URGENSI KEPEMIMPINAN NEGARA OLEH WAKIL
(Kajian Hukum Tata Negara Terhadap
Peran Wakil Presiden, Wakil Menteri, Wakil Gubernur, Wakil Bupati dan Wakil
Walikota Di Indonesia)
Oleh :
Melkianus E. N. Benu,SH.,M.Hum.
Dosen Fakultas Hukum Universitas
Nusa Cendana Kupang, 2011
Abstract
Leadership by the deputy recognized the constitutional
structure of state administration in Indonesia, but the realization is always
constrained by the holder of power as the President, Ministers, Governors,
Regents and / or the mayor. So do not be surprised if in future periods
subsequent leadership position of vice must compete for sympathy from
supporters to gain status as a major leader. Of course leader mentioned here is
the position of leader who gained legitimacy directly from the people or the
main support for the leadership positions that are politically.
Representatives should have the same authority that is
not representative because they are just different but similar mention of the
role, so that if necessary to limit the indirect pattern of such leadership is
not feasible as a replacement that is not representative sesewaktu no.
Possibilities such as a deputy representative, instead of replacing, as the
maid who helped, as a companion who accompanied the president, and as vice that
is independent. It's a role that should be applied starting from the president,
ministers, governors, regents and mayors.
It should be understood that the president, governors and
district heads and mayors of all representatives elected by the people in which
one partner must each individually separated but are in a union leader who can
act just like the power authority. Real case is that Dicky Candra Garut Regent
who has not requested to resign from the vice-regent due to the absence of a
balanced distribution of workload between the regent with his deputy.
Keywords:
Staat, Leadership, Deputy
Pendahuluan
Secara hukum,
negara dalam penyelenggaraannya harus ada pemimpin. Setiap pemimpin pasti ada
pembantunya baik secara individu atau orang perorangan maupun secara organis.
Hiruk-pikuk tentang posisi wakil atau pembantu sering mengalami persoalan
secara politis, namun hal itu dianggap sebagai sesuatu yang tidak terlalu
dipersoalkan karena biasanya wakil sering identik dengan pembantu, dan pembantu
tidak bisa bertindak lebih dari pemimpin atau apabila yang memegang kendali
telah membatasinya. Misalnya oleh presiden maka wakil tidak bisa bertindak
lagi, atau di daerah ada wakil gubernur dan wakil gubernur dan bupati serta
walikota tentu sama.
Posisi wakil
dapat dipahami dalam dua kategori yakni pertama secara umum, yakni posisi
wakil sebagai penerima mandat secara tidak langsung oleh pemegang kedaulatan
atau kekuasaan dalam negara. Misalnya rakyat memberi mandat kepada wakilnya
untuk melaksanakan fungsi-fungsi kenegaraan seperti parlemen yakni fungsi
legislative dan presiden dan kepala daerah kabupaten/kota menjalankan fungsi
eksekutif. Kedua, wakil dipahaminya secara khusus, datang dari pimpinan pemegang
otoritas kekuasaan itu sendiri yakni ada wakil presiden, wakil gubernur, wakil
bupati dan wakil walikota.
Keberadaan
posisi wakil yang harus mencerminkan kerelaan hati mengikuti pemegang otoritas
kekuasaan seperti presiden, gubernur, bupati, dan walikota, menunjukan
bahwa tidak sedikitpun masalah yang
harus dihadapi misalnya menjelang habis masa jabatan posisi itu harus
diupayakan untuk mencari dukungan untuk dapat kembali dipercaya baik untuk
tetap menjadi wakil maupun bergeser untuk mendapat pemegang otoritas itu
sendiri. Tidak heran apabila saling menjatuhkan atau mencari celah dari
hiruk-pikuk masa sebelumnya masih menjabat sebagai wakil dan ingin untuk tidak
menjadi wakil lagi. Tentunya untuk menjadi pemegang otoritas kekuasaan itu
sebagaimana diuraikan diatas.
Konsepsi tentang Wakil sebagai Pemimpin
Kata “wakil” menurut arti kata[1] adalah
1.
Orang
yang dikuasakan menggantikan orang lain, misalnya Paman bertindak sebagai --
ayah dalam persidangan itu;
2.
Orang
yang dipilih sebagai utusan negara yakni duta: dia merupakan salah seorang
-- Indonesia
dalam perebutan Piala Thomas;
3.
Orang
yang menguruskan perdagangan untuk orang lain yakni agen: ia sebagai --
tunggal di kotanya;
4.
Jabatan
yang kedua setelah yang tersebut di depannya: Ketua;
Kata wakil
telah masuk ke dalam kosakata bahasa Indonesia dan memiliki posisi sangat baku,
sehingga setiap jabatan strategis mesti ada wakilnya, mulai dari presiden,
gubernur, bupati dan/atau walikota, bahkan rakyat sendiri memiliki wakil. Misalnya
seorang yang menjadi wakil presiden berarti mesti siap dan memiliki kapasitas
tempat bersandar ketika presiden memiliki problem yang berat atau berhalangan
melaksanakan tugas. Karena tempat bersandar, maka sosok seorang wakil tidak
bisa sembarangan. Memang memiliki perbedaan konotasi ketika kata “wakil”
dilekatkan pada Tuhan dan pada jabatan yang diemban manusia[2].
Pemimpin adalah inti dari manajemen. Ini berarti bahwa
manajemen akan tercapai tujuannya jika
ada pemimpin. Kepemimpinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang pemimpin.
Seorang pemimpin adalah seseorang yang mempunyai keahlian memimpin, mempunyai
kemampuan mempengaruhi pendirian/pendapat orang atau sekelompok orang tanpa
menanyakan alasan-alasannya. Seorang pemimpin adalah seseorang yang aktif
membuat rencana-rencana, mengkoordinasi, melakukan percobaan dan memimpin
pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama-sama[3].
Menurut James A.F
Stonen[4],
tugas utama seorang pemimpin adalah:
1.
Pemimpin
bekerja dengan orang lain : Seorang pemimpin bertanggung jawab untuk bekerja dengan
orang lain, salah satu dengan atasannya, staf, teman sekerja atau atasan lain
dalam organisasi sebaik orang diluar organisasi.
2.
Pemimpin
adalah tanggung jawab dan mempertanggungjawabkan (akontabilitas) : Seorang pemimpin
bertanggungjawab untuk menyusun tugas menjalankan tugas, mengadakan evaluasi,
untuk mencapai outcome yang terbaik. Pemimpin bertanggung jawab untuk
kesuksesan stafnya tanpa kegagalan.
3.
Pemimpin
menyeimbangkan pencapaian tujuan dan prioritas : Proses kepemimpinan
dibatasi sumber, jadi pemimpin harus dapat menyusun tugas dengan mendahulukan
prioritas. Dalam upaya pencapaian tujuan pemimpin harus dapat mendelegasikan
tugas-tugasnya kepada staf. Kemudian pemimpin harus dapat mengatur waktu
secara efektif,dan menyelesaikan masalah secara efektif.
4.
Pemimpin harus berpikir secara analitis dan konseptual : Seorang
pemimpin harus menjadi seorang pemikir yang analitis dan konseptual.
Selanjutnya dapat mengidentifikasi masalah dengan akurat. Pemimpin harus dapat
menguraikan seluruh pekerjaan menjadi lebih jelas dan kaitannya dengan
pekerjaan lain.
5.
Manajer
adalah seorang mediator : Konflik selalu terjadi pada setiap tim dan organisasi. Oleh karena itu, pemimpin
harus dapat menjadi seorang mediator (penengah).
6.
Pemimpin
adalah politisi dan diplomat : Seorang pemimpin harus mampu
mengajak dan melakukan kompromi. Sebagai seorang diplomat, seorang pemimpin harus dapat
mewakili tim atau organisasinya.
7.
Pemimpin
membuat keputusan yang sulit : Seorang pemimpin harus dapat
memecahkan masalah.
Menurut Henry Mintzberg[5], Peran Pemimpin adalah :
1.
Peran
hubungan antar perorangan, dalam kasus ini fungsinya sebagai pemimpin yang
dicontoh, pembangun tim, pelatih, direktur, mentor konsultasi.
2.
Fungsi
Peran informal sebagai monitor, penyebar informasi
dan juru bicara.
3.
Peran
Pembuat keputusan, berfungsi sebagai
pengusaha, penanganan gangguan, sumber alokasi, dan negosiator.
Beberapa definisi
kepemimpinan menggambarkan asumsi bahwa kepemimpinan adalah proses
mempengaruhi orang, baik individu maupun
kelompok. Seorang pemimpin adalah seseorang yang aktif membuat rencana-rencana,
mengkoordinasi, melakukan percobaan dan memimpin pekerjaan untuk mencapai
tujuan bersama. Karakteristik seorang pemimpin didasarkan pada prinsip-prinsip
belajar seumur hidup, berorientasi pada pelayanan dan membawa energi
positif. Tujuan manajemen dapat tercapai
bila organisasi memiliki memiliki pemimpin yang handal.
Kajian Terhadap Pengaturan tentang Peran Wakil sebagai Pemimpin
Negara di Indonesia
Peran
Wakil Presiden sebagai Presiden
Pasal 4 ayat (2) UUD RI Tahun 1945 mengatur bahwa “Dalam
melakukan kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”. Lebih
lanjut dalam ketentuan Pasal 6A ayat (1) ditentukan bahwa “Presiden dan Wakil
Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Kententuan
mengenai satu pasangan ini menunjukan bahwa jabatan presiden dan wakil presiden
adalah satu kesatuan pasangan presiden dan wakil presiden. Kedudukannya
keduanya adalah dwi-tunggal atau satu kesatuan lembaga kepresidenan[6].
Titik Triwulan Tutik[7],
menyatakan bahwa jika presiden meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau
tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatan yang telah ditentukan,
maka wakil presiden menggunakan kedudukan presiden sampai habis waktunya.
Kedudukan wakil Presiden dapat saja dipahami bahwa hal-hal
yang berkenan dengan kekuasaan tertinggi baik kekuasaan militer dan kekuasaan
yudikatif yang dalam kaitannya dengan kekuasaan presiden sebagai Kepala Negara
tidak dibicarakan dalam proporsi Wakil Presiden, kecuali bila wapres memang
sedang memperoleh haknya, dalam arti presiden meninggal, sakit keras, atau
presiden mendeligasikan kewenangan sepanjang tidak melanggar peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pada dasarnya wakil presiden harus dapat
bekerja sama dengan presiden karena wapres bukan merupakan oposisi terhadap
presiden. Secara garis besar tugas dan wewenang wapres meliputi[8]
:
1.
Membantu presiden dalam melaksanakan
tugasnya;
2.
Menggantikan presiden sampai habis
waktunya jika presiden meninggal dunia, berhenti, diberhentikan atau tidak
dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatan yang telah ditentukan;
3.
Memperhatikan secara khusus,
menampung masalah-masalah yang perlu menyangkut bidang kesejahteraan rakyat;
dan
4.
Melakukan pengawasan operasional
pembangunan dengan bantuan departemen-departemen, lembaga-lembaga non
departemen, dalam hal ini inspektur jenderal dari departemen yang bersangkutan atau
deputi pengawas dari lembaga non departemen yang bersangkutan.
Keduanya (presiden dan wakil presiden) sekalipun dalam satu
kesatuan sebagai institusi lembaga kepresidenan namun keduanya adalah jabatan
konstitusional yang terpisah. Secara organis merupakan suatu dua organ Negara
yang berbeda satu sama lain, yaitu dua organ yang tak terpisahkan satu sama
lain dan harus dibedakan satu sama lain. Disisi lain, Wakil Presiden menurut
ketentuan Pasal 4 ayat (1) jelas merupakan pembantu bagi presiden dalam
melakukan kewajiban kepresidenan. Sesuai dengan sebutannya, wakil presiden itu
bertindak mewakili presiden dalam hal presiden berhalangan untuk menghadiri
kegiatan tertentu atau melakukan sesuatu dalam lingkungan kewajiban konstitusional
presiden. Dalam berbagai kesempatan dimana presiden tidak dapat memenuhi
kewajiban konstitusionalnya karena sesuatu alasan yang dapat dibenarkan menurut
hukum, maka wakil presiden dapat bertindak sebagai pengganti presiden. Sementara
itu, dalam berbagai kesempatan yang lain, wakil presiden juga dapat bertindak sebagai
pendamping bagi presiden dalam melakukan kewajibannya.
Di samping keempat kemungkinan posisi tersebut, wakil
presiden juga mempunyai posisi yang tersendiri sebagai seorang pejabat publik. Setiap
warga Negara, kelompok warga Negara, ataupun organisasi masyarakat dapat saja
berkomunikasi dan berhubungan langsung dengan wakil presiden. Misalnya, suatu
kelompok atau organisasi dalam masyarakat dapat saja mengajukan permohonan agar
wakil presiden membuka suatu acara tertentu. Jika wakil presiden memenuhi
permohonan semacam itu, maka dapat dikatakan bahwa wakil presiden bertindak atas
nama jabatannya sendiri secara mandiri.
Kedudukan seorang wakil presiden juga tidak dapat
dipisahkan dengan presiden sebagai suatu kesatuan pasangan jabatan yang dipilih
secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Karena itu, kedudukan wakil
presiden jauh lebih tinggi dan lebih penting dari jabatan menteri. Meskipun
dalam hal melakukan perbuatan pidana, masing-masing presiden dan wakil presiden
bertanggung jawab secara sendiri-sendiri sebagai individu (persoon), tetapi dalam rangka pertanggungjawaban politik kepada
rakyat, presiden dan wakil presiden adalah satu kesatuan jabatan.
Dengan demikian, oleh Jimly Assddiqie, menyatakan bahwa
posisi wakil presiden mempunyai lima
kemungkinan sebagai presiden adalah [9]:
1.
Sebagai wakil yang mewakili
presiden;
2.
Sebagai pengganti yang menggantikan
presiden;
3.
Sebagai pembantu yang membantu
presiden;
4.
Sebagai pendamping yang mendampingi
presiden; dan
5.
Sebagai wakil presiden yang
bersifat mandiri.
Dalam
menjalankan kelima posisi tersebut, maka secara konstitusional, presiden dan
wakil presiden harus bertindak sebagai
satu kesatuan subjek jabatan institusional kepresidenan. Presiden dan wakil
presiden itu, ada dua orang yang menduduki satu kesatuan subjek hukum lembaga
kepresidenan.
Dalam
melakukan tindakan untuk mendampingi presiden, dan dalam posisi yang bersifat
mandiri, wakil presiden tidak memerlukan persetujuan, instruksi, atau penugasan
khusus dari presiden. Kecuali oleh presiden atau menurut peraturan yang
berlaku, dikehendaki lain, wakil presiden dapat secara bebas menjadi pendamping
presiden atau melakukan kegiatannya secara mandiri dalam jabatannya sebagai
wakil presiden.
Dalam
kapasitas sebagai pembantu presiden, kedudukan wakil presiden seolah mirip
dengan menteri negara yang juga bertindak membantu presiden. Tentu saja wakil
presiden lebih tinggi dari pada menteri, karena menteri bertanggung jawab
kepada presiden dan wakil presiden, sebagai satu kesatuan jabatan. Namun dalam
pelaksanaan bantuan ini, yaitu (1) ada bantuan yang diberikan atas dasar
inisiatif wakil presiden sendiri; (2) ada bantuan yang diberikan karena diminta
oleh presiden; dan (3) adapula bantuan yang yang harus diberikan oleh wakil
presiden karena ditetapkan dengan keputusan presiden. Bisanya para tugas-tugas
khusus wakil presiden dimasa orde baru memang ditentukan oleh keputusan
presiden.
Disamping itu, dalam kedudukannya sebagai yang mewakili
(wakil) dan sebagai yang menggantikan (pengganti), terdapat perbedaan mendasar.
Untuk dapat mewakili, wakil presiden haruslah mendapat mandat, baik secara
langsung, resmi, ataupun tidak langsung atau tidak resmi. Misalnya wakil
presiden mendapat mandat melalui disposisi atas surat yang diajukan kepada presiden dimana
presiden tidak dapat memenuhi suatu permintaan membuka suatu acara, lalu
diwakilkan kepada wakil presiden. Hubungan antara pemberi mandat dan penerima
mandat sama sekali tidak mengalihkan kekuasaan kepada penerima mandat.
Pemberian mandat itu tidak bersifat mutlak dalam arti dapat saja ditarik
kembali oleh pemberi mandat kapan saja ia merasa perlu menarik kembali mandat
itu.
Hal itu berbeda dengan kedudukan wakil presiden sebagai
pengganti. Penggantian presiden oleh wakil presiden dilakukan karena dua kemungkinan yakni (1)
presiden berhalangan sementara; dan (2)
presiden berhalangan tetap. Jika presiden berhalangan sementara, maka wakil
presiden diharuskan menerima kewenangan resmi berupa pendelegesian kewenangan (delegation of authority) sebagai
pengganti dengan Keputusan Presiden. Misalnya, presiden bepergian ke luar
negeri luar negeri untuk waktu tertentu, maka presiden harus menetapkan
Keputusan Presiden menunjuk wakil presiden sebagai pengganti sampai presiden
tiba kembali di tanah air. Presiden tidak dapat mencabut Keputusannya apabila
syarat ia tiba kembali di tanah air sebelum terpenuhi, misalnya karena sesuatu
hal mencabut kembali keputusannya itu dari luar negeri. Selama memegang putusan
itu wakil presiden bertindak sebagai presiden pengganti untuk sementara waktu.
Demikian pula apabila presiden berada dalam keadaan
berhalangan tetap, maka proses pengalihan kewenangan (transfer of authority) itu bahkan haruslah dilakukan dengan
keputusan pihak lain, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), bukan dengan
Keputusan Presiden. Bentuk hukum yang dikenal selama ini adalah Ketetapan MPR.
Untuk masa mendatang, nomenklatur Ketetapan MPR jika mau, dapat saja tetap
dipakai. Sidang paripurna MPR membuat keputusan yang dituangkan menjadi
Ketetapan MPR yang ditandatangani oleh Para Pimpinan MPR atas nama seluruh
anggota MPR.
Peran
Wakil Menteri sebagai Menteri
Landasan hukum kementerian
adalah Bab V Pasal 17 UUD 1945 dan UU No. 39
Tahun 2009 tentang Kementrian Negara. Pasal 17 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa:
1. Presiden dibantu oleh
menteri-menteri negara.
2. Menteri-menteri itu diangkat dan
diperhentikan oleh Presiden.
3. Setiap menteri membidangi urusan
tertentu dalam pemerintahan.
4.
Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam
undang-undang.
Lebih lanjut, kementerian
diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan
Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi
Kementerian Negara.
Pembentukan kementerian
dilakukan paling lama 14 hari kerja sejak presiden mengucapkan sumpah/janji.
Urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan
dalam UUD 194 harus dibentuk dalam satu kementerian tersendiri. Untuk
kepentingan sinkronisasi dan koordinasi urusan kementerian, presiden juga dapat
membentuk kementerian koordinasi. Jumlah seluruh kementerian maksimal 34
kementerian.
Kementerian yang
membidangi urusan pemerintahan selain yang nomenklatur kementeriannya secara
tegas disebutkan dalam UUD 1945 dapat diubah oleh presiden. Pemisahan,
penggabungan, dan pembubaran kementerian tersebut dilakukan dengan pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kecuali
untuk pembubaran kementerian yang menangani urusan agama, hukum,
keamanan, dan keuangan harus dengan
persetujuan DPR.
Setiap kementerian
membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Berdasarkan Perpres No. 47 Tahun
2009, kementerian-kementerian tersebut adalah:
1.
Kementerian
yang menangani urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya secara tegas
disebutkan dalam UUD 1945, terdiri atas:
2.
Kementerian
yang menangani urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD
1945, terdiri atas:
m)
Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, sebelumnya bernama Kementerian Pendidikan Nasional
p)
Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, sebelumnya bernama Kementerian Kebudayaan
dan Pariwisata
3.
Kementerian
yang menangani urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan
sinkronisasi program pemerintah, terdiri atas:
Selain
kementerian yang menangani urusan pemerintahan di atas, ada juga kementerian
koordinator yang bertugas melakukan sinkronisasi dan koordinasi urusan kementerian-kementerian
yang berada di dalam lingkup tugasnya. Kementerian koordinator, terdiri atas:
Susunan
Organisasi kementerian negara
Indonesia digabungkan. Kementerian dipimpin oleh menteri yang
tergabung dalam sebuah kabinet. Presiden juga dapat mengangkat wakil
menteri pada kementerian tertentu apabila terdapat beban kerja yang
membutuhkan penanganan secara khusus.
Susunan organisasi
kementerian adalah sebagai berikut:
1.
Kementerian
yang menangani urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya dan/atau
ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD 1945
a)
Pemimpin:
Menteri
b)
Pembantu
pemimpin: Sekretariat jenderal
c)
Pelaksana:
Direktorat jenderal
d)
Pengawas:
Inspektorat jenderal
f)
Pelaksana
tugas pokok di daerah (untuk kementerian yang menangani urusan dalam negeri, luar negeri, pertahanan, agama, hukum,
keamanan, dan keuangan) dan/atau perwakilan
luar negeri
2.
Kementerian
yang menangani urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan
sinkronisasi program pemerintah
a)
Pemimpin:
Menteri
b)
Pembantu
pemimpin: Sekretariat kementerian
c)
Pelaksana:
Deputi kementerian
d)
Pengawas:
Inspektorat kementerian
3.
Kementerian
koordinator
a)
Pemimpin:
Menteri koordinator
b)
Pembantu
pemimpin: Sekretariat kementerian koordinator
c)
Pelaksana:
Deputi kementerian koordinator
d)
Pengawas:
Inspektorat
Dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, jabatan menteri adalah jabatan yang bersifat politis. Dengan kata
lain, menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden sesuai dengan kebijakan
politik presiden. Menteri melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan visi
dan misi yang diusung oleh presiden serta bertanggung-jawab penuh kepada
presiden. Menteri memimpin lembaga departemen dan non-departemen sesuai dengan
nomenklatur yang disusun oleh presiden. Lembaga kementerian dibuat untuk
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Contoh tugas pemerintah di bidang
hubungan luar negeri diemban oleh Kementerian Luar Negeri. Kementerian negara
departemen dilengkapi dengan struktur organisasi yang pada umumnya terdiri dari
Sekretaris Jenderal (Sekjen), Direktorat Jenderal (Dirjen), Inspektur Jenderal
(Itjen) dan Badan[10].
Sedangkan kementerian negara non-departemen memiliki Sekretaris, Inspektorat
dan Deputi.
Wakil Menteri adalah pejabat yang
mewakili (menteri) pada (Kementerian) tertentu yang diangkat oleh (presiden)
dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus. Struktur
organisasi yang ada sebelumnya dianggap belum mencukupi dan belum mampu mengcover semua tugas-tugas kementerian
negara, sehingga pemerintah mengangkat jabatan wakil menteri. Beberapa waktu
yang lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melantik beberapa pejabat negara
sebagai wakil menteri. Adapun pejabat-pejabat yang diangkat sebagai wakil
menteri tersebut adalah:
Tabel 1.
Daftar Wakil Menteri Kabinet Indonesia Bersatu
(KIB) Jilid 2
No
|
Jabatan
Wakil Menteri
|
Nama
Menteri
|
Priode
Pengangkatan
|
1
|
Wakil Menteri Pertanian
|
Dr. Bayu Krisnamurti
|
2009
|
2
|
Wakil menteri perindustrian
|
Dr. Alex Retra Ubun
|
2009
|
3
|
Wakil menteri perdagangan
|
Dr. Mahendra Siregar
|
2009
|
4
|
Wakil menteri Pekerjaan Umum
|
Dr. Hermanto Dardak
|
2009
|
5
|
Wakil menteri perhubungan
|
Dr. Bambang Susantono
|
2009
|
6
|
Wakil menteri luar negeri
|
Triyono Wibowo, SH
|
2009
|
7
|
Wakil menteri pertahanan
|
Sjafrie Sjamsoeddin
|
2009
|
8
|
Wakil menteri pendidikan
|
Prof. Dr.
Fasli Jalal
|
2009
|
9
|
Wakil
menteri keuangan
|
Anny Ratnawati
|
2009
|
10
|
Wakil Menteri Pertanian
|
Rusman Heriawan
|
2011
|
11
|
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan
|
Wiendu Nurianti
|
2011
|
12
|
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasional Bidang
Pendidikan
|
Musliar Kasim
|
2011
|
13
|
Wakil Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi
|
Eko Prasodjo
|
2011
|
14
|
Wakil Menteri Keuangan
|
Mahendra Siregar
|
2011
|
15
|
Wakil Menteri Perdagangan
|
Bayu Krisnamurthi
|
2011
|
16
|
Wakil Menteri BUMN
|
Mahmuddin Yasin
|
2011
|
17
|
Wakil Menteri Kesehatan
|
Ali Gufron Mukti
|
2011
|
18
|
Wakil Menteri Luar Negeri
|
Wardana
|
2011
|
19
|
Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
|
Sapta Nirwandar
|
2011
|
20
|
Wakil Menteri ESDM
|
Widjajono Partowidagdo
|
2011
|
21
|
Wakil Menteri Agama
|
Nasaruddin Umar
|
2011
|
22
|
Wakil Menteri Hukum dan HAM
|
Denny Indrayana
|
2011
|
Sumber: Diambil
dari berbagai sumber
Logika berpikir yang digunakan
dalam mengangkat jabatan wakil menteri tersebut adalah untuk meningkatkan
efektivitas dan efisiensi pelaksanaan fungsi-fungsi kementerian negara.
Sebelumnya, Indonesia tidak pernah mengenal adanya jabatan wakil menteri,
jabatan tertinggi pada kementerian negara dipegang oleh menteri sebagai
pembantu presiden. Namun, mengikuti perkembangan zaman dan kompleksitas fungsi-fungsi
kementerian sehingga dirasa perlu untuk mengangkat wakil menteri yang bertugas
membantu menteri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Wakil menteri
diberikan kewenangan untuk membantu tugas-tugas kepemimpinan menteri, termasuk
mewakili menteri dalam sidang-sidang kabinet jika menteri berhalangan, juga
menghadiri sidang-sidang setingkat menteri di diberbagai forum. Namun, wakil
menteri tidak memiliki hak suara dalam sidang-sidang kabinet dan tidak
berwenang mengambil keputusan dalam berbagai forum.
Penulis selain menguraikan peran
dari wakil menteri dan juga bertujuan untuk menganalisis arti penting jabatan
wakil menteri, apakah perlu diangkat seorang wakil menteri untuk membantu
menteri dalam menjalankan tugas dan fungsi kementerian negara? Lebih jauh
tulisan ini akan menguraikan kaitan antara pengangkatan jabatan wakil menteri
dengan reformasi birokrasi yang digagas oleh pemerintahan SBY jilid kedua,
apakah pengisian jabatan wakil menteri tersebut sudah sesuai dengan semangat
reformasi birokrasi atau justeru kebalikannya dan apa implikasi dari jabatan
wakil menteri yang dilantik oleh pemerintahan SBY? Kerangka berpikir yang coba
dibangun adalah reformasi birokrasi pada kementerian negara bukan hanya
terbatas pada komposisi dan hubungan antarkementerian negara, melainkan juga
harus dilihat dari aspek komposisi internal struktur organisasi kementerian
negara.
Sebelum adanya jabatan wakil menteri,
secara umum struktur kementerian negara terdiri dari Sekjen, Irjen dan Dirjen.
Dalam menjalankan tugasnya menteri juga dibantu oleh staf ahli. Jumlah Sekjen
dan Irjen pada setiap kementerian hanya satu unit, sedangkan besaran Dirjen
tergantung pada kompleksitas tugas dan fungsi masing-masing kementerian. Sekjen
adalah unit organisasi yang mengurus urusan rumah-tangga kementerian, sedangkan
Irjen berfungsi sebagai supervisi yang mengawasi semua unit organisasi,
termasuk menteri. Pelaksanaan tugas-tugas teknis dan administratif kementerian
dijalankan oleh Dirjen. Misalnya, pada Kementerian Pendidikan Nasional, urusan
perguruan tinggi dilaksanakan oleh Dirjen Pendidikan Tinggi. Sementara itu,
jabatan staf ahli dipegang oleh para pakar yang menguasai bidang tertentu dan
bertugas memberikan masukan dan analisis kepada menteri.
Menteri
|
Direktur Jenderal
|
Sekretaris Jenderal
|
Inspektur Jenderal
|
Staf Ahli
|
Sejak jabatan wakil menteri dibentuk, secara otomatis
struktur organisasi kementerian menjadi bertambah. Pertambahan struktur
organisasi ini berimplikasi pada struktur organisasi secara keseluruhan.
Melihat kepada tugas, fungsi dan kewenangannya maka jabatan wakil menteri
merupakan jabatan struktural yang berada satu tingkat di bawah menteri, tetapi
berada satu level di atas staf ahli. Berikut ini gambar susunan organisasi
kementerian pascadibentuknya jabatan wakil menteri.
Gambar 2.
Struktur Organisasi Kementerian
Pascadibentuknya
Jabatan Wakil Menteri
Menteri
|
Wakil
Menteri
|
Staf
Ahli
|
Direktur
Jenderal
|
Inspektur
Jenderal
|
Sekretaris
Jenderal
|
Gambar
3. Struktur Organisasi Kementerian Luar Negeri
Menteri Luar Negeri
|
Wakil
Menteri
|
Staf Ahli:
-
Bidang Politik, Hukum, Keamanan
-
Bidang Ekonomi, Sosial, Budaya
-
Bidang Hubungan Kelembagaan
-
Bidang Manajemen
|
Inspektur
Jenderal
|
Sekretaris
Jenderal
|
Direktur Jenderal
Amerika dan Eropa
|
Direktur Jenderal
Multilateral
|
Direktur Jenderal
Kerjasama ASEAN
|
Direktur Jenderal
Asia Pasifik dan Afrika
|
Direktur Jenderal
Protokol dan Konsuler
|
Direktur Jenderal
Hukum dan Perjanjian Internasional
|
Direktur Jenderal
Informasi dan Diplomasi Publik
|
Dari struktur tersebut dapat dipahami bahwa terdapat
penambahan satu nomenklatur pada kementerian negara sejak dibentuknya jabatan
wakil menteri. Secara teoritis hal ini akan berdampak kepada struktur
organisasi kementerian secara keseluruhan. Bertambahnya unit organisasi berarti
bertambah pula sumber daya manusia, jabatan, anggaran dan fasilitas serta
sarana dan prasarana. Jelas ini menjadi beban bagi organisasi. Apabila struktur
yang baru dibentuk tersebut memiliki fungsi yang sangat urgent maka tidak akan ada persoalan. Namun, jika unit organisasi
yang baru dibentuk kurang memiliki relevansi dan urgensitas peranan maka akan
menjadi beban yang akan menyedot anggaran organisasi.
Menurut pendapat penulis, pengangkatan jabatan wakil
menteri kurang memikirkan aspek kompleksitas struktur organisasi. Banyak pihak
yag sudah mahfum bahwa jumlah kementerian KIB jilid 2 terlalu gemuk dan tambun.
35 kementerian negara dinilai terlalu tambun dan gemuk. Seharusnya, struktur
organisasi KIB jilid 2 bisa lebih ramping dari itu. Wakil menteri adalah
jabatan struktural tertinggi di Indonesia dengan grade eselon 1. Dulu jabatan
eselon 1 ini dipegang oleh Sekjen, Irjen dan Dirjen. Dengan bertambahnya
jabatan wakil menteri maka pada setiap akan bertambah satu pos jabatan lagi
pada organisasi kementerian. Pada titik ini, semakin kuatlah stigma bahwa KIB
memang tambun dan gemuk. Pemerintah tidak memiliki sensitivitas bagi
pembentukan struktur organisasi yang ramping tetapi efektif.
Dalam penyusunan struktur organisasi, aspek kompleksitas
seharusnya menjadi perhatian para manejer di sektor publik karena organisasi
publik adalah milik publik yang dibiayai dengan uang publik. Dewasa ini
berkembang tuntutan untuk menyusun organisasi publik yang miskin struktur kaya
fungsi.[11]
Dalam pembentukan jabatan wakil menteri, aspek kompleksitas struktur dan fungsi
kurang menjadi landasan utama sehingga terjadi pembengkakan struktur
organisasi. Lebih jauh, hal ini akan membebani anggaran negara karena negara
dipaksa menambah dana untuk memenuhi kebutuhan jabatan wakil menteri. Dalam
kacamata awam, bertambahnya jabatan berarti bertambah mobil dinas, rumah dinas,
jabatan, tunjangan, sarana dan prasarana lainnya.
Pembentukan jabatan wakil menteri jelas bertentangan
dengan semangat reformasi birokrasi yang menjadi visi dan misi pemerintahan
SBY. Pembentukan jabatan wakil menteri juga dapat menimbulkan rasa
ketidakadilan terhadap pemerintah daerah, karena di tengah upaya pemerintah
pusat merampingkan struktur organisasi pemerintah daerah dengan mengesahkan PP
No. 41 Tahun 2007, tetapi pemerintah pusat menambah struktur organisasi baru di
kementerian. Dalam pandangan Thoha, pemerintah masih setengah hati dalam
melakukan reformasi birokrasi karena proses reformasi yang dijalankan masih
parsial. Menurut
Thoha
bahwa seharusnya
lembaga
birokrasi pemerintah menurut penjelasan dari pemerintah telah banyak mengalami
perubahan, akan tetapi secara strategis belum banyak dilakukan reformasi yang
menyeluruh. Selain
itu, rancang bangun (grand design)
reformasi birokrasi pemerintah belum ada. Sehingga yang nampak adalah reformasi
yang tidak ada sambungannya satu reformasi dengan reformasi yang lain dalam
birokrasi pemerintah. Sebagai contoh reformasi pelayanan publik antara satu
departemen dengan departemen lain tidak ada sambungannya, demikian pula antara
pemerintah daerah yang satu dengan yang lain tidak ada kaitannya. Sehingga ada
daerah yang sudah baik pelayanannya tetapi pemerintah daerah lain tidak ada
perubahan. Ini menunjukkan pelaksnaan reformasi yang tidak menyeluruh.[12]
Reformasi birokrasi adalah proses perubahan pada seluruh
dimensi organisasi birokrasi pemerintah. Perubahan yang dimaksud adalah
perubahan terhadap aspek struktur dan kultur organisasi. Konig mengungkapkan
bahwa reformasi administrasi tidak hanya diarahkan pada penyederhanaan prosedur
administratif, tetapi juga merombak sistem secara keseluruhan, meyediakan
perangkat hukum dan memperbaiki struktur serta mengubah perilaku birokrat yang
kontraproduktif dengan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien.[13] Dari segi struktur pemerintah harus melakukan
reassesment terhadap struktur dan
tata kerja organisasi pemerintah. Apakah struktur tersebut sudah sesuai dengan
tugas dan fungsinya atau tidak adalah pertanyaan kunci yang harus dijawab pada
aspek ini. Selain itu, perubahan pada budaya kerja atau kultur organisasi mutlak
dilakukan untuk meningkatkan efektivitas dan responsivitas organisasi
pemerintah. Budaya-budaya ‘Asal Bos Senang’, korup, tidak cepat tanggap
terhadap perubahan dan lainnya harus dirubah dengan budaya kerja yang
berorientasi hasil dan responsif terhadap kebutuhan publik.
Dilihat dari segi kewenangannya, jabatan wakil menteri
bukanlah jabatan yang strategis. Wakil menteri hanya berhak mewakili menteri
dan tidak punyak hak mengambil keputusan serta hak suara dalam sidang-sidang
kabinet. Wakil menteri adalah subordinasi menteri karena kewenangan utama tetap
berada di tangan menteri. Wakil menteri merupakan jabatan birokrasi tertinggi
di Indonesia, tetapi tidak memiliki kewenangan untuk membuat keputusan tanpa
persetujuan menteri. Fenomena ini semakin menguatkan tendensi dikotomi
politik-birokrasi di Indonesia. Jika pemerintah benar-benar ingin
mengefektifkan kementerian negara dengan membentuk jabatan wakil menteri
seharusnya wakil menteri juga diberi kewenangan untuk mengambil keputusan.
Namun, kewenangan ini tetap dipegang oleh menteri karena pembantu presiden yang
bertugas mengejawantahkan kebijakan politik presiden adalah menteri bukan wakil
menteri. Akibatnya, wakil menteri hanya
menjadi “ban serap” menteri yang mengkilap.
Fenomena pengangkatan jabatan wakil menteri dapat
menimbulkan impikasi politik dan kebijakan dimana presiden dapat menambah lagi
jabatan wakil menteri pada kementerian yang lain. Menteri-menteri yang lain
bisa ikut-ikutan meminta kepada presiden untuk membentuk jabatan wakil menteri
pada kementeriannya. Akhirnya, struktur kementerian negara menjadi semakin
tambun karena setiap kementerian bisa memiliki jabatan wakil menteri.
Dengan fungsinya terbatas, jabatan wakil menteri jelas
tidak akan meningkatkan efektifitas kinerja organisasi kementerian. Jabatan
wakil menteri hanya menambah beban keuangan negara, tetapi tidak memiliki
fungsi dan peranan yang signifikan. Untuk menjalankan peran mewakili menteri
dalam sidang-sidang kabinet dan pada forum-forum regional dan internasional,
tidak perlu dibentuk jabatan wakil menteri. Presiden dapat menambahkan fungsi
tersebut kepada Sekjen, Dirjen dan Irjen. Jabatan wakil menteri baru dibentuk
jika fungsi-fungsi baru tidak bisa dilimpahkan kepada unit internal organisasi
kementerian.
Presiden SBY
menunjuk 13 wakil menteri baru. Pengangkatan wakil menteri ini berdasarkan
beban tegas yang harus dicapai sebuah kementerian sehingga wakil menteri ini
tidak permanen, bisa diadakan dan bisa ditiadakan. Presiden SBY juga menegaskan
bahwa status dari wakil menteri baru yang diangkatnya di sejumlah kementerian.
Terlebih lagi dalam kaitannya dengan fasiltas wamen dan anggaran yang
dikeluarkan untuk mereka. Fasilitasnya (wakil menteri) tidak sama dengan
fasilitas menteri. Mereka mendapatkan fasilitas setara dengan eselon 1A
sehingga dipastikan tidak ada pembengkakan biaya.
Wakil menteri
yang ditetapkan nantinya menjadi bagian dari penetapan kebijakan atau policy making yang dibuat menteri. Sesuai UU No. 39 Tahun 2009, wakil menteri
merupakan pejabat karir atau PNS. Tak ada perbedaan wakil menteri dengan
wakil-wakil lainnya dalam struktur birokrasi di Indonesia seperti wakil presiden,
wakil ketua MPR, wakil ketua DPR, hingga wakil bupati. Sehingga, tidak ada
istilah matahari kembar.
Penambahan wakil
menteri ini berdasarkan pada urgensi dan keperluannya sehingga bisa diadakan
ataupun ditiadakan. wakil menteri pun bukan bagian dari Kabinet. Presiden
mengatakan jumlah menteri atau anggota Kabinet masih tetap yakni 34 menteri.
Dengan begitu, ia menolak jika ada istilah penambahan atau penggemukan Kabinet
Indonesia Bersatu II. Sehingga pengangkatan 13 Wakil Menteri yang baru ini
apakah merupakan hoki (keberuntungan) bagi Presiden SBY ataukah kesialanan
karena sebagian orang menganggap angka 13 adalah angka sial.
Pemerintahan presiden SBY sebaiknya mengevaluasi kinerja
wakil menteri yang telah dilantik. Pemerintah juga meninjau kembali kebijakan
pengangkatan wakil menteri. Jabatan wakil menteri belum memiliki signifikansi
tugas dan kewenangan bagi peningkatan efektivitas dan efisiensi organisasi
kementerian, sehingga belum tepat untuk diterapkan. Dalam perspektif reformasi
birokrasi, pengangkatan jabatan wakil menteri hanya menciderai semangat
reformasi birokrasi karena menambah beban negara akibat tambunnya organisasi
pemerintah.
Pasal 10 UU No. 39 Tahun 2008
tentang Kementerian Negara menyebutkan bahwa
”Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara
khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu”. Tentunya bahwa ketentuan tersebut secara
tidak langsung menyebutkan bahwa apabila beban kerja yang dibidangi oleh
kementerian itu tidak membutuhkan suatu penanganan khusus maka presiden tidak
harus mengangkat wakil menteri lagi.
Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa
”Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat
pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”
Peran Wakil Gubernur, wakil bupati/wakil walikota masing-masing
sebagai gubernur, bupati/Walikota dalam menjalankan tugas sebagai kepala daerah
propinsi dan kepala daerah kabupaten/Kota di Indonesia
Pasal 24 ayat (1) dan (3)
UU No. 32/2004, menyebutkan bahwa setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah
daerah yang disebut kepala daerah, yang dibantu oleh satu orang wakil kepala
daerah. Lebih lanjut Wakil kepala
daerah tersebut dapat dibagi untuk
provinsi disebut wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut wakil bupati dan untuk
kota disebut
wakil walikota. Kepala
daerah dan wakil kepala daerah yang disebut tersebut dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat di daerah yang bersangkutan.
Kepala daerah mempunyai tugas dan
wewenang[14]:
1. Memimpin
penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan
bersama DPRD;
2. Mengajukan rancangan Perda;
3. Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
4. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD
kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
5. Mengupayakan
terlaksananya kewajiban daerah;
6. Mewakili
daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk
mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
7. Melaksanakan
tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan untuk wakil kepala daerah
diberikan uraian tugas, bila dibandingkan dengan wakil-wakil pemipin yang lain.
Pasal 26 ayat (1) UU No. 32/2004 menyebutkan bahwa wakil kepala daerah mempunyai tugas:
1.
Membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan
pemerintahan daerah;
2.
Membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan
instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil
pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda,
serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan
hidup;
3.
Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan
kabupaten dan kota
bagi wakil kepala daerah provinsi;
4.
Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di
wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau desa bagi wakil kepala daerah
kabupaten/kota;
5.
Memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah
dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah;
6.
Melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya
yang diberikan oleh kepala daerah; dan
7.
Melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila
kepala daerah berhalangan.
Penyebutan
kepala daerah menunjukan kepada gubernur untuk daerah propinsi dan
bupati/walikota untuk daerah kabupaten/kota. Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana diuraikan dalam ketentuan diatas, wakil kepala daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah. Selanjutnya wakil kepala daerah
menggantikan kepala daerah sampai habis masa jabatannya apabila kepala daerah
meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya[15].
Adapun
kewajiban dari kepala daerah dan wakil kepala daerah[16] adalah:
1. Memegang
teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Meningkatkan
kesejahteraan rakyat;
3. Memelihara
ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
4. Melaksanakan
kehidupan demokrasi;
5. Menaati
dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan;
6. Menjaga
etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
7. Memajukan
dan mengembangkan daya saing daerah;
8. Melaksanakan
prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik;
9. Melaksanakan
dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah;
10. Menjalin
hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat
daerah;
11. Menyampaikan
rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di hadapan Rapat
Paripurna DPRD.
Selain
mempunyai tugas dan kewajiban seperti diuraikan diatas, kepala daerah mempunyai
kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah
kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD,
serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada
masyarakat. Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah
tersebut disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk
Gubernur, dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk
Bupati/Walikota 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Urgensi Peran Wakil dan Penyerahan kekuasaan antara
Pemimpin (pemegang otoritas kekuasaan) dengan wakilnya dalam pembagian kerja di
Indonesia
Pengalaman
pola kepemimpinan oleh wakil di Indonesia
baik dari pusat hingga ke daerah, menunjukan bahwa peran wakil tidak seperti
pemimpin, pada hal proses penentuannya untuk mendapat jabatan tersebut sama
dengan ketua/peminpim utama. Bahkan dibatasi kewenangannya untuk tidak
bertindak seperti presiden sekalipun telah ada mandat dari presiden untuk wakil
presiden menjalankan tugas kenegaraannya sama dengan presiden.
Setiap organ
negara atau alat perlengkapan negara tentu digerakan oleh seorang pemimpin dan
dibantu oleh satu atau beberapa orang. Organ negara atau alat perlengkapan
negara itu ada yang jabatan politik dan jabatan birokrasi. Pergerakan organ
negara atau alat perlengkapan negara pun tidak terhindarkan dari berbagai
masalah. Apabila jabatan itu cara pengisiannya secara politik maka masalah
kepentingan pribadi dan kelompok sangat dominan sehingga Yang menjadi masalah
sekarang adalah, bagamana jika presiden telah menetapkan suatu keputusan presiden
bahwa selama mengadakan perjalanan keluar negeri, wakil presiden bertindak
sebagai presiden sampai presiden kembali ke tanah air. Apakah selama berada di
luar negeri, seorang presiden dapat bertindak sebagai presiden dalam
urusan-urusan di dalam negeri? Misalnya, dapatkah presiden memimpin sidang
cabinet dengan memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi berupa fasilitas
teleconference seolah-olah presiden sama sekali tidak berhalangan sementara
bagaimana yang telah ditetapkannya sendiri. Sebaiknya, meskipun wakil presiden
secara resmi mendapat pendelegasian
kewenangan berdasarkan Keputusan Presiden untuk bertindak sebagai presiden
selama presiden berhalangan sementara, apakah dengan begitu wakil presiden dapat
bertindak seolah-olah sebagai presiden sungguhan, sehingga dengan demikian
dapat menetapkan keputusan-keputusan kenegaraan yang menjadi kewenangan penuh
seorang presiden.
Khusus untuk
wakil presiden apabila terjadi ketidakharminisan antara presiden dengan
wakilnya biasanya timbul pembatasan dalam hal pemebrian mandat sehingga
presiden tidak gampang memberikan seluruh kewenangannya kepada wakil presiden. Hal
itu disebutkan secara gambling oleh Jimly Assiddiqie[17],
yakni beliau menyebutkan bahwa terdapat sejumlah faktor atas terjadinya
ketidakpercayaan antara presiden dengan wakil (pengalaman Presiden SBY dengan
JK) adalah sebagai berikut
1.
Faktor status hukum dari kegiatan teleconference
itu sendiri;
2.
Faktor kualitas keharmonisan
hubungan kerja dan pembagian tugas di antara presiden dan wakil presiden yang
merupakan masalah internal di antara mereka berdua;
3.
Faktor penyelenggaraan
teleconference yang tertutup atau terbuka;
4.
Faktor ketidaklaziman dalam
penyelenggaraan kegiatan kenegaraan dengan teleconference semacam itu;
5.
Faktor krisis ekonomi yang menuntut
penghematan versus biaya teleconference yang tidak sedikit dan kesan
penyelenggaraan yang berlebihan karena diadakannya berkali-kali, pada hal
seharusnya presiden berkonsentrasi menghadapi tugas-tugas di luar negeri.
Jika
teleconference (a) sama sekali bukan kegiatan sidang kabinet resmi; (b)
diadakan tertutup bukan untuk konsumsi public; dan (c) tidak ada masalah dalam
hubungan antara presiden dengan wakil presiden, maka sudah tentu manfaat
diadakannya teleconference tersebut tentu akan lebih menonjol daripada
mudhoratnya[18].
Akan tetapi,
jika ketiga hal tersebut tidak demikian maka dari peristiwa itu mudah timbul
kesimpulan mengenai adanya masalah serius dalam hubungan diantara keduanya.
Penyelenggaraan kegiatan yang melawan arus harapan umum mengenai penghematan
biaya-biaya da memberikan sinyal negatif seolah memang ada masalah dalam
hubungan di antara presiden dengan wakil presiden sehingga berpotensi
menimbulkan ketidakpastian politik, menyebabkan kreativitas penyelenggaraan
teleconference tidak cukup beralasan untuk mengabaikan sama sekali adanya
kelaziman ketatanegaraan dimana presiden pergi ke luar negeri karena alasan
berhalangan sementara. Jika jika presiden berhalangan sementara, maka wakil
presidenlah yang tampil menjadi penggantinya untuk sementara waktu untuk
bertindak dalam menjalankan tugas-tugas tugas presiden di dalam negeri.
Mengenai apa saja yang akan diputuskan atau ditetapkan oleh wakil presiden
sebagai pengganti sementara presiden selama presiden berhalangan sementara,
terpulang kepada fatsoen dan kesepakatan pembagian tugas serta keharmonisan
hubungan di antara mereka berdua.
Selain itu,
lebih menghebohkan lagi kalau seorang wakil dapat bertindak sama seperti ketua
atau pemimpim utama, misalnya membuat keputusan atas nama presiden, atau
keputusan wakil menteri yang semuanya mempunyai kekeuatan hukum yang sama,
tentu tidak beritikat baik lagi keputusan itu disebut sebagai keputusan wakil
presiden atau keputusan wakil menteri atau keputusan wakil gubernur serta
keputusan bupati atau walikota. Semua hal ini belum dipraktekan dalam prinsip
kehidupan kenegaraan di Indonesia .
Artinya belum ada aturan yang mengatur sejauh hal itu mengenai seorang wakil
dapat mengeluarkan keputusan yang bunyinya sama seperti pemimpin utama.
Presiden SBY Rabu, Tanggal 19 Oktober 2011, telah
melantik 12 menteri baru dan 13 wakil menteri baru hasil perombakan kabinet.
Pelantikan dilakukan di Istana Negara pada pukul 09.00, dihadiri Wakil Presiden
Boediono dan segenap menteri Kabinet Indonesia Bersatu II. Sebelum melantik
para menteri dan wakil menteri yang baru, Presiden menyampaikan pidato
kebijakan untuk tiga tahun sisa masa jabatannya. Hal itu menjadi target dari menteri-menteri,
atau pejabat setingkat menteri, dan wakil menteri yang dalam menjalankan kebijakan
politiknya. Nama-nama menteri dan wakil menteri serta para pejabat setingkat
menteri yang dilantik adalah sebagai berikut[19].
A.
Bidang Politik Hukum dan Keamanan:
1.
Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia: Amir Syamsuddin (Partai Demokrat)
menjabat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, menggantikan Patrialis Akbar (PAN). Denny
Indrayana menjabat Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
2.
Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi: Azwar Abubakar
(PAN) menjabat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
dibantu Wakil Menteri Eko Prasodjo
3.
Kementerian
Luar Negeri: Wardana menjadi Wakil Menteri Luar Negeri (menggantikan Triyono
Wibowo)
5.
Badan
Intelejen Negara: Letnan Jenderal Marciano Norman
menjabat Kepala Badan Intelejen Negara, menggantikan Sutanto.
B.
Di Bidang Perekonomian:
1. Kementerian Keuangan: Mahendra Siregar menjabat Wakil Menteri Keuangan
2. Kementerian Perdagangan: Gita Wirjawan (profesional) menjabat Menteri Perdagangan, menggantikan Mari Elka Pangestu (profesional). Gita Wirjawan dibantu Wakil Menteri Bayu Krisnamurthi yang menggantikan Mahendra Siregar.
3. Kementerian Pertanian: Rusman Heriawan menjabat Wakil Menteri Pertanian (menggantikan Bayu Krishnamurti)
4. Kementerian ESDM: Jero Wacik
(Partai Demokrat) menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, menggantikan
Darwin Zahedy Saleh (Partai Demokrat). Jero Wacik akan dibantu Wakil Menteri Widjajono Partowidagdo
5. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif: Mari Elka Pangestu (profesional) menjabat Menteri Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif, menggantikan Jero
Wacik (Partai Demokrat). Mari Elka
Pangestu akan dibantu Wakil
Menteri Sapta
Nirwandar (internal Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata)
6. Kementerian BUMN: Dahlan Iskan (profesional) menjabat Menteri BUMN menggantikan Mustafa Abubakar (profesional). Dahlan Iskan akan dibantu Wakil Menteri Mahmuddin Yasin
7. Kementerian Perhubungan: E.E. Mangindaan (Partai Demokrat) menjabat Menteri Perhubungan,
menggantikan Freddy
Numberi (Partai Demokrat)
8. Kementerian Kelautan dan Perikanan: Tjitjip Sharif Sutardjo (Partai Golkar) menjabat Menteri Perikanan dan Kelautan,
menggantikan Fadel
Muhammad (Partai Golkar)
C. Bidang
Kesejahteraan Rakyat:
1.
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan: Musliar Kasim menjabat Wakil Menteri
Pendidikan Nasional Bidang Pendidikan. Wiendu Nuryanti menjabat Wakil
Menteri Pendidikan Nasional Bidang Kebudayaan
2.
Kementerian
Kesehatan: Ali Ghufron Mukti menjabat Wakil Menteri Kesehatan
3.
Kementerian
Agama: Nazaruddin Umar menjabat Wakil Menteri Agama
4.
Kementerian
Perumahan Rakyat: Djan Faridz (PPP) menjabat Menteri Perumahan Rakyat,
menggantikan Suharso Manoarfa (PPP)
5.
Kementerian
Lingkungan Hidup: Baltazar Kambuaya (profesional, Rektor Universitas Cendrawasih)
menjabat Menteri Lingkungan Hidup, menggantikan Gusti Mohammad Hatta
(profesional)
6. Kementerian Riset dan
Teknologi: Gusti Mohammad Hatta (profesional) menggantikan Suharna
Surapranata (PKS).
Persoalan menganti atau merombak kabinet tentu dapat
dipahami sebagai hak mutlak dari presiden, sebab konstitusi kita menganut
sistim itu yang tentu presiden setelah menilai dengan cermat bahwa kinerja
menteri yang bersangkutan harus diganti atau ditambahkan wakil menteri untuk
mampu menjalankan misi yang ditentukan oleh Presiden. Keadaan ini membuat pihak
yang diganti dari posisinya sebagai menteri atau wakil menteri mengisahkan
banyak persoalan, misalnya Menteri Kelautan dan Perikanan : Fadel Muhammad,
dalam siaran persnya menyatakan bahwa pergantian atas dirinya tidak melalui
procedural karena presiden secara sepihak mengantikan tanpa alasan hukum yang
jelas. Lebih aneh lagi sebelum presiden mengumumkan hasil perombakan kabinet melalui
Menteri Sekretaris Negara disebutkan bahwa Fadel Muhammad tidak ada masalah
dalam pergantiannya.
Persoalan
hubungan antara pemimpin dengan wakilnya sering menimbulkan berbagai persoalan,
sebut saja Wakil Bupati Garut,
Provinsi Jawa Barat, Dicky Chandra, yang mengundurkan diri dari jabatannya.
Dengan mengirimkan surat
pengunduran diri kepada DPRD Garut. Sementara itu Pihak DPRD Garut menanggapi proses
pengunduran diri dari wakil bupati tersebut untuk menyelidiki sebab-sebab
terjadinya tindakan itu. Namun kesimpulan sementara yang diperoleh adalah tidak
adanya pembagian kerja yang adil dan merata antara bupati dengan wakil bupati.
Padahal telah disepakati kewenangan itu harus dibagi rata antara bupati dengan
wakilnya. Namun yang terjadi selama hamper satu tahun kerja tidak ada pembagian
yang merata, sehingga hal tersebut memberikan masi tidak percaya diantara
bupati dengan wakil bupati dan berakibat pada wakil bupati Dicky harus
melakukan pengunduran diri dari jabatannya.
Seperti yang diberitakan melalui media kompas bahwa Wakil
Ketua DPRD, Luki Lucmansyah, mengatakan pihaknya belum memutuskan apakah
menerima atau menolak pengunduran diri tersebut. Dewan masih akan membahas di
rapat pimpinan dan memanggil yang bersangkutan. DPRD Kabupaten Garut, meminta
klarifikasi pengunduran diri Wakil Bupati Garut Dicky Chandra dengan
pasangannya, Aceng HM Fikri (Bupati Garut).
Perlu diketahui bahwa Dicky Chandra (wakil Bupati) dan
Aceng HM Fikri (bupati terpilih) telah terpilih secara demokratis dalam
pemilihan bupati dan wakil bupati pada Desember 2009 lalu. Pasangan dianggap
sebagai pendukung dari warga masyarakat sebab mereka merupakan calon dari
kalangan independen yang terpilih setelah melewati dua putaran. Mereka meraup
suara lebih dari 60 persen dan mengungguli pesaingnya Rudi Gunawan dan Oim[20].
Dalam siaran pers oleh Rani Permata (istri Wakil Bupati
Kabupaten Garut Dicky Chandra), mengakui alasan mundur suaminya karena
perbedaan prinsip. Menurut Rani, perbedaan prinsip telah terjadi sejak lama.
“Alasannya beda prinsip. Ibarat suami istri, sang istri sudah sering
mengingatkan suami, tapi tidak pernah digubris. Makanya akhir-akhir ini
terkesan seperti sudah pisah ranjang, kemudian mediasi. Setelah semua langkah
diambil tapi tidak membuahkan hasil, akhirnya ‘cerai’ menjadi satu-satunya
jalan[21],”.
Selain itu, ketidaksinergisan antara wakil bupati dengan bupati berakibat fatal
pada setiap kebijakan yang akan diambil dalam membangun Kabupaten Garut.
Penutup
Peran wakil
sebagai pemimpin negara di Indonesia
belum menunjukan otoritas kekuasaan yang sangat signifikan misalnya kekuasaan
presiden sebagai kepala negara, dan kekuasaan presiden sebagai kepala
pemerintahan. Hal itu membuat peran yang diharapkan akan terlaksana apabila
wakil presiden mendapatkan mandat dari presiden. Pada hal ketika presiden berhalangan
sementara atau berada di luar negeri maka segala kekuasaan yang melekat didalam
diri seorang presiden dimandatkan kepada wakil presiden. Misalnya dalam
melakukan pembahasan rancangan UU dengan DPR atau melakukan kebijakan keluar
secara institusional lembaga kepresidenan selalu dibatasi. Tentu ini menunjukan
bahwa kewenangan wakil tidak sekuat apa yang ditetapkan pada dirinya sebagai
seorang presiden yang dipilih dalam satu pasangan antara presiden dan wakil
presiden.
Hal itu
terukur hingga ke daerah-daerah misalnya gubernur dengan wakilnya dan bupati
atau walikota dengan wakilnya. Semua mengalami posisi yang sama sekalipun dalam
regulasi aturan telah disebutkan secara jelas bahwa kewenangan kepala daerah
dan wakil kepala daerah dibagi secara merata sehingga tidak menimbulkan
berbagai persoalan dalam kinerjanya. Namun yang lebih urgen adalah posisi
kepala daerah telah dipilih secara langsung oleh rakyat dan pola
pertanggungjawabannya pun dikembalikan kepada rakyat yang memilihnya sehingga
tidak sedikitpun daerah yang bebas dari persoalan hubungan antara kepala daerah
dengan wakil kepala daerah (gubernur dengan wakil gubernur dan bupati dengan
wakil bupati atau walikota dengan wakil walikota).
Menarik lagi
dengan menteri dibantu oleh wakil menteri yang kemudian kedua-duanya harus
bertanggung jawab kepada presiden, maka besar kemungkinan kedekatan menteri
dengan wakilnya apabila tidak seimbang maka secara diam-diam bisa dijatuhkan
melalui lobi-lobi kepada presiden sebagai pemegang otoritas kekuasaan dalam hal
mengangkat dan memberhentikan seorang menteri dan atau seorang wakil menteri.
Tetapi lain halnya Sekretaris
Jenderal (Sekjen), Ispektur Jenderal (Irjen) dan Direktur Jenderal (Dirjen), mereka adalah jabatan
karir dan permanen tidak dapat dibubarkan oleh siapapun dalam kementerian itu.
Referensi
Asshiddiqie, Jimly, 2006, Sengketa
Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Konstitusi Perss, Jakarta .
David H. Rosenblom
dan Deborah D. Goldman J.D, Public Administration: Understanding
Management, Politics and Law in the Public Sector, Random House, New
York, 1986.
Harmon, Micahel
M.dan Richard T. Mayer. 1986. Organization Theory for Public
Administration. Boston: Little, Brown and Company.
Henry, Nicholas. 1992.
Public
Administration and Public Affairs (Fifth Edition). New Jersey:
Englewood Cliffs.
Keban, Yeremias T. 2004. Enam Dimensi Strategis
Administrasi Publik: Konsep, Teori dan Isu. Yogyakarta: Gava Media.
Konig, Klaus. 1982. “Administrative Sciences and
Administrative Reforms”. Strategies for Administrative Reform.
Edited By: Gerald E. Caiden dan Heinrich Sledentopf,. Lexington:
LexingtonBooks.
Kumorotomo, Wahyudi.
2005. Akuntabilitas Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Robbins, Stephen
P. 1994. Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Fungsi. Jakarta: Arcan.
Tutik, Triwulan, Titik,
2008, Hukum Tata Negara Indonesia
Pascaamandemen UUD 1945, Pulisher, Jakarta .
Thoha, Miftah.
2008. “Reformasi Birokrasi Pemerintah”. Makalah yang disampaikan pada
Konfrensi Administrasi Negara di FISIPOL-UGM, 29 Juni 2008.
UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945
UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 12 Tahun
2009 Tentang Pemerintahan Daerah.
UU No. 39 Tahun
2008 tentang Kementerian Negara.
Perpres No. 47 Tahun 2009
tentang Pembentukan dan Pengangkatan Menteri
Kompas, tentang Dichy
Mengundurkan diri sebagai Wakil Bupati. Tanggal 5 September 2011
[1] http.www.artikata.com
[2] Robbins, Stephen P. 1994.
Teori Organisasi: Struktur, Desain dan
Fungsi. Jakarta: Arcan
[3] Panji Anogara, Page 23
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Jimly Asshiddiqie, 2006, Sengketa Kewenangan Konstitusional
Lembaga Negara, Konstitusi Press, Jakarta ,
hal,72.
[7] Titik T. Tutik, 2008, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia
Pascaamandemen UUD 1945, Penerbit Cerdas Pustaka Publisher, hal.244.
[8] Ibnu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia , Jakarta :
Rineka Cipta, hal:58-59
[9] Jimly Asshiddiqie, Op.Cit, hal. 73.
[11] Konsep organisasi publik yang miskin
struktur tetapi kaya fungsi ini digagas oleh Wahyudi Kumorotomo. Lebih
jelasnya, baca Wahyudi Kumorotomo, Akuntabilitas
Birokrasi Publik di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.
[12] Miftah Thoha, “Reformasi Birokrasi Pemerintah”, Makalah yang disampaikan pada Konfrensi
Administrasi Negara di FISIPOL-UGM, 29 Juni 2008, halaman 1.
[13] Klaus Konig, “Administrative Sciences and
Administrative Reforms”, Strategies for
Administrative Reform, Edited By: Gerald E. Caiden dan Heinrich Sledentopf,
LexingtonBooks, Lexington, 1982, halaman 20.
[14] Pasal
24 UU No. 32/2004 tentang Pemda
[15] Ketentuan Pasal 26 ayat (2) dan (3) UU No. 32/2004.
[16] Ketentuan Pasal 27 UU No. 32/2004
[17] Jimly Asshiddqie, Sengketa
kewenangan Lemabaga Negara, Op.Cit. hal. 80.
[18] Ibid
[19] Kompas, 20 Oktober 2011.hal.1
[20] Kompas, Tanggal 5 September 2011, hal. 1
[21] Pandangan istri Dicky saat dikonfirmasi melalui Media Kompas, Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar