Rabu, 16 Oktober 2013

PEMIKIRAN ALF NIELS CHRISTIAN ROSS TENTANG HUKUM DALAM PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA[1]

 Oleh 
Melkianus E. N. Benu,SH. M.Hum.[2]

A.    Alasan Pemilihan Tokoh
Aliran Realis Skandinavia seperti Denmark dan Swidia, yang dipelopori oleh Hagerstrom (1868-1939) dan Vilhelm Ludstedt (1882-1955), berpandangan bahwa ”hukum adalah putusan hakim yang dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan atau psikologi yang tidak lebih dari reaksi otak[3]. Alasan aliran realis Skandinavia ialah karena dalam pelaksaan hukum itu dilakukan melalui pendekatan pada peringkat yang rasionalisasi akan eksistensi objektif. Hukum dipandang sebagai aspek perilaku hakim, dan menolak konsep kejiwaan dan fenomena mental pada diri hakim dalam melaksanakan tugasnya.
  Disebutkan oleh Marwan Mas,SH.MH[4]. (2004:130) bahwa perbedaan aliran realis Amerika dengan aliran realis Skandinavia terletak pada “putusan hakim” dan “perilaku hakim”. Aliran Realisme Amerika Serikat memandang “hukum terletak pada apa yang diputuskan (dibuat) oleh hakim”, sedangkan realis Skandinavia memandang hukum dari aspek perilaku hakim yang mempengaruhi putusannya”. Sedangkan persamaan terletak pada (1) keduanya menolak keberadaan “das sollen dan das sein” dalam studi hukum, (2) keduanya menolak spekulasi metafisik dalam penyelidikan keadaan-keadaan dari system hukum.
Bertolak dari pandangan tersebut, para ahli realis meninggalkan pembicaraan hukum yang abstrak dan menyibukan diri dengan pertanyaan filsafat hukum, tetapi menggunakan pendekatan sosiologis dengan semboyan : “hukum adalah apa yang dibuat oleh para hakim”. Menurut kaum realis, hakim lebih banyak disebut “peimbuat hukum” dari pada penemu hukum[5].
Dalam kajian ini, penulis ingin lebih luas untuk mempelajari realisme hukum Skandinavia, yang mana aliran realisme ini merambah negara-negara di kawasan Skandinavia. Diterimanya pemikiran yang realis di kawasan ini, disebabkan oleh tulisan-tulisan para yuris negara-negara Nordik, yang mulai kritis terhadap sistem hukumnya sendiri. Mereka melihat, dengan kondisi geografis kawasan Skandinavia yang realtif terisolasi di Eropa ditambah lagi miskinnya hubungan perdagangan Internasional, telah meyakinkan mereka bahwa Roman Law, sebagai hukum yang mendominasi bumi Eropa saat itu, tidak memberikan dampak atau manfaat yang besar bagi perkembangan sistem hukum mereka.
Apabila ditelah secara singkat sistem hukum di kawasan ini, dapat ditemukan bahwa sistem hukum di negara-negara Skandinavia jika dibandingkan dengan sistem hukum di dunia ini memiliki sistem yang berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara yang ada di Eropa, hukum di Skandinavia, adalah yang paling sedikit terkodifikasi, dan kebayakan lebih berorientasi pada putusan-putusan hakim.
Dengan lahirnya gerakan realisme di kawasan Skandinavia ini, disebabkan dengan tradisi emperisme yang berkembang di Inggris, sebab pendekatan emperisme terutama dibidang filsafat termasuk jurisprudence, yang  bernuansa sosiologis, yang berkembang di Inggris serta turut mempengaruhi cara berpikir mengenai hukum di kawasan Skandinava.
Sebagai ciri dari pendekatan aliran realisme hukum Skandinavia lebih dipengaruhi oleh pendekatan psikologi (psikologisme etis). Fokus perhatian aliran ini tidak seperti Amerika yang mempersoalkan praktik hukum para pejabat hukumnya tetapi perilaku orang-orang yang berada dibawah hukum. Oleh sebab itu, ilmu psikologi banyak dimanfaatkan guna menjelaskan fenomena hukum tersebut. Pendekatan yang bersifat psikologis ini diberikan terhadap objek yang bersifat faktual semata. Karena itu, persoalan metafisika disingkirkan dalam aliran ini. Konsep-konsep hukum, seperti validitas hukum, eksistensi hak dan kewajiban hukum, termasuk konsep hak kebendaan dan lain sebagainya, merupakan gagasan imajiner. Gagasan semacam inilah hanya menaruh perhatian yang kuat pada prakiraan-prakiraan terhadap setiap tindakan yudisial, yang didorong oleh alasan-alasan psikologi yang tidak faktual, dimana tindakan yudisial ini berpengaruh secara nyata terhadap setiap orang.
Secara umum, ciri-ciri aliran Realisme Hukum  Skandinavia menurut Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang[6] (2007:157-) adalah
a.      Pemikiran ini berwatak sosiologis, namun dengan warna penolakan terhadap pemikiran yang a priori, dan menekankan tentang pentingnya menempatkan hukum dalam konteks kebutuhan yang faktual dari soscial life. Oleh sebab itu, mereka menolak konsep-konsep hukum yang abstrak, karena hal itu adalah metafisika, bukan faktual yang aktual;
b.      Kepdulian aliran ini amat tinggi terhadap aspek praktis dari jalannya proses peradilan, namun hal tersebut dikaji dengan cara yang bersifat teoritis.
Melalui aliran ini salah satu pendukung terhadap aliran Skandinavia adalah Alf Niels Christian Ross, beliau dengan pemikirannya yang sangat brilian yakni berupaya untuk menjelaskan sikap tindak manusia dapat digolongkan menjadi dua yakni sikap tindak yang ber-interesse dan tidak ber-interesse.  Sikap tindak yang ber-interesse berarti bahwa dalam bersikap tersebut orang merasa sungguh-sungguh terlibat. Sikap tindak itu disesuikan dengan cita-citanya. Sikap tindak ini berdasarkan refleks-refleks fisiologis, sehingga atas dasar proses itu sikap tindak tertentu dapat diramalkan. Sedangkan tidak ber-interesse berarti sikap tindak yang tidak menurut cita-cita sendiri. Dasarnya adalah adat dan sugesti. Sikap tindak ini dilakukan karena terbiasa dan sesuai dengan harapan orang lain. Kesan yang muncul adalah seakan-akan perbuatan-perbuatan tersebut harus dilakukan lepas dari kepentingan sendiri, sehingga dipandang sebagai kewajiban.
Di wilayah Negara Republik Indonesia telah lama dipengaruhi oleh aliran polisitivisme yang mana semua yang disebagai hukum adalah peraturan perundang-undangan. Realisme diberikan ruang apabila setiap orang mengakui dan menghormati hukum adat, sebab hukum adat adalah hukum yang hidup dalam masyarakat setempat. Apabila dilihat dari pihak pengadilan juga belum sepenuhnya menemukan hukum sebagai yang disebutkan sebelumnya tetapi pengadilan berpihak pada undang-undang yang dibuat oleh para legislator. Namun secara formal juga dalam berbagai ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang kewenangan pengadilan  bukan hanya menyatakan hukum adalah undang-undang, tetapi diberikan kekuasaan yang merdeka tanpa harus dipengaruhi oleh satu pihak pun.
Dengan praktek pemikiran pandangan-pandangan realisme Skandinavia telah memperbanyak pandangan bangsa Indonesia untuk lebih melihat hukum yang hidup dan berkembang dalam komunitas bangsa Indonesia, tanpa memikirkan hukum sebagai realitas sosial, sedang hakim-hakim di lembaga pengadilan memandang undang-undang sebagai sesuatu yang paling abadi dan sakral tanpa berupaya menemukan hukum. Berpandangan seperti itulah, penulis ingin menguraikan pemikiran Alf Niels Christian Ross tentang hukum dalam perkembangannya di wilayah Negara Republik Indonesia.  
B.     Latar belakang tokoh[7]
Nama lengkap tokoh ini adalah Alf Niels Christian Ros.  Ia lebih populer cukup dengan nama Alf Roos. Ia lahir pada tanggal 10 Juni 1899 di Kopenhagen. Ia putera dari seorang pegawai pemerintah di sebuah departemen. Pada tahun 1917 ia menamatkan pendidikan menengahnya. Pada mulanya, ia masuk Tehnical University, tetapi belakangan ia meninggalkannya setelah satu semeter, dan kemudian pindah ke bidang hukum. Ia menyelesaikan pendidikan hukumnya pada tahun 1922 dengan penghargaan Laudabilis et qvidem egregoe.
Selepas lulus, ia bekerja disebuah kantor pengacara, tetapi pekerjaan magang itu tidak memuaskan hatinya. Karena itu ia menerima beasiswa dari untuk melanjutkan studi keluar negeri. Beasiswa ini memungkinkan penerimaannya untuk belajar dibeberapa universitas di Jerman, Perancis dan Inggris.
Pada tahun 1923, Ross menikahi Else-Merete Helweg-Lirsen, seorang mahasiswi di Faculty of Humanities. Isterinya kemudian menjalani profesi sebagai guru sekolah menengah atas. Isterinya pun pernah menjadi anggota parlemen (1960-1973), mewakili sebuah partai kecil berpaham liberal.
Petualangan Ross ke Prancis, Inggris dan Austria, tidak dibekali dengan rencana studi yang baik. Modalnya hanya keterpurukan pemikirannya, untuk mempelajatri hukum negara asing, kunjungan ke pengadilan dan diskusi dengan beberapa profesor. Dalam perjalanan itu pula mulai muncul ketertarikan Ross akan filsafat. Ia kemudian amat kagum pada Profesor Hans Kelsen, yang ia jumpai di Wina. Hasil dari studinya itu, berupa traktat berjudul Theorie der Rechtsquellen. Pada tahun 1926, ia mengajukan karyanya ini sebagai disertasi doktoral di university of Copenhagen. Sayangnya rencana ini tidak diterima. Padahal analisis Ross tentang sumber hukum Prancis, Inggris, dan Jerman adalah analisis yang luar biasa. Ia pun menawarkan perihal kebangkitan pemikiran hukum Denmark.
Ross pantang menyerah. Ia mencoba menghubungi Fakultas Filsafat Universitas of Uppsala berkat dukungan Axel Hagerstsrom, profesor bidang pratikal Philosophy. Ia berada disana dari 1928 hingga 1929, dan kemudian dianugerahi gelar doktor filsafat pada tahun 1929, dengan disertasi yang sama; Theorie der rechtsquellen. Disertasi ini kemudian diterbitkan pada tahun yang sama di Leipzig dan Wina, dalam serial tulisan hans Kelsen, Wiener Stiaatund Rechtswissenschaftliche studien. Ross tidak hanya menerima gelar doktor di Uppsala, ia pun menyelesaikan dan meraih gelar dalam bidang pratical phiilosophy.
Ross kemudian menyelesaikan sustu proyak ambisius, sebuah karya yang terdiri dari empat volume. Dua volume pertama diterbitkan dengan judul Kritik der sogenannten praktischen (1933). Sedangkan dua sisanya diterbitkan pada tahun 1934, berjudul Virkelighed og Gyldighed i Retslceren (terjemahannya : Realitas dan Validitas dalam Yurisprudensi). Di kedua buku ini, ia mulai meninggalkan gagasan hukum Kelsen, yang dahulu amat dikagumi oleh Ross. Buku kedua ini kemudian diterbitkan dalam edisi Inggris pada tahun 1936, dengan judul Towrds a Realistic Jurisprudence. Buku ini cukup berpengaruh bagi para pemikir Amerika yang seide dengan Oliver Wendell Holmes, diantaranya adalah Jerome Frank.
Berkat karya terakhir ini pula, Ross memperoleh gelar doktor di universitas Konpenhagen (1935). Pada saat itu pula, ia diangkat sebagai pengajar Jurisprudence. Sebenarnya ia tidak berharap menjadi profesor bidang hukum acara maupun public law, namun ketika sebuah fakultas baru dibidang itu.
Pada tahun 1935 pula, ia menerbitkan buku yang luar biasa, berjudul Ejendomsret ogs Ejendomsovergang (the Transfer of Property Right) selain itu ia menerbitkan tulisannya yang berjudul Om Ret Og Retfcerdighet. Ross menerbitkan Lcerebog (textbook on Internatoinal Law). Dua tahun setelah itu, ia memberikan kuliah-kuliah mengenai buku Karl Olivercona, selama setahun.
