KPK HANYA AKAN SEBAGAI SIMBOL : NEGARA
SEOLAH MEMBERANTAS KORUPSI
Mel Benu & Aksi
Sinurat
Dosen FH Undana
Lembaga
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)dibentuk dengan tujuan agar negara Indonesia segera
bebas dari korupsi, sekalipun KPK telah
dibentuk namun persoalan korupsi tak
kunjung selesai. Hari-hari semakin banyak orang atau pelaku koruptor yang
tertangkap karena korupsi. KPK seolah-olah ada untuk hanya mengungkap bahwa
Indonesia menyimpan para koruptor.
Sungguh
sangat memprihatinkan para pemimpin di negara Indonesia hanya seolah-olah
bertindak sebagai orang yang tampil manis dan jujur dihadapan publik, pada hal
yang terjadi sebaliknya. Kehadiran KPK ibarat kuncing yang siap mengusir
tikus-tikus dalam lumbung padi, sehingga kendatipun KPK diberikan kewenangan untuk mencegah korupsi namun
tidak mampu menghapus target memerangi mental atau pikiran-pkiran koruptif pemimpin
yang modus dan operandinya cuman untuk korupsi.
Secara
faktual bahwa negara Indonesia dari
tahun ke tahun tetap masuk dalam peringkat negara terkorup di dunia. Data khusus
sampai bulan Juni 2019 koruptor yang paling banyak diranah pemerintahan baik di
pusat maupun di daerah, jumlahnya mencapai 255 perkara, diantaranya 130 kepala daerah, 6
pimpinan parpol, 28 kepala lembaga atau kementerian terjerat kasus korupsi. Sesuai
dengan catatan lembaga KPK para koruptor sebanyak 114 kepala daerah dengan
rincian 17 gubernur, 74 bupati, dan 23 wali kota telah ditangkap karena
korupsi. Sementara pada tahun 2018 ICW menemukan ada sebanyak 454 kasus korupsi
yang ditangani oleh penegak hukum. Total tersangka yang ditetapkan sebanyak
1.087 orang dengan berbagai latar belakang profesi. Jumlah kerugian negara yang
berhasil ditemukan oleh penegak hukum sebesar Rp.5,6 triliun, jumlah nilai suap
sebesar Rp.134,7 miliar, jumlah pungutan liar sebesar Rp.6,7 miliar, dan jumlah
pencucian uang sebesar Rp.91 miliar.
Rata-rata
kasus dugaan korupsi yang ditangani oleh penegak hukum selama empat tahun terakhir
(2015-2018) sebanyak 392 kasus per tahun. Lebih-kurang aktor yang ditetapkan
sebagai tersangka korupsi sebanyak 1.153 orang,
dan rata-rata kerugian negara yang ditimbulkan akibat korupsi sebesar Rp.4,17
triliun. Sementara itu apabila dihitung berdasarkan rata-rata per bulan, kasus
dugaan korupsi yang ditangani oleh penegak hukum cenderung sedikit. Seluruh
penegak hukum hanya mampu menangani 33 kasus dugaan korupsi dengan menetapkan
tersangka sebanyak 96 orang tiap bulannya. Artinya secara rata-rata, tiap kasus
dugaan korupsi yang ditindak oleh penegak hukum hanya berhasil menangkap 3
(tiga) orang tersangka korupsi. Terkesan bahwa populasi kasus korupsi semakin
hari semakin tidak berhenti dalam konteks pemberantasan.
KPK dan Revisi UU KPK
Meskipun
ada pro dan kontra mengenai perlu atau tidaknya revisi UU No. 30/2002 tentang
KPK (UU KPK), namun pemerintah dan DPR tetap mengambil langkah untuk membahas
dan menetapkan RUU KPK tanpa harus menunggu situasi diluar DPR dan Pemerintah,sebab
DPR memiliki kewenangan langsung membuat rapat paripurna dan merevisi UU KPK.
Substansi perubahan lebih kepada membentuk lembaga Pengawas KPK, perlu adanya Surat
Perintah Penghentian Penyidikan(SP3) dalam menegakan hukum korupsi, izin penyadapan
dan sistem kepegawaian di KPK. Banyak interprestasi negatif yang telah
didiskusikan seolah KPK tidak akan bertanding melawan koruptor sebab adanya
dewan pengawas yang secara regulasi diperkuat kewenangannya lewat revisi UU
KPK, yang pantas memberikan izin terhadap semua urusan independensi KPK.
Memang
kehadiran lembaga pengawas KPK menjadi polemik terhadap urusan independensi pro
yusticia dari adanya lembaga yang dianggap luar biasa dari KPK. Seolah KPK
hanya akan sebagai simbol dari adanya politik negara terhadap dunia luar bahwa
KPK hadir untuk memberantas korupsi namun terbalik arah setelah KPK harus
berindepen dengan dituntun melalui lembaga pengawas non pro yusticia. Sebab
opini yang berkembang dalam pro dan kontra adanya lembaga pengawas harus
terlepas dari lembaga kekuasaan kehakiman seperti polisi, jaksa dan pengadilan
atau mahkamah agung. Semoga semua anggota KPK yang ditugaskan secara independen
tidak lemah dalam kesatriannya untuk berperang melawan koruptor. Agar lembaga
pemasyarakatan (lapas) bukan tempat orang-orang berdasi dan berkedudukan
berpesta pora karena ramai-ramai berkorupsi. Sebab target KPK tentu untuk
menghapus Indonesia dari label sarang koruptor.
Polemik
adanya pansel KPK dan penentuan anggota komisioner KPK yang dipandang negatif
harus dipandang sebagai suatu strategi positif dari target upaya pemberantasan
korupsi, bahkan sebaliknya lembaga KPK setidaknya harus ditentukan orang-orang
yang memiliki prestasi yang baik di
kepolisian maupun di kejaksaan dalam hal penegakan hukum. Sebab KPK selain
menindak pelaku korupsi juga harus mencegah timbulnya korupsi pada organ-organ
negara Republik Indonesia.
Memang
dapat dibaca secara seksama bahwa ketidakberhasilan aparat penegak hukum
seperti polisi dan jaksa serta pengadilan dalam memberantas korupsi di negara
Indonesia, maka lahirlah UU KPK secara lembaga guna bertindak secara independen
demi memberantas korupsi dari bumi Negara Indonesia. Secara umum banyak pihak
menyoroti pansel KPK dan semua calon kominisoner KPK yang dianggap sarat dengan
kepentingan. Sementara para calon komisioner pun memiliki pengalaman rekam
jejak yang jelek atau tidak pro terhadap upaya pemberantasan korupsi bahkan
lebih dari itu dapat dipahami bahwa semua orang baik itu pansel dan calon
komisioner KPK tentu memiliki rekam jejak yang negatif.
Kesatrian anggota Komisioner KPK
teruji
Banyak
diskusi baik dalam forum resmi dan tidak resmi telah mengkritisi bahwa
pemerintah dan DPR telah berupaya mengkriminalisasi kedudukan KPK sebagai
lembaga independen dalam memberantas korupsi.Namun calon komisioner KPK yang
telah lolos seleksi secara lantang menyuarakan niat baik kesatriaannya, bahwa
hal tersebut menjadi acuan bagi kinerja mereka kedepan agar upaya pemeberantasan
korupsi semakin lebih baik, tentu itu yang diharapkan oleh warga masyarakat
Indonesia.
Namun
semua anggota komisionar KPKdan para pegawai KPK pun sangat lantang menyuarakan
keberadaan mereka tentang masalah revisi UU KPK yang secara tergesa-gesa
direvisi oleh DPR dan atas persetujuan pemerintah sebagai dalil atau alasan
bahwa hal tersebut telah lama diusulkan namun belum sempat dibahas. Sementara
dalam program legislasi nasional pun tidak terlihat dalam susunan jadwal
pembahasan RUU KPK.
Tanggal
13 September 2019 lalu, Komisi III DPR telah menetapkan lima orang pimpinan KPK
periode 2019-2023. Mereka di antaranya Firli Bahuri, Alexander Marwata, Lili
Pantauli Siregar, Nurul Ghufron, dan Nawawi Pamolango.Pemilihan dilakukan
melalui mekanisme pemungutan suara setelah terlebih dahulu merampungkan fit and proper test di ruang Komisi III.
Sebanyak 56 anggota Komisi III DPR yang mewakili seluruh fraksi melingkari 5
dari 10 calon pimpinan KPK yang mengikuti fit
and proper test sebelumnya.
Berikut
lima pimpinan KPK terpilih sesuai dengan yang dibacakan oleh Ketua Komisi III
Azis Syamsuddin, yakni (1). Nawawi Pomolango (hakim di Pengadilan Tinggi
Denpasar, Bali) dengan jumlah suara 50, (2). Lili Pintauli Siregar (Wakil Ketua
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban/LPSK periode 2013-2018) dengan jumlah
suara 44, (3). Nurul Ghufron (Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember) dengan
jumlah suara 51, (4). Alexander Marwata (komisioner KPK petahana sekaligus
mantan hakim tindak pidana korupsi) dengan jumlah suara 53, 5. Irjen Firli
Bahuri (Kepala Polda Sumatera Selatan) dengan jumlah suara 56.
Bambang
Widjojanto selaku mantan Komisioner KPK (periode 2011-2015), menilai bahwa proses
pemilihan KPK periode 2019-2023 ada indikasi kolusi pada proses pemilihan calon
pimpinan KPK. Bahkan beliau dengan tegas menyatakan bahwa calon KPK tentu tak akan
mampu mengoptimalkan upaya pemberantasan korupsi sebab komisioner KPK oleh
parlemen dan kemudian presiden nanti diusulkan ke Presiden untuk ditentukan
telah diterindikasi, atau bahkan diketahui pernah melanggar kode etik KPK.
Memang
ada sejumlah aspirasi yang disuarakan oleh publik terkait dengan proses
pemilihan calon pimpinan (capim) KPK yang diabaikan oleh Panitia Seleksi Capim
KPK. Lebih lanjut Bambang menyatakan bahwa patut diduga uji kelayakan dan
kepatutan di DPR cuma ajang pengukuhan terhadap calon yang sebenarnya sudah
disepakati. Sebab ada banyak tuduhan miring pada parlemen dan presiden yang
bersekutu dengan kuasa kegelapan berkaitan dengan proses pemilihan capim KPK
yang perlu diklarifikasi. Tentu anggota KPK terpilih tersebut sebagai kelompok
otoritarianisme.
Ketua
KPK terpilih periode 2019-2023 merupakan mantan Kepala Polda Sumatera Selatan dan
juga mantan Deputi Penindakan KPK. Sesuai pendapat Bambang bahwa uji kelayakan
dan kepatutan yang dilakukan Komisi III DPR ketua terpilih sangat mendukung
adanya revisi UU KPK. Sementara, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengadakan
konferensi pers dan menyebut Firli diduga melanggar kode etik semasa menjabat
sebagai Deputi Penindakan. Hal itu terukur saat Firli Bahuri menangani berperkara
di KPK, antara Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Bajang Zainul Majdi, dan
Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Bahrullah Akbar. Sebab hasil pemeriksaan
pengawas internal terdapat dugaan pelanggaran berat. Tentu hal itupun, Firli
sendiri mengatakan pertemuan dengan Zainul tidak membicarakan soal kasus.
Sementara, dalam pertemuan dengan Bahrullah, dia mengatakan mengajak stafnya
supaya bisa mendengarkan pertemuan itu.
Target
pemberantasan korupsi memang menjadi seruan warga negara Indonesia untuk KPK
segera tegas mengakhiri label Indonesia dari sarang kumpulan koruptor. Tentu
hal ini harus dicermati bahwa KPK digerakan oleh manusia biasayang tentu tidak
akan luput dari kesalahan, namun kesalahan itu, mesti ditunjang dengan semangat
kebersamaan dalam hal mencegah dari pada menindak pelaku, dengan jalan itu,
maka kita Indonesia bukan harus menciptakan lembaga pengawas untuk mengawasi
kinerja KPK sebab analogi pengawas yang dinokodai oleh orang yang sama lemahnya
akan berdampak juga terhadap masalah efisiensi atau efektivitas.
KPK Akan Menjadi Simbol Pemberantasan
Korupsi
Gelar
analisis yuridis formal dan materil terhadap kinerja KPK dan adanya Revisi UU KPK,
tentu memojokan kedudukan KPK secara lembaga yang ditugaskan secara independen.
Hal terungkap hasil analisis akademis dari berbagai kalangan, bahwa ketentuan
UU KPK yang telah direvisi sangat memojokan KPK sebagai lembaga independen.
Sebab independensinya secara pro yusticia
sangat dilemahkan, misalnya DPR RI dan Pemerintah telah menyepakati tujuh poin
revisi UU KPK. Revisi UU KPK tersebut telah disepakati dalam Rapat Paripurna
DPR dan telah disahkan menjadi undang-undang. Sesuai hasil Rapat Panitia Kerja
(Panja) yang menyepakati tujuh poin revisi UU KPK, pada Senin tanggal 16
September 2019 di ruang Badan Legislasi DPR, Senayan, Jakarta. Targetnya hanya
mengejar waktu jelang berakhirnya masa bakti DPR periode 2014-2019 pada akhir
September ini.
Ketujuh
poin revisi UU KPK yang telah disepakati DPR dan pemerintah yaitu, pertama, terkait kedudukan KPK sebagai
lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif yang dalam pelaksanaan
kewenangan dan tugasnya tetap independen.Kedua,
mengenai pembentukan Dewan Pengawas KPK.Ketiga,
terkait pelaksanaan fungsi penyadapan.Keempat,
mengenai mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)
perkara tindak pidana korupsi oleh KPK.Kelima,
terkait koordinasi kelembagaan KPK dengan penegak hukum sesuai dengan hukum
acara pidana, kepolisian, kejaksaan, dan kementerian atau lembaga lainnya dalam
pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara tindak pidana
korupsi.Keenam, mengenai mekanisme
penggeledahan dan penyitaan, dan, Ketujuh,
terkait sistem kepegawaian KPK.
Tujuh
Poin Revisi UU KPK yang disepakati DPR dan Pemerintah Infografis isu krusial
dan sikap Jokowi soal revisi UU KPK.Terkait hal ini, KPK telah menyurati DPR
untuk meminta penundaan pengesahan revisi UU KPK. Juru bicara KPK Febri
Diansyah meminta agar DPR tidak tergesa-gesa dalam pembahasan revisi tersebut. Sebelumnya,
Presiden Joko Widodo sudah mengirim surat presiden (Surpres) kepada DPR untuk
mengambil langkah guna merevisi peraturan tersebut. Meski menyetujui pembahasan
soal revisi UU KPK, pada prinsipnya Jokowi juga menolak sejumlah poin dalam
draf yang sebelumnya telah disodorkan DPR.
Anggota
Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan DPR setuju dengan seluruh catatan Presiden
Jokowi yang tertuang dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) revisi UU KPK, kecuali
pembentukan Dewan Pengawas KPK. Artinya Dewan Pengawas menjadi penting dalam
upaya pemberantasan korupsi, sebab segala tugas KPK dalam hal
penegakan/penindakan, termasuk pencegahan harus mendapat izin dari dewan
pengawasan sebelum dilakukan tindakan hukum (pro justicia).
Sayangnya,
bagaimana dengan upaya pemberantasan korupsi yang harus dipandang sebagai
sesuatu yang luar biasa. Sementara harus adanya upaya check and balance dalam hal pelaksanaan tugas secara independen dalam
konteks pro justicia. Tentu hal ini
dapat dipandang sebagai upaya melemahkan lembaga independensi KPK dalam hal
pemberantasan korupsi, sebut saja penyadapan hal yang sangat hakiki dalam hal
subtansi upaya memerangi tindakan jahat dari koruptor harus didapatkan izin
dari dewan pengawas yang tentunya akan menghilangkan masalah hukum atau fakta
hukum. Bahkan terkesan akan ada upaya korupsi masif dan terstruktur dalam
sistem pemberantasan korupsi di lembaga KPK.
Anggapan Hasil Revisi UU KPK Cacat Formil
Ada
sejumlah lembaga dan ormas yang intens dengan persoalan pemberantasan korupsi, misalnyaLembaga
swadaya masyarakat hak asasi manusia, atau Imparsial menilai revisi UU KPK yang
baru disahkan DPR dinyatakan cacat formil. Direktur Imparsial Al Araf
mengatakan proses revisi UU KPK bertentangan dengan UU No. 11/2012 tentang
Pembentukan Perundang-Undangan.
Revisi
UU KPK cacat formil karena dilakukan tanpa proses yang partisipatif dan tidak
termasuk dalam prolegnas prioritas tahun 2019. Artinya, pembahasan revisi UU
KPK cenderung dilakukan secara tergesa-gesa, sementara, prinsip utama dalam
pembuatan perundang-undangan harus dilakukan secara transparan dan
partisipasif. Memang secara substansi UU KPK berpotensi melemahkan upaya
pemberantasan korupsi yang sudah berjalan. Oleh karena itu, semua ormas
pemerhati pemberantasan korupsi mendesak Presiden untuk segera menerbitkan
Perppu (peraturan pemerintah pengganti Undang-undang) KPK sebagai upaya
penyelamatan masa depan pemberantasan korupsi.
Penerbitan
Perppu KPK sangat mungkin dilakukan karena telah ada preseden hukum, ketika
pada tahun 2014 pemerintah menerbitkan Perppu tentang Pilkada yang membatalkan
UU Pilkada yang sudah disahkan DPR karena mendapat penolakan dari masyarakat.
Perppu KPK harus membatalkan revisi UU KPK yang baru disahkan oleh DPR dan
mengembalikan pengaturan tentang lembaga antirasuah ke aturan hukum sebelumnya.
Apa
yang diharapkan dalam memberantas masalah korupsi yang dipandang sebagai
kejahatan luar biasa menjadi hal yang tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang
luar biasa juga. Penyesalan tentu ada, namun hal ini menuntut partisipasi aktif
dari masyarakat harus terus ditingkatkan agar KPK bukan hanya sebagai simbol
dari pemberantasan korupsi, sebab radikalisme dalam diri KPK telah diupayakan
agar korupsi tetap subur di negeri yang kaya raya akan sumber daya alam.
Sementara para pemimpin yang terkait dengan korupsi akan bermain-main dalam hal
penegakan hukum, apa lagi mengenai pencegahan.
Demontrasi terhadap Revisi UU KPK
Ada
sejumlah tanggapan dari pemerintah dan DPR termasuk para pakar yang terlibat
dalam mendukung adanya revisi UU KPK, namun demontrasi tidak berhenti untuk
memprotes masalah revisi UU KPK tersebut. Sebab dipandang oleh banyak pihak
bahwa KPK menjadi ujung tombak dalam menggangu stabilitas mafia dan praktek
korupsi uang negara. Tentu yang dirugikan pasti para politisi, birokrasi dan
para pengelola anggaran negara baik pemerintah, pemerintah daerah, politisi
termasuk para BUMN di Republik Indonesia ini, sehingga Revisi UU KPK menjadi
penting dalam ranah pelemahan kekuatan KPK.
Sekalipun
telah ada terobosan dari Presiden dengan adanya pertemuan dengan sejumlah tokoh
nasional di istana negara, namun belum memberikan kepastian terhadap masalah hasil
Revisi UU KPK. Misalnya baru disampaikan tiga alternatif yakni rencana
legislatif reviweu, rencana judicial reviweu dan bahkan rencana terbitnya
Perppu tentang Revisi KPK, namun belum ada satu langkah pun yang dilaksanakan.
Hal itulah yang juga telah dikuatirkan oleh sejumlah eleman warga masyarakat
terkait dengan masalah hasil revisi UU KPK.
Patut
diapresiasi bahwa jawaban Presiden terkesan untuk ambil resioko terhadap
masalah demontrasi dan meniadakan masalah efesiensi dari setiap produk hukum
berupa kesepakatan pembahasan RUU yang harus didasarinya dengan cara
demontrasi. Sementara apabila dilihat dari UUD 1945 kewenangan membentuk
undang-undang ada pada DPR bersama Presiden,yang tentunya ditetapkannya produk
Revisi UU KPK sepertinya hanya untuk menjawab keinginan subjektivitas para elit
tertentu dari pada keutuhan nilai hukum dari produk Revisi UU KPK.
Secara
yuridis formal dan materil UU KPK sangat relevan untuk mengawasi dan mencegah
cara-cara pemimpin di Republik Indonesia ini yang selama ini ketakutan dengan
cara KPK menegakan masalah korupsi. Apabila UU KPK direvisi maka kekuatan KPK
tentu dilumpuhkan dan semakin banyak koruptor yang nyaman dengan tindakan
korupsinya.
Apabila
dikaji dari tingkat urgensinya, masyarakat sangat mengapresiasi tindakan KPK
yang dengan tegas menangkap dan menyeret para koruptor untuk wajib
mengembalikan kerugian keuangan negara bahkan pelaku dijerat untuk harus
membayar denda dan dijobloskan ke dalam penjara. Hal itu dipandang sebagai
upaya positif dari masyarakat Indonesia, sebab prestasi kinerja pemerintah yang
menghabiskan anggaran negara untuk mengiklankan larangan korupsi tidak mampu
menghalami populasi jumlah koruptor di tanah air Indonesia ini. Justru dengan
tindakan merubah atau merevisi UU KPK maka tentu masyarakat bentrok dan
menolaknya. Artinya hukum formil dan materil yang dicanangkan pemerintah belum
mampu menekan tingkat populasi korupsi di Indonesia.
Rohnya
kekuatan UU KPK tentu menjadikan KPK sebagai lembaga independen dalam upaya
memberantas korupsi, sehingga kekuatan filosofis dari UU KPK sangat baik untuk
menangkap dan menjobloskan para koruptor selaku penjahat negara. Sekalipun
meniadakan Hak asasi manusia namun kesempatan terhadap memberantas korupsi
sangat dimungkinkan agar segera berakhirnya label Indonesia sebagai negara
terkorup segera berakhir. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar