CONSTITUTIONAL COMPLAINT DAN CONSTITUTIONAL QUESTION SEBAGAI JAMINAN
KONSTITUSIONAL WARGA DALAM SUPREMASI KONSTITUSI NEGARA REPUBLIK INDONESIA[1]
Oleh Melkianus E. N.
Benu,SH.M.Hum.
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Nusa Cencana Kupang
Pendahuluan
Setiap putusan
majelis hakim di pengadilan tidak luput dari persoalan rasa keadilan yang harus
diterima oleh para pihak yang berperkara atau terpidana. Banyak hal yang muncul
dan menjadi masalah terhadap kepuasan putusan pengadilan yang belum memberikan
rasa keadilan bagi masyarakat. Para pejabat Negara atau pemegang jabatan
adiministrasi Negara atau pejabat tata usaha Negara baik yang diangkat maupun
yang dipilih dalam menjalankan kinerjanya sebagai penyelenggara Negara termasuk
pemerintah dalam fungsi legislative dan fungsi eksekutif juga belum memberikan
rasa keadilan sosial bagi seluruh warga Negara. Ketidakadilan itu telah memberikan
pandangan secara luas bahwa setiap pihak yang memegang jabatan-jabatan dalam
Negara baik fungsi legislative, eksekutif, yudikatif dan menjadi Namun yang
terjadi adalah warga Negara tidak percaya kepada lembaga peradilan untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Sekaligus bagi pemerintah secara
eksekutif dan legislative sekaligus telah berubah paradigmanya dari yang
demokrasi asal-asalan ke demokrasi sesungguhnya, namun masih memberikan deretan
ketidakpercayaan publik terhadap kinerja pemerintah. Hal itu dipandang sebagai
suatu tindakan yang belum memberikan keadilan dan kepuasan bagi para pencari
keadilan.
Para pencari keadilan
di lembaga peradilan umumnya menerima putusan itu sebagai suatu upaya kalah – menang
atas suatu proses perkara baik secara pidana maupun secara perdata dan perkara
ketatanegaraan di Mahkamah Konstitusi. Hal itu lebih banyak ditanggapi oleh
penerima putusan dan atau pengacaranya yang hasil putusan majelis hakim
menyatakan harus menghukum salah satu pihak. Keadaan ini menciptakan para
pencari keadilan untuk memahami suatu putusan pengadilan sebagai suatu
pertandingan yang dimainkan oleh Majelis Hakim di pengadilan.
UUD Negara Repulik Indonesia Tahun 1945 tidak
mengatur secara terpisah tentang Constitusional Complaint dan
Constituonal Question. Dalam prinsip konstitusi dikenal
konsep-konsep yang berhubungan dengan kedua istilah itu. Misalnya ketidakadilan
dalam penyelenggaraan negara termasuk putusan pengadilan hal itu merupakan
suatu hak asasi dari warga negara untuk mencari dan menuntut suatu keadilan.
Banyak putusan hakim di pengadilan atau MA dan
putusan MK termasuk janji-jani politik dari para pemegang kekuasaan dalam negara
(seperti presiden dan wakil presiden, anggota-anggota legislatif baik pusat
maupun daerah, para pejabat negara yang diangkat berdasarkan UUD, UU, PP, atau
lembaga-lembaga yang dibentuk berdasarkan kewenangan organ lembaga negara
misalnya menteri-menteri negara, KPK dan lain-lain sebagainya) yang seharusnya
perlu dijadikan sebagai dasar untuk mengatur tentang Constitusional Complaint
dan Constituonal Question dalam UUD.
Mengapa Constitusional Complaint dan Constituonal
Question harus diatur dengan UUD (konstitusi) bukan dengan UU atau
ketentuan dibawah UU? Hal itu memang perlu dipikirkan secara seksama bahwa
Negara Indonesia telah memiliki konstitusi modern karena MK telah menjaga
kehormatannya dengan diberi kewenangan untuk menguji setiap UU yang dianggap
bertentangan dengan UUD.
Menarik untuk didiskusikan fenomena putusan MA dan
MK yang dengan kewenangan konstitusional yang dimilikinya dapat menyelesaikan
berbagai perselisihan hasil pemilu legislatif dan eksekutif di Indonesia. Hasil
catatan saya tentang putusan MK sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya
paling banyak menyelesaikan pengujian terhadap UU syarat dengan kepentingan
politik pemohon terutama adalah keberadaan UU tentang Pemilu sebanyak 22 kali
pemohon; UU tentang pemilu presiden dan wapres sebanyak 15 kali pemohon; dan UU
pemda banyak 32 kali pemohon yang gugat substansinya ke MK.[2]
Dalam catatan saya Constitusional Complaint dan Constituonal Question
sering diterima oleh MK namun dalam penyelesaiannya pun belum memberikan keadilan
bagi para pemohon. Bahkan dialihkan ke MA sebagai lembaga peradilan yang tidak
harus menolak suatu perkara untuk tidak diselesaikan. Hasil putusannya pun
belum memberikan keadilan kepada para pemohon. Saya mencata bahwa MK sampai
dengan tanggal 3 Mei 2011 telah menerima permohonan tentang Constitusional Complaint
dan Constituonal Question sebayak 168 pemohon namun tidak ada
satu pun yang diselesaikan, dan yang terjadi adalah dikembalikan kepada para
pemohon bahkan digantung penyelesaian itu.
Antara Constitusional Complaint dan Constituonal
Question yang mempunyai makna sangat luas adalah Constituonal Question.
Misalnya para pemohon dari 31 hakim agung melakukan hak uji materi atas UU
No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudicial yang meminta agar MK harus membatalkan
ketentuan Pasal yang mengatur tentang pengawasan hakim sebab bertentangan
dengan asas seorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri (nemo judex idoneus in propria causa).
Dalam kasus ini, MA berupaya “menarik” MK sebagai pihak yang dirugikan
kepentingan konstitusionalnya oleh UU No. 22 Tahun 2004. Celakanya, sadar atau
tidak, MK terjebak membangun argumentasi untuk tidak masuk dalam ranah
pengawasan KY. Untuk kepentingan ini, MK berani menyimpangi dan menyatakan
tidak berlaku asas bahwa tidak seorang pun dapat menjadi hakim dalam
kepentingan perkaranya sendiri dalam permohonan uji materiil UU No. 22 Tahun
2004. Banyak kasus lain lagi yang sebenarnya merupakan Constitusional Complaint dan Constituonal Question
namun lebih banyak pemohon ikut prosedur yang berlaku di MK untuk menyebutnya
sebagai pengujian terhadap UU, namun sebetulnya tidak demikian.
Ketua MK Mahfud MD saat Konferensi hakim-hakim MK
se-Asia sempat melalui wawwancara dengan para wartawan bahwa tentu MK Indonesia
akan mencoba mencari negara lain yang punya konstitusi yang mengatur tentang Constitusional
Complaint dan Constituonal Question untuk diadopsi masuk
ke Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa selama ini masalah Constitusional
Complaint dan Constituonal Question belum memberikan
jaminan kepada warga negara mengenai hak konstitusionalnya.
Makna tentang Constitusional
Complaint dan Constituonal Question dalam Penerapannya
1.
Constitusional Complaint
Saat ini istilah Constitutional
Complaint mungkin sedikit asing di telinga kebanyakan orang, termasuk di
kalangan ahli hukum sekalipun. Namun untuk beberapa negara di Eropa, constitutional complaint menjadi solusi
yang paling banyak ditempuh oleh warga negara dalam mencari keadilan atas basic
rights yang dimilikinya. Tulisan ini diangkat untuk mengembangkan pewacanaan
mengenai keberadaan lembaga yang mampu mewadahi fungsi dari Constitutional Complaint itu sendiri.
Berangkat dari perlindungan atas basic rights/fundamental rights, maka tulisan
ini patut menjadi perhatian bagi mereka yang aktif mempelajari dan
memperjuangkan hak-hak asasi setiap individu warga negara.
Constitutional Complaint atau pengaduan konstitusional adalah pengaduan warga negara ke Mahkamah
Konstitusi karena mendapat perlakuan dari pemerintah yang bertentangan dengan
konstitusi (UUD 1945). Di banyak negara, kewenangan ini merupakan kewenangan
pokok Mahkamah Konstitusi. Namun, di Indonesia, MK tak mempunyai kewenangan
ini. Sebagai negara hukum yang
mencita-citakan terciptanya keadilan bagi seluruh warganya dan mendambakan
terwujudnya supremasi konstitusi, maka mengadobsi mekanisme Constitusional Complaint menjadi kewenangan MK RI merupakan salah satu
jalan menggapai tujuan itu, karena penerapannya di Indonesia merupakan wujud
konkrit dan upaya penghormatan serta perlindungan maksimum terhadap hak-hak
konstitusional.
Mahkamah selaku lembaga yang dapat menampung dan
menyalurkan keluh kesah (personal
grievance) atau pengaduan konstitusional sebagai upaya hukum yang luar
biasa dalam mempertahankan hak-hak konstitusional bagi setiap individu warga
negara, atau lebih dikenal dengan istilah constitutional complaint.
Banyak ahli hukum dan politik yang menyatakan bahwa dengan adanya
kewenangan MK melakukan pengujian terhadap UU berdasarkan UUD, maka telah
melaksanakan constitusional compaint.
Namun sebagian praktisi politik dan hukum menyatakan bahwa hal itu belum diatur
secara tegas untuk dilaksanakan oleh MK yang memiliki kewenangan untuk menjaga
kehormatan konstitusi. Perbedaan itu datang dari upaya membandingkan kehidupan
katetanegaraan yang memiliki MK dalam melaksanakan kewenangannya. Tentunya
pemikiran praktis dan penafsiran secara ilmiah dari para pakar juga harus
disinegikan untuk memperoleh jalan keluar terhadap kewenangan MK dalam
menyelesaikan setiap kasus yang masuk ke Sekretariat Jenderal MK.
Wacana mengenai kemungkinan diberikannya fungsi pengaduan
konstitutisonal (constitutional complaint)
kepada Mahkamah bukanlah hal yang baru. Berbagai artikel yang pernah ditulis
oleh pakar-pakar hukum dan beberapa pertimbangan hukum putusan Mahkamah
Konstitusi, secara tersirat telah memberikan sinyalemen bahwa kebutuhan akan
fungsi constitutional complaint
merupakan suatu keniscahyaan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi.
Hal yang demikian janganlah dianggap sebagai pemikiran dari
suatu judicial activism yang berlebihan. Sebab, hasil penelusuran penulis terhadap
surat-surat maupun permohonan yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi selama tahun 2005, sedikitnya terdapat 48 surat ataupun permohonan
yang dapat dikategorikan sebagai bentuk constitutional
complaint atau sejumlah 3 (tiga) kali lipat permohonan judicial review pada tahun yang sama[3].
Bahkan, karena begitu pentingnya fungsi pengaduan
konstitusional terkait dengan penegakan konstitusi dengan aras yang lebih konkret
dan langsung mengenai kepada setiap warga negara, 2 (dua) orang Hakim
Konstitusi dalam dissenting opinion-nya
pada Putusan Nomor 001/PUU-IV/2006 mengenai perkara Badrul Kamal, terlepas dari
putusan akhir dari keduanya, kali ini secara tegas dapat dikatakan telah mulai
menanamkan benih-benih constitutional
complaint dengan cara melakukan penafsiran bahwa Mahkamah seharusnya dapat
menampung pengaduan konstitusional (constitutional
complaint) atas pelanggaran hak-hak konstitutional warga negara karena sesungguhnya
telah memiliki dasar hukum yang cukup berdasarkan prinsip-prinsip konstitusi
yang terdapat dalam UUD 1945.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Genhard Dannemann[4] dalam bukunya “Constitutional
Complaints: The European Perspective” menyimpulkan bahwa kewenangan constitutional complaint yang sebelumnya
hanya dimiliki oleh beberapa negara Eropa, kini sudah berkembang pesat dan
telah diadopsi hampir di seluruh negara-negara Eropa Tengah dan Timur.
Salah satu Mahkamah Konstitusi yang pertama kali menerapkan
dan mengembangkan kewenangan constitutional
complaint adalah Mahkamah Konstitusi Federal Jerman (Bundesverfassungsgerichts). Kewenangan yang didasari pada Pasal 93
ayat (1) butir 42 Grundgesetz
Bundersrepublik Deutchland tersebut, menurut Jutta Limbach, merupakan
kewenangan terpenting yang kini dimilki oleh Bundesverfassungsgerichts, dimana hingga saat ini lebih dari
146.539 permohonan telah diperiksa oleh Bundesverfassungsgerichts
dan 141.023 diantaranya adalah permohonan mengenai constitutional complaint[5].
Contoh kasus constitutional
complaint yang cukup terkenal di Jerman yaitu mengenai tuntutan soal
larangan penyembelihan hewan karena dinilai bertentangan dengan undang-undang
tentang perlindungan hewan. Masyarakat muslim Jerman yang merasa berkeberatan
mengajukan hal ini ke Bundesverfassungsgerichts
karena dinilai bertentangan dengan kebebasan menjalankan agama. Sebab, ajaran
Islam justru mewajibkan hewan disembelih terlebih dulu sebelum halal dimakan.
Mahkamah Konstitusi Federal Jerman mengabulkan tuntutan itu dengan alasan
kebebasan beragama adalah sebuah soal yang diatur dalam konstitusi, sedangkan
larangan penyembelihan hewan hanya berada pada wilayah ketentuan di bawah
undang-undang dasar.
Di benua Afrika, salah satu negara yang juga mempunyai Mahkamah
Konstitusi dengan memiliki kewenangan constitutional
complaint yaitu Afrika Selatan. Menurut Deputy Chief Justice, Monseneke[6], pelayanan terhadap constituional
complaint di Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan dalam setahun terakhir ini
telah tercatat berjumlah 570 perkara. Sedangkan di Asia, Korea Selatan adalah
negara yang sudah lama menerapkan constitutional
complaint (HUN-MA dan HUN-BA) sebagai salah satu kewenangan Mahkamah
Konstitusinya berdasarkan Pasal 68 ayat (1) dan (2) The Constitutional Court Act of Korea. Data yang berhasil dihimpun
oleh penulis, tidak kurang sebanyak 11.679 perkara constitutional complaint telah diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi
Korea. Kemudian beberapa negara lainnya yang juga memiliki kewenangan serupa
yaitu Azerbaijan, Bavaria (Pasal 66
Constitution of The State of Bavaria), Kroasia (Bagian kelima Pasal 62 s/d 80
The Constitutional Act on the Constitutional Court of the Republic of Croatia),
dan masih banyak lagi.
Mengagungkan
pengakuan basic rights tanpa perlindungan atau mendengung-dengungkan
perlindungan tanpa tersedia upaya hukum yang cukup adalah sama-sama
pengingkaran terhadap pengakuan dan perlindungan basic rights setiap warga
negara. Oleh sebab itu, haruslah dikembangkan pemikiran mengenai kemungkinan
perluasan kewenangan constitutional complaints atau pengaduan konstitusional
yang berkaitan dengan basic rights setiap indvidu kepada Mahkamah Konstitusi.
Dengan
demikian, akan terselenggara pemerintahan yang demokratis dibawah rule of law
dengan adanya perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain
menjamin hak-hak individu, juga menentukan pula cara prosedur untuk memperoleh
perlindungan atas hak-hak yang dijamin tersebut, sebagaimana yang dikembangkan
oleh Roscoe Pound dalam hal hukum sebagai alat perekayasa sosial (law is a tool of social engineering).Namun
yang perlu dijadikan catatan di sini, budaya kesadaran berkonstitusi bangsa ini
juga harus mulai ditumbuhkembangkan, seiring dengan kesiapan dari Mahkamah itu
sendiri dalam menerima, mengadili, dan memutus setiap permohonan constitutional complaints yang masuk
kepadanya.
Seyogyanya
jika instrumen ini telah nyata menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, maka
dapat kita prediksi bahwa Mahkamah akan kebanjiran permohonan mengenai constitutional complaint, sebab hingga saat ini disinyalir begitu banyak hasil
warisan kebijakan publik yang dianggap telah melangkahi basic rights warga
negara Indonesia.
Sebagai
perbandingan, menurut Dieter Umbach[7]
negara Jerman yang relatif stabil di dalam sistem ketatanegaraannya, hampir
setiap tahunnya masih harus memeriksa kurang lebih 5.000 permohonan constitutional complaints. Maka dapat dibayangkan,
dalam mengejar angan tersebut, selain membutuhkan kesiapan yang cukup matang,
sebenarnya sangat membutuhkan dukungan dari berbagai stakeholder bangsa ini.
Oleh karena itu, sebagai batasannya, menurut penulis sebaiknya permohonan constitutional complaint baru dapat
diperiksa jikalau upaya-upaya hukum yang tersedia telah habis (exhausted)[8].
Di
sisi lain, dengan adanya instrumen constitutional
complaint ini, maka lambat laun akan tercipta kesadaran di tengah-tengah
masyarakat untuk membela diri di hadapan hukum ketika hak-hak dasar mereka
dilanggar. Selain itu, berbagai kebijakan yang menyentuh ranah publik dan warga
negara biasa, dengan sendirinya akan mempunyai kepekaan terhadap perlindungan
dan pemenuhan basic rights atau fundamental rights bagi setiap individu
masyarakat.
Sebagai contoh jika ada suatu putusan tingkat akhir berkekuatan tetap (incracht) yang sifatnya merugikan
kepentingan seseorang. Dalam dasar pertimbangan hukum putusan pengadilan
tersebut dianggap telah mencederai hak konstitutional orang yang
bersangkutan, dan tidak ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan. Maka dalam
posisi kasus demikian, orang tersebut dapat mengajukan permohonan kepada
Mahkamah Konstitusi untuk meminta pengujian terhadap keputusan pengadilan
melalui pengaduan constitutional
complaint, dengan melakukan eksaminasi konstitusional terhadap pertanyaan
apakah putusan pengadilan terhadap dirinya bertenta-ngan dengan ketentuan
Konstitusi? misalnya putusan pengadilan yang bersangkutan bertentangan dengan
penerapan asas kepastian hukum yang dijamin oleh Konstitusi.
Kewenangan untuk mengadili perkara constitutional
complaint di beberapa negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi,
seperti Austria, Korea Selatan, Rusia, Kroasia, Afrika Selatan, dll (seluruhnya
ada 78 negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi) telah diatur dalam Konstitusi
mereka. Hal ini umumnya disebabkan karena negara-negara tersebut memiliki
pengalaman politik masa lalu terhadap praktek penyimpangan konstitusional dalam
penyelenggaraan negara yang merugikan hak-hak masyarakat yang sesungguhnya
dilindungi oleh Konstitusi sebagai bentuk kontrak sosial antara Penyelenggara
Negara dengan Rakyatnya[9].
Berbagai keluhan masyarakat saat ini akibat banyaknya praktek putusan
pengadilan, keputusan pemerintah, maupun peraturan yang merugikan, sangatlah
relevan untuk diajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengadilinya
berdasarkan parameter normatif konstitusional. Meskipun Mahkamah
Konstitusi memiliki keterbatasan kewenangan sebagaimana diatur dalam UUD
1945, khususnya pasal 24 C , namun masih ada keniscayaan untuk dilakukan secara
pragmatis melalui 2 (dua) cara, baik oleh pembentuk undang-undang maupun oleh
hakim konstitusi.
Bagi pihak pembentuk undang-undang dapat melalui legislative review
terhadap undang-undang nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
yaitu melalui penambahan (secara addendum) terhadap penjelasan atas makna
pengujian undang-undang. Dalam posisi ini, para pembentuk undang-undang
dituntut untuk memiliki political will yang kuat untuk menjalankan amanah
Konstitusi UUD 1945 dan menegakkan nilai-nilai demokrasi di dalamnya.
Pembentuk undang-undang tidak perlu khawatir dengan melakukan legislative
review atas Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tersebut, sebab hal itu
akan memperlihatkan kepada masyarakat bahwa sikap dan kedewasaan politik DPR
maupun pemerintah semakin matang dan commit terhadap penegakan nilai-nilai
demokrasi dalam koridor yuridis konstitusional.
Sementara bagi para hakim Konstitusi dapat melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) melalui judicial interpretation secara
teleologis dan ekstensif dengan mengacu kepada sumpah jabatan mereka,
khususnya terhadap kata-kata “…menegakkan konstitusi dengan selurus-lurusnya”.
Dalam hal tersebut, hakim dapat melakukan analogi sejarah pertama kali
terjadinya judicial review oleh hakim John Marshal pada tahun 1803, sebagai
Hakim Mahkamah Agung Amerika yang meskipun tidak diberi kewenangan oleh
Konstitusi Amerika namun melakukan penafsiran ekstensif berdasarkan sumpah
jabatannya[10].
Jadi dapat disimpulkan
bahwa hukum merupakan suatu wahana untuk menciptakan tatanan masyarakat yang
dikehendaki sebagaimana dikatakan oleh Roscou Pound, “The law is a tool of social engineering”, salah satunya untuk
membangun masyarakat yang demokratis. Agar pelaksaanaan hukum berjalan efektif
maka diperlukan pengawasan masyarakat dengan mengajukan perkara ke
Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan untuk menerima
constitutional complaint, sehingga fungsi dan kewenangan Mahkamah
Konstitusi dapat benar-benar menjamin penegakan nilai-nilai konstitusi
yang didalamnya termaktub pula pem-bangunan Negara Hukum yang demokratis.
Berangkat dari seluruh uraian di atas, menjadi pertanyaan
sekarang adalah mungkinkah di masa yang akan datang kita dapat menuai hasil constitutional complaint? Jawabannya akan ditentukan dari sejauh mana para
pemimpin bangsa ini mampu memaknai seberapa urgent dan pentingnya kewajiban
negara dalam melindungi basic rights setiap warga negaranya sendiri.
2. Constitutional Question
Constitutional question dalam arti khusus merujuk pada suatu mekanisme pengujian
konstitusionalitas UU dimana seorang hakim (dari pengadilan umum) yang sedang
mengadili suatu perkara menilai atau ragu-ragu akan konstitusionalitas UU yang
berlaku untuk perkara itu, maka ia mengajukan "pertanyaan
konstitusional" ke MK (mengenai konstitusional-tidaknya undang-undang
ini). Kemudian MK hanya memutus persoalan konstitusionalitas
undang-undang itu dan bukan memutus kasus.
Praktek dalam melaksanakan constitutional
question seharusnya selama MK belum
menyatakan putusannya, pemeriksaan terhadap kasus tersebut dihentikan. Sehingga
bagi Indonesia yang hendak mewujudkan kehidupan bernegara yang demokratis dan
sekaligus negara hukum, mempertimbangkan untuk mengadopsi constitutional question
bukanlah sesuatu yang mengada-ada bahkan secara logis justru sebuah kebutuhan[11].
Beberapa negara lain yang juga menerapkannya adalah Jerman, Austria,
Belgia, Italia, Luxemburg dan Spanyol. Jerman, menurut Gede Palguna memiliki
sistem pelaksanaan MK yang paling menonjol dan berpengaruh bukan saja di
kawasan benua Eropa namun juga Asia, Amerika Latin dan Afrika. Kewenangan MK
Jerman untuk mengadili perkara constitutional
question diatur dalam konstitusi Federal Jerman (Grundgesetz) dan
Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi Federal Jerman (Bundesverfassungsgerichtsgesetz).
Bahkan, MK Jerman menurutnya memiliki kewenangan yang luas, mencakup
pelaksanaan dan penafsiran Grungesetz
dan kewenangan eksklusif terhadap semua proses peradilan yang secara langsung
tercakup dalam ketaatan terhadap konstitusi (Grungesetz).
Di negeri Jerman, persoalan Constitutional Question
akan muncul dalam tiga kondisi. Pertama,
jika suatu pengadilan menganggap bahwa suatu UU tidak konstitusional dengan
konstitusi Negara bagian (Land)
ataupun konstitusi Federal (Bundesgesetz).
Kedua, jika
suatu pengadilan menganggap bahwa suatu UU Negara bagian tidak sesuai dengan UU
Federal dan ketiga,
suatu pengadilan selama berlangsungnya persidangan dalam suatu kasus merasa
ragu apakah suatu ketentuan hukum internasional merupakan bagian dari UU
Federal dan apakah ketentuan hukum internasional itu secara langsung melahirkan
hak dan kewajiban pada individu.
Meskipun bentuknya berupa pertanyaan, menurut Gede Palguna[12], konstruksi pemikiran dan substansi yang ada dalam constitutional question
di Jerman adalah pengujian UU. Mekanisme ini ditandaskannya sangat memungkinkan
untuk diadopsi di Indonesia tanpa perlu perubahan terhadap UUD 1945, melainkan
hanya merubah ketentuan dalam UU MK.
Ada tiga keuntungan yang menurutnya akan diperoleh jika menerapkan constitutional question
di Indonesia yaitu Pertama, memaksimalkan
penghormatan, perlindungan dan perlindungan hak konstitusi warga Negara; kedua, hakim tidak dipaksa menerapkan UU
yang berlaku terhadap suatu perkara yang menurut keyakinannya bertentangan
dengan konstitusi; serta ketiga, bagi
Indonesia yang secara formal maupun tradisi hukum tidak menganut prinsip
preseden, hal ini akan membantu terbentuknya kesatuan pandangan di kalangan
para hakim diluar hakim konstitusi mengenai pentingnya menegakkan prinsip
konstitusionalisme hukum bukan hanya dalam proses pembentukannya tapi juga dalam
penerapannya.
Sedangkan dalam arti luas berhubungan dengan pertanyaan warga negara kepada
pengadilan (MK/MA) mengenai janji politik yang harus dituntaskan selama masa
kepemimpinan karena hal itu merupakan pelanggaran terhadap hak konstitusional
warga negara.
Kesimpulan
Bahwa antara constitional compleint dan constitutional question memiliki
kesamaan untuk mewujudkan hak konstitusional warga negara namun masih luas
makna yang terkandung dalam constitutional
qustion karena berhubungan dengan berbagai tindakan yang putusan hakim di
pengadilan dan pelanggaran kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan UUD.
Disini pemahaman tentang Constitutional
complaint, tidak saja menyangkut hak warga negara untuk mengajukan
komplain terhadap suatu undang-undang yang merugikan hak-hak konstitusional
mereka akan tetapi juga termasuk segala produk dan tindakan pemerintah yang
melanggar hak-hak konstitusional warga Negara.
Sekalipun masih ada berbagai pandangan terhadap constitional compleint dan constitutional
question perlu tidaknya dimasukan dalam ketentuan UUD 1945 atau dibuat
dalam bentuk UU karena telah dilaksanakan melalui MK yakni kewenangan untuk
menguji UU berdasarkan UUD telah diakomudir. Namun yang menjadi persoalan
adalah apakah dengan kewenangan tersebut
sudah mewujudkan hak konstitusional rakyat? Ini adalah masalah yang sampai
sekarang belum ada upaya penyelesaian sehingga perlu diaturnya secara yuridis.
Daftar
Pustaka
Albert Hasibuan, Implikasi Amandemen Konstitusi
dalam Pembangunan Hukum, Komisi Hukum Nasional 2005.
Arif Zaynalov, Constitutional Court of
Azerbaijan.
Asshidiqie,
Jimly, “Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indone-sia”, Konstitusi
Press, Jakarta, 2005.
Choper,
Jose H., “Judicial review and the National Political Process”, The
University of Chicago Press, London,1980.
C.F.,
Strong OBE, “Modern Political Constitutions An Introduction to the Comparative
Study of their History and Existing Form”,pp 123-124, Sidwick &
Jacson Limited, London,1960.
Constitutional Court Act of Korea.
Constitutional Court Act of Germany.
Decision
of the Federal Constitutional Court, 1 BvR 2790/04 of December 28, 2004, at http://www.bverfg/entscheidungen/rk20041228_1bvr279004.html.
Friedman,
Wolffgang, “Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum”,
Rajawali Press, Jakarta, 1980.
Genhard Danneman, Constitutional Complaints:
European Perspective. International and Comparative Law Quarterly,
1994.
Juridiction of the Constitutional Court of
the Republic of Croatia.
Jutta Limbach, On the Role of the Federal
Constitutional Court of Germany.
Laica, Marzuki, Berjalan-jalan di ranah Hukum.
KonPress 2005.
Refly Harun, Mahkamah Konstitusi dan Akses
Keadilan, Justice for the Poor Project, World Bank.
Yunas,
Didi Nazmi, “Konsepsi Negara Hukum”, Angkasa, Padang, 1992.
[1] Makalah dalam Focus Goup
Discussion (FGD) dengan tema “Tinjauan terhadap Putusan MK yang bersifat final”,
diselenggerakan oleh Fakultas Hukum Undana Kupang bekerjasama dengan MPR RI,
Tanggal 29 Juli 2011 di Cristal Hotel Kupang NTT.
[4] Genhard Danneman, Constitutional Complaints:
European Perspective. International and Comparative Law Quarterly,
1994.hal.145
[8] Pan Mohamad Faiz, S.H. “Constitutional
Complaint Dan Hak Asasi Manusia : menabur benih constitutional complaint” dalam pm_faiz_kw@yahoo.com / http://jurnalhukum.blogspot.com diakses Tanggal 20 Juni 2010.
[9] C.F., Strong OBE, “Modern Political Constitutions An
Introduction to the Comparative Study of their History and Existing Form”,pp
123-124, Sidwick & Jacson Limited, London,1960.hal.202.
[10] Choper, Jose H., “Judicial review and the National Political
Process”, The University of Chicago Press, London ,1980.hal.121.
[11] I Dewa Gede Palguna, SH, MH, "Constitutional
Question: Latar Belakang dan Praktik di Negara Lain Serta Kemungkinan
Penerapannya di Indonesia". Makalah disampaikan pada seminar
nasional : 20 Maret 2010 di Hotel Jogjakarta Plaza,
Jalan Afandi-Gejayan. Dengan tema “Constitutional Complaint Sebagai Jaminan
Konstitusional Warga Negara Dalam Rangka Supremasi Konstitusi”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar