Minggu, 10 Mei 2020


PENGAWASAN AKUNTABILITAS APARAT SIPIL NEGARA BERBASIS KINERJA MENURUT PP NO. 46 TAHUN 2011 TENTANG PENILAIAN PRESTASI KERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL

Norani Asnawi & Mel Benu
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Nusa Cendana

Abstrak
Artikel tulisan ini merupakan hasil pemikiran konseptual terhadap fungsi pengawasan terhadap akuntabilitas kinerja aparat sipil negara berdasarkan PP No. 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS. Sekalipun aturan PP ini mendahului UU No.5 tahun 2014 tentang ASN namun roh dan semangat kinerja bagi ASN tetap menggunakan ukuran PP tersebut. Penilaian terhadap prestasi kerja ASN dilakukan berdasarkan prinsip objektif, terukur, akuntabel, partisipatif, dan transparan. Penilaian prestasi kerja PNS terdiri atas unsur. SKP dan perilaku kerja. Tentu pengawasan ini lebih kepada bagaimana setiap ASN dapat menjalankan tugasnya sesuai ketentuan yang berlaku dengan tetap memeggang prinsip dasar sebagai ASN dan juga norma yang berlaku baik secara internal maupun eksternal pemerintahan.
Pelaksanaan pengawasan yang dilaksanakan secara intern dilaksanakan oleh pimpinan langsung dan secara ekstern dilaksanakan oleh inspektorat daerah. Pengawasan yang dilaksanakan oleh pimpinan langsung meliputi pengawasan kedisiplinan, etika dan loyalitas kerja pegawai, sedangkan pengawasan yang dilaksanakan oleh inspektorat daerah mencakup pengawasan atau pemeriksaan laporan keuangan daerah yang dilaksanakan 4 (empat) kali dalam setahun.

Kata Kunci : Pengawasan, Akuntabilitas Kinerja, ASN

 Pendahuluan
Era globalisasi yang terjadi sejak tahun 1980 an, telah mempunyai dampak yang sangat besar dalam berbagai aspek kehidupan, baik sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya termasuk aspek hukum[1]. Sebagaimana negara-negara berkembang lain di dunia, Indonesia juga tidak mampu menutup diri dari perkembangan yang terjadi. Perbaikan kinerja aparat pelayanan publik merupakan suatu keharusan jika dikaitkan dengan perkembangan dan tuntutan kontemporer seperti globalisasi.Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tetang Administrasi Pemerintahan merupakan salah satu jawaban atas tuntutan arus global.
Undang-Undang ini mendorong terciptanya good governance[2]. Tata Kepemerintahan yang baik merupakan isu sentral yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini, sesuai pandangan yang mengemukakan bahwa tuntutan akan good governance timbul karena adanya penyimpangan dalam penyelenggaraan negara dari nilai demokratis sehingga mendorong kesadaran warga negara untuk menciptakan sistem atau paradigma baru untuk mengawasi jalannya pemerintahan agar tidak melenceng dari tujuan semula. Guna memberikan landasan dan pedoman bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menjalankan tugas penyelenggaraan pemerintahan dibuat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, yang kemudian diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparat Sipil Negara (ASN)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparat Sipil Negara (ASN) ini menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan di dalam upaya meningkatkan kepemerintahan yang baik (good governance) dan sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja pegawai. Kinerja merupakan istilah yang populer di dalam manajemen, yang mana istilah kinerja didefinisikan dengan istilah hasil kerja, prestasi kerja dan performance. Dalam Kamus Bahasa Indonesia dikemukakan arti kinerja sebagai “(1) sesuatu yang dicapai; (2) prestasi yang diperlihatkan; (3) kemampuan kerja”. Menurut Dimyati[3] “Kinerja yang tinggi yang ada pada individu dalam organisasi menunjukkan bahwa apa yang telah dilakukan oleh individu telah sesuai dengan apa yang diprogramkan oleh organisasi.
Dengan demikian, kinerja yang tinggi tentunya ada pada budaya organisasi yang baik”. Cushway[4] menyatakan bahwa “ pengelolaankinerja karyawan (prestasi kerja) dilakukan dengan cara memberikan dukungan yang diperlukan karyawan dan menciptakan kondisi yang memadai bagi mereka sehingga dapat menghasilkan sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”. Menurut Kumorotomo tanggung jawab, haruslah dipahami sebagai pertanggungjawaban hierarkis. Pemahaman tersebut berkaitan dengan proses pertanggungjawaban kinerja secara berjenjang dalam berbagai kedudukan yang ada pada organisasi[5] .
Kinerja Aparatur Sipil Negara merupakan suatu isu yang sangat aktual yang terjadi pada masa sekarang ini. Masyarakat masih memandang kinerja dari Aparatur Sipil Negara pada belum bisa memberikan rasa kepuasan yang tinggi, sehingga menyebabkan penyelenggaraan pemerintahan menjadi sorotan yang tajam, terutama dalam aspek transparansi, akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas[6]. Hal tersebut disebabkan masyarakat mulai kritis dalam memonitor dan mengevaluasi manfaat serta nilai yang diperoleh atas pelayanan dari instansi pemerintah. Ditengah kekecewaan masyarakat atas kinerja pemerintah tersebut, Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat memberlakukan UndangUndang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.
UndangUndang ini merupakan pengaturan di bidang hukum administrasi negara mengenai penyelenggaraan pemerintahan. Undang-undang ini merupakan hal baru di bidang hukum Administrasi Negara yang menjadi dasar penatalaksanaan dalam pengambilan keputusan oleh Badan dan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 ini dimaksudkan tidak hanya sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga sebagai instrumen untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemerintahan kepada masyarakat sehingga keberadaan Undang-Undang ini benar-benar dapat mewujudkan pemerintahan yang baik bagi semua Badan atau Pejabat Pemerintahan di Pusat dan Daerah.
Selain itu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparat Sipil Negara (ASN) juga merupakan keseluruhan upaya untuk mengatur kembali keputusan dan/atau tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Termasuk sebagai salah satu penunjuk arah dan pedoman Aparatur Sipil Negara dalam pelaksanaan fungsi dan tugas sesuai pencapaian kerja yang diharapkan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparat Sipil Negara (ASN) tidak hanya menyangkut petugas administrasi pemerintahan tetapi juga semua pihak terkait, sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 yang menyatakan sebagai berikut: “Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan dimaksudkan sebagai salah satu dasar hukum bagi Badandan/atau Pejabat Pemerintahan, Warga Masyarakat, dan pihak-pihak lain yang terkait dengan AdministrasiPemerintahan dalam upaya meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan”.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka penulis mencoba untuk mengkaji lebih dalam subtansi-subtansi dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, melalui mekanisme pengawasan yang dilakukan baik secara internal maupun eksternal bagi ASN dalam hal ini guna peningkatan kinerja Aparatur Sipil Negara dalam melaksanakan tugas administrasi pemerintahan.

11.     Pengawasan kinerja ASN menurut PP No. 46/2011 Tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil
Sesuai Penjelasan umum UU ASN bahwa untuk mewujudkan tujuan nasional, dibutuhkan Pegawai ASN. ASN diserahi tugas untuk melaksanakan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu. Tugas pelayanan publik dilakukan dengan memberikan pelayanan atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan Pegawai ASN[7]. Adapun tugas pemerintahan dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan fungsi umum pemerintahan yang meliputi pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan[8]. Sedangkan dalam rangka pelaksanaan tugas pembangunan tertentu dilakukan melalui pembangunan bangsa (cultural and political development) serta melalui pembangunan ekonomi dan sosial (economic and social development) yang diarahkan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat[9].
Sementara itu, ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 Tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil Penilaian menyebutkan bahwa prestasi kerja PNS bertujuan untuk menjamin objektivitas pembinaan PNS yang dilakukan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja. Penilaian prestasi kerja PNS dilakukan berdasarkan prinsip objektif, terukur, akuntabel, partisipatif, dan transparan. Penilaian prestasi kerja PNS terdiri atas unsur. SKP dan perilaku kerja[10].
Sasaran kerja pegawai berdasarkan ketentuan Pasal 5 PP No.46/2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS bahwa setiap PNS wajib menyusun SKP, berdasarkan rencana kerja tahunan instansi. Selain itu, SKP tersebut memuat kegiatan tugas jabatan dan target yang harus dicapai dalam kurun waktu penilaian yang bersifat nyata dan dapat diukur[11]. SKP yang telah disusun harus disetujui dan ditetapkan oleh pejabat penilai. Artinya dalam hal SKP yang disusun oleh PNS tidak disetujui oleh pejabat penilai maka keputusannya diserahkan kepada atasan pejabat penilai dan bersifat final. SKPditetapkan setiap tahun pada bulan Januari. Sehingga dalam hal terjadi perpindahan pegawai setelah bulan Januari maka yang bersangkutan tetap menyusun SKP pada awal bulan sesuai dengan surat perintah melaksanakan tugas atau surat perintah menduduki jabatan[12].
Pasal 6 PNS yang tidak menyusun SKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dijatuhi hukuman disiplin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai disiplin PNS. Pasal 7 (1) SKP yang telah disetujui dan ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 menjadi dasar penilaian bagi pejabat penilai. (2) Penilaian SKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek: a. kuantitas; b. kualitas; c. waktu; dan d. biaya. (3) Penilaian SKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi aspek kuantitas, kualitas, dan waktu, sesuai dengan karakteristik, sifat, dan jenis kegiatan pada masing-masing unit kerja. (4) Dalam hal kegiatan tugas jabatan didukung oleh anggaran maka penilaian SKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi pula aspek biaya. (5) Berdasarkan aspek sebagaimana dimaksud pada ayat (2), setiap instansi menyusun dan menetapkan standar teknis kegiatan sesuai dengan karakteristik, sifat, jenis kegiatan, dan kebutuhan tugas masingmasing jabatan. (6) Instansi dalam menyusun standar teknis kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara.
Pasal 8 (1) Penilaian SKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a dilakukan dengan cara membandingkan antara realisasi kerja dengan target. (2) Dalam hal realisasi kerja melebihi dari target maka penilaian SKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) capaiannya dapat lebih dari 100 (seratus). Sehingga dalam hal SKP tidak tercapai yang diakibatkan oleh faktor diluar kemampuan individu PNS maka penilaian didasarkan pada pertimbangan kondisi penyebabnya. Tentu dalam hal PNS dibebankan berupa pertama. melaksanakan tugas tambahan yang diberikan oleh pimpinan atau pejabat penilai yang berkaitan dengan tugas jabatan; dan/atau, kedua, menunjukkan kreativitas yang bermanfaat bagi organisasi dalam melaksanakan tugas jabatan; maka hasil penilaian menjadi bagian dari penilaian capaian SKP[13].
Perilaku Kerja sesuai ketentuan Pasal 12 ayar (1) PP No. 46/2011 bahwa penilaian perilaku kerja meliputi aspek orientasi pelayanan, integritas, komitmen, disiplin, kerja sama, dan kepemimpinan. Penilaian kepemimpinan hanya dilakukan bagi PNS yang menduduki jabatan struktural. Artinya penilaian perilaku kerja dilakukan melalui pengamatan oleh pejabat penilai terhadap PNS sesuai kriteria yang ditentukan. Pejabat penilai dalam melakukan penilaian perilaku kerja PNS  dapat mempertimbangkan masukan dari pejabat penilai lain yang setingkat di lingkungan unit kerja masing-masing. Nilai perilaku kerja dapat diberikan paling tinggi 100 (seratus). Mengenai kriteria penilaian perilaku kerja dilakukan oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara.
Tata cara penilaian prestasi kerja dilakukan dengan cara menggabungkan penilaian SKP dengan penilaian perilaku kerja. Bobot nilai unsur SKP 60% (enam puluh persen) dan perilaku kerja 40% (empat puluh persen). Penilaian prestasi kerja PNS dilaksanakan oleh pejabat penilai sekali dalam 1 (satu) tahun. Selain iyu, Penilaian prestasi kerja dilakukan setiap akhir Desember pada tahun yang bersangkutan dan paling lama akhir Januari tahun berikutnya. Nilai prestasi kerja PNS dinyatakan dengan angka yakni (a). 91 – ke atas: sangat baik; (b). 76-90: baik; (c). 61-75: cukup; (d). 51-60: kurang; dan (e). 50 ke bawah: buruk
Mengenai tata cara penilaian diatur lebih teknis oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara. Pejabat Penilai dan Atasan Pejabat Penilai. Pejabat penilai wajib melakukan penilaian prestasi kerja terhadap setiap PNS di lingkungan unit kerjanya. Pejabat penilai yang tidak melaksanakan penilaian prestasi kerja dijatuhi hukuman disiplin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai disiplin PNS. Pejabat pembina kepegawaian sebagai pejabat penilai dan/atau atasan pejabat penilai yang tertinggi di lingkungan unit kerja masing-masing[14].
Pelaksanaan penilaian hasil penilaian prestasi kerja diberikan secara langsung oleh pejabat penilai kepada PNS yang dinilai. PNS yang dinilai dan telah menerima hasil penilaian prestasi kerja wajib menandatangani serta mengembalikan kepada pejabat penilai paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya hasil penilaian prestasi kerja. Dalam hal PNS yang dinilai dan/atau pejabat penilai tidak menandatangani hasil penilaian prestasi kerja maka hasil penilaian prestasi kerja ditetapkan oleh Atasan Pejabat Penilai.
Pejabat penilai wajib menyampaikan hasil penilaian prestasi kerja kepada atasan pejabat penilai paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya penilaian prestasi kerja.  Hasil penilaian prestasi kerja mulai berlaku sesudah ada pengesahan dari atasan pejabat penilai. Pejabat Penilai berdasarkan hasil penilaian prestasi kerja dapat memberikan rekomendasi kepada pejabat yang secara fungsional bertanggung jawab dibidang kepegawaian sebagai bahan pembinaan terhadap PNS yang dinilai.
Keberatan Hasil Penilaian menurut Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 Tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil Pasal 25 ayat (1) bahwa dalam hal PNS yang dinilai keberatan atas hasil penilaian maka PNS yang dinilai dapat mengajukan keberatan disertai dengan alasan-alasannya kepada atasan pejabat penilai secara hierarki paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterima hasil penilaian prestasi kerja. Setelah itu, atasan pejabat penilai berdasarkan keberatan yang diajukan wajib memeriksa dengan seksama hasil penilaian prestasi kerja yang disampaikan kepadanya. Terhadap keberatan tersebut, atasan pejabat penilai meminta penjelasan kepada pejabat penilai dan PNS yang dinilai. Sehingga berdasarkan penjelasan tersebut juga, atasan pejabat penilai wajib menetapkan hasil penilaian prestasi kerja dan bersifat final. Untuk itu, dalam hal terdapat alasan-alasan yang cukup, Atasan Pejabat Penilai dapat melakukan perubahan nilai prestasi kerja PNS.
2. Pelaksanaan Pengawasan secara internal dan eksternal terhadap kinerja ASN pada lingkup pemerintahan
a. Target Pelaksanaan Pengawasan bagi PNS
Adapun target pelaksanaan pengawasan bagi PNS sebagai salah satunya bisa dilakukan oleh Inspektorat setempat. Dalam mendukung pelaksanaan pengawasan di lingkungan pemerintah daerah dalam hal ini SKPD, maka inspektorat harus membuat audit charter yaitu dokumen tertulis formal yang merumuskan tujuan, wewenang, dan tanggung jawab inspektorat dalam menjalankan fungsi pengawasannya. Salah satu subtansi dari audit charter ini yaitu fungsi pengawasan harus di isi oleh orang-orang yang kompeten untuk pelaksanaan tugas yang disebut dengan pejabat pengawas pemerintah (auditor).
Dimilikinya anggaran dasar fungsi pengawasan yang tertuang di dalam dokumen audit charter memungkinkan inspektorat sebagai fungsi pengawasan dapat melaksanakan aktivitas kegiatan pekerjaan auditnya dengan independen dan obyektif. Adapun area cakupan pengawasan yaitu pemeriksaan laporan keuangan daerah serta pemeriksaan aspek keuangan daerah lainnya meliputi pemeriksaan kinerja bendahara penerimaan dan pengeluaran, pemeriksaan belanja tidak langsung, belanja langsung dan pelaksanaan dan penatausahaan keuangan daerah. Pengawasan atau pemeriksaaan tersebut dilaksanakan 4 (empat) kali dalam setahun.
Pelaksanaan pengawasan juga didasarkan pada program kerja pengawasan tahunan yang direkomendasikan oleh pimpinan atau kepala inspektorat. Artinya, pengawasan hanya akan dilakukan atau dilaksanakan apabila direkomendasikan langsung oleh pimpinan. Inspektorat daerah sebagai aparat pengawasan internal pemerintah berperan sebagai Quality Assurance yaitu menjamin bahwa suatu kegiatan dapat berjalan secara efisien, efektif dan sesuai dengan aturannya dalam mencapai tujuan organisasi[15].
Titik berat pelaksanaan tugas pengawasannya adalah melakukan tindakan preventif yaitu mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan program dan kegiatan oleh SKPD setempat serta memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah terjadi untuk dijadikan pelajaran agar kesalahan-kesalahan tersebut tidak terulang di masa yang akan datang. Selain itu, pihak lain yang melakukan pengawasan adalah Pimpinan SKPD juga dapat melakukan pengawasan terhadap kinerja pegawai meliputi kedisiplinan pegawai, etika dan loyalitas dalam bekerja serta pelaksanaan tugas pegawai pada masing-masing sub bagian keuangan.
Pernyataan tersebut berdasar pada bentuk atau model pengawasan terhadap kinerja pegawai di berbagai instansi. Apabila pengawasan itu dibedakan atas dasar penggolongan siapa yang mengadakan pengawasan, maka pengawasan itu dapat dibedakan atas pengawasan intern dan pengawasan ekstern. Pengawasan intern yang dimaksud yaitu pengawasan yang dilakukan oleh atasan atau pimpinan dalam instansi yang bersangkutan dalam hal ini kepala bagian keuangan ataupun diwakili oleh masing-masing kepala sub bagian keuangan untuk melakukan pengawasan terhadap pegawai atau bawahannya[16].
Oleh karena itu, pengawasan semacam ini disebut juga pengawasan vertikal atau formal. Disebutkan sebagai pengawasan formal karena yang melakukan pengawasan itu adalah orang-orang berwenang. Sedangkan pengawasan ekstern, bilamana orang-orang yang melakukan pengawasan itu adalah orang-orang di luar organisasi bersangkutan dalam hal ini adalah inspektorat daerah. Pengawasan jenis ini lazim pula disebut pengawasan sosial (sosial control) atau pengawasan internal.
Inspektorat daerah yang disebut sebagai Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) memiliki peran dan posisi yang strategis baik ditinjau dari aspek fungsi-fungsi manajemen maupun dari segi pencapaian visi dan misi serta program-program pemerintah dalam melaksanakan pengawasan ekstern. Intinya, Siapapun pihak yang mengadakan pengawasan baik itu pengawasan dari atasan langsung dalam hal ini Kepala Bagian Keuangan atau diwakili Kepala Sub Bagian Keuangan yang fokus melakukan pengawasan dari segi kedisiplinan pegawai, etika dan loyalitas kerja pegawai maupun pengawasan dari inspektorat daerah yang fokus melakukan pengawasan dan pemeriksaan pada laporan keuangan daerah, pada intinya hasil pelaksanaan pengawasan tersebut mengarah kepada peningkatan kinerja pegawai ke arah lebih baik karena salah satu fungsi pengawasan yaitu untuk melihat apakah segala kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai dengan rencana yang digariskan dan di samping itu merupakan hal yang penting pula untuk menentukan rencana kerja yang akan datang demi terciptanya peningkatan kinerja pegawai.
b. Faktor Penghambat Dalam Pelaksanaan Pengawasan
Dalam melaksanakan suatu kegiatan dalam organisasi atau lembaga tidaklah selalu berjalan dengan lancar dan terkadang dalam proses pelaksanaannya ditemukan beberapa hambatan atau kendala dalam upaya pencapaian kegiatan tersebut. Demikian pula yang dialami telah banyak yang dialami langsung oleh sejumlah pihak yakni Bagian Keuangan dalam pelaksanaan pengawasan. Terdapat berbagai faktor yang menghambat pelaksanaan pengawasan terutama pengawasan terhadap kinerja pegawai.
Adapun faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan pengawasan di daeah kabupaten/kota yaitu adanya faktor internal dan faktor eksternal yang pembahasannya dijabarkan sebagai berikut[17]:
1. Faktor internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam. Adapun yang dimaksud dalam hal ini adalah faktor yang berkaitan erat atau berhubungan langsung dengan pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan/atasan langsung di Bagian Keuangan. Adapun hambatan-hambatan yang dihadapi yaitu:
a. Terbatasnya waktu
Dalam melaksanakan pengawasan tentu dibutuhkan waktu yang tidak sedikit bahkan frekuensinya perlu dilakukan sesering mungkin untuk dapat mencegah munculnya hal-hal yang tidak diinginkan. Namun, kenyataannya kepala bagian keuangan sebagai pimpinan langsung yang juga melakukan pengawasan terhadap kinerja pegawai diantaranya mengawasi kedisiplinan dan etika pegawai mengeluhkan terbatasnya waktu yang digunakan untuk mengawasi pegawai karena yang menjadi persoalan adalah apabila pimpinan sedang berada di luar kantor atau luar daerah dan juga disibukkan dengan pekerjaan lainnya maka pimpinan tidak sempat mengawasi secara langsung perilaku pegawai di dalam kantor yakni apakah semua pegawai di bagian keuangan mengikuti apel pagi atau tidak bolos kerja dengan berbagai alasan atau sering mengobrol atau main game di depan komputer karena hal seperti ini sering ditemukan di berbagai instansi kerja, sehingga tentu saja pimpinan tidak sempat memantau semuanya sekaligus[18].
b. Kedisiplinan Kerja
Pegawai yang tidak disiplin karena pemberian sanksi yang kurang tegas Realita yang ditemukan di sebagian daerah kabupaten/kota yaitu kebanyakan pegawai lebih rajin datang tepat waktu untuk bekerja dibanding pegawai negeri sipil yang sering datang terlambat bahkan tidak masuk kerja dengan berbagai alasan, kemudian ketika mendapat teguran atau dimarahi pimpinan, terkesan bawa perasaan karena merasa dirinya tidak dihargai atau merasa dipermalukan di depan orang, sehingga pimpinan kesulitan untuk menemukan cara untuk menegurnya lagi. Akibatnya kalau pimpinan bersifat kendur, takut perasaan pegawai terlukai akhirnya sanksi yang diberikan juga ringan dan kemungkinan besar pegawai bisa mengulangi kesalahan yang sama.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar. Adapun yang dimaksud dalam hal ini adalah faktor yang berkaitan erat dengan pengawasan yang dilakukan oleh instansi dari luar Bagian Keuangan yaitu inspektorat daerah. Inspektorat daerah memiliki peran yang sangat penting dalam melaksanakan pengawasan di semua bagian-bagian instansi termasuk bagian keuangan. Namun, dalam pelaksanaannya pegawai di Bagian Keuangan mempunyai beberapa keluhan terhadap pengawasan yang dilakukan oleh inspektorat daerah yaitu:
a. Adanya ketidakseimbangan antara jumlah aparatur dengan beban kerja Artinya ada ketidakseimbangan antara jumlah petugas inspektorat daerah yang datang mengawas dengan jumlah objek-objek pemeriksaan yang harus diawasi. Kendalanya pegawai di bagian keuangan mulai dari kabag keuangan, bendahara, kasubag anggaran, kasubag perbendaharaan dan verifikasi, kasubag aset dan pelaporan keuangan serta pegawai-pegawai sub bagian keuangan sudah mempersiapkan data-data yang diperlukan, tetapi semuanya belum sempat diperiksa bahkan ada yang dilewati, hal ini tentu saja bisa mempengaruhi kinerja pegawai. Artinya jika pegawai tidak diperiksa dan tidak tahu dimana letak kekurangannya atau adakah kesalahan dengan data yang telah disusun, maka pegawai tidak tahu apakah pekerjaan yang dilakukannya sudah baik atau masih ada yang perlu diperbaiki.
b. Terdapat kekurangan pada pelaksanaan pengawasan oleh inspektorat daerah. Pegawai bagian keuangan menilai pengawasan dan pemeriksaan oleh inspektorat daerah masih ada kekuarangan, karena seseorang yang ditunjuk menjadi pengawas dan melakukan inspeksi langsung di beberapa instansi harus memiliki sertifikat pemeriksa atau auditor. Hal tersebut barulah memenuhi standar untuk melaksanakan penugasan audit intern. Kekurangannya adalah ada petugas inspektorat daerah yang datang mengawas tetapi tidak menunjukkan sertifikat auditor, artinya pegawai tidak bisa mengetahui apakah pegawai inspektorat daerah tersebut layak untuk melakukan pemeriksaan atau belum.
c. Kurangnya kerjasama antara Inspektorat Daerah dengan BPKP setempat dalam hal pengawasan laporan keuangan. Dalam hal ini inspektorat daerah menginginkan kerja sama yang lebih sering dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan untuk wilayah Kabupaten/kota setempat, tetapi pada realitanya inspektorat melaksanakan tugas yang lebih banyak dalam aspek pengawasan laporan keuangan daerah, inspektorat daerah menyarankan perlu adanya kerja sama yang lebih sering dengan pihak BPKP tersebut agar pada saat LHP rampung dan akan direview kembali oleh BPK maka tidak akan terjadi kekeliruan atau perbedaan persepsi terhadap laporan keuangan tersebut.
3. Hasil Pelaksanaan Pengawasan
Adapun hasil pelaksanaan pengawasan baik dari inspektorat daerah maupun Bagian Keuangan sebagai pimpinan langsung berdampak positif terhadap kinerja pegawai[19]. Hal ini didasarkan pada hasil pengawasan yang dilakukan oleh auditor inspektorat daerah yang khusus mengawasi dan memeriksa laporan keuangan daerah memberikan tindak lanjut hasil pengawasan yang berdampak positif terhadap kinerja pegawai. Selanjutnya, inspektorat daerah akan membuat Laporan Hasil Pengawasan (LHP) yang selanjutnya akan diperiksa dan diserahkan lagi kepada pihak yang berwenang untuk proses selanjutnya. Agar laporan keuangan pemerintah daerah dapat memperoleh hasil yang memuaskan, maka diperlukan peran maksimal dari inspektorat selaku APIP.
Setelah Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) disusun, maka akan direview terlebih dahulu oleh Inspektorat dan didampingi oleh BPKP (Badan Pengawasan Keungan dan Pembangunan) kemudian diserahkan kepada BPK RI Perwakilan Provinsi setempat untuk dilakukan pemeriksaan LKPD. Sehingga, baik auditor inspektorat harus teliti dalam melakukan pengawasan. Begitu pula pihak yang diawasi yakni Sekretariat Daerah Kabupaten/kota harus diteliti dalam menyusun laporan keuangan pemerintah daerah karena apabila ditemukan kesalahan maka data atau dokumen tentang keuangan yang bersangkutan akan dilakukan perbaikan, sanksi yang diberikan kepada pegawai yang melakukan kesalahan yaitu berupa teguran baik lisan maupun tulisan, tetapi tidak menutup kemungkinan akan adanya sanksi yang berat apabila ditemukan kesalahan fatal yang bisa menyebabkan kerugian[20].
Sementara itu, hasil pengawasan yang dilakukan bagian keuangan sebagai pimpinan/atasan langsung juga memberikan dampak positif terhadap kinerja pegawai, diantaranya pegawai lebih berhati-hati bersikap atau berperilaku di tempat kerja karena ada teguran dari pimpinan langsung dan pegawai juga lebih disiplin yang tadinya sering terlambat datang kerja maka perlahan-lahan mulai datang tepat waktu dan ada pula datang yang lebih awal.
Sehingga, pengawasan yang dilakukan baik dari pimpinan langsung maupun pengawasan dari inspektorat daerah, pada dasarnya memiliki tujuan yang baik yakni pegawai dituntut untuk memperbaiki sesuatu jika melakukan kesalahan dan dengan adanya kegiatan pengawasan maka koordinasi atau kerjasama antara pimpinan langsung dengan pegawai maupun dengan instansi lain dapat terjalin dengan baik, sehingga dampaknya pegawai akan memperbaiki kesalahan, lebih disiplin serta bersikap jujur maka tentu saja kinerja pegawai akan mengalami peningkatan.
Penutup
1.      Pengawasan kinerja ASN menurut PP No. 46/2011 Tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil meliputi penilaian terhadap prestasi kerja ASN dilakukan berdasarkan prinsip objektif, terukur, akuntabel, partisipatif, dan transparan. Penilaian prestasi kerja PNS terdiri atas unsur. SKP dan perilaku kerja. Tentu pengawasan ini lebih kepada bagaimana setiap ASN dapat menjalankan tugasnya sesuai ketentuan yang berlaku dengan tetap memeggang prinsip dasar sebagai ASN dan juga norma yang berlaku baik secara internal maupun eksternal pemerintahan.
2.      Pelaksanaan pengawasan yang dilaksanakan secara intern dilaksanakan oleh pimpinan langsung dan secara ekstern dilaksanakan oleh inspektorat daerah. Pengawasan yang dilaksanakan oleh pimpinan langsung meliputi pengawasan kedisiplinan, etika dan loyalitas kerja pegawai, sedangkan pengawasan yang dilaksanakan oleh inspektorat daerah mencakup pengawasan atau pemeriksaan laporan keuangan daerah yang dilaksanakan 4 (empat) kali dalam setahun.
3.      Faktor penghambat pelaksanaan pengawasan dialami secara internal yaitu yang berkaitan erat dengan pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan langsung meliputi keterbatasan waktu, pegawai yang tidak disiplin karena pemberian sanksi yang kurang tegas, selain itu, terdapat pula faktor eksternal yang berkaitan erat dengan pengawasan yang dilakukan oleh instansi dari luar Bagian Keuangan yaitu inspektorat daerah Kabupaten/kota meliputi adanya ketidakseimbangan antara jumlah aparatur dengan beban kerja, terdapat kekurangan pada pelaksanaan pengawasan oleh inspektorat daerah serta kurangnya kerjasama antara Inspektorat Daerah dengan BPKP dalam hal pengawasan laporan keuangan.
4.      Hasil pengawasan Bagian Keuangan oleh inspektorat daerah Kabupaten/Kota dituangkan dalam sebuah Laporan Hasil Pengawasan (LHP) yang memuat laporan keuangan pemerintah daerah yang akan direview terlebih dahulu oleh inspektorat didampingi oleh BPKP kemudian diserahkan kepada BPK RI perwakilan Provinsi setempat untuk dilakukan pemeriksaan LKPD, sedangkan hasil pengawasan oleh Bagian Keuangan yaitu masih ditemukan beberapa yang sering mangkir dari kewajibannya, maka konsekuensinya akan mendapat teguran lisan maupun teguran tertulis.


Referensi
Anggara, Sahya, 2012. IlmuAdministrasi Negara, Pustaka Setia, Bandung.
Anggara. 2016. Pengaruh Disiplin Pegawai terhadap Prestasi Kerja di Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Utara.Jurnal Administrasi Publik. Vol 1. No. 37
Armstrong, Michael. 1990. Manajemen Sumberdaya Manusia. PT. Gramedia. Jakarta.
Badriyah, Mila. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung. CV Pustaka Setia, 2015,
Cushway Barry, 1996. Human resource Managemen.PT Elex Media Komputindo. Jakarta.
Dimyati, Hamdan, 2014. Model kepemimpinan & system Pengambilan Keputusan. Pustaka Setia, Bandung.
Englin, Siso.2016. Pengaruh Etika Jabatan terhadap Kinerja Aparatur Sipil Negara di Sekretariat Kota Manado.Jurnal Administrasi Publik, Vol. 1. No. 37. 
Hamzah. 2012. Teori Kinerja dan Pengukurannya. Jakarta : Bumi Aksara., 2012
Harahap. 2016. Penguatan kedudukan dan peran Komisi Aparatur Sipil Negara dalam mewujudkan Reformasi Birokrasi. Jurnal Panorama Hukum Vol. 1 No. 2 Desember 2016 28
Hetty Fitria, Peran Pengawasan dalam Meningkatakan Kedisiplinan Kinerja Pegawai di Kantor Informasi Dan Komunikasi Kab. Karangayar. Surakarta., Disertasi Ilmu Administrasi Publik FISIP, Universitas Surakarta, 2017
Kumorotomo, Wahyudi. 2011. Etika Administrasi Negara. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Kurniawan, Josef. 2016. Pengaruh Reformasi Birokrasi terhadap Pelayanan Publik di dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal Administrasi Publik.
Nainggolan,1987. Pembinaan Pegawai Negeri Sipil. PT.Pertja, Bandung
Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN)
Rahman. 2016, .Kinerja AparaturSipil Negara dalam Pelayanan Publik.e Journal Ilmu Pemerintahan. 2017. 5 (2) : 661-672
Polikarpus Dwi Krispahanrip, Pengaruh Perapan Anggaran Berbasis Kinerja Dan Anggaran Berbasis Kinerja Terhadap Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Jurnal Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Komputer Indonesia, Vo..1. No. 2, tahun 2017
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS.
Wakhyudi, Sistem Manajemen Kinerja dalam Kerangka Reformasi Birokrasi, Jurnal Balai Diklat, Kota Bandung 2018



[1] Kurniawan Josef. 2016. Pengaruh Reformasi Birokrasi terhadap Pelayanan Publik di dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal Administrasi Publik., hlm.54.
[2] Dimyati, Hamdan, 2014. Model Kepemimpinan & System Pengambilan Keputusan. Pustaka Setia, Bandung. hlm. 45.
[3] Dimyati, Hamdan, 2014. Model kepemimpinan & system Pengambilan Keputusan.Pustaka Setia, Bandung hlm. 134
[4] Cushway Barry, 1996. Human resource Managemen.PT Elex Media Komputindo. Jakarta. hlm. 94
[5] Kumorotomo, Wahyudi. 2011. Etika Administrasi Negara. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 105.
[6] Badriyah, Mila. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung. CV Pustaka Setia, 2015, hlm. 32.
[7] Armstrong, Michael. 1990. Manajemen Sumberdaya Manusia. PT. Gramedia. Jakarta.hlm. 102
[8] Polikarpus Dwi Krispahanrip, Pengaruh Perapan Anggaran Berbasis Kinerja Dan Anggaran Berbasis Kinerja Terhadap Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Jurnal Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Komputer Indonesia, Vo..1. No. 2, tahun 2017, hlm. 211.
[9] Lihat Penjelasan Umum UU No. 5/2014 tentang ASN.
[10] Lihat Ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 PP No. 46/2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS.
[11] Polikarpus Dwi Krispahanrip, Op, Cip, hlm. 212
[12] Lihat ketentuan Pasal 5 PP No.46/2011.
[13] Kumorotomo, Wahyudi. 2011. Etika Administrasi Negara. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 65
[14] Wakhyudi, Sistem Manajemen Kinerja dalam Kerangka Reformasi Birokrasi, Jurnal Balai Diklat, Kota Bandung 2018. hlm. 210.
[15] Harahap. 2016. Penguatan kedudukan dan peran Komisi Aparatur Sipil Negara dalam mewujudkan Reformasi Birokrasi. Jurnal Panorama Hukum Vol. 1 No. 2 Desember 2016, hlm.28
[16] Ibid,
[17] Hetty Fitria, Peran Pengawasan dalam Meningkatakan Kedisiplinan Kinerja Pegawai di Kantor Informasi Dan Komunikasi Kab. Karangayar. Surakarta., Disertasi Ilmu Administrasi Publik FISIP, Universitas Surakarta, 2017, hlm. 211
[18] Hamzah. 2012. Teori Kinerja dan Pengukurannya. Jakarta : Bumi Aksara., 2012, hlm. 85
[19] Ibid, 216.
[20] Englin, Siso.2016. Pengaruh EtikaJ abatan terhadap Kinerja Aparatur Sipil Negara di Sekretariat Kota Manado.Jurnal Administrasi Publik, Vol. 1. No. 37., hlm.87.

Tidak ada komentar: