Minggu, 10 Mei 2020


KPK HANYA AKAN SEBAGAI SIMBOL : NEGARA SEOLAH MEMBERANTAS KORUPSI

Mel Benu & Aksi Sinurat
Dosen FH Undana

Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)dibentuk dengan tujuan agar negara Indonesia segera bebas dari korupsi,  sekalipun KPK telah dibentuk namun  persoalan korupsi tak kunjung selesai. Hari-hari semakin banyak orang atau pelaku koruptor yang tertangkap karena korupsi. KPK seolah-olah ada untuk hanya mengungkap bahwa Indonesia menyimpan para koruptor.
Sungguh sangat memprihatinkan para pemimpin di negara Indonesia hanya seolah-olah bertindak sebagai orang yang tampil manis dan jujur dihadapan publik, pada hal yang terjadi sebaliknya. Kehadiran KPK ibarat kuncing yang siap mengusir tikus-tikus dalam lumbung padi, sehingga kendatipun KPK  diberikan kewenangan untuk mencegah korupsi namun tidak mampu menghapus target memerangi mental atau pikiran-pkiran koruptif pemimpin yang modus dan operandinya cuman untuk korupsi.
Secara faktual  bahwa negara Indonesia dari tahun ke tahun tetap masuk dalam peringkat negara terkorup di dunia. Data khusus sampai bulan Juni 2019 koruptor yang paling banyak diranah pemerintahan baik di pusat maupun di daerah, jumlahnya  mencapai  255 perkara, diantaranya 130 kepala daerah, 6 pimpinan parpol, 28 kepala lembaga atau kementerian terjerat kasus korupsi. Sesuai dengan catatan lembaga KPK para koruptor sebanyak 114 kepala daerah dengan rincian 17 gubernur, 74 bupati, dan 23 wali kota telah ditangkap karena korupsi. Sementara pada tahun 2018 ICW menemukan ada sebanyak 454 kasus korupsi yang ditangani oleh penegak hukum. Total tersangka yang ditetapkan sebanyak 1.087 orang dengan berbagai latar belakang profesi. Jumlah kerugian negara yang berhasil ditemukan oleh penegak hukum sebesar Rp.5,6 triliun, jumlah nilai suap sebesar Rp.134,7 miliar, jumlah pungutan liar sebesar Rp.6,7 miliar, dan jumlah pencucian uang sebesar Rp.91 miliar.
Rata-rata kasus dugaan korupsi yang ditangani oleh penegak hukum selama empat tahun terakhir (2015-2018) sebanyak 392 kasus per tahun. Lebih-kurang aktor yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi sebanyak 1.153 orang,  dan rata-rata kerugian negara yang ditimbulkan akibat korupsi sebesar Rp.4,17 triliun. Sementara itu apabila dihitung berdasarkan rata-rata per bulan, kasus dugaan korupsi yang ditangani oleh penegak hukum cenderung sedikit. Seluruh penegak hukum hanya mampu menangani 33 kasus dugaan korupsi dengan menetapkan tersangka sebanyak 96 orang tiap bulannya. Artinya secara rata-rata, tiap kasus dugaan korupsi yang ditindak oleh penegak hukum hanya berhasil menangkap 3 (tiga) orang tersangka korupsi. Terkesan bahwa populasi kasus korupsi semakin hari semakin tidak berhenti dalam konteks pemberantasan.


KPK dan Revisi UU KPK
Meskipun ada pro dan kontra mengenai perlu atau tidaknya revisi UU No. 30/2002 tentang KPK (UU KPK), namun pemerintah dan DPR tetap mengambil langkah untuk membahas dan menetapkan RUU KPK tanpa harus menunggu situasi diluar DPR dan Pemerintah,sebab DPR memiliki kewenangan langsung membuat rapat paripurna dan merevisi UU KPK. Substansi perubahan lebih kepada membentuk lembaga Pengawas KPK, perlu adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan(SP3) dalam menegakan hukum korupsi, izin penyadapan dan sistem kepegawaian di KPK. Banyak interprestasi negatif yang telah didiskusikan seolah KPK tidak akan bertanding melawan koruptor sebab adanya dewan pengawas yang secara regulasi diperkuat kewenangannya lewat revisi UU KPK, yang pantas memberikan izin terhadap semua urusan independensi KPK.
Memang kehadiran lembaga pengawas KPK menjadi polemik terhadap urusan independensi pro yusticia dari adanya lembaga yang dianggap luar biasa dari KPK. Seolah KPK hanya akan sebagai simbol dari adanya politik negara terhadap dunia luar bahwa KPK hadir untuk memberantas korupsi namun terbalik arah setelah KPK harus berindepen dengan dituntun melalui lembaga pengawas non pro yusticia. Sebab opini yang berkembang dalam pro dan kontra adanya lembaga pengawas harus terlepas dari lembaga kekuasaan kehakiman seperti polisi, jaksa dan pengadilan atau mahkamah agung. Semoga semua anggota KPK yang ditugaskan secara independen tidak lemah dalam kesatriannya untuk berperang melawan koruptor. Agar lembaga pemasyarakatan (lapas) bukan tempat orang-orang berdasi dan berkedudukan berpesta pora karena ramai-ramai berkorupsi. Sebab target KPK tentu untuk menghapus Indonesia dari label sarang koruptor.
Polemik adanya pansel KPK dan penentuan anggota komisioner KPK yang dipandang negatif harus dipandang sebagai suatu strategi positif dari target upaya pemberantasan korupsi, bahkan sebaliknya lembaga KPK setidaknya harus ditentukan orang-orang yang memiliki prestasi yang baik  di kepolisian maupun di kejaksaan dalam hal penegakan hukum. Sebab KPK selain menindak pelaku korupsi juga harus mencegah timbulnya korupsi pada organ-organ negara Republik Indonesia.
Memang dapat dibaca secara seksama bahwa ketidakberhasilan aparat penegak hukum seperti polisi dan jaksa serta pengadilan dalam memberantas korupsi di negara Indonesia, maka lahirlah UU KPK secara lembaga guna bertindak secara independen demi memberantas korupsi dari bumi Negara Indonesia. Secara umum banyak pihak menyoroti pansel KPK dan semua calon kominisoner KPK yang dianggap sarat dengan kepentingan. Sementara para calon komisioner pun memiliki pengalaman rekam jejak yang jelek atau tidak pro terhadap upaya pemberantasan korupsi bahkan lebih dari itu dapat dipahami bahwa semua orang baik itu pansel dan calon komisioner KPK tentu memiliki rekam jejak yang negatif.


Kesatrian anggota Komisioner KPK teruji
Banyak diskusi baik dalam forum resmi dan tidak resmi telah mengkritisi bahwa pemerintah dan DPR telah berupaya mengkriminalisasi kedudukan KPK sebagai lembaga independen dalam memberantas korupsi.Namun calon komisioner KPK yang telah lolos seleksi secara lantang menyuarakan niat baik kesatriaannya, bahwa hal tersebut menjadi acuan bagi kinerja mereka kedepan agar upaya pemeberantasan korupsi semakin lebih baik, tentu itu yang diharapkan oleh warga masyarakat Indonesia.
Namun semua anggota komisionar KPKdan para pegawai KPK pun sangat lantang menyuarakan keberadaan mereka tentang masalah revisi UU KPK yang secara tergesa-gesa direvisi oleh DPR dan atas persetujuan pemerintah sebagai dalil atau alasan bahwa hal tersebut telah lama diusulkan namun belum sempat dibahas. Sementara dalam program legislasi nasional pun tidak terlihat dalam susunan jadwal pembahasan RUU KPK.
Tanggal 13 September 2019 lalu, Komisi III DPR telah menetapkan lima orang pimpinan KPK periode 2019-2023. Mereka di antaranya Firli Bahuri, Alexander Marwata, Lili Pantauli Siregar, Nurul Ghufron, dan Nawawi Pamolango.Pemilihan dilakukan melalui mekanisme pemungutan suara setelah terlebih dahulu merampungkan fit and proper test di ruang Komisi III. Sebanyak 56 anggota Komisi III DPR yang mewakili seluruh fraksi melingkari 5 dari 10 calon pimpinan KPK yang mengikuti fit and proper test sebelumnya.
Berikut lima pimpinan KPK terpilih sesuai dengan yang dibacakan oleh Ketua Komisi III Azis Syamsuddin, yakni (1). Nawawi Pomolango (hakim di Pengadilan Tinggi Denpasar, Bali) dengan jumlah suara 50, (2). Lili Pintauli Siregar (Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban/LPSK periode 2013-2018) dengan jumlah suara 44, (3). Nurul Ghufron (Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember) dengan jumlah suara 51, (4). Alexander Marwata (komisioner KPK petahana sekaligus mantan hakim tindak pidana korupsi) dengan jumlah suara 53, 5. Irjen Firli Bahuri (Kepala Polda Sumatera Selatan) dengan jumlah suara 56.
Bambang Widjojanto selaku mantan Komisioner KPK (periode 2011-2015), menilai bahwa proses pemilihan KPK periode 2019-2023 ada indikasi kolusi pada proses pemilihan calon pimpinan KPK. Bahkan beliau dengan tegas menyatakan bahwa calon KPK tentu tak akan mampu mengoptimalkan upaya pemberantasan korupsi sebab komisioner KPK oleh parlemen dan kemudian presiden nanti diusulkan ke Presiden untuk ditentukan telah diterindikasi, atau bahkan diketahui pernah melanggar kode etik KPK.
Memang ada sejumlah aspirasi yang disuarakan oleh publik terkait dengan proses pemilihan calon pimpinan (capim) KPK yang diabaikan oleh Panitia Seleksi Capim KPK. Lebih lanjut Bambang menyatakan bahwa patut diduga uji kelayakan dan kepatutan di DPR cuma ajang pengukuhan terhadap calon yang sebenarnya sudah disepakati. Sebab ada banyak tuduhan miring pada parlemen dan presiden yang bersekutu dengan kuasa kegelapan berkaitan dengan proses pemilihan capim KPK yang perlu diklarifikasi. Tentu anggota KPK terpilih tersebut sebagai kelompok otoritarianisme.
Ketua KPK terpilih periode 2019-2023 merupakan mantan Kepala Polda Sumatera Selatan dan juga mantan Deputi Penindakan KPK. Sesuai pendapat Bambang bahwa uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan Komisi III DPR ketua terpilih sangat mendukung adanya revisi UU KPK. Sementara, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengadakan konferensi pers dan menyebut Firli diduga melanggar kode etik semasa menjabat sebagai Deputi Penindakan. Hal itu terukur saat Firli Bahuri menangani berperkara di KPK, antara Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Bajang Zainul Majdi, dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Bahrullah Akbar. Sebab hasil pemeriksaan pengawas internal terdapat dugaan pelanggaran berat. Tentu hal itupun, Firli sendiri mengatakan pertemuan dengan Zainul tidak membicarakan soal kasus. Sementara, dalam pertemuan dengan Bahrullah, dia mengatakan mengajak stafnya supaya bisa mendengarkan pertemuan itu.
Target pemberantasan korupsi memang menjadi seruan warga negara Indonesia untuk KPK segera tegas mengakhiri label Indonesia dari sarang kumpulan koruptor. Tentu hal ini harus dicermati bahwa KPK digerakan oleh manusia biasayang tentu tidak akan luput dari kesalahan, namun kesalahan itu, mesti ditunjang dengan semangat kebersamaan dalam hal mencegah dari pada menindak pelaku, dengan jalan itu, maka kita Indonesia bukan harus menciptakan lembaga pengawas untuk mengawasi kinerja KPK sebab analogi pengawas yang dinokodai oleh orang yang sama lemahnya akan berdampak juga terhadap masalah efisiensi atau efektivitas.


KPK Akan Menjadi Simbol Pemberantasan Korupsi
Gelar analisis yuridis formal dan materil terhadap kinerja KPK dan adanya Revisi UU KPK, tentu memojokan kedudukan KPK secara lembaga yang ditugaskan secara independen. Hal terungkap hasil analisis akademis dari berbagai kalangan, bahwa ketentuan UU KPK yang telah direvisi sangat memojokan KPK sebagai lembaga independen. Sebab independensinya secara pro yusticia sangat dilemahkan, misalnya DPR RI dan Pemerintah telah menyepakati tujuh poin revisi UU KPK. Revisi UU KPK tersebut telah disepakati dalam Rapat Paripurna DPR dan telah disahkan menjadi undang-undang. Sesuai hasil Rapat Panitia Kerja (Panja) yang menyepakati tujuh poin revisi UU KPK, pada Senin tanggal 16 September 2019 di ruang Badan Legislasi DPR, Senayan, Jakarta. Targetnya hanya mengejar waktu jelang berakhirnya masa bakti DPR periode 2014-2019 pada akhir September ini.
Ketujuh poin revisi UU KPK yang telah disepakati DPR dan pemerintah yaitu, pertama, terkait kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif yang dalam pelaksanaan kewenangan dan tugasnya tetap independen.Kedua, mengenai pembentukan Dewan Pengawas KPK.Ketiga, terkait pelaksanaan fungsi penyadapan.Keempat, mengenai mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) perkara tindak pidana korupsi oleh KPK.Kelima, terkait koordinasi kelembagaan KPK dengan penegak hukum sesuai dengan hukum acara pidana, kepolisian, kejaksaan, dan kementerian atau lembaga lainnya dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi.Keenam, mengenai mekanisme penggeledahan dan penyitaan, dan, Ketujuh, terkait sistem kepegawaian KPK.
Tujuh Poin Revisi UU KPK yang disepakati DPR dan Pemerintah Infografis isu krusial dan sikap Jokowi soal revisi UU KPK.Terkait hal ini, KPK telah menyurati DPR untuk meminta penundaan pengesahan revisi UU KPK. Juru bicara KPK Febri Diansyah meminta agar DPR tidak tergesa-gesa dalam pembahasan revisi tersebut. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo sudah mengirim surat presiden (Surpres) kepada DPR untuk mengambil langkah guna merevisi peraturan tersebut. Meski menyetujui pembahasan soal revisi UU KPK, pada prinsipnya Jokowi juga menolak sejumlah poin dalam draf yang sebelumnya telah disodorkan DPR.
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan DPR setuju dengan seluruh catatan Presiden Jokowi yang tertuang dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) revisi UU KPK, kecuali pembentukan Dewan Pengawas KPK. Artinya Dewan Pengawas menjadi penting dalam upaya pemberantasan korupsi, sebab segala tugas KPK dalam hal penegakan/penindakan, termasuk pencegahan harus mendapat izin dari dewan pengawasan sebelum dilakukan tindakan hukum (pro justicia).
Sayangnya, bagaimana dengan upaya pemberantasan korupsi yang harus dipandang sebagai sesuatu yang luar biasa. Sementara harus adanya upaya check and balance dalam hal pelaksanaan tugas secara independen dalam konteks pro justicia. Tentu hal ini dapat dipandang sebagai upaya melemahkan lembaga independensi KPK dalam hal pemberantasan korupsi, sebut saja penyadapan hal yang sangat hakiki dalam hal subtansi upaya memerangi tindakan jahat dari koruptor harus didapatkan izin dari dewan pengawas yang tentunya akan menghilangkan masalah hukum atau fakta hukum. Bahkan terkesan akan ada upaya korupsi masif dan terstruktur dalam sistem pemberantasan korupsi di lembaga KPK.


Anggapan Hasil Revisi UU KPK Cacat Formil
Ada sejumlah lembaga dan ormas yang intens dengan persoalan pemberantasan korupsi, misalnyaLembaga swadaya masyarakat hak asasi manusia, atau Imparsial menilai revisi UU KPK yang baru disahkan DPR dinyatakan cacat formil. Direktur Imparsial Al Araf mengatakan proses revisi UU KPK bertentangan dengan UU No. 11/2012 tentang Pembentukan Perundang-Undangan.
Revisi UU KPK cacat formil karena dilakukan tanpa proses yang partisipatif dan tidak termasuk dalam prolegnas prioritas tahun 2019. Artinya, pembahasan revisi UU KPK cenderung dilakukan secara tergesa-gesa, sementara, prinsip utama dalam pembuatan perundang-undangan harus dilakukan secara transparan dan partisipasif. Memang secara substansi UU KPK berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi yang sudah berjalan. Oleh karena itu, semua ormas pemerhati pemberantasan korupsi mendesak Presiden untuk segera menerbitkan Perppu (peraturan pemerintah pengganti Undang-undang) KPK sebagai upaya penyelamatan masa depan pemberantasan korupsi.
Penerbitan Perppu KPK sangat mungkin dilakukan karena telah ada preseden hukum, ketika pada tahun 2014 pemerintah menerbitkan Perppu tentang Pilkada yang membatalkan UU Pilkada yang sudah disahkan DPR karena mendapat penolakan dari masyarakat. Perppu KPK harus membatalkan revisi UU KPK yang baru disahkan oleh DPR dan mengembalikan pengaturan tentang lembaga antirasuah ke aturan hukum sebelumnya.
Apa yang diharapkan dalam memberantas masalah korupsi yang dipandang sebagai kejahatan luar biasa menjadi hal yang tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang luar biasa juga. Penyesalan tentu ada, namun hal ini menuntut partisipasi aktif dari masyarakat harus terus ditingkatkan agar KPK bukan hanya sebagai simbol dari pemberantasan korupsi, sebab radikalisme dalam diri KPK telah diupayakan agar korupsi tetap subur di negeri yang kaya raya akan sumber daya alam. Sementara para pemimpin yang terkait dengan korupsi akan bermain-main dalam hal penegakan hukum, apa lagi mengenai pencegahan.


Demontrasi terhadap Revisi UU KPK
Ada sejumlah tanggapan dari pemerintah dan DPR termasuk para pakar yang terlibat dalam mendukung adanya revisi UU KPK, namun demontrasi tidak berhenti untuk memprotes masalah revisi UU KPK tersebut. Sebab dipandang oleh banyak pihak bahwa KPK menjadi ujung tombak dalam menggangu stabilitas mafia dan praktek korupsi uang negara. Tentu yang dirugikan pasti para politisi, birokrasi dan para pengelola anggaran negara baik pemerintah, pemerintah daerah, politisi termasuk para BUMN di Republik Indonesia ini, sehingga Revisi UU KPK menjadi penting dalam ranah pelemahan kekuatan KPK.
Sekalipun telah ada terobosan dari Presiden dengan adanya pertemuan dengan sejumlah tokoh nasional di istana negara, namun belum memberikan kepastian terhadap masalah hasil Revisi UU KPK. Misalnya baru disampaikan tiga alternatif yakni rencana legislatif reviweu, rencana judicial reviweu dan bahkan rencana terbitnya Perppu tentang Revisi KPK, namun belum ada satu langkah pun yang dilaksanakan. Hal itulah yang juga telah dikuatirkan oleh sejumlah eleman warga masyarakat terkait dengan masalah hasil revisi UU KPK.
Patut diapresiasi bahwa jawaban Presiden terkesan untuk ambil resioko terhadap masalah demontrasi dan meniadakan masalah efesiensi dari setiap produk hukum berupa kesepakatan pembahasan RUU yang harus didasarinya dengan cara demontrasi. Sementara apabila dilihat dari UUD 1945 kewenangan membentuk undang-undang ada pada DPR bersama Presiden,yang tentunya ditetapkannya produk Revisi UU KPK sepertinya hanya untuk menjawab keinginan subjektivitas para elit tertentu dari pada keutuhan nilai hukum dari produk Revisi UU KPK.
Secara yuridis formal dan materil UU KPK sangat relevan untuk mengawasi dan mencegah cara-cara pemimpin di Republik Indonesia ini yang selama ini ketakutan dengan cara KPK menegakan masalah korupsi. Apabila UU KPK direvisi maka kekuatan KPK tentu dilumpuhkan dan semakin banyak koruptor yang nyaman dengan tindakan korupsinya.
Apabila dikaji dari tingkat urgensinya, masyarakat sangat mengapresiasi tindakan KPK yang dengan tegas menangkap dan menyeret para koruptor untuk wajib mengembalikan kerugian keuangan negara bahkan pelaku dijerat untuk harus membayar denda dan dijobloskan ke dalam penjara. Hal itu dipandang sebagai upaya positif dari masyarakat Indonesia, sebab prestasi kinerja pemerintah yang menghabiskan anggaran negara untuk mengiklankan larangan korupsi tidak mampu menghalami populasi jumlah koruptor di tanah air Indonesia ini. Justru dengan tindakan merubah atau merevisi UU KPK maka tentu masyarakat bentrok dan menolaknya. Artinya hukum formil dan materil yang dicanangkan pemerintah belum mampu menekan tingkat populasi korupsi di Indonesia.
Rohnya kekuatan UU KPK tentu menjadikan KPK sebagai lembaga independen dalam upaya memberantas korupsi, sehingga kekuatan filosofis dari UU KPK sangat baik untuk menangkap dan menjobloskan para koruptor selaku penjahat negara. Sekalipun meniadakan Hak asasi manusia namun kesempatan terhadap memberantas korupsi sangat dimungkinkan agar segera berakhirnya label Indonesia sebagai negara terkorup segera berakhir. Semoga.

Tidak ada komentar: