Jumat, 11 Oktober 2013

URGENSI KEPEMIMPINAN NEGARA OLEH WAKIL

URGENSI KEPEMIMPINAN NEGARA OLEH WAKIL
(Kajian Hukum Tata Negara Terhadap Peran Wakil Presiden, Wakil Menteri, Wakil Gubernur, Wakil Bupati dan Wakil Walikota Di Indonesia)

Oleh :
Melkianus E. N. Benu,SH.,M.Hum.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang, 2011

Abstract
Leadership by the deputy recognized the constitutional structure of state administration in Indonesia, but the realization is always constrained by the holder of power as the President, Ministers, Governors, Regents and / or the mayor. So do not be surprised if in future periods subsequent leadership position of vice must compete for sympathy from supporters to gain status as a major leader. Of course leader mentioned here is the position of leader who gained legitimacy directly from the people or the main support for the leadership positions that are politically.
Representatives should have the same authority that is not representative because they are just different but similar mention of the role, so that if necessary to limit the indirect pattern of such leadership is not feasible as a replacement that is not representative sesewaktu no. Possibilities such as a deputy representative, instead of replacing, as the maid who helped, as a companion who accompanied the president, and as vice that is independent. It's a role that should be applied starting from the president, ministers, governors, regents and mayors.
It should be understood that the president, governors and district heads and mayors of all representatives elected by the people in which one partner must each individually separated but are in a union leader who can act just like the power authority. Real case is that Dicky Candra Garut Regent who has not requested to resign from the vice-regent due to the absence of a balanced distribution of workload between the regent with his deputy.

Keywords: Staat, Leadership, Deputy

Pendahuluan
Secara hukum, negara dalam penyelenggaraannya harus ada pemimpin. Setiap pemimpin pasti ada pembantunya baik secara individu atau orang perorangan maupun secara organis. Hiruk-pikuk tentang posisi wakil atau pembantu sering mengalami persoalan secara politis, namun hal itu dianggap sebagai sesuatu yang tidak terlalu dipersoalkan karena biasanya wakil sering identik dengan pembantu, dan pembantu tidak bisa bertindak lebih dari pemimpin atau apabila yang memegang kendali telah membatasinya. Misalnya oleh presiden maka wakil tidak bisa bertindak lagi, atau di daerah ada wakil gubernur dan wakil gubernur dan bupati serta walikota tentu sama.
Posisi wakil dapat dipahami dalam dua kategori yakni pertama secara umum, yakni posisi wakil sebagai penerima mandat secara tidak langsung oleh pemegang kedaulatan atau kekuasaan dalam negara. Misalnya rakyat memberi mandat kepada wakilnya untuk melaksanakan fungsi-fungsi kenegaraan seperti parlemen yakni fungsi legislative dan presiden dan kepala daerah kabupaten/kota menjalankan fungsi eksekutif. Kedua, wakil dipahaminya secara khusus, datang dari pimpinan pemegang otoritas kekuasaan itu sendiri yakni ada wakil presiden, wakil gubernur, wakil bupati dan wakil walikota.
Keberadaan posisi wakil yang harus mencerminkan kerelaan hati mengikuti pemegang otoritas kekuasaan seperti presiden, gubernur, bupati, dan walikota, menunjukan bahwa  tidak sedikitpun masalah yang harus dihadapi misalnya menjelang habis masa jabatan posisi itu harus diupayakan untuk mencari dukungan untuk dapat kembali dipercaya baik untuk tetap menjadi wakil maupun bergeser untuk mendapat pemegang otoritas itu sendiri. Tidak heran apabila saling menjatuhkan atau mencari celah dari hiruk-pikuk masa sebelumnya masih menjabat sebagai wakil dan ingin untuk tidak menjadi wakil lagi. Tentunya untuk menjadi pemegang otoritas kekuasaan itu sebagaimana diuraikan diatas.
Konsepsi tentang Wakil sebagai Pemimpin
Kata “wakil” menurut arti kata[1] adalah
1.      Orang yang dikuasakan menggantikan orang lain, misalnya Paman bertindak sebagai -- ayah dalam persidangan itu;
2.      Orang yang dipilih sebagai utusan negara yakni duta: dia merupakan salah seorang -- Indonesia dalam perebutan Piala Thomas;
3.      Orang yang menguruskan perdagangan untuk orang lain yakni agen: ia sebagai -- tunggal di kotanya;
4.      Jabatan yang kedua setelah yang tersebut di depannya: Ketua;
Kata wakil telah masuk ke dalam kosakata bahasa Indonesia dan memiliki posisi sangat baku, sehingga setiap jabatan strategis mesti ada wakilnya, mulai dari presiden, gubernur, bupati dan/atau walikota, bahkan rakyat sendiri memiliki wakil. Misalnya seorang yang menjadi wakil presiden berarti mesti siap dan memiliki kapasitas tempat bersandar ketika presiden memiliki problem yang berat atau berhalangan melaksanakan tugas. Karena tempat bersandar, maka sosok seorang wakil tidak bisa sembarangan. Memang memiliki perbedaan konotasi ketika kata “wakil” dilekatkan pada Tuhan dan pada jabatan yang diemban manusia[2].
Pemimpin adalah inti dari manajemen. Ini berarti bahwa manajemen akan tercapai tujuannya  jika ada pemimpin. Kepemimpinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin adalah seseorang yang mempunyai keahlian memimpin, mempunyai kemampuan mempengaruhi pendirian/pendapat orang atau sekelompok orang tanpa menanyakan alasan-alasannya. Seorang pemimpin adalah seseorang yang aktif membuat rencana-rencana, mengkoordinasi, melakukan percobaan dan memimpin pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama-sama[3].
Menurut  James A.F Stonen[4], tugas utama seorang pemimpin adalah:
1.    Pemimpin bekerja dengan orang lain : Seorang pemimpin bertanggung jawab untuk bekerja dengan orang lain, salah satu dengan atasannya, staf, teman sekerja atau atasan lain dalam organisasi sebaik orang diluar organisasi. 
2.    Pemimpin adalah tanggung jawab dan mempertanggungjawabkan (akontabilitas) : Seorang pemimpin bertanggungjawab untuk menyusun tugas menjalankan tugas, mengadakan evaluasi, untuk mencapai outcome yang terbaik. Pemimpin bertanggung jawab untuk kesuksesan stafnya tanpa kegagalan.
3.    Pemimpin menyeimbangkan pencapaian tujuan dan prioritas : Proses kepemimpinan dibatasi sumber, jadi pemimpin harus dapat menyusun tugas dengan mendahulukan prioritas. Dalam upaya pencapaian tujuan pemimpin harus dapat mendelegasikan tugas-tugasnya kepada  staf.  Kemudian pemimpin harus dapat mengatur waktu secara efektif,dan menyelesaikan masalah secara efektif.
4.    Pemimpin harus berpikir secara analitis dan konseptual : Seorang pemimpin harus menjadi seorang pemikir yang analitis dan konseptual. Selanjutnya dapat mengidentifikasi masalah dengan akurat. Pemimpin harus dapat menguraikan seluruh pekerjaan menjadi lebih jelas dan kaitannya dengan pekerjaan  lain. 
5.    Manajer adalah seorang mediator : Konflik selalu terjadi pada setiap tim dan organisasi. Oleh karena itu, pemimpin harus dapat menjadi seorang mediator (penengah).
6.    Pemimpin adalah politisi dan diplomat : Seorang pemimpin harus mampu mengajak dan melakukan kompromi. Sebagai seorang diplomat, seorang pemimpin harus dapat mewakili tim atau organisasinya.
7.    Pemimpin membuat keputusan yang sulit : Seorang pemimpin harus dapat memecahkan masalah.
          Menurut Henry Mintzberg[5],  Peran Pemimpin adalah :
1.    Peran hubungan antar perorangan, dalam kasus ini fungsinya sebagai pemimpin yang dicontoh, pembangun tim, pelatih, direktur, mentor konsultasi.
2.    Fungsi Peran informal sebagai monitor, penyebar informasi dan juru bicara.
3.    Peran Pembuat keputusan, berfungsi sebagai pengusaha, penanganan gangguan, sumber alokasi, dan negosiator.
Beberapa definisi kepemimpinan menggambarkan asumsi bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi  orang, baik individu maupun kelompok. Seorang pemimpin adalah seseorang yang aktif membuat rencana-rencana, mengkoordinasi, melakukan percobaan dan memimpin pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama. Karakteristik seorang pemimpin didasarkan pada prinsip-prinsip belajar seumur hidup, berorientasi pada pelayanan dan membawa energi positif.  Tujuan manajemen dapat tercapai bila organisasi memiliki memiliki pemimpin yang handal.
Kajian Terhadap Pengaturan tentang Peran Wakil sebagai Pemimpin Negara di Indonesia
Peran Wakil Presiden sebagai Presiden
Pasal 4 ayat (2) UUD RI Tahun 1945 mengatur bahwa “Dalam melakukan kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 6A ayat (1) ditentukan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Kententuan mengenai satu pasangan ini menunjukan bahwa jabatan presiden dan wakil presiden adalah satu kesatuan pasangan presiden dan wakil presiden. Kedudukannya keduanya adalah dwi-tunggal atau satu kesatuan lembaga kepresidenan[6].
Titik Triwulan Tutik[7], menyatakan bahwa jika presiden meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatan yang telah ditentukan, maka wakil presiden menggunakan kedudukan presiden sampai habis waktunya.  
Kedudukan wakil Presiden dapat saja dipahami bahwa hal-hal yang berkenan dengan kekuasaan tertinggi baik kekuasaan militer dan kekuasaan yudikatif yang dalam kaitannya dengan kekuasaan presiden sebagai Kepala Negara tidak dibicarakan dalam proporsi Wakil Presiden, kecuali bila wapres memang sedang memperoleh haknya, dalam arti presiden meninggal, sakit keras, atau presiden mendeligasikan kewenangan sepanjang tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada dasarnya wakil presiden harus dapat bekerja sama dengan presiden karena wapres bukan merupakan oposisi terhadap presiden. Secara garis besar tugas dan wewenang wapres meliputi[8] :
1.    Membantu presiden dalam melaksanakan tugasnya;
2.    Menggantikan presiden sampai habis waktunya jika presiden meninggal dunia, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatan yang telah ditentukan;
3.    Memperhatikan secara khusus, menampung masalah-masalah yang perlu menyangkut bidang kesejahteraan rakyat; dan
4.    Melakukan pengawasan operasional pembangunan dengan bantuan departemen-departemen, lembaga-lembaga non departemen, dalam hal ini inspektur jenderal dari departemen yang bersangkutan atau deputi pengawas dari lembaga non departemen yang bersangkutan.
Keduanya (presiden dan wakil presiden) sekalipun dalam satu kesatuan sebagai institusi lembaga kepresidenan namun keduanya adalah jabatan konstitusional yang terpisah. Secara organis merupakan suatu dua organ Negara yang berbeda satu sama lain, yaitu dua organ yang tak terpisahkan satu sama lain dan harus dibedakan satu sama lain. Disisi lain, Wakil Presiden menurut ketentuan Pasal 4 ayat (1) jelas merupakan pembantu bagi presiden dalam melakukan kewajiban kepresidenan. Sesuai dengan sebutannya, wakil presiden itu bertindak mewakili presiden dalam hal presiden berhalangan untuk menghadiri kegiatan tertentu atau melakukan sesuatu dalam lingkungan kewajiban konstitusional presiden. Dalam berbagai kesempatan dimana presiden tidak dapat memenuhi kewajiban konstitusionalnya karena sesuatu alasan yang dapat dibenarkan menurut hukum, maka wakil presiden dapat bertindak sebagai pengganti presiden. Sementara itu, dalam berbagai kesempatan yang lain, wakil presiden juga dapat bertindak sebagai pendamping bagi presiden dalam melakukan kewajibannya.
Di samping keempat kemungkinan posisi tersebut, wakil presiden juga mempunyai posisi yang tersendiri sebagai seorang pejabat publik. Setiap warga Negara, kelompok warga Negara, ataupun organisasi masyarakat dapat saja berkomunikasi dan berhubungan langsung dengan wakil presiden. Misalnya, suatu kelompok atau organisasi dalam masyarakat dapat saja mengajukan permohonan agar wakil presiden membuka suatu acara tertentu. Jika wakil presiden memenuhi permohonan semacam itu, maka dapat dikatakan bahwa wakil presiden bertindak atas nama jabatannya sendiri secara mandiri.
Kedudukan seorang wakil presiden juga tidak dapat dipisahkan dengan presiden sebagai suatu kesatuan pasangan jabatan yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Karena itu, kedudukan wakil presiden jauh lebih tinggi dan lebih penting dari jabatan menteri. Meskipun dalam hal melakukan perbuatan pidana, masing-masing presiden dan wakil presiden bertanggung jawab secara sendiri-sendiri sebagai individu (persoon), tetapi dalam rangka pertanggungjawaban politik kepada rakyat, presiden dan wakil presiden adalah satu kesatuan jabatan.
Dengan demikian, oleh Jimly Assddiqie, menyatakan bahwa posisi wakil presiden mempunyai lima kemungkinan sebagai presiden adalah [9]:
1.    Sebagai wakil yang mewakili presiden;
2.    Sebagai pengganti yang menggantikan presiden;
3.    Sebagai pembantu yang membantu presiden;
4.    Sebagai pendamping yang mendampingi presiden; dan
5.    Sebagai wakil presiden yang bersifat mandiri.
Dalam menjalankan kelima posisi tersebut, maka secara konstitusional, presiden dan wakil presiden harus  bertindak sebagai satu kesatuan subjek jabatan institusional kepresidenan. Presiden dan wakil presiden itu, ada dua orang yang menduduki satu kesatuan subjek hukum lembaga kepresidenan.
Dalam melakukan tindakan untuk mendampingi presiden, dan dalam posisi yang bersifat mandiri, wakil presiden tidak memerlukan persetujuan, instruksi, atau penugasan khusus dari presiden. Kecuali oleh presiden atau menurut peraturan yang berlaku, dikehendaki lain, wakil presiden dapat secara bebas menjadi pendamping presiden atau melakukan kegiatannya secara mandiri dalam jabatannya sebagai wakil presiden.
Dalam kapasitas sebagai pembantu presiden, kedudukan wakil presiden seolah mirip dengan menteri negara yang juga bertindak membantu presiden. Tentu saja wakil presiden lebih tinggi dari pada menteri, karena menteri bertanggung jawab kepada presiden dan wakil presiden, sebagai satu kesatuan jabatan. Namun dalam pelaksanaan bantuan ini, yaitu (1) ada bantuan yang diberikan atas dasar inisiatif wakil presiden sendiri; (2) ada bantuan yang diberikan karena diminta oleh presiden; dan (3) adapula bantuan yang yang harus diberikan oleh wakil presiden karena ditetapkan dengan keputusan presiden. Bisanya para tugas-tugas khusus wakil presiden dimasa orde baru memang ditentukan oleh keputusan presiden.
Disamping itu, dalam kedudukannya sebagai yang mewakili (wakil) dan sebagai yang menggantikan (pengganti), terdapat perbedaan mendasar. Untuk dapat mewakili, wakil presiden haruslah mendapat mandat, baik secara langsung, resmi, ataupun tidak langsung atau tidak resmi. Misalnya wakil presiden mendapat mandat melalui disposisi atas surat yang diajukan kepada presiden dimana presiden tidak dapat memenuhi suatu permintaan membuka suatu acara, lalu diwakilkan kepada wakil presiden. Hubungan antara pemberi mandat dan penerima mandat sama sekali tidak mengalihkan kekuasaan kepada penerima mandat. Pemberian mandat itu tidak bersifat mutlak dalam arti dapat saja ditarik kembali oleh pemberi mandat kapan saja ia merasa perlu menarik kembali mandat itu.
Hal itu berbeda dengan kedudukan wakil presiden sebagai pengganti. Penggantian presiden oleh wakil presiden  dilakukan karena dua kemungkinan yakni (1) presiden berhalangan sementara; dan  (2) presiden berhalangan tetap. Jika presiden berhalangan sementara, maka wakil presiden diharuskan menerima kewenangan resmi berupa pendelegesian kewenangan (delegation of authority) sebagai pengganti dengan Keputusan Presiden. Misalnya, presiden bepergian ke luar negeri luar negeri untuk waktu tertentu, maka presiden harus menetapkan Keputusan Presiden menunjuk wakil presiden sebagai pengganti sampai presiden tiba kembali di tanah air. Presiden tidak dapat mencabut Keputusannya apabila syarat ia tiba kembali di tanah air sebelum terpenuhi, misalnya karena sesuatu hal mencabut kembali keputusannya itu dari luar negeri. Selama memegang putusan itu wakil presiden bertindak sebagai presiden pengganti untuk sementara waktu.
Demikian pula apabila presiden berada dalam keadaan berhalangan tetap, maka proses pengalihan kewenangan (transfer of authority) itu bahkan haruslah dilakukan dengan keputusan pihak lain, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), bukan dengan Keputusan Presiden. Bentuk hukum yang dikenal selama ini adalah Ketetapan MPR. Untuk masa mendatang, nomenklatur Ketetapan MPR jika mau, dapat saja tetap dipakai. Sidang paripurna MPR membuat keputusan yang dituangkan menjadi Ketetapan MPR yang ditandatangani oleh Para Pimpinan MPR atas nama seluruh anggota MPR.
Peran Wakil Menteri sebagai Menteri
Landasan hukum kementerian adalah Bab V Pasal 17 UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kementrian Negara. Pasal 17 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa:
1. Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
2. Menteri-menteri itu diangkat dan diperhentikan oleh Presiden.
3. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
4. Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang.
Lebih lanjut, kementerian diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara.
Pembentukan kementerian dilakukan paling lama 14 hari kerja sejak presiden mengucapkan sumpah/janji. Urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD 194 harus dibentuk dalam satu kementerian tersendiri. Untuk kepentingan sinkronisasi dan koordinasi urusan kementerian, presiden juga dapat membentuk kementerian koordinasi. Jumlah seluruh kementerian maksimal 34 kementerian.
Kementerian yang membidangi urusan pemerintahan selain yang nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD 1945 dapat diubah oleh presiden. Pemisahan, penggabungan, dan pembubaran kementerian tersebut dilakukan dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kecuali untuk pembubaran kementerian yang menangani urusan agama, hukum, keamanan, dan keuangan harus dengan persetujuan DPR.
Setiap kementerian membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Berdasarkan Perpres No. 47 Tahun 2009, kementerian-kementerian tersebut adalah:
1.      Kementerian yang menangani urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD 1945, terdiri atas:
2.      Kementerian yang menangani urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD 1945, terdiri atas:
m)  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebelumnya bernama Kementerian Pendidikan Nasional
p)   Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, sebelumnya bernama Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
3.      Kementerian yang menangani urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah, terdiri atas:
Selain kementerian yang menangani urusan pemerintahan di atas, ada juga kementerian koordinator yang bertugas melakukan sinkronisasi dan koordinasi urusan kementerian-kementerian yang berada di dalam lingkup tugasnya. Kementerian koordinator, terdiri atas:
Susunan Organisasi kementerian negara Indonesia digabungkan. Kementerian dipimpin oleh menteri yang tergabung dalam sebuah kabinet. Presiden juga dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu apabila terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus.

Susunan organisasi kementerian adalah sebagai berikut:

1.      Kementerian yang menangani urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya dan/atau ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD 1945
a)    Pemimpin: Menteri
b)   Pembantu pemimpin: Sekretariat jenderal
c)    Pelaksana: Direktorat jenderal
d)   Pengawas: Inspektorat jenderal
e)    Pendukung: Badan dan/atau pusat
f)     Pelaksana tugas pokok di daerah (untuk kementerian yang menangani urusan dalam negeri, luar negeri, pertahanan, agama, hukum, keamanan, dan keuangan) dan/atau perwakilan luar negeri
2.      Kementerian yang menangani urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah
a)    Pemimpin: Menteri
b)   Pembantu pemimpin: Sekretariat kementerian
c)    Pelaksana: Deputi kementerian
d)   Pengawas: Inspektorat kementerian
3.      Kementerian koordinator
a)    Pemimpin: Menteri koordinator
b)   Pembantu pemimpin: Sekretariat kementerian koordinator
c)    Pelaksana: Deputi kementerian koordinator
d)   Pengawas: Inspektorat
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, jabatan menteri adalah jabatan yang bersifat politis. Dengan kata lain, menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden sesuai dengan kebijakan politik presiden. Menteri melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan visi dan misi yang diusung oleh presiden serta bertanggung-jawab penuh kepada presiden. Menteri memimpin lembaga departemen dan non-departemen sesuai dengan nomenklatur yang disusun oleh presiden. Lembaga kementerian dibuat untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Contoh tugas pemerintah di bidang hubungan luar negeri diemban oleh Kementerian Luar Negeri. Kementerian negara departemen dilengkapi dengan struktur organisasi yang pada umumnya terdiri dari Sekretaris Jenderal (Sekjen), Direktorat Jenderal (Dirjen), Inspektur Jenderal (Itjen) dan Badan[10]. Sedangkan kementerian negara non-departemen memiliki Sekretaris, Inspektorat dan Deputi.
Wakil Menteri adalah pejabat yang mewakili (menteri) pada (Kementerian) tertentu yang diangkat oleh (presiden) dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus. Struktur organisasi yang ada sebelumnya dianggap belum mencukupi dan belum mampu mengcover semua tugas-tugas kementerian negara, sehingga pemerintah mengangkat jabatan wakil menteri. Beberapa waktu yang lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melantik beberapa pejabat negara sebagai wakil menteri. Adapun pejabat-pejabat yang diangkat sebagai wakil menteri tersebut adalah:
Tabel 1. Daftar Wakil Menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid 2
No
Jabatan Wakil Menteri
Nama Menteri
Priode Pengangkatan
1
Wakil Menteri Pertanian
Dr. Bayu Krisnamurti
2009
2
Wakil menteri perindustrian
Dr. Alex Retra Ubun
2009
3
Wakil menteri perdagangan
Dr. Mahendra Siregar
2009
4
Wakil menteri Pekerjaan Umum
Dr. Hermanto Dardak
2009
5
Wakil menteri perhubungan
Dr. Bambang Susantono
2009
6
Wakil menteri luar negeri
Triyono Wibowo, SH
2009
7
Wakil menteri pertahanan
Sjafrie Sjamsoeddin
2009
8
Wakil menteri pendidikan
Prof. Dr. Fasli Jalal
2009
9
Wakil menteri keuangan
Anny Ratnawati
2009
10
Wakil Menteri Pertanian
Rusman Heriawan
2011
11
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan
Wiendu Nurianti
2011
12
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasional Bidang Pendidikan
Musliar Kasim
2011
13
Wakil Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi
Eko Prasodjo
2011
14
Wakil Menteri Keuangan
Mahendra Siregar
2011
15
Wakil Menteri Perdagangan
Bayu Krisnamurthi
2011
16
Wakil Menteri BUMN
Mahmuddin Yasin
2011
17
Wakil Menteri Kesehatan
Ali Gufron Mukti
2011
18
Wakil Menteri Luar Negeri
Wardana
2011
19
Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Sapta Nirwandar
2011
20
Wakil Menteri ESDM
Widjajono Partowidagdo
2011
21
Wakil Menteri Agama
Nasaruddin Umar
2011
22
Wakil Menteri Hukum dan HAM
Denny Indrayana
2011
Sumber: Diambil dari berbagai sumber
Logika berpikir yang digunakan dalam mengangkat jabatan wakil menteri tersebut adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan fungsi-fungsi kementerian negara. Sebelumnya, Indonesia tidak pernah mengenal adanya jabatan wakil menteri, jabatan tertinggi pada kementerian negara dipegang oleh menteri sebagai pembantu presiden. Namun, mengikuti perkembangan zaman dan kompleksitas fungsi-fungsi kementerian sehingga dirasa perlu untuk mengangkat wakil menteri yang bertugas membantu menteri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Wakil menteri diberikan kewenangan untuk membantu tugas-tugas kepemimpinan menteri, termasuk mewakili menteri dalam sidang-sidang kabinet jika menteri berhalangan, juga menghadiri sidang-sidang setingkat menteri di diberbagai forum. Namun, wakil menteri tidak memiliki hak suara dalam sidang-sidang kabinet dan tidak berwenang mengambil keputusan dalam berbagai forum.
Penulis selain menguraikan peran dari wakil menteri dan juga bertujuan untuk menganalisis arti penting jabatan wakil menteri, apakah perlu diangkat seorang wakil menteri untuk membantu menteri dalam menjalankan tugas dan fungsi kementerian negara? Lebih jauh tulisan ini akan menguraikan kaitan antara pengangkatan jabatan wakil menteri dengan reformasi birokrasi yang digagas oleh pemerintahan SBY jilid kedua, apakah pengisian jabatan wakil menteri tersebut sudah sesuai dengan semangat reformasi birokrasi atau justeru kebalikannya dan apa implikasi dari jabatan wakil menteri yang dilantik oleh pemerintahan SBY? Kerangka berpikir yang coba dibangun adalah reformasi birokrasi pada kementerian negara bukan hanya terbatas pada komposisi dan hubungan antarkementerian negara, melainkan juga harus dilihat dari aspek komposisi internal struktur organisasi kementerian negara.
          Sebelum adanya jabatan wakil menteri, secara umum struktur kementerian negara terdiri dari Sekjen, Irjen dan Dirjen. Dalam menjalankan tugasnya menteri juga dibantu oleh staf ahli. Jumlah Sekjen dan Irjen pada setiap kementerian hanya satu unit, sedangkan besaran Dirjen tergantung pada kompleksitas tugas dan fungsi masing-masing kementerian. Sekjen adalah unit organisasi yang mengurus urusan rumah-tangga kementerian, sedangkan Irjen berfungsi sebagai supervisi yang mengawasi semua unit organisasi, termasuk menteri. Pelaksanaan tugas-tugas teknis dan administratif kementerian dijalankan oleh Dirjen. Misalnya, pada Kementerian Pendidikan Nasional, urusan perguruan tinggi dilaksanakan oleh Dirjen Pendidikan Tinggi. Sementara itu, jabatan staf ahli dipegang oleh para pakar yang menguasai bidang tertentu dan bertugas memberikan masukan dan analisis kepada menteri.
Menteri
Direktur Jenderal
Sekretaris Jenderal
Inspektur Jenderal

Staf Ahli
Gambar 1. Struktur Organisasi Kementerian Secara Umum







Sejak jabatan wakil menteri dibentuk, secara otomatis struktur organisasi kementerian menjadi bertambah. Pertambahan struktur organisasi ini berimplikasi pada struktur organisasi secara keseluruhan. Melihat kepada tugas, fungsi dan kewenangannya maka jabatan wakil menteri merupakan jabatan struktural yang berada satu tingkat di bawah menteri, tetapi berada satu level di atas staf ahli. Berikut ini gambar susunan organisasi kementerian pascadibentuknya jabatan wakil menteri.
Gambar 2. Struktur Organisasi Kementerian
Pascadibentuknya Jabatan Wakil Menteri
Menteri
Wakil Menteri
Staf Ahli
Direktur Jenderal
Inspektur Jenderal

Sekretaris Jenderal
 








Gambar 3. Struktur Organisasi Kementerian Luar Negeri
Menteri Luar Negeri
Wakil Menteri
Staf Ahli:
- Bidang Politik, Hukum, Keamanan
- Bidang Ekonomi, Sosial, Budaya
- Bidang Hubungan Kelembagaan
- Bidang Manajemen
Inspektur Jenderal

Sekretaris Jenderal
Direktur Jenderal
Amerika dan Eropa
Direktur Jenderal
Multilateral
Direktur Jenderal
Kerjasama ASEAN
Direktur Jenderal
Asia Pasifik dan Afrika
Direktur Jenderal
Protokol dan Konsuler
Direktur Jenderal
Hukum dan Perjanjian Internasional
Direktur Jenderal
Informasi dan Diplomasi Publik
 














Dari struktur tersebut dapat dipahami bahwa terdapat penambahan satu nomenklatur pada kementerian negara sejak dibentuknya jabatan wakil menteri. Secara teoritis hal ini akan berdampak kepada struktur organisasi kementerian secara keseluruhan. Bertambahnya unit organisasi berarti bertambah pula sumber daya manusia, jabatan, anggaran dan fasilitas serta sarana dan prasarana. Jelas ini menjadi beban bagi organisasi. Apabila struktur yang baru dibentuk tersebut memiliki fungsi yang sangat urgent maka tidak akan ada persoalan. Namun, jika unit organisasi yang baru dibentuk kurang memiliki relevansi dan urgensitas peranan maka akan menjadi beban yang akan menyedot anggaran organisasi.
Menurut pendapat penulis, pengangkatan jabatan wakil menteri kurang memikirkan aspek kompleksitas struktur organisasi. Banyak pihak yag sudah mahfum bahwa jumlah kementerian KIB jilid 2 terlalu gemuk dan tambun. 35 kementerian negara dinilai terlalu tambun dan gemuk. Seharusnya, struktur organisasi KIB jilid 2 bisa lebih ramping dari itu. Wakil menteri adalah jabatan struktural tertinggi di Indonesia dengan grade eselon 1. Dulu jabatan eselon 1 ini dipegang oleh Sekjen, Irjen dan Dirjen. Dengan bertambahnya jabatan wakil menteri maka pada setiap akan bertambah satu pos jabatan lagi pada organisasi kementerian. Pada titik ini, semakin kuatlah stigma bahwa KIB memang tambun dan gemuk. Pemerintah tidak memiliki sensitivitas bagi pembentukan struktur organisasi yang ramping tetapi efektif.
Dalam penyusunan struktur organisasi, aspek kompleksitas seharusnya menjadi perhatian para manejer di sektor publik karena organisasi publik adalah milik publik yang dibiayai dengan uang publik. Dewasa ini berkembang tuntutan untuk menyusun organisasi publik yang miskin struktur kaya fungsi.[11] Dalam pembentukan jabatan wakil menteri, aspek kompleksitas struktur dan fungsi kurang menjadi landasan utama sehingga terjadi pembengkakan struktur organisasi. Lebih jauh, hal ini akan membebani anggaran negara karena negara dipaksa menambah dana untuk memenuhi kebutuhan jabatan wakil menteri. Dalam kacamata awam, bertambahnya jabatan berarti bertambah mobil dinas, rumah dinas, jabatan, tunjangan, sarana dan prasarana lainnya.
Pembentukan jabatan wakil menteri jelas bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi yang menjadi visi dan misi pemerintahan SBY. Pembentukan jabatan wakil menteri juga dapat menimbulkan rasa ketidakadilan terhadap pemerintah daerah, karena di tengah upaya pemerintah pusat merampingkan struktur organisasi pemerintah daerah dengan mengesahkan PP No. 41 Tahun 2007, tetapi pemerintah pusat menambah struktur organisasi baru di kementerian. Dalam pandangan Thoha, pemerintah masih setengah hati dalam melakukan reformasi birokrasi karena proses reformasi yang dijalankan masih parsial. Menurut Thoha bahwa seharusnya lembaga birokrasi pemerintah menurut penjelasan dari pemerintah telah banyak mengalami perubahan, akan tetapi secara strategis belum banyak dilakukan reformasi yang menyeluruh. Selain itu, rancang bangun (grand design) reformasi birokrasi pemerintah belum ada. Sehingga yang nampak adalah reformasi yang tidak ada sambungannya satu reformasi dengan reformasi yang lain dalam birokrasi pemerintah. Sebagai contoh reformasi pelayanan publik antara satu departemen dengan departemen lain tidak ada sambungannya, demikian pula antara pemerintah daerah yang satu dengan yang lain tidak ada kaitannya. Sehingga ada daerah yang sudah baik pelayanannya tetapi pemerintah daerah lain tidak ada perubahan. Ini menunjukkan pelaksnaan reformasi yang tidak menyeluruh.[12]
Reformasi birokrasi adalah proses perubahan pada seluruh dimensi organisasi birokrasi pemerintah. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan terhadap aspek struktur dan kultur organisasi. Konig mengungkapkan bahwa reformasi administrasi tidak hanya diarahkan pada penyederhanaan prosedur administratif, tetapi juga merombak sistem secara keseluruhan, meyediakan perangkat hukum dan memperbaiki struktur serta mengubah perilaku birokrat yang kontraproduktif dengan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien.[13]  Dari segi struktur pemerintah harus melakukan reassesment terhadap struktur dan tata kerja organisasi pemerintah. Apakah struktur tersebut sudah sesuai dengan tugas dan fungsinya atau tidak adalah pertanyaan kunci yang harus dijawab pada aspek ini. Selain itu, perubahan pada budaya kerja atau kultur organisasi mutlak dilakukan untuk meningkatkan efektivitas dan responsivitas organisasi pemerintah. Budaya-budaya ‘Asal Bos Senang’, korup, tidak cepat tanggap terhadap perubahan dan lainnya harus dirubah dengan budaya kerja yang berorientasi hasil dan responsif terhadap kebutuhan publik.
Dilihat dari segi kewenangannya, jabatan wakil menteri bukanlah jabatan yang strategis. Wakil menteri hanya berhak mewakili menteri dan tidak punyak hak mengambil keputusan serta hak suara dalam sidang-sidang kabinet. Wakil menteri adalah subordinasi menteri karena kewenangan utama tetap berada di tangan menteri. Wakil menteri merupakan jabatan birokrasi tertinggi di Indonesia, tetapi tidak memiliki kewenangan untuk membuat keputusan tanpa persetujuan menteri. Fenomena ini semakin menguatkan tendensi dikotomi politik-birokrasi di Indonesia. Jika pemerintah benar-benar ingin mengefektifkan kementerian negara dengan membentuk jabatan wakil menteri seharusnya wakil menteri juga diberi kewenangan untuk mengambil keputusan. Namun, kewenangan ini tetap dipegang oleh menteri karena pembantu presiden yang bertugas mengejawantahkan kebijakan politik presiden adalah menteri bukan wakil menteri. Akibatnya, wakil menteri hanya  menjadi “ban serap” menteri yang mengkilap.
Fenomena pengangkatan jabatan wakil menteri dapat menimbulkan impikasi politik dan kebijakan dimana presiden dapat menambah lagi jabatan wakil menteri pada kementerian yang lain. Menteri-menteri yang lain bisa ikut-ikutan meminta kepada presiden untuk membentuk jabatan wakil menteri pada kementeriannya. Akhirnya, struktur kementerian negara menjadi semakin tambun karena setiap kementerian bisa memiliki jabatan wakil menteri.
Dengan fungsinya terbatas, jabatan wakil menteri jelas tidak akan meningkatkan efektifitas kinerja organisasi kementerian. Jabatan wakil menteri hanya menambah beban keuangan negara, tetapi tidak memiliki fungsi dan peranan yang signifikan. Untuk menjalankan peran mewakili menteri dalam sidang-sidang kabinet dan pada forum-forum regional dan internasional, tidak perlu dibentuk jabatan wakil menteri. Presiden dapat menambahkan fungsi tersebut kepada Sekjen, Dirjen dan Irjen. Jabatan wakil menteri baru dibentuk jika fungsi-fungsi baru tidak bisa dilimpahkan kepada unit internal organisasi kementerian.
Presiden SBY menunjuk 13 wakil menteri baru. Pengangkatan wakil menteri ini berdasarkan beban tegas yang harus dicapai sebuah kementerian sehingga wakil menteri ini tidak permanen, bisa diadakan dan bisa ditiadakan. Presiden SBY juga menegaskan bahwa status dari wakil menteri baru yang diangkatnya di sejumlah kementerian. Terlebih lagi dalam kaitannya dengan fasiltas wamen dan anggaran yang dikeluarkan untuk mereka. Fasilitasnya (wakil menteri) tidak sama dengan fasilitas menteri. Mereka mendapatkan fasilitas setara dengan eselon 1A sehingga dipastikan tidak ada pembengkakan biaya.
Wakil menteri yang ditetapkan nantinya menjadi bagian dari penetapan kebijakan atau policy making yang dibuat menteri. Sesuai UU No. 39 Tahun 2009, wakil menteri merupakan pejabat karir atau PNS. Tak ada perbedaan wakil menteri dengan wakil-wakil lainnya dalam struktur birokrasi di Indonesia seperti wakil presiden, wakil ketua MPR, wakil ketua DPR, hingga wakil bupati. Sehingga, tidak ada istilah matahari kembar.
Penambahan wakil menteri ini berdasarkan pada urgensi dan keperluannya sehingga bisa diadakan ataupun ditiadakan. wakil menteri pun bukan bagian dari Kabinet. Presiden mengatakan jumlah menteri atau anggota Kabinet masih tetap yakni 34 menteri. Dengan begitu, ia menolak jika ada istilah penambahan atau penggemukan Kabinet Indonesia Bersatu II. Sehingga pengangkatan 13 Wakil Menteri yang baru ini apakah merupakan hoki (keberuntungan) bagi Presiden SBY ataukah kesialanan karena sebagian orang menganggap angka 13 adalah angka sial.
Pemerintahan presiden SBY sebaiknya mengevaluasi kinerja wakil menteri yang telah dilantik. Pemerintah juga meninjau kembali kebijakan pengangkatan wakil menteri. Jabatan wakil menteri belum memiliki signifikansi tugas dan kewenangan bagi peningkatan efektivitas dan efisiensi organisasi kementerian, sehingga belum tepat untuk diterapkan. Dalam perspektif reformasi birokrasi, pengangkatan jabatan wakil menteri hanya menciderai semangat reformasi birokrasi karena menambah beban negara akibat tambunnya organisasi pemerintah.
Pasal 10 UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menyebutkan bahwa  ”Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu”.  Tentunya bahwa ketentuan tersebut secara tidak langsung menyebutkan bahwa apabila beban kerja yang dibidangi oleh kementerian itu tidak membutuhkan suatu penanganan khusus maka presiden tidak harus mengangkat wakil menteri lagi.
Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa ”Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”
Peran Wakil Gubernur, wakil bupati/wakil walikota masing-masing sebagai gubernur, bupati/Walikota dalam menjalankan tugas sebagai kepala daerah propinsi dan kepala daerah kabupaten/Kota di Indonesia
Pasal 24 ayat (1) dan (3) UU No. 32/2004, menyebutkan bahwa setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut kepala daerah, yang dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah. Lebih lanjut Wakil  kepala daerah tersebut dapat dibagi untuk provinsi disebut wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut wakil bupati dan untuk kota disebut wakil walikota. Kepala daerah dan wakil  kepala daerah yang disebut tersebut dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.
Kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang[14]:
1.    Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
2.    Mengajukan rancangan Perda;
3.    Menetapkan Perda yang telah mendapat  persetujuan bersama DPRD;
4.    Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
5.    Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
6.    Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
7.    Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan untuk wakil kepala daerah diberikan uraian tugas, bila dibandingkan dengan wakil-wakil pemipin yang lain. Pasal 26 ayat (1) UU No. 32/2004 menyebutkan bahwa wakil  kepala daerah mempunyai tugas:
1.    Membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah;
2.    Membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup;
3.    Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota bagi wakil kepala daerah provinsi;
4.    Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota;
5.    Memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah;
6.    Melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh  kepala daerah; dan
7.    Melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan.
Penyebutan kepala daerah menunjukan kepada gubernur untuk daerah propinsi dan bupati/walikota untuk daerah kabupaten/kota. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana diuraikan dalam ketentuan diatas, wakil  kepala daerah bertanggung jawab kepada  kepala daerah. Selanjutnya wakil kepala daerah menggantikan kepala daerah sampai habis masa jabatannya apabila kepala daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya[15].
Adapun kewajiban dari kepala daerah dan wakil kepala daerah[16] adalah:
1.    Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2.    Meningkatkan kesejahteraan rakyat;
3.    Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
4.    Melaksanakan kehidupan demokrasi;
5.    Menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan;
6.    Menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
7.    Memajukan dan  mengembangkan daya saing daerah;
8.    Melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik;
9.    Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah;
10. Menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah;
11. Menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRD.
Selain mempunyai tugas dan kewajiban seperti diuraikan diatas, kepala daerah mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat. Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah tersebut disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur, dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk Bupati/Walikota 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

Urgensi Peran Wakil dan Penyerahan kekuasaan antara Pemimpin (pemegang otoritas kekuasaan) dengan wakilnya dalam pembagian kerja di Indonesia
Pengalaman pola kepemimpinan oleh wakil di Indonesia baik dari pusat hingga ke daerah, menunjukan bahwa peran wakil tidak seperti pemimpin, pada hal proses penentuannya untuk mendapat jabatan tersebut sama dengan ketua/peminpim utama. Bahkan dibatasi kewenangannya untuk tidak bertindak seperti presiden sekalipun telah ada mandat dari presiden untuk wakil presiden menjalankan tugas kenegaraannya sama dengan presiden.  
Setiap organ negara atau alat perlengkapan negara tentu digerakan oleh seorang pemimpin dan dibantu oleh satu atau beberapa orang. Organ negara atau alat perlengkapan negara itu ada yang jabatan politik dan jabatan birokrasi. Pergerakan organ negara atau alat perlengkapan negara pun tidak terhindarkan dari berbagai masalah. Apabila jabatan itu cara pengisiannya secara politik maka masalah kepentingan pribadi dan kelompok sangat dominan sehingga Yang menjadi masalah sekarang adalah, bagamana jika presiden telah menetapkan suatu keputusan presiden bahwa selama mengadakan perjalanan keluar negeri, wakil presiden bertindak sebagai presiden sampai presiden kembali ke tanah air. Apakah selama berada di luar negeri, seorang presiden dapat bertindak sebagai presiden dalam urusan-urusan di dalam negeri? Misalnya, dapatkah presiden memimpin sidang cabinet dengan memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi berupa fasilitas teleconference seolah-olah presiden sama sekali tidak berhalangan sementara bagaimana yang telah ditetapkannya sendiri. Sebaiknya, meskipun wakil presiden secara resmi   mendapat pendelegasian kewenangan berdasarkan Keputusan Presiden untuk bertindak sebagai presiden selama presiden berhalangan sementara, apakah dengan begitu wakil presiden dapat bertindak seolah-olah sebagai presiden sungguhan, sehingga dengan demikian dapat menetapkan keputusan-keputusan kenegaraan yang menjadi kewenangan penuh seorang presiden.
Khusus untuk wakil presiden apabila terjadi ketidakharminisan antara presiden dengan wakilnya biasanya timbul pembatasan dalam hal pemebrian mandat sehingga presiden tidak gampang memberikan seluruh kewenangannya kepada wakil presiden. Hal itu disebutkan secara gambling oleh Jimly Assiddiqie[17], yakni beliau menyebutkan bahwa terdapat sejumlah faktor atas terjadinya ketidakpercayaan antara presiden dengan wakil (pengalaman Presiden SBY dengan JK) adalah sebagai berikut  
1.    Faktor   status hukum dari kegiatan teleconference itu sendiri;
2.    Faktor kualitas keharmonisan hubungan kerja dan pembagian tugas di antara presiden dan wakil presiden yang merupakan masalah internal di antara mereka berdua;
3.    Faktor penyelenggaraan teleconference yang tertutup atau terbuka;
4.    Faktor ketidaklaziman dalam penyelenggaraan kegiatan kenegaraan dengan teleconference semacam itu;
5.    Faktor krisis ekonomi yang menuntut penghematan versus biaya teleconference yang tidak sedikit dan kesan penyelenggaraan yang berlebihan karena diadakannya berkali-kali, pada hal seharusnya presiden berkonsentrasi menghadapi tugas-tugas di luar negeri. 
Jika teleconference (a) sama sekali bukan kegiatan sidang kabinet resmi; (b) diadakan tertutup bukan untuk konsumsi public; dan (c) tidak ada masalah dalam hubungan antara presiden dengan wakil presiden, maka sudah tentu manfaat diadakannya teleconference tersebut tentu akan lebih menonjol daripada mudhoratnya[18].
Akan tetapi, jika ketiga hal tersebut tidak demikian maka dari peristiwa itu mudah timbul kesimpulan mengenai adanya masalah serius dalam hubungan diantara keduanya. Penyelenggaraan kegiatan yang melawan arus harapan umum mengenai penghematan biaya-biaya da memberikan sinyal negatif seolah memang ada masalah dalam hubungan di antara presiden dengan wakil presiden sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian politik, menyebabkan kreativitas penyelenggaraan teleconference tidak cukup beralasan untuk mengabaikan sama sekali adanya kelaziman ketatanegaraan dimana presiden pergi ke luar negeri karena alasan berhalangan sementara. Jika jika presiden berhalangan sementara, maka wakil presidenlah yang tampil menjadi penggantinya untuk sementara waktu untuk bertindak dalam menjalankan tugas-tugas tugas presiden di dalam negeri. Mengenai apa saja yang akan diputuskan atau ditetapkan oleh wakil presiden sebagai pengganti sementara presiden selama presiden berhalangan sementara, terpulang kepada fatsoen dan kesepakatan pembagian tugas serta keharmonisan hubungan di antara mereka berdua.
Selain itu, lebih menghebohkan lagi kalau seorang wakil dapat bertindak sama seperti ketua atau pemimpim utama, misalnya membuat keputusan atas nama presiden, atau keputusan wakil menteri yang semuanya mempunyai kekeuatan hukum yang sama, tentu tidak beritikat baik lagi keputusan itu disebut sebagai keputusan wakil presiden atau keputusan wakil menteri atau keputusan wakil gubernur serta keputusan bupati atau walikota. Semua hal ini belum dipraktekan dalam prinsip kehidupan kenegaraan di Indonesia. Artinya belum ada aturan yang mengatur sejauh hal itu mengenai seorang wakil dapat mengeluarkan keputusan yang bunyinya sama seperti pemimpin utama.
Presiden SBY Rabu, Tanggal 19 Oktober 2011, telah melantik 12 menteri baru dan 13 wakil menteri baru hasil perombakan kabinet. Pelantikan dilakukan di Istana Negara pada pukul 09.00, dihadiri Wakil Presiden Boediono dan segenap menteri Kabinet Indonesia Bersatu II. Sebelum melantik para menteri dan wakil menteri yang baru, Presiden menyampaikan pidato kebijakan untuk tiga tahun sisa masa jabatannya. Hal itu menjadi target dari menteri-menteri, atau pejabat setingkat menteri, dan wakil menteri yang dalam menjalankan kebijakan politiknya. Nama-nama menteri dan wakil menteri serta para pejabat setingkat menteri yang dilantik adalah sebagai berikut[19].
A. Bidang Politik Hukum dan Keamanan:
1.    Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia: Amir Syamsuddin (Partai Demokrat) menjabat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, menggantikan Patrialis Akbar (PAN). Denny Indrayana menjabat Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
2.    Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi: Azwar Abubakar (PAN) menjabat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dibantu Wakil Menteri Eko Prasodjo
3.    Kementerian Luar Negeri: Wardana menjadi Wakil Menteri Luar Negeri  (menggantikan Triyono Wibowo)
5.    Badan Intelejen Negara:  Letnan Jenderal Marciano Norman menjabat Kepala Badan Intelejen Negara, menggantikan Sutanto.
B. Di Bidang Perekonomian:

1.    Kementerian Keuangan: Mahendra Siregar menjabat Wakil Menteri Keuangan

2.    Kementerian Perdagangan: Gita Wirjawan (profesional) menjabat Menteri Perdagangan, menggantikan Mari Elka Pangestu (profesional). Gita Wirjawan dibantu Wakil Menteri Bayu Krisnamurthi yang menggantikan Mahendra Siregar.

3.    Kementerian Pertanian:  Rusman Heriawan menjabat Wakil Menteri Pertanian (menggantikan Bayu Krishnamurti)

4.    Kementerian ESDM: Jero Wacik (Partai Demokrat) menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, menggantikan Darwin Zahedy Saleh (Partai Demokrat). Jero Wacik akan dibantu Wakil Menteri Widjajono Partowidagdo

5.    Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif: Mari Elka Pangestu (profesional) menjabat Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, menggantikan Jero Wacik (Partai Demokrat). Mari Elka Pangestu akan dibantu Wakil Menteri Sapta Nirwandar (internal Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata)

6.    Kementerian BUMN: Dahlan Iskan (profesional) menjabat Menteri BUMN menggantikan Mustafa Abubakar (profesional). Dahlan Iskan akan dibantu Wakil Menteri Mahmuddin Yasin

7.    Kementerian Perhubungan: E.E. Mangindaan (Partai Demokrat) menjabat Menteri Perhubungan, menggantikan Freddy Numberi (Partai Demokrat)

8.    Kementerian Kelautan dan Perikanan: Tjitjip Sharif Sutardjo (Partai Golkar) menjabat Menteri Perikanan dan Kelautan, menggantikan Fadel Muhammad (Partai Golkar)

C. Bidang Kesejahteraan Rakyat:
1.    Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan: Musliar Kasim menjabat Wakil Menteri Pendidikan Nasional Bidang Pendidikan. Wiendu Nuryanti menjabat Wakil Menteri Pendidikan Nasional Bidang Kebudayaan
2.    Kementerian Kesehatan: Ali Ghufron Mukti menjabat Wakil Menteri Kesehatan
3.    Kementerian Agama: Nazaruddin Umar menjabat Wakil Menteri Agama
4.    Kementerian Perumahan Rakyat: Djan Faridz (PPP) menjabat Menteri Perumahan Rakyat, menggantikan Suharso Manoarfa (PPP)
5.    Kementerian Lingkungan Hidup: Baltazar Kambuaya (profesional, Rektor Universitas Cendrawasih) menjabat Menteri Lingkungan Hidup, menggantikan Gusti Mohammad Hatta (profesional)
6.    Kementerian Riset dan Teknologi: Gusti Mohammad Hatta (profesional) menggantikan Suharna Surapranata (PKS).
Persoalan menganti atau merombak kabinet tentu dapat dipahami sebagai hak mutlak dari presiden, sebab konstitusi kita menganut sistim itu yang tentu presiden setelah menilai dengan cermat bahwa kinerja menteri yang bersangkutan harus diganti atau ditambahkan wakil menteri untuk mampu menjalankan misi yang ditentukan oleh Presiden. Keadaan ini membuat pihak yang diganti dari posisinya sebagai menteri atau wakil menteri mengisahkan banyak persoalan, misalnya Menteri Kelautan dan Perikanan : Fadel Muhammad, dalam siaran persnya menyatakan bahwa pergantian atas dirinya tidak melalui procedural karena presiden secara sepihak mengantikan tanpa alasan hukum yang jelas. Lebih aneh lagi sebelum presiden mengumumkan hasil perombakan kabinet melalui Menteri Sekretaris Negara disebutkan bahwa Fadel Muhammad tidak ada masalah dalam pergantiannya.
Persoalan hubungan antara pemimpin dengan wakilnya sering menimbulkan berbagai persoalan, sebut saja Wakil Bupati Garut, Provinsi Jawa Barat, Dicky Chandra, yang mengundurkan diri dari jabatannya. Dengan mengirimkan surat pengunduran diri kepada DPRD Garut. Sementara itu Pihak DPRD Garut menanggapi proses pengunduran diri dari wakil bupati tersebut untuk menyelidiki sebab-sebab terjadinya tindakan itu. Namun kesimpulan sementara yang diperoleh adalah tidak adanya pembagian kerja yang adil dan merata antara bupati dengan wakil bupati. Padahal telah disepakati kewenangan itu harus dibagi rata antara bupati dengan wakilnya. Namun yang terjadi selama hamper satu tahun kerja tidak ada pembagian yang merata, sehingga hal tersebut memberikan masi tidak percaya diantara bupati dengan wakil bupati dan berakibat pada wakil bupati Dicky harus melakukan pengunduran diri dari jabatannya.
Seperti yang diberitakan melalui media kompas bahwa Wakil Ketua DPRD, Luki Lucmansyah, mengatakan pihaknya belum memutuskan apakah menerima atau menolak pengunduran diri tersebut. Dewan masih akan membahas di rapat pimpinan dan memanggil yang bersangkutan. DPRD Kabupaten Garut, meminta klarifikasi pengunduran diri Wakil Bupati Garut Dicky Chandra dengan pasangannya, Aceng HM Fikri (Bupati Garut).
Perlu diketahui bahwa Dicky Chandra (wakil Bupati) dan Aceng HM Fikri (bupati terpilih) telah terpilih secara demokratis dalam pemilihan bupati dan wakil bupati pada Desember 2009 lalu. Pasangan dianggap sebagai pendukung dari warga masyarakat sebab mereka merupakan calon dari kalangan independen yang terpilih setelah melewati dua putaran. Mereka meraup suara lebih dari 60 persen dan mengungguli pesaingnya Rudi Gunawan dan Oim[20].
Dalam siaran pers oleh Rani Permata (istri Wakil Bupati Kabupaten Garut Dicky Chandra), mengakui alasan mundur suaminya karena perbedaan prinsip. Menurut Rani, perbedaan prinsip telah terjadi sejak lama. “Alasannya beda prinsip. Ibarat suami istri, sang istri sudah sering mengingatkan suami, tapi tidak pernah digubris. Makanya akhir-akhir ini terkesan seperti sudah pisah ranjang, kemudian mediasi. Setelah semua langkah diambil tapi tidak membuahkan hasil, akhirnya ‘cerai’ menjadi satu-satunya jalan[21],”. Selain itu, ketidaksinergisan antara wakil bupati dengan bupati berakibat fatal pada setiap kebijakan yang akan diambil dalam membangun Kabupaten Garut.
Penutup
Peran wakil sebagai pemimpin negara di Indonesia belum menunjukan otoritas kekuasaan yang sangat signifikan misalnya kekuasaan presiden sebagai kepala negara, dan kekuasaan presiden sebagai kepala pemerintahan. Hal itu membuat peran yang diharapkan akan terlaksana apabila wakil presiden mendapatkan mandat dari presiden. Pada hal ketika presiden berhalangan sementara atau berada di luar negeri maka segala kekuasaan yang melekat didalam diri seorang presiden dimandatkan kepada wakil presiden. Misalnya dalam melakukan pembahasan rancangan UU dengan DPR atau melakukan kebijakan keluar secara institusional lembaga kepresidenan selalu dibatasi. Tentu ini menunjukan bahwa kewenangan wakil tidak sekuat apa yang ditetapkan pada dirinya sebagai seorang presiden yang dipilih dalam satu pasangan antara presiden dan wakil presiden.
Hal itu terukur hingga ke daerah-daerah misalnya gubernur dengan wakilnya dan bupati atau walikota dengan wakilnya. Semua mengalami posisi yang sama sekalipun dalam regulasi aturan telah disebutkan secara jelas bahwa kewenangan kepala daerah dan wakil kepala daerah dibagi secara merata sehingga tidak menimbulkan berbagai persoalan dalam kinerjanya. Namun yang lebih urgen adalah posisi kepala daerah telah dipilih secara langsung oleh rakyat dan pola pertanggungjawabannya pun dikembalikan kepada rakyat yang memilihnya sehingga tidak sedikitpun daerah yang bebas dari persoalan hubungan antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah (gubernur dengan wakil gubernur dan bupati dengan wakil bupati atau walikota dengan wakil walikota).
Menarik lagi dengan menteri dibantu oleh wakil menteri yang kemudian kedua-duanya harus bertanggung jawab kepada presiden, maka besar kemungkinan kedekatan menteri dengan wakilnya apabila tidak seimbang maka secara diam-diam bisa dijatuhkan melalui lobi-lobi kepada presiden sebagai pemegang otoritas kekuasaan dalam hal mengangkat dan memberhentikan seorang menteri dan atau seorang wakil menteri. Tetapi lain halnya Sekretaris Jenderal (Sekjen), Ispektur Jenderal (Irjen) dan Direktur Jenderal (Dirjen), mereka adalah jabatan karir dan permanen tidak dapat dibubarkan oleh siapapun dalam kementerian itu.

Referensi
Asshiddiqie, Jimly, 2006, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Konstitusi Perss, Jakarta.
David H. Rosenblom dan Deborah D. Goldman J.D, Public Administration: Understanding Management, Politics and Law in the Public Sector, Random House, New York, 1986.
Harmon, Micahel M.dan Richard T. Mayer. 1986. Organization Theory for Public Administration. Boston: Little, Brown and Company.
Henry, Nicholas1992. Public Administration and Public Affairs (Fifth Edition). New Jersey: Englewood Cliffs.
Keban,  Yeremias T. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori dan Isu. Yogyakarta: Gava Media.
Konig, Klaus.  1982. “Administrative Sciences and Administrative Reforms”. Strategies for Administrative Reform. Edited By: Gerald E. Caiden dan Heinrich Sledentopf,. Lexington: LexingtonBooks.
Kumorotomo, Wahyudi. 2005. Akuntabilitas Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Robbins, Stephen P. 1994. Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Fungsi. Jakarta: Arcan.
Tutik, Triwulan, Titik, 2008, Hukum Tata Negara Indonesia Pascaamandemen UUD 1945, Pulisher, Jakarta.
Thoha, Miftah. 2008. “Reformasi Birokrasi Pemerintah”. Makalah yang disampaikan pada Konfrensi Administrasi Negara di FISIPOL-UGM, 29 Juni 2008.
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 12 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan Daerah.
UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Perpres No. 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Pengangkatan Menteri
Kompas, tentang Dichy Mengundurkan diri sebagai Wakil Bupati. Tanggal 5 September 2011


[1] http.www.artikata.com
[2] Robbins, Stephen P. 1994. Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Fungsi. Jakarta: Arcan
[3] Panji Anogara, Page 23
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Jimly Asshiddiqie, 2006, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Konstitusi Press, Jakarta, hal,72.
[7] Titik T. Tutik, 2008, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pascaamandemen UUD 1945, Penerbit Cerdas Pustaka Publisher, hal.244.
[8] Ibnu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, hal:58-59
[9] Jimly Asshiddiqie, Op.Cit, hal. 73.
[10] Pasal 9 ayat 2 UU No. 39 tahun 2008 Tentang Kemnterian Negara
[11] Konsep organisasi publik yang miskin struktur tetapi kaya fungsi ini digagas oleh Wahyudi Kumorotomo. Lebih jelasnya, baca Wahyudi Kumorotomo, Akuntabilitas Birokrasi Publik di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.
[12] Miftah Thoha, “Reformasi Birokrasi Pemerintah”, Makalah yang disampaikan pada Konfrensi Administrasi Negara di FISIPOL-UGM, 29 Juni 2008, halaman 1.
[13] Klaus Konig, “Administrative Sciences and Administrative Reforms”, Strategies for Administrative Reform, Edited By: Gerald E. Caiden dan Heinrich Sledentopf, LexingtonBooks, Lexington, 1982, halaman 20.
[14] Pasal 24 UU No. 32/2004  tentang Pemda
[15] Ketentuan Pasal 26 ayat (2) dan (3) UU No. 32/2004.
[16] Ketentuan Pasal 27 UU No. 32/2004
[17] Jimly Asshiddqie, Sengketa kewenangan Lemabaga Negara, Op.Cit. hal. 80.
[18] Ibid
[19] Kompas, 20 Oktober 2011.hal.1
[20] Kompas, Tanggal 5 September 2011, hal. 1
[21] Pandangan istri Dicky saat dikonfirmasi melalui Media Kompas, Ibid 

Tidak ada komentar: