Senin, 14 Oktober 2013

PEMIKIRAN OLIVER WONDELL HOLMES DALAM PEMBANGUNAN HUKUM DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA [1]

 Oleh
Melkianus E. N. Benu,SH.M.Hum.[2]
Dosen HTN dan HAN FH UNDANA
I. PENDAHULUAN
A.    Alasan Pemilihan Tokoh
Aliran-aliran dalam mazhab realisme hukum telah berkembang sejak abad ke 19 hingga abad ke 20 terutama di Amerika serikat dan Skandinavia. Seperti halnya di AS berkembang sejalan dengan paham laissez fair menjadi kepercayaan yang dominan di sana[3]. Segala kegiatan intelektual dalam bidang apapun, termasuk filsafat dan ilmu-ilmu sosial, selalu dipengaruhi oleh pandangan formalisme. Pandangan yang formalis ini sesungguhnya menerapkan prinsip-prinsip logika dan matematika dalam kajian filsafat, ekonomi maupun jurisprudence, tanpa mencoba menghubungkannya dengan fakta-fakta yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
  Sementara itu, kebangkitan dan kemajuan teknologi dan ilmu-ilmu emperis yang mendominasi kehidupan nyata di AS, telah merubah cara kaum intelektual untuk memperlakukan filsafat dan ilmu-ilmu sosial, termasuk logika sebagai kajian emperis, yang yang tidak berakar pada pendekatan-pendekatan yang abtrak ala formalisme.
Perubahan pandangan tadi, menggiring sebuah gerakan baru di AS, yang pada ujungnya merupakan gerakan ”perkembangan melawan formalisme” sebuah aliran pemikiran yang memiliki tendensi atau kecondongan untuk memberikan tekanan lebih kuat pada forma (bentuk) dari pada isi. Pembedaan pada bentuk dan isi untuk pertama kalinya diungkapkan oleh Aristoteles yang sangat berhubungan erat pembedaan aktus dan potensialia. Tokoh-tokoh yang  membangkang melawan formalisme ini cukup banyak, dari latar belakang filsafat atau logika, hingga ahli ekonomi, ahli sejarah, dan seterusnya. Dibidang hukum, antara lain Oliver Wendell Holmes, Jerome Frank dan Benyamin N. Cardozo.
   Cahyadi dan Manullang (2007:155)[4] menyebutkan pemikiran hukum sebagai gerakan pembangkangan intelektual dengan ciri-ciri umumnya adalah sebagai berikut :
1.      Para pemikir realisme hukum AS amat kritis dengan pemikiran emperis yang dikembangkan di Inggris, yang diusung oleh tokoh-tokoh seperti David Hume, Jeremy Betham, Austin,dan juga John Stuard Mill. Para filsuf ini memang para positifis yang menolak pemikiran metafisis. Namun menurut kaum intelektual hukum di AS, mereka tadi dianggap kurang emperis dalam menjelaskan ide-idenya. Para filsuf Inggris tidak mendasarkan argumentasinya pada alasan-alasan yang aktual yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari karena mereka masih mengemukakan konsep-konsep formal yang dianggap masih bernuansa abstrak;
2.      Para pemikir realisme Amerika ini juga amat kritis terhadap gagasan historis yang dikembangkan oleh kaum utilitarian Inggris. Menurut Mazhab Realisme Hukum pengembangan pengetahuan harus dilakukan secara emperis dan selalu mencari jalan penyelesaiaan bagi setiap problem praktis yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Gagasan kaum utilitarian Inggris dianggap belum menjawab hal itu;
3.      Pendekatan dalam realisme hukum Amerika lebih dipengaruhi oleh pendekatan sosiologis (dan juga psikologi sosial). Pendekatan ini mengarah pada satu objek pokok yakni apa yang diaktual terjadi dalam hal ini apa yang terjadi dalam lembaga pengadilan. Bagaimana praktek hukum yang dilaksanakan oleh para hakim dan pegawai pengadilan, menjadi persoalan yang pokok. Merekalah yang membuat hukum secara konkrit, karena dari merekalah, masyarakat melihat adanya hukum yang eksis. Persoalan teoritis, oleh sebab itu, tidak perlu diindahkan.
Satjito Rahardjo[5] (2007:37-36) mengungkapkan lebih dalam dan jauh tentang tempat dan peran pengadilan dalam dinamika perubahan masyarakat. Dari abad ke abad kita melihat betapa peran pengadilan berubah. Untuk berhenti dari peralihan dari abad ke 19 ke abad ke 20, maka disitu kita menyaksikan pelan-pelan terjadinya perubahan dari peran pengadilan sebagai institusi hukum yang sempit dan terisolasi menjadi pengadilan (untuk) rakyat.
Pengadilan yang terisolasi ini juga dinyatakan dalam ungkapan pengadilan sebagai corong undang-undang, tidak lebih dan tidak kurang. Memang sangat liberal dan sangat legalme-positivistik yang sangat kuat di abad ke 19 itu memberikan landasan teori bagi munculnya pengadilan yang terisolasi dari dinamika masyarakat dimana pengadilan berada.
Isolasi tersebut juga mengandung isolasi kearah kediktatoran pengadilan (judicial dictatorship) oleh karena ia memutus semata-mata dengan mengingat apa yang menurut tafsirannya dikehendaki oleh hukum tanpa harus melibatkan kedalam atau mendengarkan dinamika masyarakat tersebut. Itulah sebabnya secara sosiologis pengadilan menjadi terisolasi dari keseluruhan dinamika masyarakatnya dan menjadi benda asing dalam tubuh masyarakat itu.
Sementara dinamika masyarakat menampilkan pengorganisasian baru, seperti perkembangan demokrasi dan bangkitnya kekuatan-kekuatan baru dalam masyarakat, seperti buruh, yang mengubah peta sosial dan politik secara mendalam. Kalau hukum liberal ke 19 banyak dikaitkan pada golongan borjuis, maka menjelang dan memasuki abad ke 20 kata kuncinya adalah rakyat. Naiknya peran dan partisipasi rakyat ini tidak dengan mudah diakomodasikan oleh institusi hukum, termasuk pengadilan. Semestinya pengadilan juga mengubah perannya dari semata-mata menjadi corong undang-undang, kepada pengadilan yang diwakili dan mendengarkan suara rakyat. Bahkan ada ujaran bahwa pengadilan hendaknya menyuarakan mereka atau golongan-golongan yang unrepresented dan under-represented[6].       
Memahami hukum serta menerapkannya dalam perilaku manusia adalah suatu cara dimana para pemikir tentang arti dan makna serta hakekatnya hingga kini belum selesai. Banyak pemikir yang sampai sekarang dengan kemampuan argumentasinya belum selesai dan layak untuk diperbaharui agar menjawab kebutuhan perilaku manusia. Satjipto Rahardjo (2007:32) menguraikan secara sederhana tiga macam berpikir atau kecerdasan yakni rasional, perasaan dan spiritual. Rasional berarti logis, linier, serial dan tidak ada rasa keterlibatan (dispassionate). Perasaan lebih mempertimbangkan lingkungan atau habitatnya, sehingga tidak hanya semata-mata dengan menggunakan logika tetapi yang terpenting adalah konteksnya. Sedangkan kecerdasan secara spiritual lebih menampilkan cara-cara berpikir dalam hukum yang pada gilirannya mempengaruhi tindakan dalam menjalankan hukum.
  Sebagai mana dikemukakan oleh pendapat Bismar Siregar[7] (2007:1) bahwa tidak dipungkiri bahwa ”misi suci” (Mission Sacree) lembaga peradilan di Indonesia bukan untuk menegakan hukum demi hukum itu sendiri, seperti yang dikemukakan oleh Oliver Wendell Holmes, ”The supreme court is not court of justice, it is a court of law”, melainkan untuk menegakan hukum demi keadilan, baik bagi individu maupun bagi masyarakat, bangsa dan negara, bahkan keadilan yang dimaksudkan adalah keadilan demi Tuhan Yang Maha Esa sehingga terciptanya suasana kehidupan bermasyarakat yang aman, tenang, tertib dan damai. Hal ini tercermin dari setiap keputusan hakim di Indonesia, yang diawali dengan ungkapan yang sangat relegius yakni : ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Untuk menjalankan ”misi suci” tersebut maka hakim diberi kekuasaan yang bebes dan mandiri agar putusan-putusannya tidak mudah diintervensi oleh kekuatan ekstra judicial, seperti penguasa dan kekuatan lainnya dalam masyarakat (seperti kekuatan politik dan ekonomi). Hal ini dijamin oleh UUD (yang telah mengalami empat kali perubahan) dan peraturan perundang-undangan yang berlaku positif di Indonesia, antara lain UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang merupakan perubahan terhadap undang-undang No. 14 tahun 1970 dan UU tentang Mahkamah Agung RI No. 5 tahun 2004 sebagai perubahan atas  UU No. 14 tahun 1985.
Berdasarkan isu yang berkembang di tengah masyarakat, maka diperoleh gambaran bahwa tidak semua hakim memiliki kemandirian dalam pengambilan keputusan. Ada sebagian hakim yang dipengaruhi oleh pengausa dan kaum powerfull lainnya (elit ekonomi dan politik) sehingga tidak heran apabila putusan-putusannya jauh dari rasa keadilan. Hal ini tampak dari berbagai ragam tanggapan miring yang dikemukakan oleh masyarakat (wakil rakyat, pakar hukum, praktisi hukum, dan kaum awam) tentang eksistensi lembaga peradilan sebagai benteng terakhir penegakan hukum dan keadilan.
 Berdasarkan pandangan tersebut diatas penulis ingin menggambarkan secara rinci dan lengkap PEMIKIRAN OLIVER WONDELL HOLMES DALAM PEMBANGUNAN HUKUM DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA.
B.     Gambaran singkat tentang pemikirannya
Secara singkat gambaran pemikiran dari Oliver Wendell Holmes tentang hukum sebagai gerakan menentang fomalisasi dari kehendak aturan atau undang-undang adalah :
1.      Hukum adalah keputusan hakim atau keputusan pengadilan[8], yang artinya bahwa “hukum itu apa yang dibuat oleh hakim melalui putusannya, dan hakim lebih banyak disebaut membuat hukum daripada menemukan hukum”.
2.      Pandangan Oliver Wendell Holmes mengenai hukum bermula dari idenya bahwa hukum itu sama halnya dengan pengalaman, seperti juga halnya dengan logika[9].
3.      Hukum adalah kelakuan actual para hakim (patterns of behavior), dimana kelakuan itu ditentukan oleh tiga faktor sebagai hal yang mempengaruhi putusan hakim, yaitu kaidah hukum yang dikonkretkan oleh hakim dengan metode interpretasi dan kontruksi, moral hidup pribadi hakim, dan kepentingan sosial[10].
4.     

MA
 

Putusan
 
aliran hukum Realime skemanya adalah[11] :
 






5.      Esensi dari hukum menurut ajaran realisme dari Holmes adalah perkembangan ilmu hukum itu terletak pada “pengujian fakta-fakta” dan kehidupan hukum pada dasarnya bukan logika, melainkan pengalaman (the life of the law has been, not logic, but experience)[12]; Serta yang dianggap sebagai hukum adalah ramalan tentang apa yang dilakukan oleh pengadilan dalam kenyataan dan tidak ada yang lebih penting dari itu.
C.    Latar belakang tokoh
Lahir Pada Tanggal 8 Maret 1841 in Biston, Massachusetts. Namanya berasal dari bapaknya yang merupakan seorang penulis dan dokter. Kemampuan Intelektualnya yang menakjubkan, untuk mengungkapkan dirinya membuat Oliver Wendell Holmes,Jr. berada dalam pikiran Amerika yang disegani. Ia menjadi anggota Mahkamah Agung Amerika Serikat selama kurang  lebih 30 tahun.
Oliver Wendell Holmes lulus dari Harvard University di tahun 1861 dan bergabung dengan dinas ketentaraan AS saat perang saudara. Pengalaman hidupnya selama dalam perang menjadi modal bagi Oliver Wendell Holmes untuk menjadi seorang realis. Di sana ia melihat betapa penderitaan manusia, sesamanya, sedemikian real/nyata.
Di tahun 1870 Holmes menjadi editor untuk jurnal American Law Review. Pada tahun 1881 dia menerbitkan bukunya edisi pertama dari The Common Law. Tahun 1882, ia menjadi professor di Harvard Law dan hakim pada Pengadilan Tinggi Massachusetts. Di tahun 1899 ia ditunjuk sebagai hakim ketua dari pengadilan Negara. Dia menjadi terkenal karena inovasinya dan keputusannya yang sangat logis yang mencoba menyimbangkan antara hak milik dengan peraturan perundang-undangan. Dia juga terkenal dengan hakim yang mengakui hak para buruh untuk mengorganisasikan diri dalam serikat buruh. Pada hal sebelumnya hak buruh tidak begitu diakui dan malah hak buruh untuk berserikat dianggap secara ilmiah illegal. Kasus ini kemudian sebagai Kasus Lochner v. New York (1905).
Kasus Lochner v. New York (1905) memeng merupakan kasus controversial. Dalam kasus ini Supreme Court Amerika memutuskan bahwa peraturan yang membatasi jam kerja adalah inkonstitusional karena pembatasan itu mencampuri “hak untuk berkontrak” yang tercantum dalam klausul due process. Bagi para penantangnya keputusan tersebut menunjukan betapa Mahkamah Amerika sedemikian berpihak pada ideology personal dan mengesampingkan penafsiran konstitusional yang sah atau legitim.
Faktanya, di Negara bagian New York mengeluarkan undang-undang yang membatasi jumlah jam kerja buruh di pabrik roti yang dapat bekerja selama 60 jam perminggu. Joseph Luchner, sang pemilik pabrik roti di Utika, didenda $20 karena telah mempekerjakan buruhnya lebih dari batas waktu kerja per minggu. Selain didenda ia juga diancam hukuman 50 hari penjara atau ganti denda sebesar $ 50.
Hakim Rufus Wheeler Peckham, yang menulis untuk pendapat mayoritas dari Mahkamah Agung AS dan berarti juga opinion of the court, membebaskan hukuman atas Lochner dan membatalkan undang-undang tersebut karena bagi the court, undang-undang tersebut secara tidak sah melanggar hak untuk melakukan kontrak atau perjanjian (the right to contract), padahal hak atau kemerdekaan untuk itu merupakan salah satu yang dilindungi oleh prinsip legalitas di amandemen ke 14 konstitusi Amerika. Pengadilan tidak menemukan alas an khusus untuk melindungi para buruh itu. Bagi pengadilan mereka adalah urusan Negara bagian. dan menolak bukti yang diberikan Negara bagian  berkaitan dengan alas an kesehatan. (Alasan kesehatan yang diajukan Negara  bagian tidak dapat dipertimbangkan). Pengadilan menyatakan bahwa apabila pengadilan menerima tuduhan yang diajukan Negara bagian dan mengalahkan pengusaha, maka hal itu akan menjadi preseden buruk bagi iklim usaha, karena dapat saja ditafsirkan bahwa ideology anti bisnis (antikapitalis) akan menjadi hokum.
Hakim John Marshall Harlan berbeda pendapat. Ia berpendapat bahwa Negara memiliki alasan untuk mengatur segenap perikehidupan warga negaranya termasuk buruh-buruh pabrik itu, juga karena kesehatan mereka. Hakim Harlan mengutip banyak hasil penelitian terhadap para buruh pabrik itu menyangkut kesehatan pernapasan dan resiko kerja yang mereka hadapi. Hakim Harlan menyatakan bahwa ia lebih memilih dengan menyerahkan keputusan pada para pembentuk undang-undang untuk hal-hal dimana pengadilan tidak mempunyai atau kurang mempunyai kompetensi.
Latar belakang tokoh ini merupakan sebuah gerakan dalam menentang pemikiran formalime yang dengan kekuatan pemikirannya untuk membangkang terhadap idealime positivisme yang berkembang mendahuluinya.
III. PEMBAHASAN
A.    Uraiaan Pemikirannya Tentang Hukum
Pemikiran dari Oliver Wendell Holmes sejak tahun 1870 menjadi editor untuk jurnal American Law Review, dengan menerbitkan bukunya yang pertama tentang ” The Common Law”, selain itu bertugas sebagai Hakim Pada Pengadilan Tinggi Massachusetts. Setelah itu sejak tahun 1899 ditunjuk sebagai Hakim dari Pengadilan Negara.
Sebagaimana telah dikatakan oleh Oliver Wendell Holmes, Jr, bahwa dugaan-dugaan tentang apayang diputuskan oleh pengadilan itulah yang disebutkan dengan hukum. Pendapat holmes ini menggambarkan secara tepat pandangan realis Amerika yang pragmatis itu.
Pendekatan pragmatis tidak percaya pada bekerjanya hukum menurut ketentuan-ketentuan hukum diatas kertas. Hukum bekerja mengikuti peristiwa-peristiwa konkrit yang muncul. Oleh karena itu, dalil-dalil hukum yang universal harus diganti dengan logika yang fleksibel dan ekspreimental sifatnya. Hukum pun tidak bekerja menurut disiplinnya sendiri. Perlu ada pendekatan yang interdisipliner dengan memanfaatkan ilmu-ilmu seperti ekonomi, sosiologi, psikologi, dan kriminologi. Dengan penyelidikan terhadap faktor-faktor social berdasarkan pendekatan tersebut dapat disinkronkan antara apa yang dikehendaki hukum dan fakta-fakat kehidupan sosial. Semua ini diarahkan agar hukum dapat bekerja secara lebih efektif.
Sumber hukum utama aliran ini adalah putusan hakim. Seperti diungkapkan oleh John Chipman Gray[13] : All the law is judge-made-law, semua yang dimaksudkan dengan hukum adalah putusan hakim. Hakim lebih sebagai penemu hukum dari pada pembuat hukum yang mengandalkan peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut, oleh Holmes dalam pendapatnya Dardji Darmodihardjo (2006:138) bahwa seorang sarjana hukum harus menghadapi gejala-gejala hidup secara realistis. Kalau ia ia berusaha mengambil sikap demikian, ia akan sampai pada keyakinan bahwa para penjahat pun sama sekali tidak menaruh minat pada prinsip-prinsip normative hukum, sekalipun kelakuan mereka seharusnya diatur menurut prinsip-prinsip itu. Bagi mereka yang penting manakah kelakuan aktual (patterns of behaviour) seorang hakim yakni pernyataan, apakah seorang hakim akan menerapkan sanksi pada suatu kelakuan tertentu atau tidak.
Kelakuan para hakim pertama-tama ditentukan oleh norma-norma hukum. Berdasarkan tafsiran   lazim norma-norma hukum itu dapat diramalkan, bagaimana kelakuan para hakim dikemudian hari. Disamping norma-norma hukum bersama tafsirannya, moral hidup dan kepentingan sosial ikut menetukan keputusan para hakim tersebut.
Ucapan Holmes yang sangat terkenal, yang dianggap secara tepat menggambarkan realisme hukum Amerika Serikat berbunyi : “the prophecies of what the courts will do in fact and nothing more pretentiour, are what I mean by the law[14]”. (pikiran-pikiran tentang apa yang akan diputuskan oleh pengadilan, itulah yang saya maksudkan dengan hukum)
Pandangan Holmes mengenai hukum bermula dari idenya bahwa hukum itu sama halnya dengan pengalaman, seperti juga halnya dengan logika. Oleh sebab itu, menurutnya hukum hanyalah sebatas prediksi-prediksi terhadap keputusan apa yang akan dibuat oleh pengadilan. Ia menekan tentang pentingnya aspek empiris dan pragmatis dari hukum. Karena itu sebuah police misalnya, yang telah diputuskan atau dibuat menurut Holmes bukan didasarkan pada pembenaran-pembenaran yang alamiah oleh ilmu hukum. Tetapi lebih karena alasan  adanya kepentingan masyarakat (sosial) yang faktual.
Pada tahun 1909, tiga tahun sebelum ia menangani kasus kontroversial di atas, Presiden Theodore Roosevelt menunjuk Holmes sebagai hakim di Supre Court AS. Kata-katanya yang cukup terkenal adalah “jiwa dari hukum bukanlah logika tetapi pengalaman”. Dia menganjurkan agar pengadilan melihat fakta ditengah masyarakat yang yang terus berubah, dari pada hanya sekedar menerapkan slogan-slogan hukum dan formula hukum. Holmes yakin bahwa hukum harus berkembang  dan melayani masyarakat. Dia mempunyai pengaruh yang besar dalam menganjurkan hakim untuk tidak mengadopsi mendapat persoalan mereka. Dokrin semacam ini di AS dikenal sebagai Judicial Restraint.
Schbert[15] (seorang guru besar ilmu politik di Universitas Michigan. AS) mengomentari masalah “ramalan” yang dikemukakan Holmes bahwa ada tiga pendekatan dalam melakukan ramalan yaitu sebagai berikut:
1.          Penggunaan destruktur konversi, yaitu sentral dari proses perbuatan kebijakan pengadilan terletak pada struktur konversi, dimana putusan hakim dipengaruhi oleh hasil interaksi dari suatu kelompok dan pengintergrasian nilai-nilai individu para hakim;
2.          Penggunaan atribut-atribut, yaitu pengaruh pengalaman pribadi seorang hakim, penunjukan politik hakim dan afiliasi partai politik dari hakim;
3.          Penggunaan pengaruh orientasi-sikap, yaitu pengaruh faktor ekonomi dan politik yang berkaitan dengan persoalan vital dan fundamental pribadi dan keluarga hakim;
Hukum sebagai fakta yang emperis, disamping itu harus dibedakan dengan moral. Baginya para praktisi hukum harus diperketat pada persoalan mengenai apa itu hukum, yang bersifat deskriptif, bukan pada persoalan mengenai bagaimana hukum itu seharusnya, hukum itu harus bersifat preskriptif. Jadi yang penting adalah kelakuan aktual seorang hakim akan menerapkan sanksi pada suatu  tindak tertentu atau tidak.
Deskripsi Holmes mengenai prediksi keputusan yang dibuat oleh pengadilan, menempatkan betapa pentingnya peranan hakim dan praktisi hukum. Prediksi-prediksi itu harus dibangun berdasarkan pada aspek emperis, daripada berdasarkan argumentasi logis yang deduktif sifatnya, seperti ideology. Menurut Holmes bahwa yang mempengaruhi hakim dalam memutuskan suatu hal adalah : kaidah-kaidah hukum, moral hidup pribadi, dan kepentingan social.
Menurut Holmes bahwa aturan-aturan hukum hanya menjadi salah satu faktor yang patut dipertimbangkan dalam keputusan yang berbobot. Faktor moral, soal kemanfaatan, dan keutamaan kepentingan social milsalnya, menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam mengambil keputusan yang berisi. Jadi bukan sebuah pantangan, jika demi keputusan yang fungsional dan kontekstual, aturan resmi terpaksa disingkirkan (lebih-lebih jika menggunakan aturan itu justru berakhibat buruk). Holmes menjadi hakim yang monumental dan seminal,, justru karena penderian moralnya itu. Ia menjadi monument dari  a creative lawyer : in accordance with justice and eguality. Dengan kapasitas seperti ini para hakim memiliki kompetensi untuk merubah UU, bila hal itu perlu[16].  
Gagasan Holmes ini memang berpengaruh besar dalam sistim hukum Amerika, karena diterima oleh banyak praktisi disana saat itu. Hal ini juga meliputi gagasan yang brilian tentang peran Hakim Agung yang harus menjadi sensor bagi seluruh legislasi dan beragam aturan hukum dan keputusan yang dibuat di setiap Negara bagian, serta keberadaan peradilan di Amerika yang secara faktual aparat-aparatnya diisi berdasarkan keputusan para politikus. Fakta-fakta ini semakin menguatkan Holmes bahwa pentingnya mempercayai pendekatan yang emperis terhadap proses hukum.
Perbedaan pendapat yang diajukan Hakim Oliver Wendell Holmes, Jr. adalah pendapat yang paling diingat. Ia menyerang para hakim yang mempunyai pendapat mayoritas dan menjadi pendapat pengadilan (opinion of the court). Baginya para hakim itu hanya menerapkan sudut persoalan mereka dalam menanggapi masalah ini. Pandangan mereka sedemikian dijiwai oleh paham ekonomi laissez-faire. Dengan paham liberal itu mereka mencoba menggagalkan peraturan yang telah dibentuk oleh pembentuk undang-undang yang sah. Bagi Holmes keputusan pengadilan itu dibentuk oleh kecurigaan-kecurigaan dan tuduhan-tuduhan yang dimiliki para hakim. Namun demikian konstitusi tidaklah dibuat hanya untuk mengakomodasi sebuah teori ekonomi saja.
Oliver Wendell Holmes, Jr. juga mempersoalkan masalah substantieve due (prinsip legalitas secara substantife). Ia melihat bahwa prinsip itu adalah prinsip kosong yang memperbolehkan hakim secara semena-mena menghalangi pembuatan keputusan yang demokratis (betapa tidak, para pembentuk hukum yang telah sah dan legitim dipilih oleh konstituren Negara bagian yang bersangkutan (demokratis) yang telah bersusah membuat undang-undang ternyata undang-undang tersebut dianulir oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat).
B.     Konribusi Tokoh Bagi Hukum Di Indonesia
Keterbatasan referensi yang ada maka penulis mengungkapkan bahwa bagi Indonesia pemikiran Oliver Wendell Holmes tentang hukum belum menampilkan yang sesungguhnya dalam pola berpikir hakim-hakim di Indonesia untuk menyatakan bahwa hukum adalah keputusan pengadilan. Sehingga pada akhirnya hakim di Republik Indonesia masih memandang undang-undang sebagai sesuatu yang perlu dijunjung tinggi sebagai kebenaran yang abadi dibandingkan dengan sesuatu yang rill didalam dinamika masyarakat.
 Secara formal dalam peraturan perundang-undangan di Republik Indonesia telah menampilkan sesuatu yang dapat menjadi kewenangan mutlak bagi seorang aparat penegak hukum baik itu polisi, jaksa dan hakim dalam menegakan hukum. Sebagaimana diungkapkan oleh Wawan Tunggal Alam,SH[17] (2004;25) bahwa seorang hakim di Indonesia adalah seorang dewi yang dengan menutup mata yang memegangi timbangan. Begitulah simbol keadilan, Dewi Justicia. Menutup mata berarti pengadil tidak memihak, tidak melihat siapa dan dari golongan apa diadili. Sang Dewi Justicia ini akan mengadili siapa saja. Tak peduli pria, wanita, kaya, miskin, rakyat biasa, pengusaha, pendeknya siapa saja dan tak dipandang bulu apa tingkat dan kedudukannya di masyarakat. Oleh sebab itu, sang Dewi Justicia ini memiliki mata tertutup. Yang pada akhirnya mempunyai tugas mengadili seadil-adilnya, seperti timbangan yang tidak berat sebelah.
Akan tetapi, sang Dewi Justicia pengadil tidak bisa langsung menjalankan tugasnya di bumi. Ia butuh orang yang dapat melaksanakan cita-citanya. Maka ditunjuklah hakim. Hakim adalah perpanjangan tangan sang dewi keadilan di bumi. Begitulah simbol Dewi Justicia atau Dewi Pengadil yang diberikan bagi hakim dalam menjalankan tugasnya.
Lebih lanjut Wawan[18] menyatakan bahwa Hakim itu berarti orang yang menegakan keadilan dan kebenaran, menghukum orang yang salah dan membenarkan orang yang benar. Dan, didalam menjalankan tugasnya ia tidak hanya bertanggung jawab kepada pihak-pihak yang berperkara dan menjadi tumpuan harapan pencari keadilan (justiabelen), tetapi juga tanggung jawabnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bukanlah tiap amar putusan hakim selalu didahului : ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa?”.
Kata ”Demi” adalah sumpah. Sumpah dengan mempertaruhkan nama Tuhan. Tentunya, kalimat itu bukan Cuma sekadar wajib dibaca sang pengadil kecuali bagi hakim yang tak percaya adanya Tuhan. Berat memang menjadi hakim. Karena hakim seolah digambarkan sebagai wakil Tuhan di bumi dalam memutuskan subuah sengketa. Ia pun membawa-bawa nama Tuhan. Namun demikian, disisi lain, hakim adalah tetap manusia biasa yang bisa khilaf, keliru, dan salah.
Sekali pun begitu, apapun kontroversinya jabatan hakim : disatu sisi seolah wakil Tuhan dalam memutus sengketa, dan disisi lain adalah manusia biasa yang bisa khilaf, tetap saja tidak dapat ditolerir jika wakil Tuhan di bumi ini melakukan jual beli vonis, suap, korupsi atau praktik-praktik mafia peradilan. Betapa berbahayanya jika hakim mengadili kasus korupsi tetapi berbalas juga korupsi pula. Artinya sang hakim membebaskan terdakwa korupsi lantaran ia kebagian jatah pula dari uang korupsi itu dengan menerima suap. Sehingga, tidak apa tempatnya jika hal ini dikatakan sebagai suatu khilaf.
Betapa mulianya profesi hakim. Karena itu pula, diberbagai negara, hakim sangat dihormati dan diberikan kedudukan yang tinggi di masyarakat. Ia dianggap sebagai orang yang paling bijaksana. Bahkan penghinaan terhadap hakim dapat dihukum berat. Termasuk adanya aturan contempt of court (sekalipun di Indonesia contempt of court belum diatur secara tegas dalam undang-undang) jika penghina hakim ketika ia sedang menjalankan tugasnya di ruang sidang.
Begitu pentingnya profesi hakim, sampai-sampai ruang lingkup tugasnya harus dibuat undang-undang. Tengok saja, dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang diubah dengan UU No.35 tahun 1999 dan disesuaikan (diubah) lagi melalui UU No. 04 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kemudian, UU No. 08 tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU tentang Komisi Yudicial, dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Bahkan dalam menjalankan tugasnya di ruang sidang, hakim terikat dengan aturan hukum, seperti halnya pada Pasal 158 KUHAP yang mengisyaratkan : ”Hakim dilarang menunjukan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa”. Begitu pula dalam menilai alat bukti, undang-undang telah dengan tegas meningkatkan hakim untuk bertindak arif lagi bijaksana” (Pasal 188 ayat (3) KUHAP). Tak hanya itu saja. Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, dan profesional dan berpengalaman dibidang hukum, demikian  bunyi Pasal 32 UU No. 04 tahun 2004.
Profesi hakim merupakan profesi hukum, karena pada hakekatnya merupakan pelayanan kepada manusia dan masyarakat di bidang hukum. Oleh karenanya hakim dituntut memiliki moralitas dan tanggungjawab yang tinggi yang kesemuanya harus dituangkan dalam etika profesi, yang salah satunya adalah pelayanan profesi dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai luhur.
Dengan demikian hakim telah diberikan tempat pada konstitusi negara RI. Dalam Amandemen ketiga UUD 1945, Pasal 24 ayat (1) ditegaskan bahwa ”Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggerakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan”; Ayat (2) ”Kekuasaan  dilakukan oleh sebuah Mahkaman Agung dan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan agar hakim dalam melaksanakan tugasnya dapat sungguh-sungguh dan memiliki independensi, secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah atau kekuasaan lain dalam masyarakat.
Dalam melaksanakan tugasnya, hakim terkadang merupakan terompet undang-undang[19] (meminjam istilah disiplin F. Manao) dalam menangani kasus yang telah jelas ditentukan undang-undang sehingga hakim tinggal menerapkannya. Namun pada saat yang lain, hakim juga harus menafsirkan undang-undang, apabila dalam kasus yang hukumnya tidak atau belum jelas, sehingga memerlukan penafsiran dengan cara metode penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum.
Seorang hakim juga dituntut untuk dapat menentukan hukumnya, yakni saat undang-undang belum mengatur atas kasus tersebut (rechtsvinding). Dengan demikian hakim perlu punya keberanian menem,ukan hukum, manakala hukum positif tidak mengaturnya. Hakim perlu punya kebarian untuk tidak mengikuti aliran dogmatis-yuridis[20].
Dengan demikian hakim tidak boleh menolak untuk mengadili suatu perkara yang diajukan dengan alasan bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan hakim wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Oleh karena itulah seorang hakim sebagai aparat penegak hukum dan keadilan wajib mengadili, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan dapat memeberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Tugas hakim untuk menentukan hukum dan keadilan dalam masyarakat adalah berat tapi mulia. Berat, karena sebagai manusia biasa yang penuh dengan segala kekurangan tapi diberi hak istimewa (prevelige) oleh negara atas nama Tuhan Yang Maha Esa untuk menentukan salah tidaknya, benar tidaknya tindakan seseorang. Bahkan dalam perkara pidana, adakalanya menentukan hidup matinya seseorang. Luhur dan mulia, karena dengan putusannya, seorang hakim diharapkan mampu menampakan cahaya kebenaran dan keadilan masyarakat.
Kendala dan liku-liku yang dihadapi hakim dalam melaksanakan tugasnya, dapat disebabkan oleh sejumlah faktor baik secara internal maupun secara eksternal diri seorang hakim. Seperti disebutkan oleh F. Manao dalam bukunya wawan Tunggal Alam (2004:30) adalah dorongan dari diri pribadi hakim itu sendiri, seperti rasa simpati, empati, antipati, emosi, keinginan, kepentingan, kekuatan dan lain-lain semuanya adalah faktor internal. Sedangkan faktor eksternalnya adalah kondisi yang berasal dari luar diri hakim, seperti persaudaraan, persahabatan, penyuapan, pengarahan, tekanan, ancaman, ancaman, tindakan kekerasan, pembentukan opini, kepentingan politik, kepentingan kelompok, termasuk juga intervensi struktural (melalui undang-undang)[21].
Dari dalam internal pengadilan, fungsi dan tugas hakim yang mempunyai kewenangan dan kekuasaan yang besar dapat menimbulkan potensi penyimpangan berupa perbuatan tercela, kekeliruan teknis, dan pelanggaran hukum. Sedangkan faktor dari luar pengadilan dapat berupa kekosongan atau ketidaksempurnaan aturan hukum dibebankan kepada badan peradilan untuk mengisi fungsinya. Bahkan ada bentuk baru yakni tekanan dari pihak tertentu yang mendesak ketua MA untuk memeriksa setiap Majelis hakim yang memutus perkara yang dirasa kurang sesuai dengan selera masyarakat atau keinginan pihak tertentu.
Untuk mengurangi hal tersebut, oleh Tunggal, Alam, Wawan, SH, (2004 :32)[22] perlu dukungan dan membentengi para hakim agar dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya mengeliminasi kefanaannya dan menangkal intervensi perlu upaya-upaya seperti :
1.      pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang sepadan;
2.      penyediaan sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung pelaksanaan tugas;
3.      pendidikan dan pembinaan yang cukup sehingga dapat menjadikan seorang profesional yang handal;
4.      norma-norma yang baku dan ketentuan-ketentuan mengenai hak dan kewajibannya;
5.      perlindungan atas pelecehan terhadap tugas hakim (contemp of court) dan perlindungan atas ancaman fisik dan teror, serta perlindungan atas intervensi terhadap kemandirian;
6.      pengawasan sebagai sistem kontrol untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan yang tidak diinginkan;
7.      pembebasan dari tuntutan ganti rugi karena adanya kesalahan dalam perbuatan yang merupakan pelaksanaan tugasnya dalam bidang peradilan;
8.      penghargaan bagi yang telah melaksanakan tugasnya dengan baik dan sanksi bagi yang melanggar peraturan;
9.      meningkatkan budaya hukum masyarakat.
Namun demikian, pada akhirnya kunci dari keseluruhannya, adalah terletak pada integritas insan hakim (the man behind the robe) itu sendiri, sebab :
1.      pemenuhan upaya-upaya tersebut diatas, tidak dengan sendirinya akan langsung menjamin kemandirian;
2.      kurangnya pemenuhan tersebut dan banyaknya intervensi tidak dapat dijadikan alasan pembenaran untuk menggoyahkan kemandirian;
3.      kemandirian harus tetap dipertahankan sekalipun pemenuhan upaya-upaya tersebut sangat kurang dan adanya intervensi yang berat;
Integritas yang bersumber pada hati nurani dan profesionalisme yang bersumber pada intelektualitas, keduanya tidak selalu berbanding lurus, bahkan seringkali bertolak belakang. Orang yang kecerdasan intelektualnya tinggi tapi kecerdasan spiritualnya rendah adalah orang yang berbahaya dan membahayakan kehidupan orang lain. Dengan demikian sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang hakim adalah mendengarkan dengan cermat, menjawab secara bijak sana, mempertimbangkan dengan teliti, dan mengambil keputusan tanpa memihak.
IV. PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pada bagian ini penulis menyimpul hal-hal yang berhubungan perkembamngan pemikiran Olever Wendell Holmes dalam pembangunan hukum di Indonesia adalah :
1.      Secara formal kekuasaan hakim di Indonesia telah dimenjamin kemerdekaannya untuk melakukan penemuan hukum dengan menyelesaikan kasus yang ada dalam lapisan masyarakat di Indonesia namun belum terapkan secara  baik dan benar terutama menyeluruh bagi para hakim-hakim yang ada diwilayah Indonesia sehingga hakim-hakim masih dipandang sebagai corong dari undang-undang;
2.      Hukum di Negara Indonesia adalah paham yang menjunjung tinggi paham positivisme sehingga yang dikatakan hukum adalah hukum, sebaliknya kewenangan hakim hanya bersifat sebagai pihak yang berupaya untuk menegakan hukum yang telah ditentukan oleh para pembuat undang-undang.
B.     Saran
Sebagai saran terhadap penulisan ini adalah penulis mengemukakan bahwa dalam wilayah negara Indonesia yang sangat luas dengan pulau-pulau dan beragam enis, budaya serta banyaknya suku bangsa maka apabila hakim masih menjadi corong dari suatu undang-undang maka keadilan sebagai mana disebutkan berdasarkan Ketuhanan Yang Masa Esa tidak akan tercapai. Akhirnya lembaga pengadilan sebagai tempat orang mendapatkan keadilan sangat tidak memberikan keadilan bagi mereka yang akan memperoleh keadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Rahardjo, Satjipto, 2007, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Syahrani,Ridwan,H.SH. 2004, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya, Bandung.
Lubis, K, Suhrawardi, 2002, Etika Profesi Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Supriyadi,SH.M.Hum, 2006, Etika dan Tanggung jawab Profesi Hukum di Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Sunaryo, Sidik, 2005, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang, Malang.
Mulyadi, Lilik,SH.M.H, 2007, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Normatif, Teoritis, Praktis Dan Masalahnya), Penerbit Alumni, Bandung.
Marwan Mas,SH.MH. 2004, Pengantar Ilmu Hukum , Penerbit Ghalia Indonesia,
Simorangkir, J.C.T, dkk, 2000, Kamus Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Kelsen, Hans, (terjemah : Siwi Purwandari), 2007, Pengantar Teori Hukum, Penerbit Nusa Media, Bandung.
Tanya, Bernard,L, Dr. SH.MH,2006,  Teori Hukum strategi tertib Manusia lintas ruang dan generasi, Penerbit CV. Kita, Surabaya.
Salman, Otje, H.R, Dr. Prof, dan Susanto,F, Anton, SH.M.Hum, 2005, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Penerbit Refika Aditama, Bandung.
Sidharta, Arif, B. SH, (penterjemah), 2007, Meuwissen tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Filsafat Hukum, dan Teori Hukum,   Refika Aditama, Bandung.
Tunggal, Alam, Wawan, SH, 2004, Memahami Profesi Hukum (Hakim, Jaksa, Polisi, Notaris, Advokat, Konsultas Hukum Pasar Modal), Penerbit Milenia Populer, Jakarta.
Sudirman, Antonius,SH.M.H, 2007, Hati Nurani Hakim dan Putusannya (suatu pendekatan dari perspektif ilmu hukum perilaku ”Behavioral Jurisprudence” Kasus Hakim Bismar Siregar), Penerbit PT. Citra Adutya, Bandung.
Faisal, Salam, Moch, 2001, Hukum Acara Pidan Dalam Prakter, Penerbit Maju Mundur, Bandung.
Darji, Darmodiharjo, SH dan Shidarta,SH.M.Hum, 2006, Pokok-Pokok Filsafat hukum, apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Utama, Jakarta.
Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Manulang, 2007, Pengantar ke Filsafat Hukum, Penerbit Fajar Interpratama Offset, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 1987, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Penerbit Radja Wali Pers,  Jakarta, Cetakan III.
-------------------------, 1980, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Penerbit PT Radja Grafindo Persada, Jakarta.
Hilman Hadikusuma, 1986, Antropologi Hukum Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung. 
Zainudin, Ali, H. Dr. Prof, 2005, Sosiologi Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.





[1] Disampaikan dalam diskusi antar mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu hukum Universitas Nusa Cendana Kupang tahun 2009.
[2] Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu hukum Universitas Nusa Cendana Kupang tahun 2008 dan Dosen Tidak tetap Pada Universitas Kristen Artha Wacana Kupang (2004-2010) dan sekarang Dosen HTN dan HAN Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang serta Dosen Tidak Tetap Universitas Pelita Hati Kupang.
[3] Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Manulang, Pengantar ke Filsafat Hukum, Penerbit Fajar Interpratama Offset, Jakarta. , 2007, hal. 154.
[4] Ibid….hal 155-156
[5] Rahardjo, Satjipto, 2007, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta,  hal 36-37
[6]Ibit..... Halaman 16-17
[7] Sudirman, Antonius,SH.M.H, Hati Nurani Hakim dan Putusannya (suatu pendekatan dari perspektif ilmu hukum perilaku ”Behavioral Jurisprudence” Kasus Hakim Bismar Siregar), Penerbit PT. Citra Adutya, Bandung. 2007 Hal. 1.

[8] Marwan Mas,SH.MH. Pengantar Ilmu Hukum , Penerbit Ghalia Indonesia, 2004, halaman 128-129.
[9] Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Manulang, 2007, Pengantar ke Filsafat Hukum, Penerbit Fajar Interpratama Offset, Jakarta. Halaman : 158.
[10] Marwan Mas, SH.M.H. 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, halaman, 129.
[11] Syahrani,Ridwan,H.SH. 2004, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya, Bandung. Halaman 59.
[12] Pandangan Holmes tentang kewenangan hakim dalam putusannya tentang hukum dan keadilan sebagai mana telah disebutkan oleh Cahyadi dan Fernando, halaman 157.
[13] Pendapat ini dikemukakan juga oleh Darji, Darmodiharjo, SH dan Shidarta,SH.M.Hum, 2006, Pokok-Pokok Filsafat hukum, apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Utama, Jakarta halaman 136.
[14] Disebutkan oleh Shuchman,1979:73 sebagaimana dikutib oleh Darji, Darmodiharjo, SH dan Shidarta,SH.M.Hum, 2006, Pokok-Pokok Filsafat hukum, apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Utama, Jakarta, halaman 138-139
[15] \Marwan Mas, SH.M.H. 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, halaman, 129-130.
[16] Tanya, Bernard,L, Dr. SH.MH,2006,  Teori Hukum strategi tertib Manusia lintas ruang dan generasi, Penerbit CV. Kita, Surabaya, Halaman 138.
[17] Tunggal, Alam, Wawan, SH, 2004, Memahami Profesi Hukum (Hakim, Jaksa, Polisi, Notaris, Advokat, Konsultas Hukum Pasar Modal), Penerbit Milenia Populer, Jakarta. Halaman 25-36
[18] Ibit..... halaman  30.
[19] Ibit.... halaman  29.
[20] Ibit ….halaman 30
[21] Ibit…. Halaman 31.
[22] Ibit….halaman 31

Tidak ada komentar: