Jumat, 11 Oktober 2013

CONSTITUTIONAL COMPLAINT DAN CONSTITUTIONAL QUESTION

CONSTITUTIONAL COMPLAINT DAN CONSTITUTIONAL QUESTION SEBAGAI JAMINAN KONSTITUSIONAL WARGA DALAM SUPREMASI KONSTITUSI NEGARA  REPUBLIK INDONESIA[1]

Oleh Melkianus E. N. Benu,SH.M.Hum.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cencana Kupang

Pendahuluan
Setiap putusan majelis hakim di pengadilan tidak luput dari persoalan rasa keadilan yang harus diterima oleh para pihak yang berperkara atau terpidana. Banyak hal yang muncul dan menjadi masalah terhadap kepuasan putusan pengadilan yang belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Para pejabat Negara atau pemegang jabatan adiministrasi Negara atau pejabat tata usaha Negara baik yang diangkat maupun yang dipilih dalam menjalankan kinerjanya sebagai penyelenggara Negara termasuk pemerintah dalam fungsi legislative dan fungsi eksekutif juga belum memberikan rasa keadilan sosial bagi seluruh warga Negara. Ketidakadilan itu telah memberikan pandangan secara luas bahwa setiap pihak yang memegang jabatan-jabatan dalam Negara baik fungsi legislative, eksekutif, yudikatif dan menjadi Namun yang terjadi adalah warga Negara tidak percaya kepada lembaga peradilan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Sekaligus bagi pemerintah secara eksekutif dan legislative sekaligus telah berubah paradigmanya dari yang demokrasi asal-asalan ke demokrasi sesungguhnya, namun masih memberikan deretan ketidakpercayaan publik terhadap kinerja pemerintah. Hal itu dipandang sebagai suatu tindakan yang belum memberikan keadilan dan kepuasan bagi para pencari keadilan.
Para pencari keadilan di lembaga peradilan umumnya menerima putusan itu sebagai suatu upaya kalah – menang atas suatu proses perkara baik secara pidana maupun secara perdata dan perkara ketatanegaraan di Mahkamah Konstitusi. Hal itu lebih banyak ditanggapi oleh penerima putusan dan atau pengacaranya yang hasil putusan majelis hakim menyatakan harus menghukum salah satu pihak. Keadaan ini menciptakan para pencari keadilan untuk memahami suatu putusan pengadilan sebagai suatu pertandingan yang dimainkan oleh Majelis Hakim di pengadilan.
UUD Negara Repulik Indonesia Tahun 1945 tidak mengatur secara terpisah tentang Constitusional Complaint dan Constituonal Question. Dalam prinsip konstitusi dikenal konsep-konsep yang berhubungan dengan kedua istilah itu. Misalnya ketidakadilan dalam penyelenggaraan negara termasuk putusan pengadilan hal itu merupakan suatu hak asasi dari warga negara untuk mencari dan menuntut suatu keadilan.
Banyak putusan hakim di pengadilan atau MA dan putusan MK termasuk janji-jani politik dari para pemegang kekuasaan dalam negara (seperti presiden dan wakil presiden, anggota-anggota legislatif baik pusat maupun daerah, para pejabat negara yang diangkat berdasarkan UUD, UU, PP, atau lembaga-lembaga yang dibentuk berdasarkan kewenangan organ lembaga negara misalnya menteri-menteri negara, KPK dan lain-lain sebagainya) yang seharusnya perlu dijadikan sebagai dasar untuk mengatur tentang Constitusional Complaint dan Constituonal Question dalam UUD.
Mengapa Constitusional Complaint dan Constituonal Question harus diatur dengan UUD (konstitusi) bukan dengan UU atau ketentuan dibawah UU? Hal itu memang perlu dipikirkan secara seksama bahwa Negara Indonesia telah memiliki konstitusi modern karena MK telah menjaga kehormatannya dengan diberi kewenangan untuk menguji setiap UU yang dianggap bertentangan dengan UUD.
Menarik untuk didiskusikan fenomena putusan MA dan MK yang dengan kewenangan konstitusional yang dimilikinya dapat menyelesaikan berbagai perselisihan hasil pemilu legislatif dan eksekutif di Indonesia. Hasil catatan saya tentang putusan MK sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya paling banyak menyelesaikan pengujian terhadap UU syarat dengan kepentingan politik pemohon terutama adalah keberadaan UU tentang Pemilu sebanyak 22 kali pemohon; UU tentang pemilu presiden dan wapres sebanyak 15 kali pemohon; dan UU pemda banyak 32 kali pemohon yang gugat substansinya ke MK.[2]
Dalam catatan saya Constitusional Complaint dan Constituonal Question sering diterima oleh MK namun dalam penyelesaiannya pun belum memberikan keadilan bagi para pemohon. Bahkan dialihkan ke MA sebagai lembaga peradilan yang tidak harus menolak suatu perkara untuk tidak diselesaikan. Hasil putusannya pun belum memberikan keadilan kepada para pemohon. Saya mencata bahwa MK sampai dengan tanggal 3 Mei 2011 telah menerima permohonan  tentang Constitusional Complaint dan Constituonal Question sebayak 168 pemohon namun tidak ada satu pun yang diselesaikan, dan yang terjadi adalah dikembalikan kepada para pemohon bahkan digantung penyelesaian itu.
Antara Constitusional Complaint dan Constituonal Question yang mempunyai makna sangat luas adalah Constituonal Question. Misalnya para pemohon dari 31 hakim agung melakukan hak uji materi atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudicial yang meminta agar MK harus membatalkan ketentuan Pasal yang mengatur tentang pengawasan hakim sebab bertentangan dengan asas seorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri (nemo judex idoneus in propria causa). Dalam kasus ini, MA berupaya “menarik” MK sebagai pihak yang dirugikan kepentingan konstitusionalnya oleh UU No. 22 Tahun 2004. Celakanya, sadar atau tidak, MK terjebak membangun argumentasi untuk tidak masuk dalam ranah pengawasan KY. Untuk kepentingan ini, MK berani menyimpangi dan menyatakan tidak berlaku asas bahwa tidak seorang pun dapat menjadi hakim dalam kepentingan perkaranya sendiri dalam permohonan uji materiil UU No. 22 Tahun 2004. Banyak kasus lain lagi yang sebenarnya merupakan Constitusional Complaint dan Constituonal Question namun lebih banyak pemohon ikut prosedur yang berlaku di MK untuk menyebutnya sebagai pengujian terhadap UU, namun sebetulnya tidak demikian.
Ketua MK Mahfud MD saat Konferensi hakim-hakim MK se-Asia sempat melalui wawwancara dengan para wartawan bahwa tentu MK Indonesia akan mencoba mencari negara lain yang punya konstitusi yang mengatur tentang Constitusional Complaint dan Constituonal Question untuk diadopsi masuk ke Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa selama ini masalah Constitusional Complaint dan Constituonal Question belum memberikan jaminan kepada warga negara mengenai hak konstitusionalnya.
Makna tentang Constitusional Complaint dan Constituonal Question dalam Penerapannya
1.   Constitusional Complaint
Saat ini istilah Constitutional Complaint mungkin sedikit asing di telinga kebanyakan orang, termasuk di kalangan ahli hukum sekalipun. Namun untuk beberapa negara di Eropa, constitutional complaint menjadi solusi yang paling banyak ditempuh oleh warga negara dalam mencari keadilan atas basic rights yang dimilikinya. Tulisan ini diangkat untuk mengembangkan pewacanaan mengenai keberadaan lembaga yang mampu mewadahi fungsi dari Constitutional Complaint itu sendiri. Berangkat dari perlindungan atas basic rights/fundamental rights, maka tulisan ini patut menjadi perhatian bagi mereka yang aktif mempelajari dan memperjuangkan hak-hak asasi setiap individu warga negara.
Constitutional Complaint atau pengaduan konstitusional adalah pengaduan warga negara ke Mahkamah Konstitusi karena mendapat perlakuan dari pemerintah yang bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945). Di banyak negara, kewenangan ini merupakan kewenangan pokok Mahkamah Konstitusi. Namun, di Indonesia, MK tak mempunyai kewenangan ini. Sebagai negara hukum yang mencita-citakan terciptanya keadilan bagi seluruh warganya dan mendambakan terwujudnya supremasi konstitusi, maka mengadobsi mekanisme Constitusional Complaint menjadi kewenangan MK RI merupakan salah satu jalan menggapai tujuan itu, karena penerapannya di Indonesia merupakan wujud konkrit dan upaya penghormatan serta perlindungan maksimum terhadap hak-hak konstitusional.
Mahkamah selaku lembaga yang dapat menampung dan menyalurkan keluh kesah (personal grievance) atau pengaduan konstitusional sebagai upaya hukum yang luar biasa dalam mempertahankan hak-hak konstitusional bagi setiap individu warga negara, atau lebih dikenal dengan istilah constitutional complaint.
Banyak ahli hukum dan politik yang menyatakan bahwa dengan adanya kewenangan MK melakukan pengujian terhadap UU berdasarkan UUD, maka telah melaksanakan constitusional compaint. Namun sebagian praktisi politik dan hukum menyatakan bahwa hal itu belum diatur secara tegas untuk dilaksanakan oleh MK yang memiliki kewenangan untuk menjaga kehormatan konstitusi. Perbedaan itu datang dari upaya membandingkan kehidupan katetanegaraan yang memiliki MK dalam melaksanakan kewenangannya. Tentunya pemikiran praktis dan penafsiran secara ilmiah dari para pakar juga harus disinegikan untuk memperoleh jalan keluar terhadap kewenangan MK dalam menyelesaikan setiap kasus yang masuk ke Sekretariat Jenderal MK.
Wacana mengenai kemungkinan diberikannya fungsi pengaduan konstitutisonal (constitutional complaint) kepada Mahkamah bukanlah hal yang baru. Berbagai artikel yang pernah ditulis oleh pakar-pakar hukum dan beberapa pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi, secara tersirat telah memberikan sinyalemen bahwa kebutuhan akan fungsi constitutional complaint merupakan suatu keniscahyaan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi.
Hal yang demikian janganlah dianggap sebagai pemikiran dari suatu judicial activism yang berlebihan. Sebab, hasil penelusuran penulis terhadap surat-surat maupun permohonan yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi selama tahun 2005, sedikitnya terdapat 48 surat ataupun permohonan yang dapat dikategorikan sebagai bentuk constitutional complaint atau sejumlah 3 (tiga) kali lipat permohonan judicial review pada tahun yang sama[3].
Bahkan, karena begitu pentingnya fungsi pengaduan konstitusional terkait dengan penegakan konstitusi dengan aras yang lebih konkret dan langsung mengenai kepada setiap warga negara, 2 (dua) orang Hakim Konstitusi dalam dissenting opinion-nya pada Putusan Nomor 001/PUU-IV/2006 mengenai perkara Badrul Kamal, terlepas dari putusan akhir dari keduanya, kali ini secara tegas dapat dikatakan telah mulai menanamkan benih-benih constitutional complaint dengan cara melakukan penafsiran bahwa Mahkamah seharusnya dapat menampung pengaduan konstitusional (constitutional complaint) atas pelanggaran hak-hak konstitutional warga negara karena sesungguhnya telah memiliki dasar hukum yang cukup berdasarkan prinsip-prinsip konstitusi yang terdapat dalam UUD 1945.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Genhard Dannemann[4] dalam bukunya “Constitutional Complaints: The European Perspective” menyimpulkan bahwa kewenangan constitutional complaint yang sebelumnya hanya dimiliki oleh beberapa negara Eropa, kini sudah berkembang pesat dan telah diadopsi hampir di seluruh negara-negara Eropa Tengah dan Timur.
Salah satu Mahkamah Konstitusi yang pertama kali menerapkan dan mengembangkan kewenangan constitutional complaint adalah Mahkamah Konstitusi Federal Jerman (Bundesverfassungsgerichts). Kewenangan yang didasari pada Pasal 93 ayat (1) butir 42 Grundgesetz Bundersrepublik Deutchland tersebut, menurut Jutta Limbach, merupakan kewenangan terpenting yang kini dimilki oleh Bundesverfassungsgerichts, dimana hingga saat ini lebih dari 146.539 permohonan telah diperiksa oleh Bundesverfassungsgerichts dan 141.023 diantaranya adalah permohonan mengenai constitutional complaint[5].
Contoh kasus constitutional complaint yang cukup terkenal di Jerman yaitu mengenai tuntutan soal larangan penyembelihan hewan karena dinilai bertentangan dengan undang-undang tentang perlindungan hewan. Masyarakat muslim Jerman yang merasa berkeberatan mengajukan hal ini ke Bundesverfassungsgerichts karena dinilai bertentangan dengan kebebasan menjalankan agama. Sebab, ajaran Islam justru mewajibkan hewan disembelih terlebih dulu sebelum halal dimakan. Mahkamah Konstitusi Federal Jerman mengabulkan tuntutan itu dengan alasan kebebasan beragama adalah sebuah soal yang diatur dalam konstitusi, sedangkan larangan penyembelihan hewan hanya berada pada wilayah ketentuan di bawah undang-undang dasar.
Di benua Afrika, salah satu negara yang juga mempunyai Mahkamah Konstitusi dengan memiliki kewenangan constitutional complaint yaitu Afrika Selatan. Menurut Deputy Chief Justice, Monseneke[6], pelayanan terhadap constituional complaint di Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan dalam setahun terakhir ini telah tercatat berjumlah 570 perkara. Sedangkan di Asia, Korea Selatan adalah negara yang sudah lama menerapkan constitutional complaint (HUN-MA dan HUN-BA) sebagai salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusinya berdasarkan Pasal 68 ayat (1) dan (2) The Constitutional Court Act of Korea. Data yang berhasil dihimpun oleh penulis, tidak kurang sebanyak 11.679 perkara constitutional complaint telah diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi Korea. Kemudian beberapa negara lainnya yang juga memiliki kewenangan serupa yaitu Azerbaijan, Bavaria (Pasal 66 Constitution of The State of Bavaria), Kroasia (Bagian kelima Pasal 62 s/d 80 The Constitutional Act on the Constitutional Court of the Republic of Croatia), dan masih banyak lagi.
Mengagungkan pengakuan basic rights tanpa perlindungan atau mendengung-dengungkan perlindungan tanpa tersedia upaya hukum yang cukup adalah sama-sama pengingkaran terhadap pengakuan dan perlindungan basic rights setiap warga negara. Oleh sebab itu, haruslah dikembangkan pemikiran mengenai kemungkinan perluasan kewenangan constitutional complaints atau pengaduan konstitusional yang berkaitan dengan basic rights setiap indvidu kepada Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, akan terselenggara pemerintahan yang demokratis dibawah rule of law dengan adanya perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain menjamin hak-hak individu, juga menentukan pula cara prosedur untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin tersebut, sebagaimana yang dikembangkan oleh Roscoe Pound dalam hal hukum sebagai alat perekayasa sosial (law is a tool of social engineering).Namun yang perlu dijadikan catatan di sini, budaya kesadaran berkonstitusi bangsa ini juga harus mulai ditumbuhkembangkan, seiring dengan kesiapan dari Mahkamah itu sendiri dalam menerima, mengadili, dan memutus setiap permohonan constitutional complaints yang masuk kepadanya.
Seyogyanya jika instrumen ini telah nyata menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, maka dapat kita prediksi bahwa Mahkamah akan kebanjiran permohonan mengenai constitutional complaint, sebab hingga saat ini disinyalir begitu banyak hasil warisan kebijakan publik yang dianggap telah melangkahi basic rights warga negara Indonesia.
Sebagai perbandingan, menurut Dieter Umbach[7] negara Jerman yang relatif stabil di dalam sistem ketatanegaraannya, hampir setiap tahunnya masih harus memeriksa kurang lebih 5.000 permohonan constitutional complaints. Maka dapat dibayangkan, dalam mengejar angan tersebut, selain membutuhkan kesiapan yang cukup matang, sebenarnya sangat membutuhkan dukungan dari berbagai stakeholder bangsa ini. Oleh karena itu, sebagai batasannya, menurut penulis sebaiknya permohonan constitutional complaint baru dapat diperiksa jikalau upaya-upaya hukum yang tersedia telah habis (exhausted)[8].
Di sisi lain, dengan adanya instrumen constitutional complaint ini, maka lambat laun akan tercipta kesadaran di tengah-tengah masyarakat untuk membela diri di hadapan hukum ketika hak-hak dasar mereka dilanggar. Selain itu, berbagai kebijakan yang menyentuh ranah publik dan warga negara biasa, dengan sendirinya akan mempunyai kepekaan terhadap perlindungan dan pemenuhan basic rights atau fundamental rights bagi setiap individu masyarakat.
Sebagai contoh jika ada suatu putusan tingkat akhir berkekuatan tetap (incracht) yang sifatnya merugikan kepentingan seseorang. Dalam dasar pertimbangan hukum putusan pengadilan tersebut dianggap telah mencederai hak konstitutional  orang yang bersangkutan, dan tidak ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan. Maka dalam posisi kasus demikian, orang tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk meminta pengujian terhadap keputusan pengadilan melalui pengaduan constitutional complaint, dengan melakukan eksaminasi konstitusional terhadap pertanyaan apakah putusan pengadilan terhadap dirinya bertenta-ngan dengan ketentuan Konstitusi? misalnya putusan pengadilan yang bersangkutan bertentangan dengan penerapan asas kepastian hukum yang dijamin oleh Konstitusi.
Kewenangan untuk mengadili perkara constitutional complaint  di beberapa negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi, seperti Austria, Korea Selatan, Rusia, Kroasia, Afrika Selatan, dll (seluruhnya ada 78 negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi) telah diatur dalam Konstitusi mereka. Hal ini umumnya disebabkan karena negara-negara tersebut memiliki pengalaman politik masa lalu terhadap praktek penyimpangan konstitusional dalam penyelenggaraan negara yang merugikan hak-hak masyarakat yang sesungguhnya dilindungi oleh Konstitusi sebagai bentuk kontrak sosial antara Penyelenggara Negara dengan Rakyatnya[9].
Berbagai keluhan masyarakat saat ini akibat banyaknya praktek putusan pengadilan, keputusan pemerintah, maupun peraturan yang merugikan, sangatlah relevan untuk diajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengadilinya berdasarkan parameter normatif konstitusional. Meskipun Mahkamah Konstitusi  memiliki keterbatasan kewenangan sebagaimana diatur dalam UUD 1945, khususnya pasal 24 C , namun masih ada keniscayaan untuk dilakukan secara pragmatis melalui 2 (dua) cara, baik oleh pembentuk undang-undang maupun oleh hakim konstitusi.
Bagi pihak pembentuk undang-undang dapat  melalui legislative review terhadap undang-undang nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi  yaitu melalui penambahan (secara addendum) terhadap  penjelasan atas makna pengujian undang-undang. Dalam posisi ini, para pembentuk undang-undang dituntut untuk memiliki political will yang kuat untuk menjalankan amanah Konstitusi UUD 1945 dan menegakkan nilai-nilai demokrasi di dalamnya.
Pembentuk undang-undang tidak perlu khawatir dengan melakukan legislative review atas Undang-Undang Mahkamah Konstitusi  tersebut, sebab hal itu akan memperlihatkan kepada masyarakat bahwa sikap dan kedewasaan politik DPR maupun pemerintah semakin matang dan commit  terhadap penegakan nilai-nilai demokrasi dalam koridor yuridis konstitusional.
Sementara bagi para hakim Konstitusi dapat melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) melalui judicial interpretation secara teleologis dan ekstensif  dengan mengacu kepada sumpah jabatan mereka, khususnya terhadap kata-kata “…menegakkan konstitusi dengan selurus-lurusnya”. Dalam hal tersebut, hakim dapat melakukan analogi sejarah pertama kali terjadinya judicial review oleh hakim John Marshal pada tahun 1803, sebagai Hakim Mahkamah Agung Amerika yang meskipun tidak diberi kewenangan oleh Konstitusi Amerika namun melakukan penafsiran ekstensif berdasarkan sumpah jabatannya[10].
Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum merupakan suatu wahana untuk menciptakan tatanan masyarakat yang dikehendaki sebagaimana dikatakan oleh Roscou Pound, “The law is a tool of social engineering”, salah satunya untuk membangun masyarakat yang demokratis. Agar pelaksaanaan hukum berjalan efektif maka diperlukan pengawasan masyarakat dengan mengajukan perkara ke  Mahkamah Konstitusi  yang memiliki kewenangan untuk menerima  constitutional complaint, sehingga fungsi dan kewenangan Mahkamah Konstitusi  dapat benar-benar menjamin penegakan nilai-nilai konstitusi yang didalamnya termaktub pula pem-bangunan Negara Hukum yang demokratis.
Berangkat dari seluruh uraian di atas, menjadi pertanyaan sekarang adalah mungkinkah di masa yang akan datang kita dapat menuai hasil constitutional complaint? Jawabannya akan ditentukan dari sejauh mana para pemimpin bangsa ini mampu memaknai seberapa urgent dan pentingnya kewajiban negara dalam melindungi basic rights setiap warga negaranya sendiri.
2.   Constitutional Question
Constitutional question dalam arti khusus merujuk pada suatu mekanisme pengujian konstitusionalitas UU dimana seorang hakim (dari pengadilan umum) yang sedang mengadili suatu perkara menilai atau ragu-ragu akan konstitusionalitas UU yang berlaku untuk perkara itu, maka ia mengajukan "pertanyaan konstitusional" ke MK (mengenai konstitusional-tidaknya undang-undang ini). Kemudian MK hanya memutus persoalan konstitusionalitas undang-undang itu dan bukan memutus kasus.
Praktek dalam melaksanakan constitutional question seharusnya selama MK belum menyatakan putusannya, pemeriksaan terhadap kasus tersebut dihentikan. Sehingga bagi Indonesia yang hendak mewujudkan kehidupan bernegara yang demokratis dan sekaligus negara hukum, mempertimbangkan untuk mengadopsi constitutional question bukanlah sesuatu yang mengada-ada bahkan secara logis justru sebuah kebutuhan[11].
Beberapa negara lain yang juga menerapkannya adalah Jerman, Austria, Belgia, Italia, Luxemburg dan Spanyol. Jerman, menurut Gede Palguna memiliki sistem pelaksanaan MK yang paling menonjol dan berpengaruh bukan saja di kawasan benua Eropa namun juga Asia, Amerika Latin dan Afrika. Kewenangan MK Jerman untuk mengadili perkara constitutional question diatur dalam konstitusi Federal Jerman (Grundgesetz) dan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi Federal Jerman (Bundesverfassungsgerichtsgesetz). Bahkan, MK Jerman menurutnya memiliki kewenangan yang luas, mencakup pelaksanaan dan penafsiran Grungesetz dan kewenangan eksklusif terhadap semua proses peradilan yang secara langsung tercakup dalam ketaatan terhadap konstitusi (Grungesetz).
Di negeri Jerman, persoalan Constitutional Question akan muncul dalam tiga kondisi. Pertama, jika suatu pengadilan menganggap bahwa suatu UU tidak konstitusional dengan konstitusi Negara bagian (Land) ataupun konstitusi Federal (Bundesgesetz). Kedua, jika suatu pengadilan menganggap bahwa suatu UU Negara bagian tidak sesuai dengan UU Federal dan ketiga, suatu pengadilan selama berlangsungnya persidangan dalam suatu kasus merasa ragu apakah suatu ketentuan hukum internasional merupakan bagian dari UU Federal dan apakah ketentuan hukum internasional itu secara langsung melahirkan hak dan kewajiban pada individu.
Meskipun bentuknya berupa pertanyaan, menurut Gede Palguna[12], konstruksi pemikiran dan substansi yang ada dalam constitutional question di Jerman adalah pengujian UU. Mekanisme ini ditandaskannya sangat memungkinkan untuk diadopsi di Indonesia tanpa perlu perubahan terhadap UUD 1945, melainkan hanya merubah ketentuan dalam UU MK.
Ada tiga keuntungan yang menurutnya akan diperoleh jika menerapkan constitutional question di Indonesia yaitu Pertama, memaksimalkan penghormatan, perlindungan dan perlindungan hak konstitusi warga Negara; kedua, hakim tidak dipaksa menerapkan UU yang berlaku terhadap suatu perkara yang menurut keyakinannya bertentangan dengan konstitusi; serta ketiga, bagi Indonesia yang secara formal maupun tradisi hukum tidak menganut prinsip preseden, hal ini akan membantu terbentuknya kesatuan pandangan di kalangan para hakim diluar hakim konstitusi mengenai pentingnya menegakkan prinsip konstitusionalisme hukum bukan hanya dalam proses pembentukannya tapi juga dalam penerapannya.
Sedangkan dalam arti luas berhubungan dengan pertanyaan warga negara kepada pengadilan (MK/MA) mengenai janji politik yang harus dituntaskan selama masa kepemimpinan karena hal itu merupakan pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara.
Kesimpulan
Bahwa antara constitional compleint dan constitutional question memiliki kesamaan untuk mewujudkan hak konstitusional warga negara namun masih luas makna yang terkandung dalam constitutional qustion karena berhubungan dengan berbagai tindakan yang putusan hakim di pengadilan dan pelanggaran kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan UUD. Disini pemahaman tentang Constitutional complaint, tidak saja menyangkut hak warga negara untuk mengajukan komplain terhadap suatu undang-undang yang merugikan hak-hak konstitusional mereka akan tetapi juga termasuk segala produk dan tindakan pemerintah yang melanggar hak-hak konstitusional warga Negara.
Sekalipun masih ada berbagai pandangan terhadap constitional compleint dan constitutional question perlu tidaknya dimasukan dalam ketentuan UUD 1945 atau dibuat dalam bentuk UU karena telah dilaksanakan melalui MK yakni kewenangan untuk menguji UU berdasarkan UUD telah diakomudir. Namun yang menjadi persoalan adalah apakah dengan  kewenangan tersebut sudah mewujudkan hak konstitusional rakyat? Ini adalah masalah yang sampai sekarang belum ada upaya penyelesaian sehingga perlu diaturnya secara yuridis.
         
Daftar Pustaka
Albert Hasibuan, Implikasi Amandemen Konstitusi dalam Pembangunan Hukum, Komisi Hukum Nasional 2005.
Arif Zaynalov, Constitutional Court of Azerbaijan.
Asshidiqie, Jimly, “Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indone-sia”, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.
Choper, Jose H., “Judicial review and the National Political Process”, The University of Chicago Press, London,1980.
C.F., Strong OBE, “Modern Political Constitutions An Introduction to the Comparative Study of their History and Existing Form”,pp 123-124, Sidwick & Jacson Limited, London,1960.
Constitutional Court Act of Korea.
Constitutional Court Act of Germany.
Decision of the Federal Constitutional Court, 1 BvR 2790/04 of December 28, 2004, at http://www.bverfg/entscheidungen/rk20041228_1bvr279004.html.
Friedman, Wolffgang, “Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum”, Rajawali Press, Jakarta, 1980.
Genhard Danneman, Constitutional Complaints: European Perspective. International and Comparative Law Quarterly, 1994.
Juridiction of the Constitutional Court of the Republic of Croatia.
Jutta Limbach, On the Role of the Federal Constitutional Court of Germany.
Laica, Marzuki, Berjalan-jalan di ranah Hukum. KonPress 2005.
Refly Harun, Mahkamah Konstitusi dan Akses Keadilan, Justice for the Poor Project, World Bank.
Yunas, Didi Nazmi,  “Konsepsi Negara Hukum”, Angkasa, Padang, 1992.



[1] Makalah dalam Focus Goup Discussion (FGD) dengan tema “Tinjauan terhadap Putusan MK yang bersifat final”, diselenggerakan oleh Fakultas Hukum Undana Kupang bekerjasama dengan MPR RI, Tanggal 29 Juli 2011 di Cristal Hotel Kupang NTT.
[3] ibid
[4] Genhard Danneman, Constitutional Complaints: European Perspective. International and Comparative Law Quarterly, 1994.hal.145
[5] Jutta Limbach, On the Role of the Federal Constitutional Court of Germany.
[6] Dalam Genhard Danneman, Op.Cit. hal.146.
[7] Ibid
[8] Pan Mohamad Faiz, S.H.Constitutional Complaint Dan Hak Asasi Manusia : menabur benih constitutional complaint” dalam pm_faiz_kw@yahoo.com / http://jurnalhukum.blogspot.com diakses Tanggal 20 Juni 2010.
[9] C.F., Strong OBE, “Modern Political Constitutions An Introduction to the Comparative Study of their History and Existing Form”,pp 123-124, Sidwick & Jacson Limited, London,1960.hal.202.
[10] Choper, Jose H., “Judicial review and the National Political Process”, The University of Chicago Press, London,1980.hal.121.
[11] I Dewa Gede Palguna, SH, MH, "Constitutional Question: Latar Belakang dan Praktik di Negara Lain Serta Kemungkinan Penerapannya di Indonesia". Makalah disampaikan pada seminar nasional  :  20 Maret 2010 di Hotel Jogjakarta Plaza, Jalan Afandi-Gejayan. Dengan tema “Constitutional Complaint Sebagai Jaminan Konstitusional Warga Negara Dalam Rangka Supremasi Konstitusi”.
[12] Ibid 

Tidak ada komentar: