PENGAWASAN
AKUNTABILITAS APARAT SIPIL NEGARA BERBASIS KINERJA MENURUT PP NO. 46 TAHUN 2011
TENTANG PENILAIAN PRESTASI KERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL
Norani Asnawi & Mel Benu
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Nusa Cendana
Abstrak
Artikel
tulisan ini merupakan hasil pemikiran konseptual terhadap fungsi pengawasan
terhadap akuntabilitas kinerja aparat sipil negara berdasarkan PP No. 46 Tahun
2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS. Sekalipun aturan PP ini mendahului
UU No.5 tahun 2014 tentang ASN namun roh dan semangat kinerja bagi ASN tetap
menggunakan ukuran PP tersebut. Penilaian terhadap prestasi kerja ASN dilakukan
berdasarkan prinsip objektif, terukur, akuntabel, partisipatif, dan transparan.
Penilaian prestasi kerja PNS terdiri atas unsur. SKP dan perilaku kerja. Tentu
pengawasan ini lebih kepada bagaimana setiap ASN dapat menjalankan tugasnya
sesuai ketentuan yang berlaku dengan tetap memeggang prinsip dasar sebagai ASN
dan juga norma yang berlaku baik secara internal maupun eksternal pemerintahan.
Pelaksanaan
pengawasan yang dilaksanakan secara intern dilaksanakan oleh pimpinan langsung
dan secara ekstern dilaksanakan oleh inspektorat daerah. Pengawasan yang
dilaksanakan oleh pimpinan langsung meliputi pengawasan kedisiplinan, etika dan
loyalitas kerja pegawai, sedangkan pengawasan yang dilaksanakan oleh
inspektorat daerah mencakup pengawasan atau pemeriksaan laporan keuangan daerah
yang dilaksanakan 4 (empat) kali dalam setahun.
Kata Kunci : Pengawasan, Akuntabilitas Kinerja, ASN
Pendahuluan
Era globalisasi yang
terjadi sejak tahun 1980 an, telah mempunyai dampak yang sangat besar dalam
berbagai aspek kehidupan, baik sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain
sebagainya termasuk aspek hukum[1].
Sebagaimana negara-negara berkembang lain di dunia, Indonesia juga tidak mampu
menutup diri dari perkembangan yang terjadi. Perbaikan kinerja aparat pelayanan
publik merupakan suatu keharusan jika dikaitkan dengan perkembangan dan
tuntutan kontemporer seperti globalisasi.Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
Tetang Administrasi Pemerintahan merupakan salah satu jawaban atas tuntutan
arus global.
Undang-Undang ini
mendorong terciptanya good governance[2].
Tata Kepemerintahan yang baik merupakan isu sentral yang paling mengemuka dalam
pengelolaan administrasi publik dewasa ini, sesuai pandangan yang mengemukakan
bahwa tuntutan akan good governance timbul karena adanya penyimpangan dalam
penyelenggaraan negara dari nilai demokratis sehingga mendorong kesadaran warga
negara untuk menciptakan sistem atau paradigma baru untuk mengawasi jalannya
pemerintahan agar tidak melenceng dari tujuan semula. Guna memberikan landasan
dan pedoman bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menjalankan tugas
penyelenggaraan pemerintahan dibuat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
43Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian, yang kemudian diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2014 tentang Aparat Sipil Negara (ASN)
Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2014 tentang Aparat Sipil Negara (ASN) ini menjadi dasar hukum dalam
penyelenggaraan pemerintahan di dalam upaya meningkatkan kepemerintahan yang
baik (good governance) dan sebagai
upaya untuk meningkatkan kinerja pegawai. Kinerja merupakan istilah yang
populer di dalam manajemen, yang mana istilah kinerja didefinisikan dengan
istilah hasil kerja, prestasi kerja dan performance. Dalam Kamus Bahasa Indonesia
dikemukakan arti kinerja sebagai “(1) sesuatu yang dicapai; (2) prestasi yang
diperlihatkan; (3) kemampuan kerja”. Menurut Dimyati[3]
“Kinerja yang tinggi yang ada pada individu dalam organisasi menunjukkan bahwa
apa yang telah dilakukan oleh individu telah sesuai dengan apa yang
diprogramkan oleh organisasi.
Dengan demikian,
kinerja yang tinggi tentunya ada pada budaya organisasi yang baik”. Cushway[4]
menyatakan bahwa “ pengelolaankinerja karyawan (prestasi kerja) dilakukan
dengan cara memberikan dukungan yang diperlukan karyawan dan menciptakan
kondisi yang memadai bagi mereka sehingga dapat menghasilkan sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya”. Menurut Kumorotomo tanggung jawab,
haruslah dipahami sebagai pertanggungjawaban hierarkis. Pemahaman tersebut
berkaitan dengan proses pertanggungjawaban kinerja secara berjenjang dalam
berbagai kedudukan yang ada pada organisasi[5] .
Kinerja Aparatur Sipil
Negara merupakan suatu isu yang sangat aktual yang terjadi pada masa sekarang
ini. Masyarakat masih memandang kinerja dari Aparatur Sipil Negara pada belum
bisa memberikan rasa kepuasan yang tinggi, sehingga menyebabkan penyelenggaraan
pemerintahan menjadi sorotan yang tajam, terutama dalam aspek transparansi,
akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas[6].
Hal tersebut disebabkan masyarakat mulai kritis dalam memonitor dan
mengevaluasi manfaat serta nilai yang diperoleh atas pelayanan dari instansi
pemerintah. Ditengah kekecewaan masyarakat atas kinerja pemerintah tersebut,
Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat memberlakukan UndangUndang Nomor 30
Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.
UndangUndang ini
merupakan pengaturan di bidang hukum administrasi negara mengenai
penyelenggaraan pemerintahan. Undang-undang ini merupakan hal baru di bidang
hukum Administrasi Negara yang menjadi dasar penatalaksanaan dalam pengambilan
keputusan oleh Badan dan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 ini dimaksudkan tidak hanya sebagai payung hukum bagi
penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga sebagai instrumen untuk meningkatkan
kualitas pelayanan pemerintahan kepada masyarakat sehingga keberadaan
Undang-Undang ini benar-benar dapat mewujudkan pemerintahan yang baik bagi
semua Badan atau Pejabat Pemerintahan di Pusat dan Daerah.
Selain itu
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparat Sipil Negara (ASN) juga
merupakan keseluruhan upaya untuk mengatur kembali keputusan dan/atau tindakan
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Termasuk
sebagai salah satu penunjuk arah dan pedoman Aparatur Sipil Negara dalam
pelaksanaan fungsi dan tugas sesuai pencapaian kerja yang diharapkan.
Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2014 tentang Aparat Sipil Negara (ASN) tidak hanya menyangkut petugas
administrasi pemerintahan tetapi juga semua pihak terkait, sebagaimana
disebutkan dalam pasal 2 yang menyatakan sebagai berikut: “Undang-Undang
tentang Administrasi Pemerintahan dimaksudkan sebagai salah satu dasar hukum
bagi Badandan/atau Pejabat Pemerintahan, Warga Masyarakat, dan pihak-pihak lain
yang terkait dengan AdministrasiPemerintahan dalam upaya meningkatkan kualitas
penyelenggaraan pemerintahan”.
Berdasarkan latar
belakang yang telah dipaparkan di atas maka penulis mencoba untuk mengkaji
lebih dalam subtansi-subtansi dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan, melalui mekanisme pengawasan yang dilakukan baik
secara internal maupun eksternal bagi ASN dalam hal ini guna peningkatan
kinerja Aparatur Sipil Negara dalam melaksanakan tugas administrasi
pemerintahan.
11. Pengawasan kinerja ASN menurut PP
No. 46/2011 Tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil
Sesuai
Penjelasan umum UU ASN bahwa untuk mewujudkan tujuan nasional, dibutuhkan
Pegawai ASN. ASN diserahi tugas untuk melaksanakan tugas pelayanan publik,
tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu. Tugas pelayanan publik dilakukan
dengan memberikan pelayanan atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif
yang disediakan Pegawai ASN[7].
Adapun tugas pemerintahan dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan fungsi umum
pemerintahan yang meliputi pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian, dan
ketatalaksanaan[8].
Sedangkan dalam rangka pelaksanaan tugas pembangunan tertentu dilakukan melalui
pembangunan bangsa (cultural and political development) serta melalui
pembangunan ekonomi dan sosial (economic
and social development) yang diarahkan meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran seluruh masyarakat[9].
Sementara
itu, ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 Tentang
Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil Penilaian menyebutkan bahwa prestasi
kerja PNS bertujuan untuk menjamin objektivitas pembinaan PNS yang dilakukan
berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada
sistem prestasi kerja. Penilaian prestasi kerja PNS dilakukan berdasarkan
prinsip objektif, terukur, akuntabel, partisipatif, dan transparan. Penilaian
prestasi kerja PNS terdiri atas unsur. SKP dan perilaku kerja[10].
Sasaran
kerja pegawai berdasarkan ketentuan Pasal 5 PP No.46/2011 tentang Penilaian
Prestasi Kerja PNS bahwa setiap PNS wajib menyusun SKP, berdasarkan rencana
kerja tahunan instansi. Selain itu, SKP tersebut memuat kegiatan tugas jabatan
dan target yang harus dicapai dalam kurun waktu penilaian yang bersifat nyata
dan dapat diukur[11].
SKP yang telah disusun harus disetujui dan ditetapkan oleh pejabat penilai. Artinya
dalam hal SKP yang disusun oleh PNS tidak disetujui oleh pejabat penilai maka
keputusannya diserahkan kepada atasan pejabat penilai dan bersifat final.
SKPditetapkan setiap tahun pada bulan Januari. Sehingga dalam hal terjadi perpindahan
pegawai setelah bulan Januari maka yang bersangkutan tetap menyusun SKP pada
awal bulan sesuai dengan surat perintah melaksanakan tugas atau surat perintah
menduduki jabatan[12].
Pasal
6 PNS yang tidak menyusun SKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dijatuhi
hukuman disiplin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai disiplin PNS. Pasal 7 (1) SKP yang telah disetujui dan
ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 menjadi dasar penilaian bagi
pejabat penilai. (2) Penilaian SKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
aspek: a. kuantitas; b. kualitas; c. waktu; dan d. biaya. (3) Penilaian SKP
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi aspek kuantitas,
kualitas, dan waktu, sesuai dengan karakteristik, sifat, dan jenis kegiatan
pada masing-masing unit kerja. (4) Dalam hal kegiatan tugas jabatan didukung
oleh anggaran maka penilaian SKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi
pula aspek biaya. (5) Berdasarkan aspek sebagaimana dimaksud pada ayat (2), setiap
instansi menyusun dan menetapkan standar teknis kegiatan sesuai dengan
karakteristik, sifat, jenis kegiatan, dan kebutuhan tugas masingmasing jabatan.
(6) Instansi dalam menyusun standar teknis kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) dilakukan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Kepala Badan
Kepegawaian Negara.
Pasal
8 (1) Penilaian SKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a dilakukan dengan
cara membandingkan antara realisasi kerja dengan target. (2) Dalam hal
realisasi kerja melebihi dari target maka penilaian SKP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) capaiannya dapat lebih dari 100 (seratus). Sehingga dalam hal SKP
tidak tercapai yang diakibatkan oleh faktor diluar kemampuan individu PNS maka
penilaian didasarkan pada pertimbangan kondisi penyebabnya. Tentu dalam hal PNS
dibebankan berupa pertama. melaksanakan tugas tambahan yang diberikan oleh
pimpinan atau pejabat penilai yang berkaitan dengan tugas jabatan; dan/atau, kedua,
menunjukkan kreativitas yang bermanfaat bagi organisasi dalam melaksanakan
tugas jabatan; maka hasil penilaian menjadi bagian dari penilaian capaian SKP[13].
Perilaku
Kerja sesuai ketentuan Pasal 12 ayar (1) PP No. 46/2011 bahwa penilaian
perilaku kerja meliputi aspek orientasi pelayanan, integritas, komitmen,
disiplin, kerja sama, dan kepemimpinan. Penilaian kepemimpinan hanya dilakukan
bagi PNS yang menduduki jabatan struktural. Artinya penilaian perilaku kerja
dilakukan melalui pengamatan oleh pejabat penilai terhadap PNS sesuai kriteria
yang ditentukan. Pejabat penilai dalam melakukan penilaian perilaku kerja
PNS dapat mempertimbangkan masukan dari
pejabat penilai lain yang setingkat di lingkungan unit kerja masing-masing.
Nilai perilaku kerja dapat diberikan paling tinggi 100 (seratus). Mengenai kriteria
penilaian perilaku kerja dilakukan oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara.
Tata
cara penilaian prestasi kerja dilakukan dengan cara menggabungkan penilaian SKP
dengan penilaian perilaku kerja. Bobot nilai unsur SKP 60% (enam puluh persen)
dan perilaku kerja 40% (empat puluh persen). Penilaian prestasi kerja PNS
dilaksanakan oleh pejabat penilai sekali dalam 1 (satu) tahun. Selain iyu, Penilaian
prestasi kerja dilakukan setiap akhir Desember pada tahun yang bersangkutan dan
paling lama akhir Januari tahun berikutnya. Nilai prestasi kerja PNS dinyatakan
dengan angka yakni (a). 91 – ke atas: sangat baik; (b). 76-90: baik; (c).
61-75: cukup; (d). 51-60: kurang; dan (e). 50 ke bawah: buruk
Mengenai
tata cara penilaian diatur lebih teknis oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara.
Pejabat Penilai dan Atasan Pejabat Penilai. Pejabat penilai wajib melakukan
penilaian prestasi kerja terhadap setiap PNS di lingkungan unit kerjanya.
Pejabat penilai yang tidak melaksanakan penilaian prestasi kerja dijatuhi
hukuman disiplin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai disiplin PNS. Pejabat pembina kepegawaian sebagai pejabat penilai
dan/atau atasan pejabat penilai yang tertinggi di lingkungan unit kerja
masing-masing[14].
Pelaksanaan
penilaian hasil penilaian prestasi kerja diberikan secara langsung oleh pejabat
penilai kepada PNS yang dinilai. PNS yang dinilai dan telah menerima hasil
penilaian prestasi kerja wajib menandatangani serta mengembalikan kepada
pejabat penilai paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya
hasil penilaian prestasi kerja. Dalam hal PNS yang dinilai dan/atau pejabat
penilai tidak menandatangani hasil penilaian prestasi kerja maka hasil
penilaian prestasi kerja ditetapkan oleh Atasan Pejabat Penilai.
Pejabat
penilai wajib menyampaikan hasil penilaian prestasi kerja kepada atasan pejabat
penilai paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya penilaian
prestasi kerja. Hasil penilaian prestasi
kerja mulai berlaku sesudah ada pengesahan dari atasan pejabat penilai. Pejabat
Penilai berdasarkan hasil penilaian prestasi kerja dapat memberikan rekomendasi
kepada pejabat yang secara fungsional bertanggung jawab dibidang kepegawaian
sebagai bahan pembinaan terhadap PNS yang dinilai.
Keberatan
Hasil Penilaian menurut Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011
Tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil Pasal 25 ayat (1) bahwa dalam
hal PNS yang dinilai keberatan atas hasil penilaian maka PNS yang dinilai dapat
mengajukan keberatan disertai dengan alasan-alasannya kepada atasan pejabat
penilai secara hierarki paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterima hasil
penilaian prestasi kerja. Setelah itu, atasan pejabat penilai berdasarkan
keberatan yang diajukan wajib memeriksa dengan seksama hasil penilaian prestasi
kerja yang disampaikan kepadanya. Terhadap keberatan tersebut, atasan pejabat
penilai meminta penjelasan kepada pejabat penilai dan PNS yang dinilai. Sehingga
berdasarkan penjelasan tersebut juga, atasan pejabat penilai wajib menetapkan
hasil penilaian prestasi kerja dan bersifat final. Untuk itu, dalam hal
terdapat alasan-alasan yang cukup, Atasan Pejabat Penilai dapat melakukan
perubahan nilai prestasi kerja PNS.
2.
Pelaksanaan Pengawasan secara internal dan eksternal terhadap kinerja ASN pada
lingkup pemerintahan
a.
Target Pelaksanaan Pengawasan bagi PNS
Adapun target
pelaksanaan pengawasan bagi PNS sebagai salah satunya bisa dilakukan oleh
Inspektorat setempat. Dalam mendukung pelaksanaan pengawasan di lingkungan
pemerintah daerah dalam hal ini SKPD, maka inspektorat harus membuat audit
charter yaitu dokumen tertulis formal yang merumuskan tujuan, wewenang, dan tanggung
jawab inspektorat dalam menjalankan fungsi pengawasannya. Salah satu subtansi
dari audit charter ini yaitu fungsi pengawasan harus di isi oleh orang-orang
yang kompeten untuk pelaksanaan tugas yang disebut dengan pejabat pengawas
pemerintah (auditor).
Dimilikinya anggaran
dasar fungsi pengawasan yang tertuang di dalam dokumen audit charter
memungkinkan inspektorat sebagai fungsi pengawasan dapat melaksanakan aktivitas
kegiatan pekerjaan auditnya dengan independen dan obyektif. Adapun area cakupan
pengawasan yaitu pemeriksaan laporan keuangan daerah serta pemeriksaan aspek
keuangan daerah lainnya meliputi pemeriksaan kinerja bendahara penerimaan dan
pengeluaran, pemeriksaan belanja tidak langsung, belanja langsung dan
pelaksanaan dan penatausahaan keuangan daerah. Pengawasan atau pemeriksaaan
tersebut dilaksanakan 4 (empat) kali dalam setahun.
Pelaksanaan pengawasan
juga didasarkan pada program kerja pengawasan tahunan yang direkomendasikan
oleh pimpinan atau kepala inspektorat. Artinya, pengawasan hanya akan dilakukan
atau dilaksanakan apabila direkomendasikan langsung oleh pimpinan. Inspektorat
daerah sebagai aparat pengawasan internal pemerintah berperan sebagai Quality Assurance yaitu menjamin bahwa
suatu kegiatan dapat berjalan secara efisien, efektif dan sesuai dengan
aturannya dalam mencapai tujuan organisasi[15].
Titik berat pelaksanaan
tugas pengawasannya adalah melakukan tindakan preventif yaitu mencegah
terjadinya kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan program dan kegiatan oleh SKPD
setempat serta memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah terjadi untuk
dijadikan pelajaran agar kesalahan-kesalahan tersebut tidak terulang di masa
yang akan datang. Selain itu, pihak lain yang melakukan pengawasan adalah
Pimpinan SKPD juga dapat melakukan pengawasan terhadap kinerja pegawai meliputi
kedisiplinan pegawai, etika dan loyalitas dalam bekerja serta pelaksanaan tugas
pegawai pada masing-masing sub bagian keuangan.
Pernyataan tersebut berdasar
pada bentuk atau model pengawasan terhadap kinerja pegawai di berbagai
instansi. Apabila pengawasan itu dibedakan atas dasar penggolongan siapa yang
mengadakan pengawasan, maka pengawasan itu dapat dibedakan atas pengawasan
intern dan pengawasan ekstern. Pengawasan intern yang dimaksud yaitu pengawasan
yang dilakukan oleh atasan atau pimpinan dalam instansi yang bersangkutan dalam
hal ini kepala bagian keuangan ataupun diwakili oleh masing-masing kepala sub
bagian keuangan untuk melakukan pengawasan terhadap pegawai atau bawahannya[16].
Oleh karena itu,
pengawasan semacam ini disebut juga pengawasan vertikal atau formal. Disebutkan
sebagai pengawasan formal karena yang melakukan pengawasan itu adalah
orang-orang berwenang. Sedangkan pengawasan ekstern, bilamana orang-orang yang
melakukan pengawasan itu adalah orang-orang di luar organisasi bersangkutan
dalam hal ini adalah inspektorat daerah. Pengawasan jenis ini lazim pula
disebut pengawasan sosial (sosial control)
atau pengawasan internal.
Inspektorat daerah yang
disebut sebagai Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) memiliki peran dan
posisi yang strategis baik ditinjau dari aspek fungsi-fungsi manajemen maupun
dari segi pencapaian visi dan misi serta program-program pemerintah dalam
melaksanakan pengawasan ekstern. Intinya, Siapapun pihak yang mengadakan
pengawasan baik itu pengawasan dari atasan langsung dalam hal ini Kepala Bagian
Keuangan atau diwakili Kepala Sub Bagian Keuangan yang fokus melakukan
pengawasan dari segi kedisiplinan pegawai, etika dan loyalitas kerja pegawai
maupun pengawasan dari inspektorat daerah yang fokus melakukan pengawasan dan
pemeriksaan pada laporan keuangan daerah, pada intinya hasil pelaksanaan
pengawasan tersebut mengarah kepada peningkatan kinerja pegawai ke arah lebih
baik karena salah satu fungsi pengawasan yaitu untuk melihat apakah segala
kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai dengan rencana yang digariskan dan di
samping itu merupakan hal yang penting pula untuk menentukan rencana kerja yang
akan datang demi terciptanya peningkatan kinerja pegawai.
b. Faktor Penghambat Dalam
Pelaksanaan Pengawasan
Dalam melaksanakan
suatu kegiatan dalam organisasi atau lembaga tidaklah selalu berjalan dengan
lancar dan terkadang dalam proses pelaksanaannya ditemukan beberapa hambatan
atau kendala dalam upaya pencapaian kegiatan tersebut. Demikian pula yang
dialami telah banyak yang dialami langsung oleh sejumlah pihak yakni Bagian
Keuangan dalam pelaksanaan pengawasan. Terdapat berbagai faktor yang menghambat
pelaksanaan pengawasan terutama pengawasan terhadap kinerja pegawai.
Adapun faktor-faktor
yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan pengawasan di daeah kabupaten/kota
yaitu adanya faktor internal dan faktor eksternal yang pembahasannya dijabarkan
sebagai berikut[17]:
1.
Faktor internal
Faktor internal adalah
faktor yang berasal dari dalam. Adapun yang dimaksud dalam hal ini adalah
faktor yang berkaitan erat atau berhubungan langsung dengan pengawasan yang
dilakukan oleh pimpinan/atasan langsung di Bagian Keuangan. Adapun
hambatan-hambatan yang dihadapi yaitu:
a.
Terbatasnya waktu
Dalam melaksanakan
pengawasan tentu dibutuhkan waktu yang tidak sedikit bahkan frekuensinya perlu
dilakukan sesering mungkin untuk dapat mencegah munculnya hal-hal yang tidak
diinginkan. Namun, kenyataannya kepala bagian keuangan sebagai pimpinan
langsung yang juga melakukan pengawasan terhadap kinerja pegawai diantaranya
mengawasi kedisiplinan dan etika pegawai mengeluhkan terbatasnya waktu yang
digunakan untuk mengawasi pegawai karena yang menjadi persoalan adalah apabila
pimpinan sedang berada di luar kantor atau luar daerah dan juga disibukkan
dengan pekerjaan lainnya maka pimpinan tidak sempat mengawasi secara langsung
perilaku pegawai di dalam kantor yakni apakah semua pegawai di bagian keuangan
mengikuti apel pagi atau tidak bolos kerja dengan berbagai alasan atau sering
mengobrol atau main game di depan komputer karena hal seperti ini sering
ditemukan di berbagai instansi kerja, sehingga tentu saja pimpinan tidak sempat
memantau semuanya sekaligus[18].
b.
Kedisiplinan Kerja
Pegawai yang tidak
disiplin karena pemberian sanksi yang kurang tegas Realita yang ditemukan di
sebagian daerah kabupaten/kota yaitu kebanyakan pegawai lebih rajin datang
tepat waktu untuk bekerja dibanding pegawai negeri sipil yang sering datang
terlambat bahkan tidak masuk kerja dengan berbagai alasan, kemudian ketika
mendapat teguran atau dimarahi pimpinan, terkesan bawa perasaan karena merasa
dirinya tidak dihargai atau merasa dipermalukan di depan orang, sehingga
pimpinan kesulitan untuk menemukan cara untuk menegurnya lagi. Akibatnya kalau
pimpinan bersifat kendur, takut perasaan pegawai terlukai akhirnya sanksi yang
diberikan juga ringan dan kemungkinan besar pegawai bisa mengulangi kesalahan
yang sama.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah
faktor yang datang dari luar. Adapun yang dimaksud dalam hal ini adalah faktor
yang berkaitan erat dengan pengawasan yang dilakukan oleh instansi dari luar
Bagian Keuangan yaitu inspektorat daerah. Inspektorat daerah memiliki peran
yang sangat penting dalam melaksanakan pengawasan di semua bagian-bagian
instansi termasuk bagian keuangan. Namun, dalam pelaksanaannya pegawai di
Bagian Keuangan mempunyai beberapa keluhan terhadap pengawasan yang dilakukan
oleh inspektorat daerah yaitu:
a. Adanya ketidakseimbangan antara jumlah aparatur
dengan beban kerja Artinya ada ketidakseimbangan antara jumlah petugas
inspektorat daerah yang datang mengawas dengan jumlah objek-objek pemeriksaan
yang harus diawasi. Kendalanya pegawai di bagian keuangan mulai dari kabag keuangan,
bendahara, kasubag anggaran, kasubag perbendaharaan dan verifikasi, kasubag
aset dan pelaporan keuangan serta pegawai-pegawai sub bagian keuangan sudah
mempersiapkan data-data yang diperlukan, tetapi semuanya belum sempat diperiksa
bahkan ada yang dilewati, hal ini tentu saja bisa mempengaruhi kinerja pegawai.
Artinya jika pegawai tidak diperiksa dan tidak tahu dimana letak kekurangannya
atau adakah kesalahan dengan data yang telah disusun, maka pegawai tidak tahu
apakah pekerjaan yang dilakukannya sudah baik atau masih ada yang perlu
diperbaiki.
b. Terdapat kekurangan pada pelaksanaan pengawasan
oleh inspektorat daerah. Pegawai bagian keuangan menilai pengawasan dan
pemeriksaan oleh inspektorat daerah masih ada kekuarangan, karena seseorang
yang ditunjuk menjadi pengawas dan melakukan inspeksi langsung di beberapa
instansi harus memiliki sertifikat pemeriksa atau auditor. Hal tersebut barulah
memenuhi standar untuk melaksanakan penugasan audit intern. Kekurangannya
adalah ada petugas inspektorat daerah yang datang mengawas tetapi tidak
menunjukkan sertifikat auditor, artinya pegawai tidak bisa mengetahui apakah
pegawai inspektorat daerah tersebut layak untuk melakukan pemeriksaan atau
belum.
c. Kurangnya kerjasama antara Inspektorat Daerah
dengan BPKP setempat dalam hal pengawasan laporan keuangan. Dalam hal ini
inspektorat daerah menginginkan kerja sama yang lebih sering dengan Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan untuk wilayah Kabupaten/kota setempat, tetapi
pada realitanya inspektorat melaksanakan tugas yang lebih banyak dalam aspek
pengawasan laporan keuangan daerah, inspektorat daerah menyarankan perlu adanya
kerja sama yang lebih sering dengan pihak BPKP tersebut agar pada saat LHP
rampung dan akan direview kembali oleh BPK maka tidak akan terjadi kekeliruan
atau perbedaan persepsi terhadap laporan keuangan tersebut.
3.
Hasil Pelaksanaan Pengawasan
Adapun hasil
pelaksanaan pengawasan baik dari inspektorat daerah maupun Bagian Keuangan
sebagai pimpinan langsung berdampak positif terhadap kinerja pegawai[19].
Hal ini didasarkan pada hasil pengawasan yang dilakukan oleh auditor
inspektorat daerah yang khusus mengawasi dan memeriksa laporan keuangan daerah
memberikan tindak lanjut hasil pengawasan yang berdampak positif terhadap
kinerja pegawai. Selanjutnya, inspektorat daerah akan membuat Laporan Hasil
Pengawasan (LHP) yang selanjutnya akan diperiksa dan diserahkan lagi kepada
pihak yang berwenang untuk proses selanjutnya. Agar laporan keuangan pemerintah
daerah dapat memperoleh hasil yang memuaskan, maka diperlukan peran maksimal
dari inspektorat selaku APIP.
Setelah Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) disusun, maka akan direview terlebih dahulu
oleh Inspektorat dan didampingi oleh BPKP (Badan Pengawasan Keungan dan
Pembangunan) kemudian diserahkan kepada BPK RI Perwakilan Provinsi setempat
untuk dilakukan pemeriksaan LKPD. Sehingga, baik auditor inspektorat harus
teliti dalam melakukan pengawasan. Begitu pula pihak yang diawasi yakni
Sekretariat Daerah Kabupaten/kota harus diteliti dalam menyusun laporan
keuangan pemerintah daerah karena apabila ditemukan kesalahan maka data atau
dokumen tentang keuangan yang bersangkutan akan dilakukan perbaikan, sanksi
yang diberikan kepada pegawai yang melakukan kesalahan yaitu berupa teguran
baik lisan maupun tulisan, tetapi tidak menutup kemungkinan akan adanya sanksi
yang berat apabila ditemukan kesalahan fatal yang bisa menyebabkan kerugian[20].
Sementara itu, hasil
pengawasan yang dilakukan bagian keuangan sebagai pimpinan/atasan langsung juga
memberikan dampak positif terhadap kinerja pegawai, diantaranya pegawai lebih
berhati-hati bersikap atau berperilaku di tempat kerja karena ada teguran dari
pimpinan langsung dan pegawai juga lebih disiplin yang tadinya sering terlambat
datang kerja maka perlahan-lahan mulai datang tepat waktu dan ada pula datang
yang lebih awal.
Sehingga, pengawasan
yang dilakukan baik dari pimpinan langsung maupun pengawasan dari inspektorat
daerah, pada dasarnya memiliki tujuan yang baik yakni pegawai dituntut untuk
memperbaiki sesuatu jika melakukan kesalahan dan dengan adanya kegiatan
pengawasan maka koordinasi atau kerjasama antara pimpinan langsung dengan
pegawai maupun dengan instansi lain dapat terjalin dengan baik, sehingga
dampaknya pegawai akan memperbaiki kesalahan, lebih disiplin serta bersikap
jujur maka tentu saja kinerja pegawai akan mengalami peningkatan.
Penutup
1. Pengawasan
kinerja ASN menurut PP No. 46/2011 Tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai
Negeri Sipil meliputi penilaian terhadap prestasi kerja ASN dilakukan
berdasarkan prinsip objektif, terukur, akuntabel, partisipatif, dan transparan.
Penilaian prestasi kerja PNS terdiri atas unsur. SKP dan perilaku kerja. Tentu
pengawasan ini lebih kepada bagaimana setiap ASN dapat menjalankan tugasnya
sesuai ketentuan yang berlaku dengan tetap memeggang prinsip dasar sebagai ASN
dan juga norma yang berlaku baik secara internal maupun eksternal pemerintahan.
2. Pelaksanaan
pengawasan yang dilaksanakan secara intern dilaksanakan oleh pimpinan langsung
dan secara ekstern dilaksanakan oleh inspektorat daerah. Pengawasan yang
dilaksanakan oleh pimpinan langsung meliputi pengawasan kedisiplinan, etika dan
loyalitas kerja pegawai, sedangkan pengawasan yang dilaksanakan oleh
inspektorat daerah mencakup pengawasan atau pemeriksaan laporan keuangan daerah
yang dilaksanakan 4 (empat) kali dalam setahun.
3. Faktor
penghambat pelaksanaan pengawasan dialami secara internal yaitu yang berkaitan
erat dengan pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan langsung
meliputi keterbatasan waktu, pegawai yang tidak disiplin karena pemberian
sanksi yang kurang tegas, selain itu, terdapat pula faktor eksternal yang
berkaitan erat dengan pengawasan yang dilakukan oleh instansi dari luar Bagian
Keuangan yaitu inspektorat daerah Kabupaten/kota meliputi adanya
ketidakseimbangan antara jumlah aparatur dengan beban kerja, terdapat
kekurangan pada pelaksanaan pengawasan oleh inspektorat daerah serta kurangnya
kerjasama antara Inspektorat Daerah dengan BPKP dalam hal pengawasan laporan
keuangan.
4. Hasil
pengawasan Bagian Keuangan oleh inspektorat daerah Kabupaten/Kota dituangkan
dalam sebuah Laporan Hasil Pengawasan (LHP) yang memuat laporan keuangan
pemerintah daerah yang akan direview terlebih dahulu oleh inspektorat
didampingi oleh BPKP kemudian diserahkan kepada BPK RI perwakilan Provinsi
setempat untuk dilakukan pemeriksaan LKPD, sedangkan hasil pengawasan oleh
Bagian Keuangan yaitu masih ditemukan beberapa yang sering mangkir dari
kewajibannya, maka konsekuensinya akan mendapat teguran lisan maupun teguran
tertulis.
Referensi
Anggara, Sahya,
2012. IlmuAdministrasi Negara, Pustaka Setia, Bandung.
Anggara. 2016. Pengaruh
Disiplin Pegawai terhadap Prestasi Kerja di Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi
Utara.Jurnal Administrasi Publik. Vol 1. No. 37
Armstrong,
Michael. 1990. Manajemen Sumberdaya Manusia. PT. Gramedia. Jakarta.
Badriyah, Mila. Manajemen
Sumber Daya Manusia. Bandung. CV Pustaka Setia, 2015,
Cushway Barry,
1996. Human resource Managemen.PT Elex Media Komputindo. Jakarta.
Dimyati, Hamdan,
2014. Model kepemimpinan & system Pengambilan Keputusan. Pustaka
Setia, Bandung.
Englin,
Siso.2016. Pengaruh Etika Jabatan terhadap Kinerja Aparatur Sipil Negara di
Sekretariat Kota Manado.Jurnal Administrasi Publik, Vol. 1. No.
37.
Hamzah. 2012. Teori
Kinerja dan Pengukurannya. Jakarta : Bumi Aksara., 2012
Harahap. 2016. Penguatan
kedudukan dan peran Komisi Aparatur Sipil Negara dalam mewujudkan Reformasi
Birokrasi. Jurnal Panorama Hukum Vol. 1 No. 2 Desember 2016 28
Hetty Fitria, Peran
Pengawasan dalam Meningkatakan Kedisiplinan Kinerja Pegawai di Kantor Informasi
Dan Komunikasi Kab. Karangayar. Surakarta., Disertasi Ilmu Administrasi
Publik FISIP, Universitas Surakarta, 2017
Kumorotomo,
Wahyudi. 2011. Etika Administrasi Negara. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Kurniawan,
Josef. 2016. Pengaruh Reformasi Birokrasi terhadap Pelayanan Publik di dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal
Administrasi Publik.
Nainggolan,1987.
Pembinaan
Pegawai Negeri Sipil. PT.Pertja, Bandung
Undang-Undang
No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN)
Rahman. 2016, .Kinerja
AparaturSipil Negara dalam Pelayanan Publik.e Journal Ilmu
Pemerintahan. 2017. 5 (2) : 661-672
Polikarpus Dwi
Krispahanrip, Pengaruh Perapan Anggaran Berbasis Kinerja Dan Anggaran Berbasis
Kinerja Terhadap Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Jurnal
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Komputer Indonesia, Vo..1. No. 2, tahun
2017
Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS.
Wakhyudi, Sistem
Manajemen Kinerja dalam Kerangka Reformasi Birokrasi, Jurnal Balai
Diklat, Kota Bandung 2018
[1] Kurniawan Josef. 2016. Pengaruh
Reformasi Birokrasi terhadap Pelayanan Publik di dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal Administrasi Publik., hlm.54.
[2] Dimyati, Hamdan, 2014. Model
Kepemimpinan & System Pengambilan Keputusan. Pustaka Setia,
Bandung. hlm. 45.
[3] Dimyati, Hamdan, 2014. Model
kepemimpinan & system Pengambilan Keputusan.Pustaka Setia, Bandung
hlm. 134
[4] Cushway Barry, 1996. Human
resource Managemen.PT Elex Media Komputindo. Jakarta. hlm. 94
[5] Kumorotomo, Wahyudi. 2011. Etika
Administrasi Negara. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 105.
[6] Badriyah, Mila. Manajemen
Sumber Daya Manusia. Bandung. CV Pustaka Setia, 2015, hlm. 32.
[7] Armstrong, Michael. 1990. Manajemen
Sumberdaya Manusia. PT. Gramedia. Jakarta.hlm. 102
[8] Polikarpus Dwi Krispahanrip, Pengaruh
Perapan Anggaran Berbasis Kinerja Dan Anggaran Berbasis Kinerja Terhadap
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Jurnal Fakultas Ekonomi Dan
Bisnis Universitas Komputer Indonesia, Vo..1. No. 2, tahun 2017, hlm. 211.
[9] Lihat Penjelasan Umum UU No.
5/2014 tentang ASN.
[10] Lihat Ketentuan Pasal 3 dan
Pasal 4 PP No. 46/2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS.
[11] Polikarpus Dwi Krispahanrip, Op,
Cip, hlm. 212
[12] Lihat ketentuan Pasal 5 PP No.46/2011.
[13] Kumorotomo, Wahyudi. 2011. Etika
Administrasi Negara. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 65
[14] Wakhyudi, Sistem Manajemen Kinerja dalam
Kerangka Reformasi Birokrasi, Jurnal Balai Diklat, Kota Bandung 2018. hlm.
210.
[15] Harahap. 2016. Penguatan
kedudukan dan peran Komisi Aparatur Sipil Negara dalam mewujudkan Reformasi
Birokrasi. Jurnal Panorama Hukum Vol. 1 No. 2 Desember 2016, hlm.28
[16] Ibid,
[17] Hetty Fitria, Peran
Pengawasan dalam Meningkatakan Kedisiplinan Kinerja Pegawai di Kantor Informasi
Dan Komunikasi Kab. Karangayar. Surakarta., Disertasi Ilmu Administrasi
Publik FISIP, Universitas Surakarta, 2017, hlm. 211
[18] Hamzah. 2012. Teori
Kinerja dan Pengukurannya. Jakarta : Bumi Aksara., 2012, hlm. 85
[19] Ibid, 216.
[20] Englin, Siso.2016. Pengaruh EtikaJ
abatan terhadap Kinerja Aparatur Sipil Negara di Sekretariat Kota Manado.Jurnal
Administrasi Publik, Vol. 1. No. 37., hlm.87.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar