Oleh
Dosen HTN dan HAN FH UNDANA
I. PENDAHULUAN
A.
Alasan Pemilihan Tokoh
Aliran-aliran dalam mazhab realisme hukum telah berkembang
sejak abad ke 19 hingga abad ke 20 terutama di Amerika serikat dan Skandinavia.
Seperti halnya di AS berkembang sejalan dengan paham laissez fair
menjadi kepercayaan yang dominan di sana[3].
Segala kegiatan intelektual dalam bidang apapun, termasuk filsafat dan
ilmu-ilmu sosial, selalu dipengaruhi oleh pandangan formalisme.
Pandangan yang formalis ini sesungguhnya menerapkan prinsip-prinsip logika dan
matematika dalam kajian filsafat, ekonomi maupun jurisprudence, tanpa mencoba
menghubungkannya dengan fakta-fakta yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, kebangkitan
dan kemajuan teknologi dan ilmu-ilmu emperis yang mendominasi kehidupan nyata
di AS, telah merubah cara kaum intelektual untuk memperlakukan filsafat dan
ilmu-ilmu sosial, termasuk logika sebagai kajian emperis, yang yang tidak
berakar pada pendekatan-pendekatan yang abtrak ala formalisme.
Perubahan pandangan tadi, menggiring sebuah gerakan baru di
AS, yang pada ujungnya merupakan gerakan ”perkembangan melawan formalisme”
sebuah aliran pemikiran yang memiliki tendensi atau kecondongan untuk
memberikan tekanan lebih kuat pada forma (bentuk) dari pada isi. Pembedaan pada
bentuk dan isi untuk pertama kalinya diungkapkan oleh Aristoteles yang sangat berhubungan
erat pembedaan aktus dan potensialia. Tokoh-tokoh
yang membangkang melawan formalisme ini
cukup banyak, dari latar belakang filsafat atau logika, hingga ahli ekonomi,
ahli sejarah, dan seterusnya. Dibidang hukum, antara lain Oliver Wendell
Holmes, Jerome Frank dan Benyamin N. Cardozo.
Cahyadi
dan Manullang (2007:155)[4]
menyebutkan pemikiran hukum sebagai gerakan pembangkangan intelektual dengan
ciri-ciri umumnya adalah sebagai berikut :
1.
Para pemikir realisme hukum AS amat kritis dengan pemikiran
emperis yang dikembangkan di Inggris, yang diusung oleh tokoh-tokoh seperti
David Hume, Jeremy Betham, Austin,dan juga John Stuard Mill. Para filsuf ini
memang para positifis yang menolak pemikiran metafisis. Namun menurut kaum
intelektual hukum di AS, mereka tadi dianggap kurang emperis dalam menjelaskan
ide-idenya. Para filsuf Inggris tidak mendasarkan argumentasinya pada
alasan-alasan yang aktual yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari karena
mereka masih mengemukakan konsep-konsep formal yang dianggap masih bernuansa
abstrak;
2.
Para pemikir realisme Amerika ini juga amat kritis terhadap
gagasan historis yang dikembangkan oleh kaum utilitarian Inggris. Menurut
Mazhab Realisme Hukum pengembangan pengetahuan harus dilakukan secara emperis
dan selalu mencari jalan penyelesaiaan bagi setiap problem praktis yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari. Gagasan kaum utilitarian Inggris dianggap belum
menjawab hal itu;
3.
Pendekatan dalam realisme hukum Amerika lebih dipengaruhi
oleh pendekatan sosiologis (dan juga psikologi sosial). Pendekatan ini mengarah
pada satu objek pokok yakni apa yang diaktual terjadi dalam hal ini apa yang
terjadi dalam lembaga pengadilan. Bagaimana praktek hukum yang dilaksanakan oleh
para hakim dan pegawai pengadilan, menjadi persoalan yang pokok. Merekalah yang
membuat hukum secara konkrit, karena dari merekalah, masyarakat melihat adanya
hukum yang eksis. Persoalan teoritis, oleh sebab itu, tidak perlu diindahkan.
Satjito Rahardjo[5]
(2007:37-36) mengungkapkan lebih dalam dan jauh tentang tempat dan peran
pengadilan dalam dinamika perubahan masyarakat. Dari abad ke abad kita melihat
betapa peran pengadilan berubah. Untuk berhenti dari peralihan dari abad ke 19
ke abad ke 20, maka disitu kita menyaksikan pelan-pelan terjadinya perubahan dari
peran pengadilan sebagai institusi hukum yang sempit dan terisolasi menjadi
pengadilan (untuk) rakyat.
Pengadilan yang terisolasi ini juga dinyatakan dalam ungkapan
pengadilan sebagai corong undang-undang, tidak lebih dan tidak kurang. Memang
sangat liberal dan sangat legalme-positivistik yang sangat kuat di abad ke 19
itu memberikan landasan teori bagi munculnya pengadilan yang terisolasi dari
dinamika masyarakat dimana pengadilan berada.
Isolasi tersebut juga mengandung isolasi kearah kediktatoran
pengadilan (judicial dictatorship) oleh karena ia memutus semata-mata dengan
mengingat apa yang menurut tafsirannya dikehendaki oleh hukum tanpa harus
melibatkan kedalam atau mendengarkan dinamika masyarakat tersebut. Itulah
sebabnya secara sosiologis pengadilan menjadi terisolasi dari keseluruhan
dinamika masyarakatnya dan menjadi benda asing dalam tubuh masyarakat itu.
Sementara dinamika masyarakat menampilkan pengorganisasian
baru, seperti perkembangan demokrasi dan bangkitnya kekuatan-kekuatan baru
dalam masyarakat, seperti buruh, yang mengubah peta sosial dan politik secara
mendalam. Kalau hukum liberal ke 19 banyak dikaitkan pada golongan borjuis,
maka menjelang dan memasuki abad ke 20 kata kuncinya adalah rakyat. Naiknya
peran dan partisipasi rakyat ini tidak dengan mudah diakomodasikan oleh
institusi hukum, termasuk pengadilan. Semestinya pengadilan juga mengubah perannya
dari semata-mata menjadi corong undang-undang, kepada pengadilan yang diwakili
dan mendengarkan suara rakyat. Bahkan ada ujaran bahwa pengadilan hendaknya
menyuarakan mereka atau golongan-golongan yang unrepresented dan
under-represented[6].
Memahami hukum serta menerapkannya dalam perilaku manusia
adalah suatu cara dimana para pemikir tentang arti dan makna serta hakekatnya
hingga kini belum selesai. Banyak pemikir yang sampai sekarang dengan kemampuan
argumentasinya belum selesai dan layak untuk diperbaharui agar menjawab
kebutuhan perilaku manusia. Satjipto Rahardjo (2007:32) menguraikan secara
sederhana tiga macam berpikir atau kecerdasan yakni rasional, perasaan dan
spiritual. Rasional berarti logis, linier, serial dan tidak ada rasa
keterlibatan (dispassionate). Perasaan lebih mempertimbangkan lingkungan atau
habitatnya, sehingga tidak hanya semata-mata dengan menggunakan logika tetapi
yang terpenting adalah konteksnya. Sedangkan kecerdasan secara spiritual lebih
menampilkan cara-cara berpikir dalam hukum yang pada gilirannya mempengaruhi
tindakan dalam menjalankan hukum.
Sebagai mana
dikemukakan oleh pendapat Bismar Siregar[7]
(2007:1) bahwa tidak dipungkiri bahwa ”misi suci” (Mission Sacree) lembaga
peradilan di Indonesia bukan untuk menegakan hukum demi hukum itu sendiri,
seperti yang dikemukakan oleh Oliver Wendell Holmes, ”The supreme court
is not court of justice, it is a court of law”, melainkan untuk
menegakan hukum demi keadilan, baik bagi individu maupun bagi masyarakat,
bangsa dan negara, bahkan keadilan yang dimaksudkan adalah keadilan demi Tuhan
Yang Maha Esa sehingga terciptanya suasana kehidupan bermasyarakat yang aman,
tenang, tertib dan damai. Hal ini tercermin dari setiap keputusan hakim di
Indonesia, yang diawali dengan ungkapan yang sangat relegius yakni : ”Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Untuk menjalankan ”misi suci” tersebut maka hakim diberi
kekuasaan yang bebes dan mandiri agar putusan-putusannya tidak mudah
diintervensi oleh kekuatan ekstra judicial, seperti penguasa dan kekuatan
lainnya dalam masyarakat (seperti kekuatan politik dan ekonomi). Hal ini
dijamin oleh UUD (yang telah mengalami empat kali perubahan) dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku positif di Indonesia, antara lain UU No. 4
tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang merupakan perubahan terhadap
undang-undang No. 14 tahun 1970 dan UU tentang Mahkamah Agung RI No. 5 tahun
2004 sebagai perubahan atas UU No. 14
tahun 1985.
Berdasarkan isu yang berkembang di tengah masyarakat, maka
diperoleh gambaran bahwa tidak semua hakim memiliki kemandirian dalam
pengambilan keputusan. Ada sebagian hakim yang dipengaruhi oleh pengausa dan
kaum powerfull lainnya (elit ekonomi dan politik) sehingga tidak heran apabila
putusan-putusannya jauh dari rasa keadilan. Hal ini tampak dari berbagai ragam
tanggapan miring yang dikemukakan oleh masyarakat (wakil rakyat, pakar hukum,
praktisi hukum, dan kaum awam) tentang eksistensi lembaga peradilan sebagai
benteng terakhir penegakan hukum dan keadilan.
Berdasarkan pandangan
tersebut diatas penulis ingin menggambarkan secara rinci dan lengkap PEMIKIRAN OLIVER WONDELL HOLMES DALAM
PEMBANGUNAN HUKUM DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA.
B.
Gambaran singkat tentang pemikirannya
Secara singkat gambaran
pemikiran dari Oliver Wendell Holmes tentang hukum sebagai
gerakan menentang fomalisasi dari kehendak aturan atau undang-undang adalah :
1. Hukum adalah keputusan hakim atau keputusan pengadilan[8],
yang artinya bahwa “hukum itu apa yang dibuat oleh hakim melalui putusannya,
dan hakim lebih banyak disebaut membuat hukum daripada menemukan hukum”.
2. Pandangan Oliver Wendell Holmes mengenai hukum
bermula dari idenya bahwa hukum itu sama halnya dengan pengalaman,
seperti juga halnya dengan logika[9].
3. Hukum adalah kelakuan actual para hakim (patterns of
behavior), dimana kelakuan itu ditentukan oleh tiga faktor sebagai hal
yang mempengaruhi putusan hakim, yaitu kaidah hukum yang dikonkretkan oleh
hakim dengan metode interpretasi dan kontruksi, moral hidup pribadi hakim, dan
kepentingan sosial[10].
4.
|
|
aliran hukum Realime skemanya
adalah[11]
:
5. Esensi dari hukum menurut ajaran realisme dari Holmes
adalah perkembangan ilmu hukum itu terletak pada “pengujian fakta-fakta”
dan kehidupan hukum pada dasarnya bukan logika, melainkan pengalaman (the
life of the law has been, not logic, but experience)[12];
Serta yang dianggap sebagai hukum adalah ramalan tentang apa yang dilakukan
oleh pengadilan dalam kenyataan dan tidak ada yang lebih penting dari itu.
C.
Latar belakang tokoh
Lahir Pada Tanggal 8 Maret
1841 in Biston, Massachusetts. Namanya berasal dari
bapaknya yang merupakan seorang penulis dan dokter. Kemampuan Intelektualnya
yang menakjubkan, untuk mengungkapkan dirinya membuat Oliver Wendell Holmes,Jr.
berada dalam pikiran Amerika yang disegani. Ia menjadi anggota Mahkamah Agung
Amerika Serikat selama kurang lebih 30
tahun.
Oliver
Wendell Holmes lulus dari Harvard
University di tahun 1861 dan bergabung dengan dinas ketentaraan AS saat
perang saudara. Pengalaman hidupnya selama dalam perang menjadi modal bagi Oliver
Wendell Holmes untuk menjadi seorang realis. Di sana ia melihat betapa
penderitaan manusia, sesamanya, sedemikian real/nyata.
Di tahun 1870 Holmes
menjadi editor untuk jurnal American Law Review. Pada tahun 1881
dia menerbitkan bukunya edisi pertama dari The Common Law. Tahun
1882, ia menjadi professor di Harvard Law dan hakim pada Pengadilan Tinggi Massachusetts.
Di tahun 1899 ia ditunjuk sebagai hakim ketua dari pengadilan Negara. Dia
menjadi terkenal karena inovasinya dan keputusannya yang sangat logis yang
mencoba menyimbangkan antara hak milik dengan peraturan perundang-undangan. Dia
juga terkenal dengan hakim yang mengakui hak para buruh untuk mengorganisasikan
diri dalam serikat buruh. Pada hal sebelumnya hak buruh tidak begitu diakui dan
malah hak buruh untuk berserikat dianggap secara ilmiah illegal. Kasus ini
kemudian sebagai Kasus Lochner v. New York (1905).
Kasus Lochner v. New York
(1905) memeng merupakan kasus controversial. Dalam kasus ini Supreme
Court Amerika memutuskan bahwa peraturan yang membatasi jam kerja
adalah inkonstitusional karena pembatasan itu mencampuri “hak untuk
berkontrak” yang tercantum dalam klausul due process.
Bagi para penantangnya keputusan tersebut menunjukan betapa Mahkamah Amerika
sedemikian berpihak pada ideology personal dan mengesampingkan penafsiran
konstitusional yang sah atau legitim.
Faktanya, di Negara bagian New
York mengeluarkan undang-undang yang membatasi jumlah jam kerja buruh di pabrik
roti yang dapat bekerja selama 60 jam perminggu. Joseph Luchner, sang pemilik
pabrik roti di Utika, didenda $20 karena telah mempekerjakan buruhnya lebih
dari batas waktu kerja per minggu. Selain didenda ia juga diancam hukuman 50
hari penjara atau ganti denda sebesar $ 50.
Hakim Rufus Wheeler
Peckham, yang menulis untuk pendapat mayoritas dari Mahkamah Agung AS
dan berarti juga opinion of the court, membebaskan hukuman atas Lochner
dan membatalkan undang-undang tersebut karena bagi the court,
undang-undang tersebut secara tidak sah melanggar hak untuk melakukan kontrak
atau perjanjian (the right to contract), padahal hak atau
kemerdekaan untuk itu merupakan salah satu yang dilindungi oleh prinsip
legalitas di amandemen ke 14 konstitusi Amerika. Pengadilan tidak menemukan
alas an khusus untuk melindungi para buruh itu. Bagi pengadilan mereka adalah
urusan Negara bagian. dan menolak bukti yang diberikan Negara bagian berkaitan dengan alas an kesehatan. (Alasan
kesehatan yang diajukan Negara bagian
tidak dapat dipertimbangkan). Pengadilan menyatakan bahwa apabila pengadilan
menerima tuduhan yang diajukan Negara bagian dan mengalahkan pengusaha, maka
hal itu akan menjadi preseden buruk bagi iklim usaha, karena dapat saja
ditafsirkan bahwa ideology anti bisnis (antikapitalis) akan
menjadi hokum.
Hakim John Marshall
Harlan berbeda pendapat. Ia berpendapat bahwa Negara memiliki alasan
untuk mengatur segenap perikehidupan warga negaranya termasuk buruh-buruh
pabrik itu, juga karena kesehatan mereka. Hakim Harlan mengutip banyak hasil
penelitian terhadap para buruh pabrik itu menyangkut kesehatan pernapasan dan
resiko kerja yang mereka hadapi. Hakim Harlan menyatakan bahwa ia lebih memilih
dengan menyerahkan keputusan pada para pembentuk undang-undang untuk hal-hal
dimana pengadilan tidak mempunyai atau kurang mempunyai kompetensi.
Latar belakang tokoh ini
merupakan sebuah gerakan dalam menentang pemikiran formalime yang dengan
kekuatan pemikirannya untuk membangkang terhadap idealime positivisme yang
berkembang mendahuluinya.
III. PEMBAHASAN
A.
Uraiaan Pemikirannya Tentang Hukum
Pemikiran dari Oliver Wendell Holmes sejak
tahun 1870 menjadi editor untuk jurnal American Law Review,
dengan menerbitkan bukunya yang pertama tentang ” The Common Law”,
selain itu bertugas sebagai Hakim Pada Pengadilan Tinggi Massachusetts.
Setelah itu sejak tahun 1899 ditunjuk sebagai Hakim dari Pengadilan Negara.
Sebagaimana telah dikatakan
oleh Oliver Wendell Holmes, Jr, bahwa dugaan-dugaan tentang
apayang diputuskan oleh pengadilan itulah yang disebutkan dengan hukum. Pendapat
holmes ini menggambarkan secara tepat pandangan realis Amerika yang pragmatis
itu.
Pendekatan pragmatis tidak
percaya pada bekerjanya hukum menurut ketentuan-ketentuan hukum diatas kertas. Hukum
bekerja mengikuti peristiwa-peristiwa konkrit yang muncul. Oleh karena itu,
dalil-dalil hukum yang universal harus diganti dengan logika yang fleksibel dan
ekspreimental sifatnya. Hukum pun tidak bekerja menurut disiplinnya sendiri. Perlu
ada pendekatan yang interdisipliner dengan memanfaatkan ilmu-ilmu seperti ekonomi,
sosiologi, psikologi, dan kriminologi. Dengan penyelidikan terhadap
faktor-faktor social berdasarkan pendekatan tersebut dapat disinkronkan antara
apa yang dikehendaki hukum dan fakta-fakat kehidupan sosial. Semua ini
diarahkan agar hukum dapat bekerja secara lebih efektif.
Sumber hukum utama aliran ini
adalah putusan hakim. Seperti diungkapkan oleh John Chipman Gray[13]
: All the law is judge-made-law, semua yang dimaksudkan dengan hukum adalah
putusan hakim. Hakim lebih sebagai penemu hukum dari pada pembuat hukum yang
mengandalkan peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut, oleh Holmes
dalam pendapatnya Dardji Darmodihardjo (2006:138) bahwa seorang sarjana hukum harus
menghadapi gejala-gejala hidup secara realistis. Kalau ia ia berusaha mengambil
sikap demikian, ia akan sampai pada keyakinan bahwa para penjahat pun sama
sekali tidak menaruh minat pada prinsip-prinsip normative hukum, sekalipun
kelakuan mereka seharusnya diatur menurut prinsip-prinsip itu. Bagi mereka yang
penting manakah kelakuan aktual (patterns of behaviour) seorang
hakim yakni pernyataan, apakah seorang hakim akan menerapkan sanksi pada suatu
kelakuan tertentu atau tidak.
Kelakuan para hakim
pertama-tama ditentukan oleh norma-norma hukum. Berdasarkan tafsiran lazim
norma-norma hukum itu dapat diramalkan, bagaimana kelakuan para hakim
dikemudian hari. Disamping norma-norma hukum bersama tafsirannya, moral hidup
dan kepentingan sosial ikut menetukan keputusan para hakim tersebut.
Ucapan Holmes yang sangat
terkenal, yang dianggap secara tepat menggambarkan realisme hukum Amerika
Serikat berbunyi : “the prophecies of what the courts will do in fact and
nothing more pretentiour, are what I mean by the law[14]”.
(pikiran-pikiran tentang apa yang akan diputuskan oleh pengadilan, itulah
yang saya maksudkan dengan hukum)
Pandangan Holmes
mengenai hukum bermula dari idenya bahwa hukum itu sama halnya dengan pengalaman,
seperti juga halnya dengan logika. Oleh sebab itu, menurutnya
hukum hanyalah sebatas prediksi-prediksi terhadap keputusan apa yang akan
dibuat oleh pengadilan. Ia menekan tentang pentingnya aspek empiris dan
pragmatis dari hukum. Karena itu sebuah police misalnya, yang telah diputuskan
atau dibuat menurut Holmes bukan didasarkan pada
pembenaran-pembenaran yang alamiah oleh ilmu hukum. Tetapi lebih karena
alasan adanya kepentingan masyarakat
(sosial) yang faktual.
Pada tahun 1909, tiga tahun
sebelum ia menangani kasus kontroversial di atas, Presiden Theodore
Roosevelt menunjuk Holmes sebagai hakim di Supre
Court AS. Kata-katanya yang cukup terkenal adalah “jiwa dari
hukum bukanlah logika tetapi pengalaman”. Dia menganjurkan agar
pengadilan melihat fakta ditengah masyarakat yang yang terus berubah, dari pada
hanya sekedar menerapkan slogan-slogan hukum dan formula hukum. Holmes yakin
bahwa hukum harus berkembang dan
melayani masyarakat. Dia mempunyai pengaruh yang besar dalam menganjurkan hakim
untuk tidak mengadopsi mendapat persoalan mereka. Dokrin semacam ini di AS
dikenal sebagai Judicial Restraint.
Schbert[15] (seorang guru besar ilmu politik di Universitas Michigan. AS)
mengomentari masalah “ramalan” yang dikemukakan Holmes bahwa ada
tiga pendekatan dalam melakukan ramalan yaitu sebagai berikut:
1.
Penggunaan destruktur
konversi, yaitu sentral dari proses perbuatan kebijakan pengadilan terletak
pada struktur konversi, dimana putusan hakim dipengaruhi oleh hasil interaksi
dari suatu kelompok dan pengintergrasian nilai-nilai individu para hakim;
2.
Penggunaan atribut-atribut,
yaitu pengaruh pengalaman pribadi seorang hakim, penunjukan politik hakim dan
afiliasi partai politik dari hakim;
3.
Penggunaan pengaruh
orientasi-sikap, yaitu pengaruh faktor ekonomi dan politik yang berkaitan
dengan persoalan vital dan fundamental pribadi dan keluarga hakim;
Hukum sebagai fakta yang
emperis, disamping itu harus dibedakan dengan moral. Baginya para praktisi
hukum harus diperketat pada persoalan mengenai apa itu hukum, yang bersifat
deskriptif, bukan pada persoalan mengenai bagaimana hukum itu seharusnya, hukum
itu harus bersifat preskriptif. Jadi yang penting adalah kelakuan aktual
seorang hakim akan menerapkan sanksi pada suatu
tindak tertentu atau tidak.
Deskripsi Holmes
mengenai prediksi keputusan yang dibuat oleh pengadilan, menempatkan betapa
pentingnya peranan hakim dan praktisi hukum. Prediksi-prediksi itu harus
dibangun berdasarkan pada aspek emperis, daripada berdasarkan argumentasi logis
yang deduktif sifatnya, seperti ideology. Menurut Holmes bahwa
yang mempengaruhi hakim dalam memutuskan suatu hal adalah : kaidah-kaidah
hukum, moral hidup pribadi, dan kepentingan social.
Menurut Holmes
bahwa aturan-aturan hukum hanya menjadi salah satu faktor yang patut
dipertimbangkan dalam keputusan yang berbobot. Faktor moral, soal kemanfaatan,
dan keutamaan kepentingan social milsalnya, menjadi faktor yang tidak kalah
penting dalam mengambil keputusan yang berisi. Jadi bukan sebuah pantangan,
jika demi keputusan yang fungsional dan kontekstual, aturan resmi terpaksa
disingkirkan (lebih-lebih jika menggunakan aturan itu justru berakhibat buruk).
Holmes menjadi hakim yang monumental dan seminal,, justru karena
penderian moralnya itu. Ia menjadi monument dari a creative lawyer : in accordance with
justice and eguality. Dengan kapasitas seperti ini para hakim memiliki
kompetensi untuk merubah UU, bila hal itu perlu[16].
Gagasan Holmes
ini memang berpengaruh besar dalam sistim hukum Amerika, karena diterima oleh
banyak praktisi disana saat itu. Hal ini juga meliputi gagasan yang brilian tentang
peran Hakim Agung yang harus menjadi sensor bagi seluruh legislasi dan beragam
aturan hukum dan keputusan yang dibuat di setiap Negara bagian, serta
keberadaan peradilan di Amerika yang secara faktual aparat-aparatnya diisi
berdasarkan keputusan para politikus. Fakta-fakta ini semakin menguatkan Holmes
bahwa pentingnya mempercayai pendekatan yang emperis terhadap proses hukum.
Perbedaan pendapat yang
diajukan Hakim Oliver Wendell Holmes, Jr. adalah pendapat yang
paling diingat. Ia menyerang para hakim yang mempunyai pendapat mayoritas dan
menjadi pendapat pengadilan (opinion of the court). Baginya para
hakim itu hanya menerapkan sudut persoalan mereka dalam menanggapi masalah ini.
Pandangan mereka sedemikian dijiwai oleh paham ekonomi laissez-faire.
Dengan paham liberal itu mereka mencoba menggagalkan peraturan yang telah
dibentuk oleh pembentuk undang-undang yang sah. Bagi Holmes
keputusan pengadilan itu dibentuk oleh kecurigaan-kecurigaan dan
tuduhan-tuduhan yang dimiliki para hakim. Namun demikian konstitusi tidaklah
dibuat hanya untuk mengakomodasi sebuah teori ekonomi saja.
Oliver
Wendell Holmes, Jr. juga mempersoalkan masalah substantieve
due (prinsip legalitas secara substantife). Ia melihat bahwa
prinsip itu adalah prinsip kosong yang memperbolehkan hakim secara semena-mena
menghalangi pembuatan keputusan yang demokratis (betapa tidak, para pembentuk
hukum yang telah sah dan legitim dipilih oleh konstituren Negara bagian yang bersangkutan
(demokratis) yang telah bersusah membuat undang-undang ternyata undang-undang
tersebut dianulir oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat).
B.
Konribusi Tokoh Bagi Hukum Di Indonesia
Keterbatasan referensi yang ada maka penulis mengungkapkan
bahwa bagi Indonesia pemikiran Oliver Wendell Holmes tentang
hukum belum menampilkan yang sesungguhnya dalam pola berpikir hakim-hakim di
Indonesia untuk menyatakan bahwa hukum adalah keputusan pengadilan. Sehingga
pada akhirnya hakim di Republik Indonesia masih memandang undang-undang sebagai
sesuatu yang perlu dijunjung tinggi sebagai kebenaran yang abadi dibandingkan
dengan sesuatu yang rill didalam dinamika masyarakat.
Secara formal dalam
peraturan perundang-undangan di Republik Indonesia telah menampilkan sesuatu
yang dapat menjadi kewenangan mutlak bagi seorang aparat penegak hukum baik itu
polisi, jaksa dan hakim dalam menegakan hukum. Sebagaimana diungkapkan oleh
Wawan Tunggal Alam,SH[17]
(2004;25) bahwa seorang hakim di Indonesia adalah seorang dewi yang dengan
menutup mata yang memegangi timbangan. Begitulah simbol keadilan, Dewi
Justicia. Menutup mata berarti pengadil tidak memihak, tidak melihat
siapa dan dari golongan apa diadili. Sang Dewi Justicia ini akan
mengadili siapa saja. Tak peduli pria, wanita, kaya, miskin, rakyat biasa,
pengusaha, pendeknya siapa saja dan tak dipandang bulu apa tingkat dan
kedudukannya di masyarakat. Oleh sebab itu, sang Dewi Justicia
ini memiliki mata tertutup. Yang pada akhirnya mempunyai tugas mengadili
seadil-adilnya, seperti timbangan yang tidak berat sebelah.
Akan tetapi, sang Dewi Justicia pengadil tidak
bisa langsung menjalankan tugasnya di bumi. Ia butuh orang yang dapat
melaksanakan cita-citanya. Maka ditunjuklah hakim. Hakim adalah perpanjangan
tangan sang dewi keadilan di bumi. Begitulah simbol Dewi Justicia
atau Dewi Pengadil yang diberikan bagi hakim dalam menjalankan
tugasnya.
Lebih lanjut Wawan[18]
menyatakan bahwa Hakim itu berarti orang yang menegakan keadilan dan kebenaran,
menghukum orang yang salah dan membenarkan orang yang benar. Dan, didalam
menjalankan tugasnya ia tidak hanya bertanggung jawab kepada pihak-pihak yang
berperkara dan menjadi tumpuan harapan pencari keadilan (justiabelen),
tetapi juga tanggung jawabnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bukanlah tiap amar
putusan hakim selalu didahului : ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa?”.
Kata ”Demi” adalah sumpah. Sumpah dengan mempertaruhkan nama
Tuhan. Tentunya, kalimat itu bukan Cuma sekadar wajib dibaca sang pengadil
kecuali bagi hakim yang tak percaya adanya Tuhan. Berat memang menjadi hakim.
Karena hakim seolah digambarkan sebagai wakil Tuhan di bumi dalam memutuskan
subuah sengketa. Ia pun membawa-bawa nama Tuhan. Namun demikian, disisi lain,
hakim adalah tetap manusia biasa yang bisa khilaf, keliru, dan salah.
Sekali pun begitu, apapun kontroversinya jabatan hakim :
disatu sisi seolah wakil Tuhan dalam memutus sengketa, dan disisi lain adalah
manusia biasa yang bisa khilaf, tetap saja tidak dapat ditolerir jika wakil
Tuhan di bumi ini melakukan jual beli vonis, suap, korupsi atau praktik-praktik
mafia peradilan. Betapa berbahayanya jika hakim mengadili kasus korupsi tetapi
berbalas juga korupsi pula. Artinya sang hakim membebaskan terdakwa korupsi
lantaran ia kebagian jatah pula dari uang korupsi itu dengan menerima suap.
Sehingga, tidak apa tempatnya jika hal ini dikatakan sebagai suatu khilaf.
Betapa mulianya profesi hakim. Karena itu pula, diberbagai
negara, hakim sangat dihormati dan diberikan kedudukan yang tinggi di
masyarakat. Ia dianggap sebagai orang yang paling bijaksana. Bahkan penghinaan
terhadap hakim dapat dihukum berat. Termasuk adanya aturan contempt of
court (sekalipun di Indonesia contempt of court belum
diatur secara tegas dalam undang-undang) jika penghina hakim ketika ia sedang
menjalankan tugasnya di ruang sidang.
Begitu pentingnya profesi hakim, sampai-sampai ruang lingkup
tugasnya harus dibuat undang-undang. Tengok saja, dalam Undang-Undang Nomor 14
tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang diubah
dengan UU No.35 tahun 1999 dan disesuaikan (diubah) lagi melalui UU No. 04
tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kemudian, UU No. 08 tahun 1981 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU tentang Komisi Yudicial, dan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Bahkan dalam menjalankan tugasnya di ruang sidang, hakim
terikat dengan aturan hukum, seperti halnya pada Pasal 158 KUHAP yang
mengisyaratkan : ”Hakim dilarang menunjukan sikap atau mengeluarkan
pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa”. Begitu
pula dalam menilai alat bukti, undang-undang telah dengan tegas meningkatkan
hakim untuk bertindak arif lagi bijaksana” (Pasal 188 ayat (3) KUHAP). Tak
hanya itu saja. Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang
tidak tercela, jujur, adil, dan profesional dan berpengalaman dibidang hukum,
demikian bunyi Pasal 32 UU No. 04 tahun
2004.
Profesi hakim merupakan profesi hukum, karena pada hakekatnya
merupakan pelayanan kepada manusia dan masyarakat di bidang hukum. Oleh
karenanya hakim dituntut memiliki moralitas dan tanggungjawab yang tinggi yang
kesemuanya harus dituangkan dalam etika profesi, yang salah satunya adalah
pelayanan profesi dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada
nilai-nilai luhur.
Dengan demikian hakim telah diberikan tempat pada konstitusi
negara RI. Dalam Amandemen ketiga UUD 1945, Pasal 24 ayat (1) ditegaskan bahwa
”Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggerakan
peradilan guna menegakan hukum dan keadilan”; Ayat (2) ”Kekuasaan dilakukan oleh sebuah Mahkaman Agung dan
peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Hal ini dimaksudkan untuk
memberikan jaminan agar hakim dalam melaksanakan tugasnya dapat sungguh-sungguh
dan memiliki independensi, secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah atau kekuasaan lain dalam masyarakat.
Dalam melaksanakan tugasnya, hakim terkadang merupakan
terompet undang-undang[19]
(meminjam istilah disiplin F. Manao) dalam menangani kasus yang telah jelas ditentukan
undang-undang sehingga hakim tinggal menerapkannya. Namun pada saat yang lain,
hakim juga harus menafsirkan undang-undang, apabila dalam kasus yang hukumnya tidak
atau belum jelas, sehingga memerlukan penafsiran dengan cara metode penafsiran
yang dikenal dalam ilmu hukum.
Seorang hakim juga dituntut untuk dapat menentukan hukumnya,
yakni saat undang-undang belum mengatur atas kasus tersebut (rechtsvinding). Dengan
demikian hakim perlu punya keberanian menem,ukan hukum, manakala hukum positif
tidak mengaturnya. Hakim perlu punya kebarian untuk tidak mengikuti aliran
dogmatis-yuridis[20].
Dengan demikian hakim tidak boleh menolak untuk mengadili
suatu perkara yang diajukan dengan alasan bahwa hukum tidak atau kurang jelas,
melainkan hakim wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Oleh karena itulah
seorang hakim sebagai aparat penegak hukum dan keadilan wajib mengadili,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan dapat
memeberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Tugas hakim untuk menentukan hukum dan keadilan dalam
masyarakat adalah berat tapi mulia. Berat, karena sebagai manusia biasa yang
penuh dengan segala kekurangan tapi diberi hak istimewa (prevelige) oleh negara
atas nama Tuhan Yang Maha Esa untuk menentukan salah tidaknya, benar tidaknya tindakan
seseorang. Bahkan dalam perkara pidana, adakalanya menentukan hidup matinya
seseorang. Luhur dan mulia, karena dengan putusannya, seorang hakim diharapkan
mampu menampakan cahaya kebenaran dan keadilan masyarakat.
Kendala dan liku-liku yang dihadapi hakim dalam melaksanakan
tugasnya, dapat disebabkan oleh sejumlah faktor baik secara internal maupun
secara eksternal diri seorang hakim. Seperti disebutkan oleh F. Manao dalam
bukunya wawan Tunggal Alam (2004:30) adalah dorongan dari diri pribadi hakim
itu sendiri, seperti rasa simpati, empati, antipati, emosi, keinginan,
kepentingan, kekuatan dan lain-lain semuanya adalah faktor internal. Sedangkan
faktor eksternalnya adalah kondisi yang berasal dari luar diri hakim, seperti persaudaraan,
persahabatan, penyuapan, pengarahan, tekanan, ancaman, ancaman, tindakan
kekerasan, pembentukan opini, kepentingan politik, kepentingan kelompok,
termasuk juga intervensi struktural (melalui undang-undang)[21].
Dari dalam internal pengadilan, fungsi dan tugas hakim yang
mempunyai kewenangan dan kekuasaan yang besar dapat menimbulkan potensi
penyimpangan berupa perbuatan tercela, kekeliruan teknis, dan pelanggaran
hukum. Sedangkan faktor dari luar pengadilan dapat berupa kekosongan atau
ketidaksempurnaan aturan hukum dibebankan kepada badan peradilan untuk mengisi
fungsinya. Bahkan ada bentuk baru yakni tekanan dari pihak tertentu yang
mendesak ketua MA untuk memeriksa setiap Majelis hakim yang memutus perkara
yang dirasa kurang sesuai dengan selera masyarakat atau keinginan pihak
tertentu.
Untuk mengurangi hal tersebut, oleh Tunggal, Alam, Wawan, SH,
(2004 :32)[22]
perlu dukungan dan membentengi para hakim agar dapat melaksanakan fungsi dan
tugasnya mengeliminasi kefanaannya dan menangkal intervensi perlu upaya-upaya
seperti :
1.
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang sepadan;
2.
penyediaan sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung pelaksanaan
tugas;
3.
pendidikan dan pembinaan yang cukup sehingga dapat menjadikan
seorang profesional yang handal;
4.
norma-norma yang baku dan ketentuan-ketentuan mengenai hak
dan kewajibannya;
5.
perlindungan atas pelecehan terhadap tugas hakim (contemp of
court) dan perlindungan atas ancaman fisik dan teror, serta perlindungan atas
intervensi terhadap kemandirian;
6.
pengawasan sebagai sistem kontrol untuk mencegah terjadinya
penyimpangan-penyimpangan yang tidak diinginkan;
7.
pembebasan dari tuntutan ganti rugi karena adanya kesalahan
dalam perbuatan yang merupakan pelaksanaan tugasnya dalam bidang peradilan;
8.
penghargaan bagi yang telah melaksanakan tugasnya dengan baik
dan sanksi bagi yang melanggar peraturan;
9.
meningkatkan budaya hukum masyarakat.
Namun demikian, pada akhirnya kunci dari keseluruhannya,
adalah terletak pada integritas insan hakim (the man behind the robe) itu
sendiri, sebab :
1.
pemenuhan upaya-upaya tersebut diatas, tidak dengan
sendirinya akan langsung menjamin kemandirian;
2.
kurangnya pemenuhan tersebut dan banyaknya intervensi tidak
dapat dijadikan alasan pembenaran untuk menggoyahkan kemandirian;
3.
kemandirian harus tetap dipertahankan sekalipun pemenuhan
upaya-upaya tersebut sangat kurang dan adanya intervensi yang berat;
Integritas yang bersumber pada hati nurani dan
profesionalisme yang bersumber pada intelektualitas, keduanya tidak selalu
berbanding lurus, bahkan seringkali bertolak belakang. Orang yang kecerdasan
intelektualnya tinggi tapi kecerdasan spiritualnya rendah adalah orang yang
berbahaya dan membahayakan kehidupan orang lain. Dengan demikian sifat-sifat
yang harus dimiliki oleh seorang hakim adalah mendengarkan dengan cermat,
menjawab secara bijak sana, mempertimbangkan dengan teliti, dan mengambil
keputusan tanpa memihak.
IV. PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pada bagian ini penulis menyimpul hal-hal yang berhubungan
perkembamngan pemikiran Olever Wendell Holmes dalam pembangunan hukum di
Indonesia adalah :
1.
Secara formal kekuasaan hakim di Indonesia telah dimenjamin
kemerdekaannya untuk melakukan penemuan hukum dengan menyelesaikan kasus yang
ada dalam lapisan masyarakat di Indonesia namun belum terapkan secara baik dan benar terutama menyeluruh bagi para
hakim-hakim yang ada diwilayah Indonesia sehingga hakim-hakim masih dipandang
sebagai corong dari undang-undang;
2.
Hukum di Negara Indonesia adalah paham yang menjunjung tinggi
paham positivisme sehingga yang dikatakan hukum adalah hukum, sebaliknya
kewenangan hakim hanya bersifat sebagai pihak yang berupaya untuk menegakan
hukum yang telah ditentukan oleh para pembuat undang-undang.
B.
Saran
Sebagai saran terhadap penulisan ini adalah penulis
mengemukakan bahwa dalam wilayah negara Indonesia yang sangat luas dengan
pulau-pulau dan beragam enis, budaya serta banyaknya suku bangsa maka apabila
hakim masih menjadi corong dari suatu undang-undang maka keadilan sebagai mana
disebutkan berdasarkan Ketuhanan Yang Masa Esa tidak akan tercapai. Akhirnya
lembaga pengadilan sebagai tempat orang mendapatkan keadilan sangat tidak
memberikan keadilan bagi mereka yang akan memperoleh keadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Rahardjo, Satjipto, 2007, Membedah Hukum Progresif,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Syahrani,Ridwan,H.SH. 2004, Rangkuman Intisari Ilmu
Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya, Bandung.
Lubis, K, Suhrawardi, 2002, Etika Profesi Hukum,
Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Supriyadi,SH.M.Hum, 2006, Etika dan Tanggung jawab
Profesi Hukum di Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Sunaryo, Sidik, 2005, Kapita Selekta Sistem Peradilan
Pidana, Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang, Malang.
Mulyadi, Lilik,SH.M.H, 2007, Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia (Normatif, Teoritis, Praktis Dan Masalahnya),
Penerbit Alumni, Bandung.
Marwan Mas,SH.MH. 2004, Pengantar
Ilmu Hukum , Penerbit Ghalia Indonesia,
Simorangkir, J.C.T, dkk, 2000, Kamus Hukum, Penerbit
Sinar Grafika, Jakarta.
Kelsen, Hans, (terjemah : Siwi Purwandari), 2007, Pengantar
Teori Hukum, Penerbit Nusa Media, Bandung.
Tanya, Bernard,L, Dr. SH.MH,2006, Teori Hukum strategi tertib Manusia
lintas ruang dan generasi, Penerbit CV. Kita, Surabaya.
Salman, Otje, H.R, Dr. Prof, dan Susanto,F, Anton, SH.M.Hum,
2005, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali,
Penerbit Refika Aditama, Bandung.
Sidharta, Arif, B. SH, (penterjemah), 2007, Meuwissen
tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Filsafat Hukum, dan Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung.
Tunggal, Alam, Wawan, SH, 2004, Memahami Profesi Hukum (Hakim,
Jaksa, Polisi, Notaris, Advokat, Konsultas Hukum Pasar Modal), Penerbit
Milenia Populer, Jakarta.
Sudirman, Antonius,SH.M.H, 2007, Hati Nurani Hakim dan
Putusannya (suatu pendekatan dari perspektif ilmu hukum perilaku
”Behavioral Jurisprudence” Kasus Hakim Bismar Siregar), Penerbit PT. Citra Adutya,
Bandung.
Faisal, Salam, Moch, 2001, Hukum Acara Pidan Dalam
Prakter, Penerbit Maju Mundur, Bandung.
Darji, Darmodiharjo, SH dan Shidarta,SH.M.Hum, 2006, Pokok-Pokok
Filsafat hukum, apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia, Penerbit
PT. Gramedia Utama, Jakarta.
Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Manulang, 2007, Pengantar
ke Filsafat Hukum, Penerbit Fajar Interpratama Offset, Jakarta.
Soerjono
Soekanto, 1987, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Penerbit Radja
Wali Pers, Jakarta, Cetakan III.
-------------------------,
1980, Pokok-pokok Sosiologi Hukum,
Penerbit PT Radja Grafindo Persada, Jakarta.
Hilman
Hadikusuma, 1986, Antropologi Hukum Indonesia, Penerbit Alumni,
Bandung.
Zainudin,
Ali, H. Dr. Prof, 2005, Sosiologi Hukum, Penerbit
Sinar Grafika, Jakarta.
[1] Disampaikan dalam diskusi antar mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu
hukum Universitas Nusa Cendana Kupang tahun 2009.
[2] Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu hukum Universitas Nusa Cendana Kupang tahun 2008 dan Dosen Tidak tetap Pada Universitas Kristen Artha Wacana Kupang (2004-2010) dan sekarang Dosen HTN dan HAN Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang serta Dosen Tidak Tetap Universitas Pelita Hati Kupang.
[3] Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Manulang, Pengantar
ke Filsafat Hukum, Penerbit Fajar Interpratama Offset, Jakarta. , 2007,
hal. 154.
[4]
Ibid….hal 155-156
[6]Ibit..... Halaman 16-17
[7] Sudirman, Antonius,SH.M.H, Hati Nurani Hakim dan
Putusannya (suatu pendekatan dari perspektif ilmu hukum perilaku
”Behavioral Jurisprudence” Kasus Hakim Bismar Siregar), Penerbit PT. Citra
Adutya, Bandung. 2007 Hal. 1.
[8] Marwan
Mas,SH.MH. Pengantar Ilmu Hukum , Penerbit Ghalia Indonesia,
2004, halaman 128-129.
[9] Cahyadi, Antonius dan E.
Fernando M. Manulang, 2007, Pengantar ke Filsafat Hukum, Penerbit
Fajar Interpratama Offset, Jakarta. Halaman : 158.
[10] Marwan
Mas, SH.M.H. 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia,
halaman, 129.
[11] Syahrani,Ridwan,H.SH.
2004, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya,
Bandung. Halaman 59.
[12]
Pandangan Holmes tentang kewenangan hakim dalam putusannya tentang hukum dan
keadilan sebagai mana telah disebutkan oleh Cahyadi dan Fernando, halaman 157.
[13] Pendapat ini dikemukakan juga oleh Darji, Darmodiharjo, SH dan
Shidarta,SH.M.Hum, 2006, Pokok-Pokok Filsafat hukum, apa dan bagaimana
filsafat hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Utama, Jakarta halaman
136.
[14] Disebutkan oleh Shuchman,1979:73 sebagaimana dikutib oleh Darji, Darmodiharjo, SH
dan Shidarta,SH.M.Hum, 2006, Pokok-Pokok Filsafat hukum, apa dan
bagaimana filsafat hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Utama,
Jakarta, halaman 138-139
[15] \Marwan Mas, SH.M.H. 2004, Pengantar
Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, halaman, 129-130.
[16] Tanya,
Bernard,L, Dr. SH.MH,2006, Teori
Hukum strategi tertib Manusia lintas ruang dan generasi, Penerbit CV.
Kita, Surabaya, Halaman 138.
[17] Tunggal, Alam, Wawan, SH,
2004, Memahami Profesi Hukum (Hakim, Jaksa, Polisi, Notaris,
Advokat, Konsultas Hukum Pasar Modal), Penerbit Milenia Populer, Jakarta.
Halaman 25-36
[20] Ibit ….halaman 30
[22]
Ibit….halaman 31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar