Minggu, 10 Mei 2020



“SI TULANG PUNGGUNG” DAN “SI BOS” DALAM BLU UNDANA

Dr. Aksi Sinurat,SH.,M.Hum.
Dosen Fakultas Hukum & PPs Undana

Sejak Undana beralih dari satuan kerja (satker) ke Badan Layanan Umum (BLU) tidak pernah luput dari kritikan baik secara substansi, struktur pengelolaannya, maupun budaya kerja di Undana. Secara substansi, apabila dipahaminya secara positif tentu untuk memberikan layanan yang sebesar-besarnya bagi seluruh civitas akademika Undana, namun dilihat dari potensi yang ada, dapat dikatakan undana belum dapat menata setiap pendapatan sesuai pengeluran yang tersedia.

Secara struktural diharapkan agar setiap tupoksi dapat diukur dari pelaksanaan perencanaan kerja, target kerja dan luaran dari setiap komponen yang ada. Namun dalam kenyataannya,  hal ini terbalik arah sebab mungkin belum tertata begitu rupa sehingga mental satker belum berubah ke BLU. Banyak komponen yang hanya penuhi struktur Undana namun fungsinya seperti satker.  Semestinya apabila mau bijaksana tentu perlu dievaluasi terus menerus agar tidak menjadi bumerang sebab komponen yang ada harus terukur suasana akademiknya.

Jika dilihat dari budaya kinerja yang ada di Undana, belum terukur secara matang baik dari sisi pendapatan maupun pengeluaran. Malah menjadi terkesan bahwa siapa yang duduk dalam kursi Si Bos maka pasti mendapatkan pundi-pundi yang lebih banyak atau upah tanpa kinerja secara baik, pertanyaannya bagamana dengan keadilan subtantif disini.

Perhitungan Insentif BLU

Insentif BLU Undana dihitung berdasarkan kemauan Sistem Remunerasi (Si Remun), tanpa melihat kinerja dosen atau pun pegawainya. Sebut saja dosen datang mengajar, tentu kalau dosen cuman datang mengajar itu pasti tidak terakumulasi secara matang dan seimbang untuk dibayarkan oleh Si Remun, demikiam pun juga sangat memprihatinkan bagi Si Tulang Punggung yang hanya membimbing dan menguji saja, Si Remun tidak akan membayar dengan alasan tidak terakumulasi dan berimbang dalam tupoksinya, dan hal itu semua hanya sebatas kerja bakti bagi Undana.

Si Remun apabila dilihat dari cara kerja dan cara membayar orang Undana, dia tidak mau supaya dosen tidak hanya kerja satu atau dua tupoksinya saja, melainkan harus terakumulasi berdasarkan tridharma perguruan tinggi yakni pengajaran, penelitian dan pengabdian. Hal itu memang Si Remun tegas tentang itu, namun kesempatan bagi setiap dosen untuk menempuh semua pelaksanaan tridharma belum merata dan belum diberikan seluas-luasnya secara bebas bagi dosen untuk berkompetesi. Misalnya pengabdian dan penelitian tidak semuanya harus berkesempatan yang sama untuk melaksanakan tugas pokok tersebut tetapi bisa saja, siapa yang dekat dengan Si Bos, atau berbuat baik bagi Si Bos, bahkan memang Si Bos suka dia, tentu pasti dapat.

Si Remun juga membuat semua orang ingin protes dengan setiap kinerja yang telah dilaksanakan tanpa dibayarkannya. Si Remun sulit untuk diprotes dari kalangan mahasiswa sebab mahasiswa tidak merasakannya secara masif. Namun ke depan apabila Si Remun tetap dengan cara itu, maka pasti banyak dosen yang mogok dengan kemauan Si Remun ini, sebab dosen harus melaksanakan tupoksi secara berimbang, terakumulasi dan terbatas, untuk melayani mahaisiswa. Terbatas berarti setiap dosen hanya kejar 40 SKS, sehingga apabila Si Tulang Punggung sudah mendapatkan posisi aman dengan SKS yang ada, maka selesai sudah berkinerja tanpa melihat aspek tujuan utama pelayanan BLU-nya. Sehingga yang pasti mahasiswa akan menjadi korban.

Penggelembungan Pundi-pundi bagi “Si BOS”

Sebagai seorang pemimpin dalam struktur Undana, tentu pasti menjadi Si Bos karena Si Remun membayar secara fantastis. Si Remun membayar  Si Bos dengan ukuran sebagai pimpinan komponen pendukung sivitas akademika undana. Anehnya Si Remun tidak mempertimbangkan target kerja dan aspek luaran dari Si Bos dalam suasana akademik di lingkungan Undana, atau dengan pertanyaan sejauhmana kinerja Si Bos dalam suasana akademik di lingkungam sivitas akademika undana? Misalnya pengelola pusat komputer saja di setiap komponen lembaga di Undana, mestinya diukur dari situasi akademiknya, sejauh mana komponen itu memberikan layanan bagi sivitas akademika undana terutama mahasiswa. Namun hal ini Si Remun lupa akan hal itu, pada hal akreditasi selalu mempertanyakan hal “Suasana Akademik” sebagai target pemberian nilai dari asesor BAN PT. Artinya setiap komponen harus memiliki suasana akademik, namun kalau Si Remun mengabaikannya maka sama dengan tidak mau komponen pendukung tersebut terakreditasi secara pantas dan layak.

Si Bos itu hanya mengumpulkan paling sedikit 9 SKS bagi Si Remun, tentu saja sudah menikmati bayaran dari Si Remun dengan harga yang sangat fantastis. Si Remun meniadakan kerja dosen yang telah menguji, membimbing dan lain-lainnya yang harus masuk dalam kategori kinerja, Si Bos tanpa itu pun, telah terakumulasi untuk mendapatkan yang terbanyak dari Si Remun. Menjadi tidak seimbang dengan Si Bos adalah Si Bos menerima banyak dari Si Remun, lantas Si Tulang Punggung hanya sedikit, sekalipun Si Tulang Punggung telah memperoleh SKS diatas 40, bahkan memperoleh 100 SKS lebih pun, namun Si Remun tetap tidak respek terhadap kinerja itu. Lebih hancur lagi Si Tulang Punggung (Dosen yang bergelar Doktor, Profesor/Guru Besar) telah mengajar dan membimbing serta menguji untuk mahasiswa strata dua dan tiga, namun tetap dihitung sama dengan mengajar di strata satu, dan bahkan bisa hilang kinerja itu kalau sudah lebih 40 SKS yang diperolehnya, dan hal itu tidak akan dihitung sedikit pun oleh Si Remun.

Si Bos memang luar biasa hebatnya, mengabaikan suasana akademik dalam konteks pelayanan kepada sivitas akademika Undana. BLU sudah berjalan hampir dua periode kepemimpinan para Si Bos, namun sepertinya tidak berefek apa-apa bagi nilai luaran Undana. Bahkan yang terjadi, semua yang berlaga bisa urus Si Remun (urus administrasi) untuk menjawab Si Remun dari pada melakukan tugas utamanya. Si Bos malah tenang tanpa masalah, untuk mengevaluasi Si Remun yang mengebiri Si Tulang Punggung atau bawahan Si Bos. Apalagi membahas mengenai suasana akademiknya, Si Bos lebih sibuk juga mencari posisi aman untuk menjawab Si Remun.

Si Remun mengabaikan keadilan distributif

Menarik untuk di diskusikan lebih dalam pada level Indonesia dan NTT termasuk di Undana, semua orang yang telah menjadi pekerja dan bergaji tentu akan aman dalam segala hal, termasuk menjadi Pimpinan di semua komponen dalam Undana (Si Bos) untuk Si Remun.  Si Remun adalah pihak yang menghitung kinerja dosen dan pegawai secara matematika untuk dibayar secara berimbang, terakumulasi dan terbatas. Perhitungan tersebut sangat logis untuk yang berkesempatan dan yang telah berkinerja menurut ukuran Si Remun, namun akan menjadi tidak subtansi lagi apabila dihitung secara berimbang, terakumulasi dan terbatas.

Keadilan distributif menghendaki agar setiap pekerjaan dinilai secara proporsionalitas atau kesebandingan berdasarkan jasa, kebutuhan, dan kecakapan. Untuk itu setiap layanan harus proposional dan sebanding dengan layanan yang telah terlaksana, terutama dosen setelah membimbing dan menguji setiap mahasiswa. Sementara apabila Si Remun hanya membayar Si Bos tanpa mempertimbangan aspek perencanaan kerja, target kerja dan luaran dari urusan pengelolaan komponen itu, maka Si Remun telah mengabaikan keadilan distributif dalam setiap kinerja dosen di Undana. Sementara dosen telah melaksanakan tugas untuk sebesar-besarnya bagi sivitas akademika undana dalam suasana akademik. Malah Si Remun mengabaikan hal proposionalitas dan kesebandingan untuk membayar Si Tulang Punggung. Tentu hal ini akan terjadi kecemburuan yang tidak pernah akan selesai.

Kecemburuan antara Si Bos dan Si Tulang Punggung bisa terukur dari tidak terakumulasi dan berimbang diantara salah satu tugas pokok dan fungsi yang diterima oleh Si Tulang Punggung. Misalnya sekalipun telah memperoleh SKS yang semaksimalnya, dan belum terakumulasi dari tridharma PT dari pada kinerja Si Bos namun Si Remun tidak mau menghargai dan membayarnya. Ataupun Si Tulang Punggung telah berkinerja mendekati target perhitung Si Remun namun tetap saja Si Remun mengabaikannya sementara itu Si Bos hanya terakulasi dengan 9 SKS saja, sudah bisa mendapat  nilai bayaran yang fantastis dari Si Remun Undana. Oh.... kejamnya Si Remun kapan kau berpihak kepada Si Tulang Punggung ini???




PENATAAN PEMBANGUNAN SECARA KONKUREN DALAM SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN
Oleh
Mel Benu & Noraini Asnawi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana

Abstrak
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah merupakan penataan secara konsekuensi dalam pelaksanaan urusan pemerintahan bagi sektor kelautan dan perikanan. Kewenangan itu sebelumnya terdistribusi secara total pada daerah namun kemudian membatasinya pada daerah provinsi sebagai perpanjangan pemerintah pusat. Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan suasana penataan secara konkuren bagi pembangunan di sektor perikanan dan kelautan, namun hal tersebut juga berimplikasi bagi peran pemerintah di daerah sebab banyak faktor yang dianggap mengurangi beban tugas daerah untuk mengatur pembangunan sektor kelautan dan perikanan.
Tulisan yang dibuat dengan koridor doctrinal research yang menggunakan statute dan conceptual approach ini menghasilkan temuan bahwa kewenangan pemerintah daerah dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tergolong urusan pemerintahan pilihan dan merupakan kewenangan yang bersifat atribusi karena digariskan oleh undang-undang.
Penataan itu, kemudian lebih mengarah pada optimalisasi peranan pemerintah provinsi sementara di daerah kabupaten/kota yang dulunya memiliki aau mendapatkan atribusi kewenangan menjadi hilang. Sehingga hal tersebut membawa konsekuensi minimnya peranan pemerintah kabupaten/kota pada sektor pembangunan kelautan dan perikanan. Bahkan untuk sub urusan yang secara nyata pemerintah kabupaten/kota memiliki kapasitas untuk berperan seperti: kelautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil; pengolahan dan pemasaran; pengembangan SDM masyarakat kelautan dan perikanan, sama sekali tidak ada kewenangan yang diberikan.
Kata Kunci : Penataan, konkuren, sektor kelautan dan perikanan

PENDAHULUAN
Kondisi geografis Indonesia yang sebagian besar terdiri wilayah laut yang menyatukan pulau-pulau, sangat kaya akan sumber daya perikanan. Dalam rangka pemanfaatan sumber daya tersebut, pemerintah dan pemerintah daerah berperan penting dalam membuat kebijakan di bidang perikanan. Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil, pembudi daya-ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian, dan ketersediaan sumber daya ikan.
Berdasarkan data dari Badan Pangan Dunia (FAO), tercatat nilai perekonomian laut Indonesia diperkirakan mencapai 3 triliun dollar AS sampai 5 triliun dollar AS, atau setara Rp 36.000 triliun sampai Rp 60.000 triliun per tahun. Hasil studi FAO tahun 2014, penangkapan ikan illegal di dunia diperkirakan berkisar 11 juta-26 juta ton pertahun, total kerugian 10-23 milyar dollar AS, dari jumlah itu 30 Persen kejahatan perikanan dunia berlangsung di Indonesia. Dengan ukuran FAO itu potensi penerimaan ikan yang hilang akibat perikanan illegal di Indonesia lebih dari Rp. 100 triliun/tahun[1]. Pengelolaan perikanan adalah suatu kebutuhan besar manusia, kebutuhan dunia. Hal ini karena begitu banyak manusia di muka bumi ini yang bergantung pada perikanan sebagai sumber mata pencahariannya. Selain itu juga bisnis perikanan adalah bisnis milyar dollar yang menghasilkan jutaan ton ikan bagi umat manusia.
Isu-isu penting lain terkait kelautan dan perikanan antara lain mendesaknya memperkuat konservasi sumberdaya ikan dan ekosistem laut, melahirkan penguatan regulasi/pengaturan usaha perikanan, melahirkan kebijakan melarang penangkapan ikan dengan metode destruktif, dan mewujudkan keadilan bagi nelayan[2]. Melalui pembagian kewenangan konkuren pemerintahan, beberapa hal ini perlu mendapat perhatian dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang menjadi tumpuan pokok dalam mewujudkan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Poros maritim yang digagas oleh pemerintah mengubah paradigma pembangunan yang telah dilakukan selama ini. Derasnya perhatian dan perubahan atas pembangunan yang berbasis kelautan ternyata tidak secara otomatis berpengaruh terhadap strategi percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi. Hal ini terlihat dari minimnya peranan pemerintah daerah melalui pembagian urusan konkuren di bidang kelautan dan perikanan yang digariskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Selain undang-undang pemda itu, menurut Heryandi[3], berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, berimplikasi kepada seluruh peraturan perundang-undangan terkait dengan wilayah laut. Implikasi pertama, yaitu perlu adanya harmonisasi hukum. Kedua, perlu penyesuaian penataan kelembagaan terkait dan ketiga pengembangan peran negara sampai pada daerah dalam percaturan laut global, melalui perencanaan terpadu dan kerjasama internasional.
Peranan yang optimal dari pemerintah dan pemerintah daerah dalam memakmurkan sektor kelautan dan perikanan sangat dibutuhkan untuk realisasi visi Indonesia sebagai poros maritim dunia. Pemanfaatan kelautan dan peningkatan produksi perikanan di daerah pada dasarnya akan sangat tergantung dengan kebijakan dan program-program yang dijalankan pemerintah daerah. Kebijakan dan program daerah (baik pada tataran perencanaan maupun juga pelaksanaan) di bidang kelautan  dan perikanan pada dasarnya merupakan elaborasi dari kewenangan yang dimilikinya. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, tulisan ini lebih lanjut akan menggambarkan konfigurasi kewenangan konkuren pemerintah daerah dalam pembangunan di bidang kelautan dan perikanan.

1.      Analisis penataan Kewenangan Konkuren Dalam Pembangunan Sektor Perikanan Dan Kelautan
Pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan konsekuensi dari sistem otonomi daerah yang digunakan di Indonesia[4]. Sebagai negara kesatuan yang memiliki wilayah yang sangat luas dengan beragam etnis dan budaya yang ada di Indonesia, pemberian otonomi kepada daerah seolah menjadi salah satu pilihan tepat untuk memfasilitasi terjadinya akselerasi pembangunan di daerah, termasuk di bidang kelautan dan perikanan. Secara leksikal, kata kewenangan berasal dari kata dasar wenang yang diartikan sebagai hal berwenang, hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.
Menurut H.D Stout[5], wewenang merupakan pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik didalam hukum publik. Menurut Prajudi Atmosudirjo, kewenangan adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif administratif.
Philipus M. Hadjon[6] mengemukakan bahwa kewenangan diperoleh melalui tiga sumber, yaitu: atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar, kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan. Delegasi adalah penyerahan wewenang yang dimiliki oleh organ pemerintahan kepada organ pemerintahan yang lain yang tanggungjawabnya juga berpindah pada penerima wewenang. Adapun pada mandat, tidak dilakukan antar organ pemerintahan dan tanggung jawab kewenangan atas dasar mandat masih tetap pada pemberi mandat, tidak beralih kepada penerima mandat.
Menurut Hart[7], kaidah kewenangan masih dapat dibagi lagi. Dapat dibedakan adanya kaidah kewenangan publik dan kaidah kewenangan perdata. Kaidah kewenangan publik dapat dibagi lagi ke dalam kewenangan pembentukan undang-undang, kewenangan kehakiman dan kewenangan pemerintahan. Juga dalam hukum perdata terdapat kaidah kewenangan, yang pada gilirannya dapat dibagi lagi ke dalam misalnya kaidah-kualifikasi, kaidah-kewenangan dalam arti sempit, dan kaidah-prosedur. 
Kewenangan merupakan dasar bagi pemerintah daerah dalam bertindak dibidang kelautan dan perikanan. Berdasarkan konfigurasi kewenangan konkuren yang digariskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pemerintah daerah bidang kelautan dan perikanan hanya merupakan salah satu kewenangan dalam urusan pilihan dalam Pasal 12 ayat (3) huruf a, dengan pembagian kewenangan sebagaimana terdapat dalam tabel satu berikut.
Tabel 1. Uraian Urusan Konkuren sektor Kelautan dan Perikanan Antara Pemeirntah pusat, Pemerintah Provinsi Dan Pemerintah Kabupaten/Kota
No
Sub Urusan
Pemerintah Pusat
Pemerintah Provinsi
Kabupaten/ Kota
1.
Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil
a.      Pengelolaan ruang laut di atas 12 mil dan strategis nasional.
b.      Penerbitan izin pemanfaatan ruang laut nasional.
c.      Penerbitan izin pemanfaatan jenis dan genetik (plasma nutfah) ikan antarnegara.
d.      Penetapan jenis ikan yang dilindungi dan diatur perdagangannya secara internasional.
e.  Penetapan kawasan konservasi.; dan
f.  Database pesisir dan pulau-pulau kecil.
a.      Pengelolaan ruang laut sampai dengan 12 mil di luar minyak dan gas bumi.
b.      Penerbitan izin dan pemanfaatan ruang laut di bawah 12 mil di luar minyak dan gas bumi.
c.  Pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.
Tidak ada
2.
Perikanan Tangkap
a.      Pengelolaan penangkapan ikan di wilayah laut di atas 12 mil.
b.      Estimasi stok ikan nasional dan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan (JTB).
c.  Penerbitan izin usaha perikanan tangkap untuk:
1) kapal perikanan berukuran di atas 30 Gross Tonase (GT); dan
2) di bawah 30 Gross Tonase (GT) yang menggunakan modal asing dan/atau tenaga kerja asing.
d.      Penetapan lokasi pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan nasional dan internasional.
e.  Penerbitan izin pengadaan kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan dengan ukuran di atas 30 GT.
f.  Pendaftaran kapal perikanan di atas 30 GT
a. Pengelolaan penangkapan ikan di wilayah laut sampai dengan 12 mil.
b. Penerbitan izin usaha perikanan tangkap untuk kapal perikanan berukuran di atas 5 GT sampai dengan 30 GT.
c.  Penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan provinsi.
d.      Penerbitan izin pengadaan kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan dengan ukuran di atas 5 GT sampai dengan 30 GT.
e.  Pendaftaran kapal perikanan di atas 5 GT sampai dengan 30 GT.
a. Pemberdayaan nelayan kecil dalam Daerah kabupaten/kota
b. Pengelolaan dan penyelenggara an Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
3.
Perikanan Budidaya
a.      Sertifikasi dan izin edar obat/dan pakan ikan.
b.      Penerbitan izin pemasukan ikan dari luar negeri dan pengeluaran ikan hidup dari wilayah Republik Indonesia.
c.  Penerbitan Izin Usaha Perikanan (IUP) di bidang pembudidayaan ikan lintas Daerah provinsi dan/atau yang menggunakan tenaga kerja asing
Penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang usahanya lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.
a.  Penerbitan IUP di bidang pembudidayaa n ikan yang usahanya dalam 1 (satu) Daerah kabupaten/kota
b.  Pemberdayaan usaha kecil pembudidayaa n ikan.
c.  Pengelolaan pembudidayaa n ikan
4.
Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan
Pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan di atas 12 mil, strategis nasional dan ruang laut tertentu.
Pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan sampai dengan 12 mil.
Tidak ada
5.
Pengolahan dan Pemasaran
a.      Standardisasi dan sertifikasi pengolahan hasil perikanan.
b.      Penerbitan izin pemasukan hasil perikanan konsumsi dan nonkonsumsi ke dalam wilayah Republik Indonesia.
c.  Penerbitan izin usaha pemasaran dan pengolahan hasil perikanan lintas Daerah provinsi dan lintas negara.
Penerbitan izin usaha pemasaran dan pengolahan hasil perikanan lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.
Tidak ada
6.
Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan
Penyelenggaraan karantina ikan, pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan.
Tidak ada
Tidak ada
7.
Pengembangan SDM Masyarakat Kelautan dan Perikanan
a.      Penyelenggaraan penyuluhan perikanan nasional.
b.      Akreditasi dan sertifikasi penyuluh perikanan.
c.      Peningkatan kapasitas SDM masyarakat kelautan dan perikanan.
Tidak ada
Tidak ada
Sumber: UU No. 23 Tahun 2014.
Berdasarkan pemetaan pada tabel satu dan uraian kerangka teoretik sebelumnya, kewenangan pemerintah daerah dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tergolong urusan pemerintahan pilihan dan merupakan kewenangan yang bersifat atribusi karena digariskan oleh undang-undang. Konfigurasi kewenangan konkuren lebih mengarah pada optimalisasi peranan pemerintah provinsi sehingga membawa konsekuensi minimnya peranan pemerintah kabupaten/kota pada sektor pembangunan kelautan dan perikanan[8]. Bahkan untuk sub urusan yang secara nyata pemerintah kabupaten/kota memiliki kapasitas untuk berperan seperti: kelautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil; pengolahan dan pemasaran; pengembangan SDM masyarakat kelautan dan perikanan, sama sekali tidak ada kewenangan yang diberikan. Kondisi demikian dikhawatirkan akan kontra produktif dengan visi poros maritim dunia yang digagas oleh pemerintah.
Undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang antara lain mengatur perluasan kewenangan provinsi di sektor kelautan mulai berlaku efektif pada tahun 2017 ini. Jika semula kewenangan provinsi dari 4-12 mil kini diperluas menjadi 0-12 mil. Salah satu implikasi dari kebijakan ini adalah semakin sulitnya pengawasan di laut. Sehingga apabila dibandingkan dengan aturan lama dengan adanya pembagian wewenang antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota itu sudah tepat[9]. Memang ada pembagian kewenangan namun tetap bisa bersinergi. Di pantai dengan jarak 0-4 mil kalau pihak kabupaten/kota yang awasi kan semakin dekat, lebih cepat karena lebih tahu kondisi.
Pada aturan lama memang terdapat pembagian kewenangan pengelolaan dan pengawasan laut, di mana untuk jarak 0–4 mil kewenangannya ada di kabupaten/kota, sementara untuk 4-12 km dikelola oleh provinsi, dan 12 mil ke atas kewenangannya ada di pemerintah pusat. Kebijakan ini juga secara otomatis menghapus kewenangan kabupaten/kota. Sebagian besar daerah sudah merubah nomenklatur. Dinas Kelautan dihilangkan, sehingga yang tersisa adalah Dinas Perikanan.
Kebijakan ini dianggap memiliki banyak kelemahan, apalagi tidak ditopang dengan anggaran yang memadai. Meski demikian, menurut Sulaiman[10], kebijakan ini akan tetap dijalankan karena merupakan amanah UU. Salah satu tantangannya pada jumlah personel untuk pengawasan masih sangat terbatas dengan area kerja yang cukup luas. Kebijakannya seperti itu, tentu memberikan perluasan bagi tenaga pengawasan terhadap wilayah laut dengan segala konsekuensinya. Sementara apabila dilihat dari anggarannya pun terbatas dan malah semakin berkurang. Minimnya anggaran memang menjadi masalah tersendiri karena akan membatasi ruang gerak dinas. Sebaliknya apabila membandingkan anggaran pengawasan dari pusat pada tahun 2016, sebelum diterapkannya kebijakan tersebut, sebanyak Rp850 juta. Pada tahun 2017 ini jumlahnya justru berkurang menjadi Rp360 juta. Sehingga kewenangan bertambah, namun biaya operasional justru semakin berkurang.
Perubahan kebijakan yang tidak dibarengi dengan konsekuensi anggaran ini dinilai sebagai sesuatu yang seharusnya dikaji lebih jauh efektifitasnya. Sebab apabila membandingkan dengan lahirnya UU Desa yang kemudian dibarengi kucuran dana untuk desa hingga Rp1 miliar di desa. Semestinya, meluasnya lingkup kerja provinsi membuat Dinas Kelautan dan Perikanan disetiap daerah provinsi harus berani  mensiasati dengan membentuk sejumlah Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) pengawasan di daerah kabupaten/kota. Tentu UPTD tersebut antara lain adalah semua daerah kabupaten/kota sebagai target utama palaksanaan pengawasan dalam bidang pengelolaan kelautan dan perikanan di daerah[11].
Artinya, pengawasan di perairan wilayah daerah laut dan pesisir memang patut mendapat perhatian karena masih tingginya aktivitas destructive fishing seperti bom dan bius ikan. Tentu harapan besar akan fungsi pengawasan ini nantinya tetap bisa dianggarkan bersama dengan pihak-pihak yang terkait, sehingga berbagai pihak bisa saling bersinergi dan berbagi tugas.
Selama ini di wilayah daerah kabupaten/kota yang memiliki kewenangan dalam bidang perikanan dan kelautan membentuk kerja sama antara pihak DKP dengan Polair serta TNI UL dan masyarakat pesisir dan tokoh nelayan guna melakukan pengawasan terhadap segala aktifitas dari wilayah laut dan pesisir.artinya sudah lama dilakukan dengan Polair dan polisi dalam bentuk patroli gabungan[12].
Secara umum bisa dinilai banyak kebijakan nasional yang justru merugikan nelayan. Misalnya pembatasan ruang dan alat tangkap yang digunakan oleh nelayan. Ini dianggap membuat laju ekonomi di sektor kelautan dan perikanan menjadi lesu. Banyak pelaku industri perikanan yang terpaksa gulung tikar. Apabila dilihat secara seksama sekarang industri perikanan hancur-hancuran. Hanya dengan pancing, berapa sih yang bisa dihasilkan. Pembatasan memang perlu tapi itu ada ilmunya bagaimana ikan-ikan tetap diambil namun dijaga keberkelanjutannya.
Kebijakan lain yang dianggap merugikan nelayan adalah pembatasan penangkapan kepiting melalui PermenKP No.1/PermenKP/2015 tentang batasan ukuran tangkap lobster, kepiting dan rajungan. Meski kita sepakat dengan adanya pengaturan, namun tidak mesti melalui penutupan ruang atau larangan. Memang perlu diatur tapi kalau main tutup, main larang, itu harus dipikirkan lagi. Kepiting kecil dilarang padahal sebenarnya meski ukuran kecil tapi sebenarnya sudah dewasa. Bukti menunjukkan bahwa meski dilarang namun tetap ada penangkapan kepiting dan diselundupkan ke Malaysia[13].
Program nasional yang dianggap cukup sukses adalah program JARING (program pendanaan bagi nelayan kecil kerjasama KKP dengan OJK). DKP di daerah kabupaten/kota juga banyak melakukan pembinaan-pembinaan dan memberi rekomendasi kelompok yang dianggap bagus. JARING sebagai program sangat bagus untuk membantu nelayan. Bank bahkan bikin sistem kemitraan ada namanya Pundi dengan bunga cuma 8 persen, dimana nelayan bisa utang Rp20 juta. Ini sudah diperiksa OJK dan dinyatakan layak.

2.      Analisis implikasi bagi pengawasan pembangunan di sektor perikanan dan kelautan menurut UU Pemerintahan daerah
Pengawasan sumber daya perikanan merupakan bagian integral dari pengelolaan sumber daya perikanan, untuk memastikan ketaatan hukum dalam pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia maka dibutuhkan pengawasan perikanan yang dilakukan oleh Pengawas Perikanan yang mempunyai tugas mengawai tertib pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, hal ini berdasarkan Pasal 66 UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Untuk mendukung pelaksanaan pengawasan sumber daya perikanan, Menteri Kelautan dan Perikanan pada tanggal 14 April 2014 telah menetapkan instrumen hukum bagi Pengawas Perikanan berupa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/PERMEN- KP/2014 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan.
Pengawas Perikanan terdiri dari PNS pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi (DKP Provinsi), Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota (DKP Kabupaten/Kota) hal ini berdasarkan pasal 4 Permen KP No. 17 Tahun 2014. Untuk pengangkatan dan pemberhentian Pengawas Perikanan yang berasal dari pemerintah daerah atau kabupaten/kota dilakukan oleh Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Perikanan (Dirjen PSDKP) berdasarkan usulan dari Kepala DKP Provinsi dan DKP Kabupaten/Kota hal ini sesuai dengan pasal 6.
Selanjutnya Peraturan Menteri tersebut juga mengatur kewenangan Menteri Kelautan dan Perikanan mengangkat dan memberhentikan Pengawas Perikanan, yang pelaksanaannya didelegasikan kepada Dirjen PSDKP. Adapun syarat seseorang dapat diangkat sebagai Pengawas Perikanan meliputi PNS yang bekerja di bidang perikanan dengan pangkat paling rendah Pengatur Muda Tingkat I, golongan ruang II/b, telah mengikuti pendidikan dan pelatihan Pengawas Perikanan yang dibuktikan dengan sertifikat dan sehat jasmani dan rohani. Sedangkan, pemberhentian Pengawas Perikanan dilakukan apabila Pengawas Perikanan telah dialihtugaskan dari bidang pengawasan perikanan, mengundurkan diri sebagai Pengawas Perikanan, tidak cakap dalam menjalankan tugasnya, menyalahgunakan wewenang dalam menjalankan tugas dan fungsinya, telah ditetapkan menjadi terdakwa, berhalangan tetap, atau diberhentikan dari PNS[14].
Sesuai ketentuan Pasal 9 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/PERMEN- KP/2014 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan, diatur mengenai wilayah tugas Pengawas Perikanan, yaitu
1.      WPP-RI;
2.      kapal perikanan;
3.      pelabuhan perikanan dan/atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk;
4.      pelabuhan tangkahan;
5.      sentra kegiatan perikanan;
6.      area pembinahan ikan;
7.      area pembenihan ikan;
8.      area pembudidayaan ikan;
9.      UPI; dan/atau
10.  kawasan konservasi perikanan
Apabila dalam pelaksanaan pengawasan perikanan ditemukan atau patut diduga adanya tindak pidana perikanan atau patut diduga adanya tindak pidana perikanan dan adanya bukti permulaan yang cukup, Pengawas Perikanan wajib menindaklanjuti dengan menyerahkan kepada Penyidik di bidang perikanan untuk diproses lebih lanjut.
Dalam Pasal 10 diatur mengenai pelaksanaan tugas Pengawas Perikanan di WPP RI sebagaimana dalam Pasal 9 huruf a, dilakukan terhadap: penangkapan ikan, pembudidayaan ikan dan pembenihan ikan, pengangkutan dan distribusi keluar masuk ikan, perlindungan jenis ikan, terjadinya pencemaran akibat perbuatan manusia, pemanfaatan plasma nutfah, penelitian dan pengembangan perikanan. Untuk pelaksanaan tugasnya Pengawas Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan patroli pengawasan dan pemantauan pergerakan kapal perikanan.
Kewenangan wilayah tugas untuk Pengawas Perikanan yang berasal dari DKP Provinsi dan DKP Kabupaten/Kota, pada masa berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 diatur dalam Pasal 18 yang menentukan wilayah tugas Pengawas Perikanan DKP Provinsi yaitu 12 Mil laut dari garis pantai sedangkan DKP Kabupaten/Kota 1/3 Mil laut atau 4 Mil laut dari wilayah provinsi.
Dengan adanya kewenangan Pengawas Perikanan Kabupaten/Kota anggaran pengawasan dari KKP kepada pemerintah kabupaten/kota dapat langsung disalurkan melalui pemerintah provinsi, demikian halnya juga dalam hal pendukung pengawasan perikanan berupa speedboat dan barang invetaris pengawas lainnya.
Setelah UU Nomor 32 Tahun 2004 tidak berlaku dan digantikan dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terdapat polemik khususnya, di sini membahas kewenangan pemerintah kabupaten/kota atas urusan bidang kelautan dan perikanan. Lebih khusus lagi karena kewenangan pengelolaan sumberdaya laut akan ada di propinsi. Bahwa ini akan berimbas pada pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan yang notabene sebelumya dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota untuk jarak 4 mil laut[15].
Dalam Pasal 27 UU No. 32 Tahun 2014 sama sekali tidak tetulis kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam hal mengelola sumber daya alam di laut, yang ada hanyalah kewenangan pemerintah provisi dalam hal eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi, pengaturan administratif, pengaturan tata ruang, ikut serta dalam memelihara keamanan di laut dan ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara.
Kewenangan pemerintah kabupaten/kota hanyalah dalam hal pembagian bagi hasil yang ada dalam Pasal 14 UU No. 23 Tahun 2014 menyangkut masalah perikanan tangkap yang terdiri dari pemberdayaan nelayan kecil, dan pengelolaan penyelenggaran tempat pelelangan ikan. Dan juga menyagkut perikanan budidaya yang terdiri dari penerbitan IUP, pemberdayaan usaha kecil pembudidayaan ikan dan pengelolaan ikan.
Dengan adanya perubahan aturan ini, ada kekhawatiran program yang disusun pemkab atau pemkot tidak diakomodir. Apalagi turunan berupa peraturan pemerintah hingga saat ini belum ada. Tentunya hal ini menimbulkan kekhawatiran dan kevakuman kewenangan[16]. Sedangkan dengan dihapusnya kewenangan pengawas perikanan kabupaten/kota hal ini berdampak pada pemberdayaan SDM Pengawas Perikanan kabupaten/kota, dan juga anggaran KKP ke kabupaten/kota akan menggunakan dana dekonsentrasi kepada pemerintah provinsi.

PENUTUP
1.      Kewenangan konkuren di bidang pembangunan kelautan dan perikanan lebih mengarah pada optimalisasi peranan pemerintah provinsi sehingga membawa konsekuensi minimnya peranan pemerintah kabupaten/kota pada sektor pembangunan kelautan dan perikanan. Hal ini berimplikasi juga, sebab pembatasan kewenangan tersebut bahkan untuk sub urusan yang secara nyata pemerintah kabupaten/kota memiliki kapasitas untuk berperan seperti: kelautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil; pengolahan dan pemasaran; dan pengembangan SDM masyarakat kelautan dan perikanan.
2.      Pemerintah dan DPR perlu meninjau kembali konfigurasi urusan pemerintahan konkuren di bidang kelautan dan perikanan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah agar memberikan peranan yang adil dan seimbang kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk secara aktif ikut mewujudkan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Referensi
Aminuddin, Ilmar. 2014. Hukum Tata Pemerintahan, Prenada Media Grup: Jakarta.
Amrah, Muslimin. 1986. Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni: Bandung.
Budiyono, Muhtadi, Ade Arif Firmansyah, 2015. Dekonstruksi Urusan Pemerintahan Konkuren Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 67, Th. XVII, Desember.
Firmansyah, Ade A. & Malicia Evendia, 2014. Konfigurasi Kewenangan Konkuren Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan, Prossiding, Kebijakan Negara dalam Bidang Kelautan dan Perikanan di Era Otonomi Daerah.
Heryandi, 2018. Memperkuat Kedaulatan Indonesia Di Laut Menuju Poros Maritim Dunia, Yogyakarta, Graha Ilmu.
Irawan Soejito. 1990. Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Rineka Cipta: Jakarta.
J.J.H. Bruggink, 1996. Refleksi Tentang Hukum. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Philipus M. Hadjon,2005. Hukum Administrasi Negara, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta
Prajudi Atmosudirjo, 1994. Hukum Administrasi Negara. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Ridwan HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Rusadi Kantaprawira. 1998. Hukum dan Kekuasaan, Universitas Islam Indonesia: Yogyakarta.
Sarman MH. 2011. Hukum Pemerintah Daerah Di Indonesia, Rineka Cipta: Jakarta.
Sulaiman, 2010. Tantangan Pengelolaan Perikanan di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum Kanun Nomor 52 Edisi Desember.
Sulaiman, 2014. Membangun Hukum Perikanan Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 64, Th. XVI, Desember.


[1] Firmansyah, Ade A. & Malicia Evendia, 2014. Konfigurasi Kewenangan Konkuren Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan, Prossiding, Kebijakan Negara dalam Bidang Kelautan dan Perikanan di Era Otonomi Daerah., hlm. 196.
[2] Sulaiman, 2014. Membangun Hukum Perikanan Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 64, Th. XVI, Desember., hlm. 54.
[3] Heryandi, 2018. Memperkuat Kedaulatan Indonesia Di Laut Menuju Poros Maritim Dunia, Yogyakarta, Graha Ilmu., hlm. 67.
[4] Sulaiman, 2014. Membangun Hukum Perikanan Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 64, Th. XVI, Desember, hlm. 55.
[5] Bandingkan dengan Rusadi Kantaprawira. 1998. Hukum dan Kekuasaan, Universitas Islam Indonesia: Yogyakarta, hlm 42.
[6] Philipus M. Hadjon,2005. Hukum Administrasi Negara, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta, 86.
[7] Bandingkan denganSarman MH. 2011. Hukum Pemerintah Daerah Di Indonesia, Rineka Cipta: Jakarta.
[8] Firmansyah, Ade A. & Malicia Evendia, 2014, op. Cit,.hlm.199
[9] Ibid
[10] Sulaiman, 2010. Tantangan Pengelolaan Perikanan di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum Kanun Nomor 52 Edisi Desember, hlm. 56
[11] Budiyono, Muhtadi, Ade Arif Firmansyah, 2015. Dekonstruksi Urusan Pemerintahan Konkuren Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 67, Th. XVII, Desember, hlm. 72
[12] Ibid, hlm.
[13] Budiyono, Muhtadi, Ade Arif Firmansyah, 2015. Dekonstruksi Urusan Pemerintahan Konkuren Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 67, Th. XVII, Desember.,  hlm. 121.
[14] Sulaiman, 2014, Op. Cit, hlm. 57.
[15] Firmansyah, Ade A. & Malicia Evendia, 2014, Op, Cip. 199
[16] Budiyono, Muhtadi, Ade Arif Firmansyah, op. Cit, hlm. 122.