Keterlibatan Ross dalam hukum Internasional telah membawa perubahan penting. Ross meninggalkan minat awalnya mengenai Yurisprudece. Ia menulis dua buah buku tentang hukum Internasional, yang pertama, Constitution of the United Nation (1950). Yang kedua diterbitkan dalam bahasa Denmark, berjudul De Forenede Nationer, yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, dan diterbitkan 3 tahun kemudian. Dengan judul The United Nation, peace and Progress. Karya-karya lain yang pernah dipublikasikan adalah A Jurisprudece From the 19th Ceuntury; Om Ret og Retfcerdighed; (On Law and Justice) pada 1953, sebuah karya besar mengenai jurisprudence Denmark; pada tahun 1959-1960, ia menerbitkan karya hukum tata negara Denmark, Densk Staasforfatningret; Hvorfor Demokrati? (why Demokracy?), diterbitkan pada tahun 1946, kemudian diterjemahkan ke dalam 5 bahasa, buku ini mebahas aspek ideologi dari pemerintahan yang demokratis; ia menulis kata pengantar sebagai co-author bagi para muridnya, dan menerbitkannya tahun 1956, pada tahun 1957, ia menulis kata tu’-tu’, sebuah fabel tentang masyarakat primitif, sebuah karya dasar-dasar filosofi dari yurisprudense, berjudul Directives and Norms (1968), ia pun menulis baku hukum pidana, ketika antara 1960-1970, ia mendalami bidang ini, diantaranya Skyld, Ansvar og Straf (1970), kemudian diterjemahkan dalam edisi Inggris berjudul On Straf (Crime and Punisment) yang diterbitkan pada 1974 yang diterbitkan oleh surat kabar dan jurnal yang banyak, apalagi semenjak dia pensiun dari kampus artikel-artikel ini dikompilasikan dalam sebuah buku berjudul Democracy, maggt og Ret (Democracy power and law) yang diterbitkan pada tahun 1974.
Selain, sebagai pengajar Ross juga dikenal sebagai penasehat hukum yang amat dihormati untuk kamar dagang dan Industri Denmark Alf Ross pernah bekerja sebagai Hakim pada European Court of human Rights (1959-1972), ia pansiun tidak mengajar lagi semenjak 1958 sebelumnya pada 1946 Ross pernah bekerja sebagai penasehat hukum untuk Komisi Konstitusi dengan hasil sebuah Undang-Undang dasar Grundlov 1953. pada 1969 ia pesiun dari kampus melanjutkan hidupnya dengan menulis. Dan pada 17 Agustus 1979 Ross tutup usia.
C.    Gambaran singkat tentang pemikirannya
Menurut Alf Niels Christian Ross bahwa yang dimaksudkan dengan hukum adalah[8] :
1.      hukum adalah sistem paksaan yang aktual;
2.      hukum adalah suatu cara berlaku sesuai dengan kecenderungan dan keinginan anggota komunitas; Tahapan ini baru diterapkan apabila orang mulai takut akan paksaan, sehingga selanjutnya paksaan itu mulai ditinggalkan;
3.      hukum adalah sesuatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis yang benar. Ini terjadi karena anggota komunitas sudah terbiasa dengan pola ketaatan terhadap hukum;
4.      Supaya hukum berlaku, harus ada kompetensi pada orang-orang yang membentuknya;
5.      Selain itu, juga menurut Alf Ross[9], Hukum itu Rasa Wajib/takut, yakni ikhwal timbulnya hukum sebagai aturan masyarakat yang bersifat mewajibkan.  
D.    Uraian singkat tentang pemikirannya tentang hukum
Sebagai komponen realisme hukum hukum mazhab Skandinavia, Ross menempatkan hukum dalam kerangka fisio-psikis. Menurut Ross semua gejala yang muncul dalam pengalaman tentang hukum harus diselidiki sebagai gejala yang muncul dalam pengalaman tentang hukum harus harus diselidiki sebagai psiko-fisis. Bagi Ross dan eksponen mazhab Skandinavia lainnya, seperti Axel Hagestom, A.V. Lundstedt, K. Olivecrona, ilmu hukum harus bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan emperis yang relevan dalam bidang hukum. Kenyataan-kenyataan itu, ditemukan dalam perasaan-perasaan psikologis. Perasaan-perasaan itu, tanpa pada rasa wajib, rasa kuasa, maupun rasa takut akan reaksi lingkungan.
Dalam kerangka pemikiran psikologi itulah, Ross menjelaskan ihwal timbulnya hukum sebagai aturan masyarakat yang bersifat mewajibkan. Menurutnya, suatu aturan hukum dirasa mewajibkan karena ada hubungan antara perbuatan yuridis dan sanksinya. Bila saya buat sesuai aturan, maka saya bebas dari sanksi. Pengalaman inilah yang membuat orang memandang hukum sebagai wajib. Berlakuknya hukum tidak lain dari itu, yakni suatu reaksi timbale balik antara sanksi dengan rasa wajib/rasa takut. Maka keharusan yuridis seluruhnya bersangkut paut dengan realitas sosial.[10]
 Kiranya jelas, lewat teori tentang “rasa takut” ini, Ross secara langsung maupun tidak sudah menggugat Kelsen. Seperti diketahui, bagi Kelsen yang Neo-Kantian, keharusan yuridis adalah suatu kategori yang sama sekali lepas dari realitas sosial. Dunia Sollen (seharusnyan) terpisah dari dunia Sein (realitas). Karena pemisahan ini, Kelsen mau tidak mau harus mencari suatu norma dasar (grundnorm) untuk mendasari sifat wajib sebuah norma hukum. Ross menolak keterpilahan seperti itu. Ia menolak teori Kelsen tentang keterpilahan norma hukum dari realitas social. Sifat wajib dari hukum (sebagai dasar dari keberlakuannya), bukan bertakta di dunia sana, di alam berantah grundnorm. Yang benar adalah ia berada dalam kancah realitas social, yakni pengalaman akan “rasa wajib”.
Menurut Ross, timbulnya hukum sebagai aturan yang bersifat wajib, dapat diterangkan menurut empat tahap, yang meliputi
1.      Tahap pertama; hukum adalah sistem paksaan yang aktual; yakni situasi masyarakat diatur melalui paksaan. Masyarakat semacam ini disebut oleh Ross sebagai suatu sistenm aktual paksaan (an actual system of compulsion);
2.      Tahap kedua dimulai bila orang-orang mulai takut akan paksaan. Karena takut akan rasa  ini, anggota-anggota komunitas mengembangkan suatu cara berlaku yang sesuai dengan tuntutan yang diwajibkan kepadanya. Hukum adalah suatu cara berlaku sesuai dengan kecenderungan dan keinginan anggota komunitas; Tahapan ini baru diterapkan apabila orang mulai takut akan paksaan, sehingga selanjutnya paksaan itu mulai ditinggalkan;[11]
3.      Tahap Ketiga adalah situasi dimana orang-orang sudah mulai menjadi biasa dengan cara hidup yang sedemikian dan lama-kelamaan mulai memandang cara hidup itu, sebagai sesuatu yang seharusnya. Maka karena terpengaruh oleh kekuasaan sugestif sosial dan kebiasaan, orang sudah mulai berbicara tentang sesuatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis, (a disinterested behaviour attitude)[12]. hukum adalah sesuatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis yang benar. Ini terjadi karena anggota komunitas sudah terbiasa dengan pola ketaatan terhadap hukum[13];
4.      Tahap Keempat, situasi hidup bersama dimana norma-norma kelakuan ditentukan oleh instansi-instansi yang berwibawa (the authoritative establishment of normas). Orang akhirnya terbiasa merasa wajib untuk mentaati apa yang diputuskan oleh pihak yang berwenang/berwibawa[14]. Supaya hukum berlaku, harus ada kompetensi pada orang-orang yang membentuknya[15];
Jadi, keharusan yuridis memang unsure realitas sosial, dalam mana kita hidup. Keharusan yuridis sebagai realitas sosial, menyatakan diri sebagai suatu totalitas organis dalam mana perbuatan sosial dan psiko-fisis saling berjalin. Ross juga mengkonstatasi bahwa metode akal budi pratis–dianut dalam pendidikan  hukum konvensional yang mengandfalkan doktrin-legalistik, tidak compatible untuk menjelaskan sifat wajib dari hukum.
Dikatakan Ross, ilmu “akal praktis” tersebut, sebenarnya bukan ilmu dalam arti yang sebenarnya. Bagi suatu ilmu yang sungguh-sungguh, selalu telah ada lapangan penyelidikan, sehingga terdapat juga kenyataan-kenyataan yang dicari kebenarannya. Tetapi untyuk ilmu-ilmu akal praktis seperti rechtsdogmatiek, tidak terdapat bahan penyelidikan, sebab norma-norma hukum ditentukan oleh para ilmuan sendiri. Tak dapat dipastikan dari mana kebenarannya. Ilmuwan-ilmuwan yang telah menyusun suatu system ilmiah berdasarkan akal praktis, hanya sampai pada  baying-bayang spekulasi saja.
Jika gugatan Ross terhadap ilmu hukum tertuju pada ketiadaan lapangan penyelidikan, maka Julius Stone menggugat soal ketiadaan metode (ilmiah) dalam ilmu hukum. Menurut Stone, ilmu hukum tidak mempunyai metode penyelidikan sendiri. Oleh karena itu hukum yang berlaku yang terdiri dari perintah-perintah, ideal-ideal, dan teknik-teknik tertentu, harus dipelajari dalam terang pengetahuan yang berasal  dari ilmu-ilmu lain, yakni dari logika, ilmu sejarah, psikologi, sosiologi, dan sebagainya. Dalam ilmu-ilmu ini diselidiki semua hal yang ada hubungannya dengan hukum. Hasil studi logis, histories, psikologis, dan sosiologis tentang hukum misalnya, diambil alaih oleh para sarjana hukum untuk mengolahnya sesuai dengan tujuan mereka. Tujuan itu bersifat praktis semata-mata. Bahan dari ilmu-ilmu diatas, dikemas menjadi aturan sehingga menjadi terang bagi para mahasiswa fakultas hukum dan bagi kaum yuris pada umumnya[16].
Sebagaimana penganut Realisme Hukum Alf Ross, (ahli hukum Denmark) berpendapat bahwa hukum adalah suatu realitas sosial[17]. Ross berusaha membentuk suatu teori hukum  yang emperis belaka, tetapi yang dapat mempertanggungjawabkan keharusan normative sebagai unsure mutlak dari gejala hukum. Hal ini mungkin kalau berlakunya normatif dari peraturan-peraturan hukum ditafsirkan sebagai rasionalisasi atau ungkapan simbolis dari kenyataan-kenyataan fisio-psikis. Maka dalam realitas terdapat hanya kenyataan-kenyataan saja. Keharusan normative yang berupa rasionalisasi dan symbol itu, realitas, melainkan bayangan manusia tentang realitas.
Perkembangan hukum, menurut Alf Niels Christian Ross melewati empat tahapan, yakni
1.      hukum adalah sistem paksaan yang actual;
2.      hukum adalah suatu cara berlaku sesuai dengan kecenderungan dan keinginan anggota komunitas; Tahapan ini baru diterapkan apabila orang mulai takut akan paksaan, sehingga selanjutnya paksaan itu mulai ditinggalkan;
3.      hukum adalah sesuatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis yang benar. Ini terjadi karena anggota komunitas sudah terbiasa dengan pola ketaatan terhadap hukum;
4.      supaya hukum berlaku, harus ada kompetensi pada orang-orang yang membentuknya;
Menurut Huijbers (1988:186-187)[18] walaupun dalam teori Ross terdapat unsur-unsur yang menerangkan timbulnya peraturan-peraturan hukum tertentu, namun pada umumnya ajarannya kurang memuaskan. Ross mau menerima norma hukum, akan tetapi norma-norrna itu ditafsirkannya sebagai gejala psikologi belaka. Itu berarti bahwa norma-norma itu sebenarnya bukan norma-norma yang sesungguhnya, dan juga gejala etis tidak dipahami oleh Ross. Apa yang dilukiskan Ross tentang timbulnya hukum dapat terjadi juga dalam suatu gerombolan gangster, tetapi adat suatu gerombolan gangster tidak pernah menjadi hukum. Karya penting Ross antara lain berjudul : (1) Theorie der Rechtsquellen, (2) Kritik der Sogenannten Praktischen Erkentnis; (3) Towards A Realistic Jurisprudence, dan (4) On Law and Justice.
E.     Kontribusi Tokoh Bagi Hukum Di Indonesia
Paham realisme menyatakan bahwa hukum adalah putusan hakim. Artinya bahwa yang disebut dengan hukum adalah putusan pengadilan.  Hukum tidak bisa dikatakan bahwa adalah undang-undang atau peraturan perundang-undangan. Lain halnya dengan di Indonesia yang mana disebutkan dengan hukum adalah semua peraturan perundang-undangaan yang ditetapkan oleh pemerintah eksekutif dan legislatif, sedangkan pengadilan hanya diberikan wewenang untuk menegakan aturan yang telah ditetapkan oleh negara. Sepanjang hal itu ditetapkan oleh pengadilan belum disebutkan sebagai hukum tetapi keputusan pengadilan atau keputusan hakim.
Paham realisme belum berkembang secara praktis di Negara Indonesia, secara formal telah diakui sebagaimana disebutkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia hakim diberi kebebasan untuk bertindak secara independen. Hal ini dijamin dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang diubah dengan UU No.35 tahun 1999 dan disesuaikan (diubah) lagi melalui UU No. 04 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kemudian, UU No. 08 tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU tentang Komisi Yudicial, dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hakim telah diberikan tempat pada konstitusi negara RI. Amandemen ketiga UUD 1945, Pasal 24 ayat (1) ditegaskan bahwa ”Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggerakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan”; Ayat (2) ”Kekuasaan  dilakukan oleh sebuah Mahkaman Agung dan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan agar hakim dalam melaksanakan tugasnya dapat sungguh-sungguh dan memiliki independensi, secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah atau kekuasaan lain dalam masyaraka.
Kondisi sosial negara Indonesia yang sangat luas dan berbentang luas pulau-pulau yang berada dalam wilayah nusantara, sangat beraneka macam suku dengan tradisi budaya masing-masing. Hal ini menunjukan bahwa hakim tidak harus menyatakan bahwa hukum adalah undang-undang tetapi hukum adalah sesuatu yang ada dalam realitas sosial yang ada.
Lebih jauh dalam pemikiran Alf Niels Christian Ross  dalam pandangan realismenya mengungkapkan bahwa yang dimaksudkan dengan hukum adalah hukum adalah sistem paksaan yang aktual; yakni situasi masyarakat diatur melalui paksaan. Masyarakat semacam ini disebut oleh Ross sebagai suatu sistenm aktual paksaan (an actual system of compulsion). Suasana di Indonesia telah dipraktekan dengan tidak sempurna karena segala aktual tidak dilakukan secara murni sebagai aturan hukum, melainkan sesuatu yang aktual dipandang sebagai fenomena yang harus ditelusuri sebagai dalam berbagai aturan pelaksaan
Hukum adalah suatu cara berlaku sesuai dengan kecenderungan dan keinginan anggota komunitas; Tahapan ini baru diterapkan apabila orang mulai takut akan paksaan, sehingga selanjutnya paksaan itu mulai ditinggalkan, pemikiran ini apabila di Indonesia maka para legislator telah menerapkan secara kolusi berjemah, artinya bahwa kepentingan golongan selalu dikedepankan tanpa harus mempertimbangkan kepentingan bangsa dan Negara. Sekali pun telah diatur secara formal, namun realisasinya tidak pernah berlaku mutlak.
Pemikiran hokum Ross dalam yang tahap ketiga yakni dimana orang-orang sudah mulai menjadi biasa dengan cara hidup yang sedemikian dan lama-kelamaan mulai memandang cara hidup itu, sebagai sesuatu yang seharusnya. Maka karena terpengaruh oleh kekuasaan sugestif sosial dan kebiasaan, orang sudah mulai berbicara tentang sesuatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis, (a disinterested behaviour attitude)[19]. hukum adalah sesuatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis yang benar. Ini terjadi karena anggota komunitas sudah terbiasa dengan pola ketaatan terhadap hukum. Perkembangan dalam komunitas Negara Indonesia, kebalikan dari tahap ini dimana yang disebut yuridis adalah sesuatu yang telah dibakukan baik secara tertulis dan tidak tertulis. Contohnya adalah hukum peraturan perundang-undangan serta aturan-aturan yang disebut adapt kebiasaan.
Selanjutnya tahap Keempat, situasi hidup bersama dimana norma-norma kelakuan ditentukan oleh instansi-instansi yang berwibawa (the authoritative establishment of normas). Orang akhirnya terbiasa merasa wajib untuk mentaati apa yang diputuskan oleh pihak yang berwenang/berwibawa[20]. Supaya hukum berlaku, harus ada kompetensi pada orang-orang yang membentuknya. Wilayah Negara Indonesia telah membaginya dalam berbagai kekuasaan dimana ada kekuasaan untuk membuat hukum atau undang-undang (legislative), ada yang melakukan (eksekutif) dan ada yang berwenang untuk menegakan aturan atau hukum itu yakni yudikatif. Sehingga dengan adanya pandangan tokoh ini maka dalam konteks Negara Indonesia belum murni diterapkan secara baik dan benar sehingga pandangan terhadap keadilan dan hukum masih menjadi sesuatu yang belum berpihak pada rakyat.
F.      Kesimpulan.
Sebagai kesimpulan dari penulisan ini penulis berkesimpulan bahwa Negara Indonesia menganut paham positivisme dimana hukum disebutkan sebagai aturan perundang-undangan. Sehinga segala hal yang berhubungan dengan paksaan atau mewajibkan para pelaksana aturan sudah memahami apa yang dipaksaa, namun tidak semua aturan mempunyai sanksi atau aturan yang mewajibkan.
 Pembentukan hukum juga ditempatkan pada badan legislative atau sedangkan pelaksananya adalah bidang eksekutif dan peradilan atau yudikatif hanya berusaha untuk menegakan aturan yang telah disepakati dalam Negara melalui legislative. Hakim sekalipun telah diberikan kebebasan untuk menegakan hukum atas dasar Ketuhanan untuk keadilan namun hakim masih menjadi corong suatu undang-undang.

DAFTAR PUSTAKA
Rahardjo, Satjipto, 2007, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Marwan Mas,SH.MH. 2004, Pengantar Ilmu Hukum , Penerbit Ghalia Indonesia,
Simorangkir, J.C.T, dkk, 2000, Kamus Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Tanya, Bernard,L, Dr. SH.MH,2006,  Teori Hukum strategi tertib Manusia lintas ruang dan generasi, Penerbit CV. Kita, Surabaya.
Sidharta, Arif, B. SH, (penterjemah), 2007, Meuwissen tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Filsafat Hukum, dan Teori Hukum,   Refika Aditama, Bandung.
Darji, Darmodiharjo, SH dan Shidarta,SH.M.Hum, 2006, Pokok-Pokok Filsafat hukum, apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Utama, Jakarta.
Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Manulang, 2007, Pengantar ke Filsafat Hukum, Penerbit Fajar Interpratama Offset, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 1987, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Penerbit Radja Wali Pers,  Jakarta, Cetakan III.
-------------------------, 1980, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Penerbit PT Radja Grafindo Persada, Jakarta.
Hilman Hadikusuma, 1986, Antropologi Hukum Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung. 
Zainudin, Ali, H. Dr. Prof, 2005, Sosiologi Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Syahrani,Ridwan,H.SH. 2004, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya, Bandung.




[1] Disampaikan dalam diskusi antar mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu hukum Universitas Nusa Cendana Kupang tahun 2008.
[2] Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu hukum Universitas Nusa Cendana Kupang tahun 2008 dan Dosen Tidak tetap Pada Universitas Kristen Artha Wacana Kupang (2004-2010) dan sekarang Dosen HTN dan HAN Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang serta Dosen Tidak Tetap Universitas Pelita Hati Kupang
[3] Marwan Mas,SH.MH. 2004, Pengantar Ilmu Hukum , Penerbit Ghalia Indonesia, halaman 130.
[4] [4] Marwan Mas,SH.MH. ibit ………hal.132
[5] Syahrani,Ridwan,H.SH. 2004, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya, Bandung. Halaman 53.
[6] Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Manulang, 2007, Pengantar ke Filsafat Hukum, Penerbit Fajar Interpratama Offset, Jakarta, halaman 157.
[7] Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Manulang, 2007, Pengantar ke Filsafat Hukum, Penerbit Fajar Interpratama Offset, Jakarta, halaman 174-178.
[8] Darji, Darmodiharjo, SH dan Shidarta,SH.M.Hum, 2006, Pokok-Pokok Filsafat hukum, apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Utama, Jakarta, halaman 145.
[9] Tanya, Bernard,L, Dr. SH.MH,2006,  Teori Hukum strategi tertib Manusia lintas ruang dan generasi, Penerbit CV. Kita, Surabaya, halaman 141.
[10] Tanya, Bernard,L, Dr. SH.MH,2006,  halaman 141.
[11] Penjelasan pendapat antara Bernard Tanya dan Dardji darmodihardjo tentang tahap kedua dari pendapat Ross.
[12] Tanya, Bernard,L, Dr. SH.MH,2006,  Teori Hukum strategi tertib Manusia lintas ruang dan generasi, Penerbit CV. Kita, Surabaya, halaman 142.
[13] Darji, Darmodiharjo, SH dan Shidarta,SH.M.Hum, 2006, Pokok-Pokok Filsafat hukum, apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Utama, Jakarta halaman 145
[14] Tanya, Bernard,L, Dr. SH.MH, op...cip... , halaman 142.
[15] Darji, Darmodiharjo, SH dan Shidarta,SH.M.Hum, 2006, op...cip... halaman 145
[16] Tanya, Bernard,L, Dr. SH.MH,2006,  op...cip.., halaman 143
[17] Darji, Darmodiharjo, SH dan Shidarta,SH.M.Hum,op...cip... halaman 146
[18] Darji, Darmodiharjo, SH dan Shidarta,SH.M.Hum, 2006,op...cop... hal. 146
[19] Tanya, Bernard,L, Dr. SH.MH,2006,  Teori Hukum strategi tertib Manusia lintas ruang dan generasi, Penerbit CV. Kita, Surabaya, halaman 142.
[20] Bernard,L, Dr. SH.MH,2006,  op..cip. hal. 142.

Tidak ada komentar: