihat alat bukti berupa potongan-potongan adegan film yang disensor. Sidang dilakukan secara tertutup karena alasan kesusilaan.
Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dilakukan secara tertutup karena dalam rapat tersebut hakim konstitusi menyampaikan pendapat untuk pengambilan putusan suatu perkara. Di dalam rapat tersebut terjadi perdebatan antar hakim konstitusi yang dapat berlangsung dalam tensi tinggi. RPH dilakukan secara tertutup untuk menjaga kerahasiaan putusan hakim sampai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka. Jika RPH tidak dilakukan secara tertutup akan membuka peluang pihak-pihak tertentu untuk memperjualbelikan informasi kecenderungan putusan atau putusan itu sendiri karena terdapat rentang waktu antara pengambilan putusan dan pengucapan putusan. Untuk menjaga kerahasiaan putusan, RPH hanya diikuti oleh para hakim konstitusi, panitera, panitera pengganti, dan beberapa petugas persidangan yang telah disumpah untuk tidak membocorkan apapun yang terjadi dan diputuskan dalam RPH.
3. Independen dan imparsial
Untuk dapat memeriksa dan mengadili suatu perkara secara objektif serta memutus dengan adil, hakim dan lembaga peradilan harus independen dalam arti tidak dapat diintervensi oleh lembaga dan kepentingan apapun, serta tidak memihak kepada salah satu pihak yang berperkara atau imparsial. Hal ini berlaku untuk semua peradilan yang dirumuskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang ditegaskan dalam Pasal 2 UU MK. Sedangkan dalam Pasal 3 UU Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.
Independensi dan imparsialitas tersebut memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi fungsional, struktural atau kelembagaan, dan personal. Dimensi fungsional mengandung pengertian larangan terhadap lembaga negara lain dan semua pihak untuk mempengaruhi atau melakukan intervensi dalam proses memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Dimensi fungsional itu harus didukung dengan independensi dan imparsialitas dari dimensi struktural dan personal hakim.
Dari sisi struktural, kelembagaan peradilan juga harus bersifat independen dan imparsial sepanjang diperlukan agar dalam menjalankan peradilan tidak dapat dipengaruhi atau diintervensi serta tidak memihak. Sedangkan dari sisi personal, hakim memiliki kebebasan atas dasar kemampuan yang dimiliki (expertise), pertanggungjawaban, dan ketaatan kepada kode etik dan pedoman perilaku. Untuk mendukung independensi dan imparsialitas hakim konstitusi dan MK, telah ditetapkan PMK Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Terkait dengan independesi hakim konstitusi, pada bagian pertama Deklarasi ditegaskan[20]
“Independensi Hakim merupakan prasyarat pokok bagi terwujudnya cita negara hukum, dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Prinsip ini melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi peradilan yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi dari berbagai pengaruh, yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik, atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya.”
Penerapan dari prinsip independensi tersebut adalah sebagai berikut.
1.      Hakim harus menjalankan fungsi judisialnya secara independen atas dasar penilaian terhadap fakta-fakta, menolak pengaruh dari luar berupa bujukan, iming-iming, tekanan, ancaman atau campur tangan, baik langsung maupun tidak langsung, dari siapapun atau dengan alasan apapun, sesuai dengan penguasaannya yang seksama atas hukum.
2.      Hakim harus bersikap independen dari tekanan masyarakat, media massa, dan para pihak dalam suatu sengketa yang harus diadilinya.
3.      Hakim harus menjaga independensi dari pengaruh lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan lembaga-lembaga negara lainnya.
4.      Dalam melaksanakan tugas peradilan, hakim harus independen dari pengaruh rekan sejawat dalam pengambilan keputusan.
5.      Hakim harus mendorong, menegakkan, dan meningkatkan jaminan independensi dalam pelaksanaan tugas peradilan baik secara perorangan maupun kelembagaan.
6.      Hakim harus menjaga dan menunjukkan citra independen serta memajukan standar perilaku yang tinggi guna memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap peradilan.
Sedangkan prinsip imparsial diuraikan pada bagian kedua Deklarasi sebagai berikut.[21]
“Ketakberpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya. Ketakberpihakan mencakup sikap netral, disertai penghayatan yang mendalam akan pentingnya keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara. Prinsip ini melekat dan harus tercermin dalam tahapan proses pemeriksaan perkara sampai kepada tahap pengambilan keputusan, sehingga putusan pengadilan dapat benar-benar diterima sebagai solusi hukum yang adil bagi semua pihak yang berperkara dan oleh masyarakat luas pada umumnya.”
Pelaksanaan prinsip ketidakberpihakan atau imparsial tersebut adalah sebagai berikut[22].
1.      Hakim harus melaksanakan tugas peradilan tanpa prasangka (prejudice), melenceng (bias), dan tidak condong pada salah satu pihak.
2.      Hakim harus menampilkan perilaku, baik di dalam maupun di luar pengadilan, untuk tetap menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, profesi hukum, dan para pihak yang berperkara terhadap ketakberpihakan hakim dan peradilan.
3.      Hakim harus berusaha untuk meminimalisasi hal-hal yang dapat mengakibatkan hakim tidak memenuhi syarat untuk memeriksa perkara dan mengambil keputusan atas suatu perkara.
4.      Hakim dilarang memberikan komentar terbuka atas perkara yang akan, sedang diperiksa, atau sudah diputus, baik oleh hakim yang bersangkutan atau hakim lain, kecuali dalam hal-hal tertentu dan hanya dimaksudkan untuk memperjelas putusan.
5.      Hakim – kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya korum – harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena alasan-alasan di bawah ini:
a.       Hakim tersebut nyata-nyata mempunyai prasangka terhadap salah satu pihak; dan/atau
b.      Hakim tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan;
4. Peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan
Prinsip peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan dimaksudkan agar proses peradilan dan keadilan itu sendiri dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Prinsip ini sangat terkait dengan upaya mewujudkan salah satu unsur negara hukum, yaitu equality before the law. Jika pengadilan berjalan dengan rumit dan kompleks, berbelit-belit, serta membutuhkan biaya yang mahal, maka hanya sekelompok orang tertentu yang memiliki kemampuan berperkara di pengadilan, dan hanya orang-orang inilah yang pada akhirnya dapat menikmati keadilan.
Prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman. Dalam UU MK sendiri sama sekali tidak disebutkan mengenai biaya perkara. Hal ini berbeda dengan beberapa perkara peradilan di bawah MA.
Pasal 81A ayat (3) UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa untuk penyelesaian perkara perdata dan tata usaha negara, biaya kepaniteraan dan biaya proses penyelesaian perkara dibebankan kepada pihak atau para pihak yang berperkara. Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 menyatakan bahwa biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan penggugat atau pemohon. Pasal 59 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 menyatakan bahwa untuk mengajukan gugatan, penggugat membayar uang muka biaya perkara yang besarnya ditaksir oleh panitera pengadilan.
Dalam proses pembahasan UU MK, pada awalnya terdapat ketentuan tentang biaya perkara. Namun dalam perkembangannya ketentuan tersebut dihilangkan sehingga dapat dimaknai bahwa maksud dari pembentuk undang-undang adalah memang menghapuskan biaya perkara dalam proses peradilan MK. Hal inilah yang menjadi salah satu dasar keputusan hakim konstitusi untuk menghilangkan biaya perkara dalam peradilan MK. Dengan demikian salah satu prinsip peradilan MK yang lebih tepat adalah Cepat, Sederhana dan Bebas Biaya.[23]
Dengan tidak adanya biaya perkara tersebut, pembiayaan penanganan perkara di MK sepenuhnya dibebankan kepada anggaran negara. Pembebanan ini rasional karena perkara-perkara di MK menyangkut masalah konstitusional yang di dalamnya kepentingan umum lebih mewarnai dibanding dengan kepentingan individual.
Salah satu contoh penerapan prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan adalah penggabungan perkara yang memiliki substansi sama, khususnya untuk perkara pengujian UU. Dalam Pasal 11 ayat (6) PMK No. 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang dinyatakan bahwa penggabungan perkara dapat dilakukan berdasarkan usulan panel hakim terhadap perkara yang (a) memiliki kesamaan pokok permohonan; (b) memiliki keterkaitan materi permohonan; atau (c) pertimbangan atas permintaan pemohon.
Dengan adanya penggabungan perkara maka sidang pemeriksaan terhadap perkara-perkara yang digabungkan dilakukan sekaligus dalam suatu persidangan serta diputus dalam satu putusan. Hal ini akan mempercepat dan menyederhanakan proses persidangan, serta dapat mencegah adanya putusan yang bertentangan dengan materi permohonan yang sama.
5. Hak untuk didengar secara seimbang (audi et alteram partem)
Pada pengadilan biasa, para pihak memiliki hak untuk didengar secara seimbang. Para pihak dalam hal ini adalah pihak-pihak yang saling berhadap-hadapan, baik sebagai tergugat-penggugat, pemohon-termohon, maupun penuntut-terdakwa. Dalam peradilan MK tidak selalu terdapat pihak-pihak yang saling berhadapan (adversarial). Untuk perkara pengujian undang-undang misalnya, hanya terdapat pemohon. Pembentuk undang-undang, pemerintah dan DPR tidak berkedudukan sebagai termohon.
Dalam peradilan MK, hak untuk didengar secara seimbang, berlaku tidak hanya untuk pihak-pihak yang saling berhadapan, misalnya partai politik peserta Pemilu dan KPU dalam perkara perselisihan hasil Pemilu, melainkan juga berlaku untuk semua pihak yang terkait dan memiliki kepentingan dengan perkara yang sedang disidangkan. Untuk perkara pengujian undang- undang, selain pemohon pihak terkait langsung yaitu DPR dan Pemerintah sebagai pembentuk undang-undang juga memiliki hak untuk didengar keterangannya. Bahkan, pihak terkait lain yang berkepentingan secara tidak langsung terhadap undang-undang yang sedang diuji juga akan diberi kesempatan menyampaikan keterangannya. Misalnya, pada saat pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, KPU akan diberikan hak menyampaikan keterangan. Demikian pula pada saat UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat diuji, maka organisasi advokat dapat memberikan keterangan.
Demikian pula halnya dalam perkara konstitusi yang di dalamnya terhadap pihak yang saling berhadapan, misalnya PHPU, hak menyampaikan keterangan tidak hanya diberikan kepada pemohon (peserta Pemilu) dan termohon (KPU), tetapi juga kepada pihak terkait yang berkepentingan, yaitu peserta Pemilu lain yang walaupun tidak ikut berperkara tetapi berkepentingan dengan putusan atas perkara dimaksud. Untuk menjadi pihak terkait dan menyampaikan keterangan dalam persidangan konstitusi, dapat dilakukan dengan mengajukan diri sebagai pihak terkait, atau atas undangan MK.
6. Hakim aktif dalam persidangan
Maruarar Siahaan menyebut asas ini “Hakim pasif dan juga aktif dalam proses persidangan”.[24] Hakim pasif dalam arti tidak mencari-cari perkara. Hakim tidak akan memeriksa, mengadili, dan memutus sesuatu sebelum disampaikan oleh pemohon ke pengadilan. Hal ini merupakan prinsip universal lembaga peradilan.
Pada saat suatu perkara sudah masuk ke pengadilan, hakim dapat bertindak pasif atau aktif bergantung dari jenis kepentingan yang diperkarakan. Dalam perkara-perkara yang menyangkut kepentingan individual, hakim cenderung pasif. Sebaliknya, dalam perkara yang banyak menyangkut kepentingan umum, hakim cenderung aktif.
Hakim dapat bertindak aktif dalam persidangan karena hakim dipandang mengetahui hukum dari suatu perkara. Hal ini juga sesuai dengan asas ius curia novit, yang juga dapat diterjemahkan bahwa hakim mengetahui hukum dari suatu perkara. Oleh karena itu pengadilan tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada hukumnya, dan hakim di pengadilan itu dapat aktif dalam persidangan.
Sesuai dengan sifat perkara konstitusi yang selalu lebih banyak menyangkut kepentingan umum dan tegaknya konstitusi, maka hakim konstitusi dalam persidangan selalu aktif menggali keterangan dan data baik dari alat bukti, saksi, ahli, maupun pihak terkait (pemeriksaan inquisitorial).[25] Hakim tidak hanya berpaku kepada alat bukti dan keterangan yang disampaikan oleh pemohon dan pihak terkait maupun dari keterangan saksi dan ahli yang diajukan oleh pihak-pihak tersebut. Hakim konstitusi untuk keperluan memeriksa suatu perkara dapat memanggil saksi dan/atau ahli sendiri bahkan memerintahkan suatu alat bukti diajukan ke MK.[26] Hakim konstitusi juga dapat mengundang para pakar yang didengar keterangannya dalam forum diskusi tertutup.[27]
Keaktifan hakim dalam menuntaskan para pemohon pengujian UU No.42/2008 tentang Pilpres menjadi lambat atau tidak cepat sehingga berakibat terhadap parpol sebagai peserta pemilu harus bekerja untuk meyakinkan para konstituennya guna dapat memilihnya sebagai calon presiden dan calon wakil presiden. Harapan besar para pemohon adalah majelis hakim harus cepat memberikan putusan dan penetapan terhadap status UU No. 42/2008 tentang Pilpres karena waktu untuk pencapresan sudah harus berjalan seiring dengan akan diadakannya pemilu legislatif. Namun akhirnya Hakim MK akhirnya menetapkan bukan untuk menyatakan UU No.42/2008 tentang Pilpres Inkonstitusional namun pembatalan pelaksanaan UU tersebut dengan bersyarat  yakni tetap berlaku untuk pemilu 2014.
7. Asas Praduga Keabsahan (Praesumtio Iustae Causa).
Asas praduga keabsahan adalah bahwa tindakan penguasa dianggap sah sesuai aturan hukum sampai dinyatakan sebaliknya. Berdasarkan asas ini, semua tindakan penguasa baik berupa produk hukum maupun tindakan konkret harus dianggap sah sampai ada pembatalan. Sah dalam hal ini berarti sesuai dengan asas dan ketentuan hukum baik dari sisi materi maupun prosedur yang harus ditempuh. Untuk menyatakan tidak sah tindakan tersebut dapat dilakukan oleh lembaga yang melakukan tindakan itu sendiri maupun oleh lembaga lain yang diberi kewenangan berdasarkan aturan hukum. Sebagai konsekuensi dari asas ini, apabila ada upaya hukum untuk melakukan pengujian terhadap tindakan dimaksud, maka tindakan itu tetap berlaku walaupun sedang dalam proses pengujian.
Perwujudan dari asas ini dalam wewenang MK dapat dilihat pada kekuatan mengikat putusan MK adalah sejak selesai dibacakan dalam sidang pleno pengucapan putusan terbuka untuk umum. Sebelum adanya putusan MK, maka tindakan penguasa yang dimohonkan tetap berlaku dan dapat dilaksanakan. Hal ini secara khusus dapat dilihat dari wewenang MK memutus pengujian UU, sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, dan perselisihan tentang hasil Pemilu. Suatu ketentuan UU yang sedang diuji oleh MK tetap berlaku dan harus dianggap sah (tidak bertentangan dengan UUD 1945) sebelum ada putusan MK yang menyatakan ketentuan UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara juga demikian, tindakan termohon harus dianggap sah dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebelum ada putusan MK yang menyatakan sebaliknya. Pada perkara perselisihan hasil Pemilu, keputusan KPU tentang penetapan hasil Pemilu yang dimohonkan keberatan oleh peserta Pemilu harus dianggap benar dan dapat dijalankan sebelum ada putusan MK yang membatalkan keputusan KPU itu.
Konsekuensi keterlambatan Majelis Hakim MK dalam Pengucapan Putusan Atau Penetapan UU No.42/2008 tentang Pilpres
Sidang pengucapan putusan pada hakikatnya adalah sidang pleno, namun berbeda dengan sidang pleno pemeriksaan persidangan. Dalam sidang pleno pengucapan putusan agendanya adalah hanya pembacaan putusan atau ketetapan MK untuk suatu perkara yang telah diperiksa dan diadili. Putusan biasanya dibacakan secara bergantian oleh majelis hakim konstitusi, diawali oleh ketua sidang, dilanjutkan oleh hakim konstitusi yang lain, dan pada bagian kesimpulan, amar putusan dan penutup dibacakan oleh ketua sidang lagi. Setiap hakim konstitusi akan mendapatkan bagian tertentu dari putusan untuk dibacakan secara berurutan, kecuali hakim konstitusi yang dalam posisi mengajukan pendapat yang berbeda (dissenting opinion) atau alasan yang berbeda (concurring opinion). Hakim yang mengajukan dissenting opinion atau concurring opinion membacakan pendapatnya atau alasannya sendiri setelah ketua sidang membacakan amar putusan.
Sidang pleno pengucapan putusan harus dilakukan secara terbuka untuk umum. Hal ini merupakan keharusan karena apabila putusan diucapkan dalam persidangan yang tertutup, akan berakibat putusan MK tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.[28] Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno pengucapan putusan terbuka untuk umum. Dengan demikian, putusan MK bersifat tetap dan mengikat sejak setelah sidang pengucapan putusan selesai.[29]
Terhadap pengujian UU No.42/2008 tentang Pilpres setelah dibacakan oleh Majelis Hakim MK maka disyaratkan untuk adanya penundaan terhadap pemberlakuannya di pemilu 2019 sehingga dapat dibentuk berbagai regulasi yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilu legislatif dan presiden secara bersamaan ditahun 2019 nanti. Namun penundaan itu diprediksi para majelis hakim di MK telah berkonsultasi dengan para pihak yang telah mengusulkan mereka untuk masuk menjadi anggota hakim MK. Karena anggota hakim MK diusulkan oleh Presiden tiga orang, DPR tiga orang dan MA tiga orang, tentu yang sangat berkepentingan dengan pengujian UU No.42/2008 adalah pihak dari DPR dan Presiden sehingga patut disangkakan bahwa independensi dari anggota hakim MK sangat diragukan eksistensinya dengan pengujian UU ini.
Implikasi Hukum Judicial Review UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres
Menurut pakar hukum tata negara, Dr. Margarito Kamis dari  Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate, Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)  mengabulkan pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres menjadi polemik tersendiri. Kendati telah diputuskan pelaksanaan Pileg dan Pilpres dihelat serentak, namun dalam implementasinya keputusan tersebut baru berlaku pada pemilu 2019. Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, menyatakan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan UUD 1945. Pasal-pasal yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 tidak menimbulkan akibat hukum yang fundamental, kecuali Pasal 112 UU No. 42/2008, karena dalam amar putusannya secara tegas menyatakan pasal ini bertentangan dengan konstitusi. Akibat hukum yang paling fundamental, yang ditimbulkan dari pernyataan MK dalam amar putusannya bahwa Pasal 112 bertentangan dengan Pasal 6A UUD 1945, sehingga Pileg dan Pilpres harus dilaksanakan secara bersamaan. Menyadari akibat hukum yang fundamental itu, maka MK menyiasatinya dengan menyatakan, amar putusan tersebut diatas berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya.
Pendapat senada disampaikan juga oleh Yusril Ihza Mahendra[30], bahwa setiap putusan MK yang sudah diketok dan dibacakan secara  otomatis berlaku sejak diucapkan oleh majelis hakim. Namun dalam konteks putusan PUU Pilpres, MK  memerintahkan agar pemilu serentak (yang berarti sesuai Konstitusi) dilaksanakan pada tahun 2019. Karena landasan untuk penyelenggaraan Pemilu 2014 inkonstusional, maka hasil dari Pemilu 2014 mendatang juga inskonstitusional. Konsekuensinya DPR, DPD, DPRD dan Presiden serta Wapres terpilih dalam Pileg dan Pilpres 2014 juga inkonstitusional.
Secara teoritik, terdapat dua akibat hukum lanjutannya yang bisa diidentifikasi, pertama, akibat hukum pra Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, adalah gugatan terhadap keputusan-keputusan KPU meliputi : penetapan tahapan Pilpres,  penetapan pasangan calon, dan pengadaan barang dan jasa. Kedua, akibat hukum pasca Pilpres  adalah gugatan terhadap keabsahan Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Semua gugatan akan dialamatkan ke Pengadailan Tata Usaha Negara di Jakarta, karena locusnya ada di Jakarta.
Sebagai solusinya secara hukum bisa dilakukan dengan Presiden menerbitkan Perppu  mencabut Pasal 9 UU No 42 Tahun 2008, dimana pasal tersebut berisi ketentuan pasangan calon presiden dan pasangan calon wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan suara paling sedikit 20% dari jumlah kursi di DPR atau memperoleh 25% dari suara sah nasional[31]. Apabila Pasal 9 ini dihapus/dicabut, maka pemisahan Pileg dan Pilpres  tersebut sah, karena sudah sesuai dengan norma dan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945. Sedangkan  secara politik perlu diciptakan suasana demam politik Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2014 dengan  dukungan dari semua pihak. Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 ini perlu melibatkan Ormas yang punya pengaruh besar, seperti PP Muhammadiyah, PB Nahdatul Ulama, Persatuan Gereja Indonesia dan lain sebagainya. Pemerintah perlu mendorong pihak-pihak terkait terutama para pemuka opini  untuk turut berpartisipasi agar Pemilu tetap berjalan dengan lancar dan aman. Implikasi atas keputusan MK tersebut, harus diminimalisir agar tidak ada peluang bagi pihak-pihak yang kalah dalam Pileg maupun Pilpres untuk menggugat hasil pemilihan karena pelaksanaan Pemilu tahun 2014 masih dianggap ilegal.
Memang sangat ironis apabila disimak sistem pemerintahan presidensial yang dianut negara-negara berkembang dan negara-negara maju seperti AS, tentu disana tidak ada kualisi dalam sistem pemerintahan presidensial. Sebab rakyat yang memilih presiden atau kepala negara juga kepala pemerintahannya sehingga untuk membentuk pemerintahan dalam menjalankan roda pemerintahan itu merupakan hak prerogatif bukan harus menghimpun semua orang yang berkepentingan dari berbagai parpol. Karena parpol merupakan komponen yang hanya menjalankan ideolginya bukan harus disatukan ideolginya lagi sebab akan terkesan bagi-bagi kekuasaan, tentu tidak heran apabila pemerintahan yang ada itu sangat korup sebab disana semua pihak akan berusaha untuk menajalin hubungan yang baik tujuannya adalah memperkaya dirinya dan golongannya. Rakyat bukan lagi yang menjadi target pencapaian dari tujuan penyelenggaraan namun kepentinganlah individu dan kelompok yang diutamakan. 
Yusril Ihza Mahendra[32] menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji UU Pilpres yang dimohon oleh Effendi Ghazali dkk. Intinya seluruh pasal UU Pilpres yang dimohon uji dinyatakan MK bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak punya kekuatan hukum mengikat. MK dalam pertimbangannya menyatakan bahwa pemilu serentak baru berlaku untuk Pemilu 2019 dan seterusnya, bukan untuk Pemilu 2014. Meski pasal-pasal UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak punya kekuatan hukum mengingat, namun pasal-pasal tersebut tetap sah digunakan untuk Pemilu 2014.
Mahkamah Konstitusi juga mengatakan bahwa dengan putusan ini, maka perlu perubahan UU Pileg maupun Pilpres untuk dilaksanakan tahun 2019 dan seterusnya. Itu disebabkan Efendi Ghazali dkk., tidak memberikan jalan keluar setelah pasal-pasal UU Pilpres yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, setelah dinyatakan bertentangan dan tidak punya kekuatan hukum mengikat, akan terjadi kevakuman hukum.
Namun Yusril Ihza Mahendra[33] mengusulkan jalan keluar bagi MK adalah MK menafsirkan secara langsung maksud Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E UUD 1945. Kalau MK tafsirkan maksud Pasal 6A ayat (2) parpol peserta pemilu mencalonkan pasangan capres sebelum Pileg, maka tak perlu UU lagi untuk melaksanakanya. Kalau MK tafsirkan Pasal 22E ayat (1) bahwa pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun berarti pileg dan pilpres disatukan, tak perlu mengubah UU untuk melaksanakanya. Maka penyatuan Pileg dan Pilpres dapat dilaksakan tahun 2014 ini juga. Namun apa boleh buat MK sudah ambil keputusan rupanya sejak setahun lalu, namun baru hari ini putusannya dibacakan.
Metrotvnews.com[34]  memberitakan polemik MK dengan berbagai kepentingan yakni permohonan Uji Materi (judicial review) Undang-Undang (UU) Pilpres yang Yusril ajukan, usai sidang pendahuluan 21 Januari, dan 3 Februari 2014, hingga kini oleh Mahkamah Konstitusi (MK) belum disidangkan lagi. Lebih lanjut, Yusril menyatakan bahwa MK tidak lazim menunda sidang pleno begitu lama. MK tampaknya sengaja menunda-nunda sidang pleno, sementara Kampanye Pileg akan dimulai 16 Maret 2014. Sehingga dari segi waktu, MK sengaja menunda pembacaan putusan pengujian UU Pilpres sebelum Kampanye Pileg yang dimulai 16 Maret mendatang. Sehingga tentu disana pasti ada kepentingan parpol yang akan bermain dibalik eksisitensi Hakim MK untuk Pileg dan Pilpres tetap dilaksanakan terpisah.
Penutup
Penulis menyimpulkan bahwa Hakim MK karena dipilih dan ditentukan oleh lembaga politik seperti Presiden (eksekutif) dan DPR (legislatif) sehingga eksistensinya hilang dengan sendirinya setelah berupaya untuk menetapkan UU No.42/2008 tentang Pilpres untuk dilaksanakan ditahun 2014 dan harus ditunda pelaksanaannya ditahun 2019. MK kehilangan juga fungsinya sebagai lembaga pengadilan untuk menjalankan fungsinya sehingga kedepan independensi hakim MK wajib untuk diperbaiki dan dikendalikan sehingga benar-benar dapat dipercaya sebagai lembaga pengawal konstitusi di Indonesia.



Daftar Pustaka
A. Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006).
David Wood, Judicial Invalidation of Legislation and Democratic Principles, dalam Charles Sampford and Kim Preston (eds.), Interpreting Constitution, (NSW: The Federation Press, 1996)
Donald P. Kommers, The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany, (Durham and London: Duke University Press, 1989).
Deklarasi Hakim Konstitusi Republik Indonesia tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi Republik Indonesia (Sapta Karsa Hutama).
Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H., M.Hum, Buku Ajar : Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Penerbit: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2010 Bekerjasama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russell & Russell, 1961),
I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2008).
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta: Konpress, 2005)
________, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2005).
Jose H. Choper, Judicial Review and the National Political Process: A Functional Reconsideration of the Role of the Supreme Court, (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1980),
Leonard W. Levy (ed.), Judicial Review: Sejarah Kelahiran, Wewenang, dan Fungsinya dalam Negara Demokrasi, Judul Asli: Judicial Review and the Supreme Court, Penerjemah: Eni Purwaningsih, (Jakarta: Penerbit Nuansa, 2005).
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006).
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1982).




[1] Dipublikasikan melalui Jurnal Mahkamah Konstitusi RI, edisi tahun 2014  
[2] Mahkamah Konstitsui dalam periode kepemimpinan Mahfud MD, memiliki Visi untuk mengawal demokrasi dan menegakan konstitusi di Indonesia
[3] Lihat Ketentuan pasal 47 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
[4] Istilah judicial review terkait dengan istilah Belanda “toetsingsrecht”, tetapi keduanya memiliki perbedaan terutama dari sisi tindakan hakim. Toetsingsrecht bersifat terbatas pada penilaian hakim terhadap suatu produk hukum, sedangkan pembatalannya dikembalikan kepada lembaga yang membentuk. Sedangkan dalam konsep judicial review secara umum terutama di negara-negara Eropa Kontinental sudah termasuk tindakan hakim membatalkan aturan hukum dimaksud. Selain itu, istilah judicial review juga terkait tetapi harus dibedakan dengan istilah lain seperti legislative review, constitutional review, dan legal review. Dalam konteks judicial review yang dijalankan oleh MK dapat disebut sebagai constitutional review karena batu ujinya adalah konstitusi. Lihat, Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta: Konpress, 2005), hal. 6 – 9.
[5] Perkembangan pemikiran judicial review dari Yunani Kuno dan sebelum abad ke-19 digambarkan oleh Jimly Asshiddiqie dalam Ibid, 10-16.
[6] http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw/MarburyvsMadison.mht, diakses 8/01/ 2010.
[7] Ibid
[8] Leonard W. Levy (ed.), Judicial Review: Sejarah Kelahiran, Wewenang, dan Fungsinya dalam Negara Demokrasi, Judul Asli: Judicial Review and the Supreme Court, Penerjemah: Eni Purwaningsih, (Jakarta: Penerbit Nuansa, 2005), hal. 3.
[9] Jimly Asshiddiqie, op. cit., hal. 24.
[10] Ibid, hal 29
[11] Lihat, David Wood, Judicial Invalidation of Legislation and Democratic Principles, dalam Charles Sampford and Kim Preston (eds.), Interpreting Constitution, (NSW: The Federation Press, 1996), hal. 171-183.
[12] Jose H. Choper, Judicial Review and the National Political Process: A Functional Reconsideration of the Role of the Supreme Court, (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1980), hal. 4-7. Keberadaan MK dikenal sebagai fenomena Abad XX dan pada umumnya dibentuk di negara-negara yang telah mencapai tahap akhir transisi demokrasi yang salah satu cirinya adalah penerimaan mekanisme konstitusi untuk menjamin hak dan kebebasan dasar warga negara serta pembatasan kekuasaan negara. Lihat, I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2008), hal. 3.
[13] Donald P. Kommers, The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany, (Durham and London: Duke University Press, 1989), hal. 3.
[14] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russell & Russell, 1961), hal. 157.
[15] A. Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006), hal. 119.
[16] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 85 – 86.
[17] Untuk asas Hakim aktif dan juga pasif, penggunaan istilah tersebut dipandang kurang tepat karena seolah saling bertentangan. Dalam buku ini akan digunakan istilah hakim aktif dalam persidangan. Istilah pasif tidak digunakan karena asas itu dimaksudkan bahwa hakim tidak mencari-cari perkara sehingga masih di luar persidangan. Selain itu, pasif dalam arti tidak mencari-cari perkara lebih tepat melekat pada lembaga peradilannya, bukan kepada hakim. Perubahan lain yang dilakukan adalah menempatkan asas ius curia novit pada pembahasan pertama karena bersifat lebih umum walupun urutan tidak menunjukkan prioritas. Lihat, Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006), hal. 61 – 81.
[18] Dikenal juga dengan istilah het vermoeden van rechtmatigheid. Asas ini berarti bahwa tindakan penguasa dianggap sah sesuai aturan hukum sampai ada pembatalannya. Asas ini dipandang perlu khususnya terkait dengan wewenang memutus perkara Pengujian Undang-Undang, Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, dan Perselisihan Hasil Pemilu, di mana objek sengketanya adalah produk tindakan penguasa.
[19] Tentang latar belakang asas ius curia novit, dapat dilihat pada pertimbangan Putusan MK Nomor 061/PUU-II/2004.
[20] Bagian Pertama Deklarasi Hakim Konstitusi Republik Indonesia tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi Republik Indonesia (Sapta Karsa Hutama).
[21] Bagian Kedua Deklarasi Hakim Konstitusi Republik Indonesia tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi Republik Indonesia (Sapta Karsa Hutama).
[22] Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H., M.Hum, Buku Ajar : Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Penerbit: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2010 Bekerjasama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, hal. 18-20.
[23] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2005), hal. 403.
[24] Maruarar Siahaan, op. cit., hal. 76.
[25] Pasal 41 ayat (2) UU MK menyatakan “Untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim konstitusi wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan.”
[26] Misalnya pada saat MK memerintahkan KPK membawa bukti percakapan Anggodo dengan beberapa pihak dan memperdengarkan di dalam sidang MK terkait dengan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Perkara Nomor 133/PUU-VII/2009.[27] Forum semacam ini misalnya pernah dilakukan pada saat akan memutus pengujian Undang-Undang APBN Tahun 2006.
[28] Pasal 28 ayat (5) dan ayat (6) UU No. 24 Tahun 2003.
[29] Pasal 47 UU No. 24 Tahun 2003.
[30] Lihat Blog facebook Yusril Ihza Mahendra, Pileg-Pilpres Tak Serentak: "Semoga Saya Tidak Dipersalahkan!", Opini publik melalui Facebooknya, diposting Tanggal 12 Pebruari 2014, akses Tanggal 8 Mei 2014.
[31] Lihat Ketentuan Pasal 9 UU No.42/2008 dan bandingkan dengan Perppu
[32] Yusril Ihza Mahendra, Pileg-Pilpres Tak Serentak: "Semoga Saya Tidak Dipersalahkan!", Opini publik melalui Facebooknya, diposting Tanggal 12 Pebruari 2014, akses Tanggal 8 Mei 2014.
[33] Ibid
[34] Berita Metrotvnews.com tentang “penundaan pembacaan Uji mteril UU Pilpres”

Tidak ada komentar: