Jumat, 11 Oktober 2013

Menggugat MPR sebagai Lembaga Negara

MENGGUGAT MAJELIS PERMUASYAWARATAN RAKYAT (MPR) SEBAGAI LEMBAGA NEGARA[1]
(Konstruksi Hukum Tata Negara Atas Keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sebagai Lembaga Negara dan Produk Hukumnya Menurut UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945)
Oleh :
Melkianus E. N. Benu,SH.,M.Hum.
(Dosen Bagian Hukum Tata Negara UNDANA Kupang)
Email : cuek_maniak@yahoo.co.id
Nomor HP. 081353954752

ABSTRACT

People's Consultative Assembly (MPR) is a state institution before and after the amendment of the 1945 Constitution Amendment constitutional change completely due to the duties and responsibilities can not be maintained anymore. Because if it is connected with the paradigm of good state governance (good governance), the original terms of efficiency and effectiveness duty as a state institution can not legally state institutional account thereof.
Product law of the Assembly as a state institution even though the material may be linked to the norm of law in stages, but have not provided space for law enforcement can be done constitutionally and also testing by state institutions such as the Supreme Court and the Constitution Court.

Keywords: People's Consultative Assembly, State Institutions, legal product.

PENDAHULUAN
Selama ini kita semua mengenal lembaga-lembaga negara di Indonesia sebagai mana disebutkan secara terang-terang di dalam UUD 1945 baik sebelum maupun setelah diamandemen. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menghentikan eksistensi lembaga MPR dalam menjalankan tugasnya yang dipandang sangat mulia itu. Namun lebih dari pada itu untuk mengoreksi apa yang harus dilaksanakan oleh MPR sebagai lembaga negara. Kita tahu bahwa semua lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945 memiliki tugas dan fungsi baik diatur dalam UUD 1945 maupun dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih spesifik.
Keberadaan MPR sebagai lembaga sebelum maupun setelah amandemen UUD 1945 apabila dicermati secara seksama tentunya menimbulkan berbagai tanda tanya, apa lagi dihubungkan dengan paradigma tata pemerintahan negara yang baik (good governance)[2]. Salah satu prinsip dalam good governance adalah efisiensi dan efektifitasnya suatu pemerintahan. Yang berarti bahwa keberadaan MPR sebaiknya dievaluasi menurut prinsip good governance. Dengan demikian, maka pemikiran prinsip efektifitas dan efisensi suatu kerja dalam hubungannya tugas dan fungsi MPR sebagai lembaga negara. Hal ini bisa saja dipahami bahwa apabila MPR bukan harus melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai lembaga negara maka tentu wajib dihapuskan keberadaannya sebagai lembaga negara tetapi bukan untuk menjelaskan bahwa keberadaan MPR harus dibubarkan tetapi dicari strategi dan arah yang jelas tentang kehadiran MPR untuk melaksanakan tugas dan fungsinya atau kewenangannya sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945.
Memang menjadi persoalan apabila kita mencermati Tugas dan Kewenangan MPR sebagaimana disebutkan secara terang-terang di dalam UUD 1945 sebagai lembaga negara. Bahkan disebutkan sebagai lembaga negara. Melembaga berarti sebagai organ yang harus melaksanakan tugas dan kewenangannya secara optimal dan efisien. Namun apabila tidak akan tercapai tugas yang disebutkan sebagaimana didalam UUD 1945 itu maka sebaiknya kita harus sepakat untuk menyatakan MPR bukan sebagai lembaga negara yang permanen tetapi MPR harus dipandang sebagai perkumpulan antara DPR dan DPD untuk suatu hal yang berkaitan langsung dengan amandemen UUD 1945, melantik presiden dan wakil presiden terpilih untuk lima tahun, membahas pendapat DPR tentang dugaan Presiden dan/atau wakil presiden dalam hal melakukan pelanggaran konstitusi/UUD. Sehingga eksistensi MPR untuk menjalankan fungsinya sebagai lembaga negara seharusnya tidak lagi. Mungkin saja dengan merangkumkan ketetapan-ketetapan MPR/MPRS adalah tugas terakhir yang seharusnya telah berakhir dan tidak lagi MPR bertindak msebagai lembaga negara.
Penulis memilih kata “kontruksi hukum tata negara” dimaksud untuk menghalusinasi logika hukum atas keberadaan MPR sebagai lembaga negara yang diparmanenkan oleh UUD 1945 baik sebelum dan sesudah amandemen. Memang kata kontruksi hukum memiliki arti yang sangat dekat dengan metode penemuan hukum oleh hakim, yakni penalaran logis untuk mengembangkan suatu ketentuan dalam undang-undang yang tidak lagi berpegang pada kata-kata, tetapi tetap harus memperhatikan hukum sebagai suatu sistem[3]. Sehingga perlu juga kita harus memahami keberadaan MPR sebagai lembaga negara yang tentu sangat erat kaitannya dengan efektifitas dan efisiensi atas tugas dan fungsinya sebagaimana dilakukan oleh lembaga-lembaga negara lain secara melembaga.
PEMIKIRAN KONSOLIDASI LEMBAGA NEGARA TENTANG MPR SESUAI UUD 1945
Apabila kita membuat suatu telaah perbandingan antar lembaga-lembaga negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945 sebelum dan sesudah perubahan, terutama melalui sistem check and balance maka tentu harus diakui bahwa MPR tidak akan mempertanggungjawabkan kinerjanya sesuai tugas dan kewenangan sebagaimana diatur menurut UUD 1945. Memang selama ini sebelum diamandemen UUD 1945 secara struktur kelembagaan negara, MPR dipandang sebagai lembaga negara tertinggi setelah lembaga-lembaga lain seperti DPR, Presiden, BPK, MA dan MK dan lain-lain sebagainya namun setelah amandemen UUD 1945 tentunya apabila kita menyelidiki secara seksama tuntutan terhadap prinsip-prinsip tata pemerintahan negara yang baik (good goverment) harus menjadi ukuran untuk menilai biaya belanja negara kepada tunjangan pejabat MPR, seperti jabatan Ketua MPR, jabatan Wakil Ketua MPR, jabatan Sekretaris MPR dan jabatan anggota-anggota MPR harus dibebankan belanja tunjangan secara permanen oleh APBN setiap bulan sementara mereka tidak melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya secara optimal, maka hal itu dapat saja kita pandang sebagai pembohongan kepada negara dan konstitusi. Bisa saja adanya pandangan negatif yang harus diberikan kepada setiap tunjangan yang diterima kepada anggota maupun para pejabat di MPR yang tidak akan melaksanakan tugas dan fungsinya secara efisien dan efektif sebagaimana diatur didalam UUD 1945 dan UU tentang susunan dan kedudukan MPR sebagai tindak pidana korupsi, karena mereka ditunjang oleh negara tanpa harus melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal atan berkesinambungan[4].
KEDUDUKAN MPR SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN UUD 1945 SEBAGAI LEMBAGA NEGARA
Kedudukan, tugas dan wewenang MPR sebagaimana diatur Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan), berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2), Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 6, Pasal 37, dan Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kedudukan MPR sebelum perubahan UUD 1945 adalah penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dan merupakan lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.
Tugas dan wewenang MPR (sebelum perubahan)[5] ialah:
a.         menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan garis-garis besar dari pada haluan negara, serta mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.        menetapkan garis-garis besar haluan negara;
c.         memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden;
d.        membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara yang lain, termasuk penetapan garis-garis besar haluan negara;
e.         memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusan-putusan Majelis;
f.         menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden dan Wakil Presiden;
g.        meminta pertanggungjawaban dari Presiden mengenai pelaksanaan garis-garis besar haluan negara dan menilai pertanggungjawaban tersebut;
h.        mencabut kekuasaan dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila Presiden sungguh-sungguh melanggar Undang-Undang Dasar dan/atau garis-garis besar haluan negara;
i.          menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis;
j.          menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh Anggota;
k.        mengambil dan/atau memberi keputusan terhadap Anggota yang melanggar sumpah/janji Anggota.
Kedudukan, tugas dan wewenang tersebut telah menjadikan MPR memiliki posisi yang sangat menentukan dan penting dalam dinamika ketatanegaraan. Kedudukan, tugas dan wewenang inilah yang memberikan otoritas MPR untuk membentuk Ketetapan-Ketetapan MPR, yang semenjak tahun 1960 – 2002 berjumlah 139 Ketetapan[6].
MPR sebelum adanya Amandemen UUD 1945 kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara, serta satu-satunya lembaga negara yang dapat menentukan ruang geraknya penyelenggaraan negara yang disebut dengan istilah supremasi MPR, kemudian berubah menjadi supremasi hukum dalam konteks negara hukum. Sekalipun penjelasan UUD 1945 sebelum diamandemen mengatur bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat)[7], namun kehadiran MPR sebagai lembaga negara tertinggi menghilangkan status negara hukum tersebut, karena MPR yang memilih presiden dan wakil presiden serta menetapkan Garis-garis Besar haluan Negara (GBHN). Hasil keputusan MPR sebagai ketatapan MPR itulah diserahkan kepada presiden dan wakil presiden untuk melaksanakannya sebagai mandataris MPR. Rakyat hanya memilih partai politik sehingga segala urusan mengenai keanggotaan MPR  diatur oleh partai politik (Partai Golkar).
Kedudukan MPR sebelum amandemen UUD 1945 senyatanya dianggap baik karena sebagai lembaga tertinggi negara sehingga segala tugas dan kewenangannya dapat terlaksana secara efektif. Hal ini bisa diukur dengan harus memilih presiden dan wakil presiden sekaligis menyusun GBHN untuk menyerahkannya kepada presiden sebagai mandataris MPR serta menetapkan berbagai kebijakan yang dipandang sangat strategis untuk menyerahkannya kepada lembaga-lembaga tinggi negara untuk melaksanakannya.
Kedudukan, Tugas Dan Wewenang MPR Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 7B ayat (6), Pasal 8 dan Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Kedudukan MPR setelah perubahan adalah lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara yakni memiliki tugas dan wewenang sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Tugas dan wewenang MPR[8] ialah:
a.         mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
b.        melantik Presiden dan Wakil Presiden;
c.         memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden;
d.        melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, atau diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya;
e.         memilih dan melantik Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari;
f.         memilih dan melantik Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya dari dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan partai politik yang paket calon presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari;
g.        menetapkan Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik;
h.        memilih dan menetapkan Pimpinan Majelis;
i.          membentuk alat kelengkapan Majelis.
Kedudukan MPR sebagai lembaga juga dipahaminya dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen, yakni “kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”, pada hal kedaulatan apabila dipahami maka sebetulnya sebagai wewenang tertinggi yang menentukan segala wewenang yang ada dalam suatu negara[9]. Dengan MPR memiliki kedaulatan penuh atas nama rakyat menunjukan bahwa negara Indonesia menganut supremasi kekuasaan bukan supremasi hukum seperti yang dipraktekan sekarang. MPR dengan kehilangan status untuk melaksanakan kedaulatan rakyat maka seharus setelah diamandemen UUD 1945 juga kehadiran MPR untuk membuat keketatapan hanya bisa dihitung berdasarkan  jumlah kewenangan yang diberikan oleh UU atau konstitusi seperti mengubah dan menetapkan UUD[10], melantik presiden dan wakil presiden[11],memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya menurut UUD[12], memilih wakil presiden dari dua calon yang diusulkan oleh presiden dalam hal terjadi kekosongan kekuasaan wakil presiden[13], memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya, jika Presiden dan Wakil Presiden dari  mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama[14].
Uraian tentang kewenangan MPR seperti diatas tidak bersifat permanen, apalagi dikaitkan dengan keberadaan MPR yang harus qorum untuk bisa menghasilkan suatu keputusan tentang ketetapan harus mengikuti petunjuk UUD 1945[15], maka tentu keberadaan MPR sebagai lembaga negara tidak sangat-sangat logis.
KEBABLASAN MPR DENGAN HARUS MENJALANKAN TUGAS LAIN UNTUK MENJALANKAN TUGAS SEBAGAI LEMBAGA NEGARA
MPR setelah merangkumkan hasil ketetapan-ketetapan MPR/MPRS yang telah dikeluarkan sejak tahun 1945 sampai dengan tahun 2003, dan tidak ada kerjaan lain, sementara diakuinya sebagai lembaga negara dalam UUD 1945, maka akhirnya berupaya mencari simpati publik dengan melakukan sosialisasi atas hasil-hasil perubahan UUD 1945, Pancasila, NKRI, Bhinneka Tungga Ika, kepada masyarakat di wilayah NKRI. Tentu dianggap tindakan ini kebablasan sebab berbagai kegiatan pemerintahan terutama lingkup pendidikan dasar sampai pada pendidikan tinggi telah dijelaskan oleh para pengajar. Tetapi kemudian MPR masih mengeluarkan energi untuk menjelskan hal itu tentu meninggalkan preseden buruk bagi dirinya sebagai anggota legislatif yang tidak menjaga kewibawaannya.
Memang amanat dari reformasi salah satunya MPR merubah UUD 1945 namun hal itu membutuhkan pemikiran yang sangat mendalam dan matang sehingga tidak menimbulkan spekulasi negatif atas keinginan MPR yang memegang tanggung jawab tersebut. Forum Permusyawaratan Sidang-sidang MPR periode 1999 – 2004 telah berhasil meninjau materi dan status hukum Ketetapan MPR RI dari tahun 1960 – 2002.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pada tataran implementasi, membawa perubahan baik penghapusan maupun pembentukan lembaga-lembaga negara, kedudukan masing-masing Lembaga Negara tergantung kepada tugas dan wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dampak perubahan terhadap MPR sebagai lembaga negara terutama tampak pada kedudukan, tugas dan wewenangnya. Kedudukan MPR setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945 tidak lagi menjadi sebuah lembaga yang memegang dan melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Walaupun demikian, dalam hal pelaksanaan fungsi konstitusional, hanya MPR yang dapat merubah dan menetapkan peraturan perundang-undangan tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan mempunyai tugas dan wewenang yaitu memilih dan melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila berhalangan  dalam masa jabatannya.
Perubahan-perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 baik substansi maupun latar belakang serta implikasinya, belum menjangkau dan belum dipahami oleh seluruh elemen masyarakat. Di sinilah arti penting sosialisasi yang dimaksudkan sebagai upaya pembelajaran bagi masyarakat untuk memperoleh pengetahuan yang memadai tentang konstitusi, pada khususnya, dan tentang dinamika ketatanegaraan pada umumnya, yang dapat menumbuhkan sikap dan perilaku masyarakat luas untuk menjawab tantangan-tantangan ke depan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
MPR saat ini hanya karena tidak mempunyai tugas yang permanen maka kemudian konsentrasi untuk melakukan penjelasan kepada publik tentang bentuk-bentuk tindakan hukum yang harus diambil apabila adanya kegiatan adalah jenis Putusan MPR adalah[16]:
a.       Perubahan dan penetapan Undang-Undang Dasar;
b.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.       Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sosialisasi Putusan MPR, tidaklah semata-mata mengenai isi atau substansi dari Putusan MPR, melainkan juga menyangkut latar belakang, dasar hukum, proses dan mekanisme pembentukan Putusan MPR, serta perkembangan lebih lanjut mengenai posisi dan status hukum Putusan MPR saat ini dan di masa yang akan datang.
Kesulitan yang telah dibuat MPR saat inilah yang akhirnya harus terpaksa membuat rangkuman terhadap status dan kedudukan ketetapan MPR/MPRS yang selama ini dilaksanakan hingga saat ini. Bahkan berkeliling wilayah NKRI untuk menjelaskan bagaimana MPR membuat ketetapan MPR sebagai lembaga negara. Adapun ketetapan MPR yang sering dijelaskan kepada publik adalah mengenai, yaitu[17]:
1.         Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 Tentang Peninjauan Terhadap Materi Dan Status Hukum Ketetapan MPRS Dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002.
2.         Keputusan MPR RI Nomor 1/MPR/2010 Tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI.
3.         Keputusan MPR RI Nomor 2/MPR/2004 Tentang Kode Etik MPR RI.
Penentuan ketiga putusan MPR tersebut di atas sebagai bahan materi yang akan disosialisasikan karena ketiga putusan tersebut masih memiliki relevansi dan berlaku sampai saat ini.
KEDUDUKAN PRODUK HUKUM DARI MPR SEBAGAI LEMBAGA NEGARA SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN UUD 1945
Sejak Negara Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 sesuai pembacaan proklamasi kemerdekaan Indonesia, maka keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945 MPR ditentukan sebagai lembaga negara tertinggi dalam UUD 1945. Lembaga MPR ini bekerja dan menghasilkan banyak ketetapan-ketetapan MPR. Hasil-hasil ketetapan MPR itu diserahkan atau dilimpahkan kepada lembaga-lembaga tinggi negara seperti Presiden, DPR, MA, BPK untuk dilaksanakan, dan Presiden dianggap sebagai mandatarisnya.
Setelah Amandemen UUD 1945 maka keberadaan MPR sebagai lembaga negara yang kedudukannya juga sama dengan lembaga negara lain yang disebutkan atau diatur dalam UUD 1945. MPR sekalipun tetap dipertahankan dalam UUD 1945 sebagai lembaga negara, namun perlu dipahami bahwa tugas dan kewenangan yang dimiliki tidak sebagai lembaga negara yang bersifat permanen. Artinya bahwa kedudukan MPR saat ini dalam UUD 1945 sebagai lembaga namun dalam pelaksanaan kinerjanya tidak harus dianggap sebagai lembaga negara. Sebab apabila disebut sebagai lembaga negara maka tentu akan membingungkan dengan adanya pemikiran baru dalam tata pemerintahan negara yang baik (good governance)[18]. Salah satu prinsip good governance adalah setiap lembaga negara harus berperan secara maksimal agar melahirkan sesuatu yang bisa diukur berdasarkan efektifitas dan efisiensi proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin. Selain, itu perlu adanya akuntabilitas para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan.
Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan. Lembaga tersebut juga harus memiliki visi strategis para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
Tentu dengan adanya MPR yang tidak akan melaksanakan tugasnya secara permanen itulah harus diefaluasi keberadaannya. Sebelum Amandemen UUD 1945 MPR yang berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara tentu sangat potensial dengan kinerjanya namun setelah Amandemen UUD 1945, keberadaan MPR sebagai lembaga negara kedudukan hanya melaksanakan beberapa tugas dan kewenangan tidak terlaksana secara berulang-ulang atau secara berkontinyu. Hasil-hasil ketetapan MPR yang ada sebelum dan sesudah Amandemen UUD 1945 masih tetap ada sebagai dokumen hukum yang patut dijaga kewibawaannya. Hal yang paling penting adalah keberadaan ketetapan-ketetapan MPR itulah yang perlu diklasifikasikan untuk ditentukan mana yang harus disebutkan statusnya sebagai keputusan MPR, ketetapan MPR, peraturan MPR, sehingga hal ini merupakan tugas berat yang harus dilakukan oleh MPR sekarang. Bagaimana pun juga hasil keputusan MPR sebagai ketetapan MPR itu harus dikodifikasikan untuk dilindungi kewibawaannya dalam konteks supremasi hukum.
UU No.10 tahun 2004 sebelumnya tidak menyebutkan atau mengatur ketetapan MPR dalam tata urutan perundang-undangan sehingga dengan adanya pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang diatur di dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah menyebutkan bahwa ketatapan MPR juga merupakan salah satu bentuk produk aturan perundang-undangan.
Mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, adalah merupakan suatu nilai yang penting, yang diharapkan setiap proses awal hingga selesainya suatu rancangan perundag-undngan dapat dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat secara umum, serta memiliki nilai “esensial of law”.[19]
Mengenai hierarki perundang-undang telah diatur sebelumnya di dalam UU N0.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu terdapat pada Pasal 7 ayat (1), yang menyebutkan bahwa jenis hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah[20]:
a.       Undang-undang Dasar Negara Rpublik Indonesia Tahun 1945;
b.      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c.       Peraturan Pemerintah;
b.      Peraturan Presiden;
c.       Peraturan Daerah.
Pada hierarki yang terdapat pada UU No.10 tahun 2004 tersebut, terlihat bahwa tidak dikutsertakannya TAP MPR dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan. Undang-undang ini pada dasarnya dimaksudkan untuk membentuk suatu ketentuan yang baku mengenai tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan, serta untuk memenuhi perintah Pasal 22 A Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Setelah munculnya Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam hierarki peraturan perundang-undangan tertuang pada Pasal 7 ayat (1),  Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a.       Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.       Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.      Peraturan Pemerintah;
e.       Peraturan Presiden;
f.       Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.      Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pada pasa7 ayat (2)nya menyebutkan tentang kekuatan hukum dari tingkatan peraturan-perundang-undangan tersebut “ Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Adanya perbedaan dalam tingkat hierarki perundang-undangan terlihat pada dimaksukkannya kembali TAP MPR dalam hierarki perundang-undangan, di mana pada UU No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, TAP MPR tidak termasuk di dalam tingkatan atau hierarki perundang-undangan.
Keberadaan kembali TAP MPR di dalam hierarki perundang-undangan seperti yang tertuang pada  No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 7 ayat (1), tentunya menjadi hal yang penting,  Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003[21].
Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan didasarkan pada pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hokum nasional. Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam angkamengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan  merupakan penyempurnaan terhadap kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2004, yaitu antara lain:
a.       materi dari Undang-Undang No.10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum;
b.      teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten;
c.       terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan; dan
d.      penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai dengan sistematika.
Sebagai penyempurnaan terhadap Undang-Undang sebelumnya, terdapat materi muatan baru yang ditambahkan dalam Undang-Undang ini, yaitu antara lain[22]:
a.       penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.      perluasan cakupan perencanaan Peraturan Perundang-undangan yang tidak hanya untuk Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya;
c.       pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.      pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
e.         pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundangundangan, peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan
f.         penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I Undang-Undang ini.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, atau disingkat Ketetapan MPR atau TAP MPR, adalah bentuk putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berisi hal-hal yang bersifat penetapan (beschikking). Pada masa sebelum Perubahan (Amandemen) UUD 1945, Ketetapan MPR merupakan Peraturan Perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945 dan di atas Undang-Undang. Pada masa awal reformasi, ketetapan MPR tidak lagi termasuk urutan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Namun pada tahun 2011, berdasarkan Undang-Undang No.12 Tahun 2011, Tap MPR kembali menjadi Peraturan Perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945. Pimpinan MPR sempat menyatakan bahwa kembali berlakunya Tap MPR pun tidak serta-merta mengembalikan posisi MPR seperti kondisi sebelumnya, dikarenakan pada era reformasi pembuatan Tap MPR baru tidak akan seperti masa yang sebelumnya, mengingat peran pembuatan Undang-Undang (legislatif) pada era reformasi diserahkan sepenuhnya kepada Presiden dan DPR. Perubahan UUD 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR. MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, kini berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya (seperti Kepresidenan, DPRDPDBPKMA, dan MK).
Dikeluarkannya atau tidak dimasukkannya Tap MPR sebagai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan tersebut tidak banyak diperdebatkan, meskipun sangat esensial bagi tertip dan kehidupan hukum di Indonesia. Soal tata susunan (hierarki) norma hukum sangat berpengaruh pada kehidupan hukum suatu negara, apalagi bagi negara yang menyatakan dirinya sebagai negara hukum. Susunan norma hukum dari negara manapun juga termasuk Indonesia selalu berlapis-lapis atau berjenjang. Sejak Indonesia merdeka dan ditetapkannya UUD 1945 sebagai konstitusi, maka sekaligus terbentuk pula sistem norma hukum negara Indonesia. Dalam kaitannya dengan sistem norma hukum di Indonesia itu, maka Tap MPR merupakan salah satu norma hukum yang secara hirakhis kedudukannya dibawah UUD 1945.
Meskipun secara hirakhir Tap MPR berada dibawah UUD 1945, namun Tap MPR selain masih bersifat umum dan garis besar dan belum dilekatkan oleh sanksi pidana maupun sanksi pemaksa. Kemudian baik UUD 1945 maupun Tap MPR dibuat atau ditetapkan oleh lembaga yang sama, yakni MPR. Dalam hubungan ini keberadaan Tap MPR setingkat lebih rendah dari UUD 1945 pada dasarnnya bisa dipahami dengan mengedepankan fungsi-fungsi yang dimiliki MPR. Dalam konteksnya dengan sistem norma hukum Indonesia tersebut, berdasarkan TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 dalam lampiran II-nya Tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebagai berikut; UUD 1945 Ketetapan MPR Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Peraturan Pemerintah Keputusan Presiden Peraturan Pelaksana lainnya; seperti Peraturan Menteri, Instruksi Mentri dan lain-lainnya. Demikian pula halnya setelah reformasi dan setelah UUD 1945, Tap MPR tetap ditempatkan sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang kedudukannya dibawah UUD 1945, walaupun ada perubahan atas jenis peraturan perundang-undangan. Hal ini sebagaimana ddituangkan dalam TAP MPR No.III/MPR/2000 yang menyebutkan tata urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut; UUD 1945 Ketetapan MPR Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Daerah Dari kedua TAP MPR tersebut terlihat, bahwa jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan TAP MPR tetap dipandang sebagai suatu peraturan perundang-undangan yang penting .
Tetapi entah kenapa, keberadaan Tap MPR “dihilangkan” atau dikeluarkan dari jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan di dalam UU No.10 Tahun 2004. Dalam hubungan ini, UU No.10 Tahun 2004 menyebutkan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut; UUD 1945 UU/Peraturan Pemerinta Pengganti Undang-Undang Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Daerah Tidak jelas apa yang menjadi pertimbangan dari pembentuk UU No.10 Tahun 2004 tidak memasukkan Tap MPR sebagai salah jenis peraturan perundang-undangan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.
Dari sisi yuridis tentu kebijakan dari pembentuk UU No.10 Tahun 2004 tentulah suatu kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip norma hukum yang berjenjang, artinya ketentuan UU No.10 Tahun 2004 itu bertentangan dengan Tap MPR No.III/MPR/2000 yang berkedudukan lebih tinggi dari UU No.10 Tahun 2004. Tetapi yang pasti pembentukkan UU No.10 Tahun 2004 tersebut sepertinya mengabaikan keberadaan Tap MPR No.III/MPR/2000, dimana dalam konsideran UU No.10 Tahun 2004 tidak disebut-sebut TAP MPR No.III/MPR/2000 sebagai salah satu dasar dari pembentukan UU No.10 Tahun 2004. Tetapi anehnya dalam Penjelasannya disebutkan bahwa pembentukan UU No.10 Tahun 2004 itu guna memenuhi perintah ketentuan Pasal 6 tap MPR No.III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum Tertip Hukum.
Disisi lain, apa yang terjadi pada pembentukkan UU No.10 Tahun 2004 yang mengeluarkan Tap MPR dari tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana telah ditetapkan dalam Tap MPRNo.III/MPR/2000 jelas memperlihatkan adanya ketidak-konsistenan pembentuk UU dalam membentuk suatu UU dengan memperhatikan ketentuan yang sudah ada, apalagi berupa suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dari UU. Kekeliruan mengeluarkan Tap MPR dari jenis dan tata susunan peraturan perundang-undangan sejak diundangkannya UU No.10 Tahun 2004 itu akhirnya disadari pembentuk UU. Hal ini ditandai dengan di undangkannya UU No.12 Tahun 2011 yang diundangkan tanggal 12 Agustus 2011 lalu yang memaksukannya kembali Tap MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Meskipun UU No.12 Tahun 2011 dalam pertimbangannya menyebutkan dalam konsideran adanya kekurangan pada UU No.10 Tahun 2004, namun sebenarnya lebih tepat kalau disebut adanya kekeliruan dalam menyusun dan membentuk UU No.10 Tahun 2004, khususnya berkaitan dengan dikeluarkannya Tap MPR sebagai salah satu jenis dan dari susunan peraturan perundang-undangan. Dalam hubungan ini UU No.12 Tahun 2011 menyebutkan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: UUD 1945 Ketetapan MPR UU/peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan daerah Propinsi Peraturan Daerah Kabupaten /Kota. Dalam UU No.12 Tahun 2011 tersebut ditegaskan pula, bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarkinya. Artinya ketentuan ini memulihkan kembali keberadaan Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan yang kekuatan hukumnya lebih kuat dari UU. Tetapi disisi lain, dengan dipecahnya kedudukan Peraturan Daerah yang tadinya dalam Tap MPR No.III/MPR/2000 hanya disebut Peraturan Daerah (Perda) saja tanpa membedakannya Perda Propinsi dengan Perda Kabupaten/Kota.
Dengan dipercahnya Perda menjadi Perda Propinsi dan dibawahnya Perda kabupaten Kota, maka tentu keberadaan Perda Kabupaten/Kota lebih rendak kedudukannya dari Perda Propinsi dan sekaligus mengandung makna Perda kabupaten/Kota tidak boleh bertentangan dengan Perda Propinsi. Sebelumnnya dalam UU No.10 Tahun 2004 dan sejalan dengan Tap MPR No.III/MPR/2000 kedudukan Perda Propinsi maupun Perda Kabupaten Kota berda dalam satu kotak dan tidak hirarkhis. Ini bahkan terlihat jelas dalam ketentuan Pasal 7 ayat (5) UU No.10 Tahun 2004. Akan tetapi dengan dipecahnya Perda menjadi Perda Propinsi dan Perda kabupaten Kota, scara hierarkhi, maka secara tidak lansung terkait dengan persoalan regulasi dalam implementasi otonomi daerah.
Persoalan ini tentu menjadi masalah sendiri dan akan kita bahas dalam kesempatan lain. Kembali ke soal l Tap MPR yang sudah dimasukkan kembali ke dalam tata urutan peraturan perundang-undangan dalam UU No.12 Tahun 2011. Suatu hal yang baru dalam UU No.12 Tahun 2011 adalah adanya peraturan lain selain dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang sudah disebutkan. Peraturan lain tersebut yakni mencakup peraturan yang ditetapkan MPR, DPR, MA, MK, BPK, KY, BI, Menteri, Badan, Lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UU, DPRD Pripvinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Kedudukan dan kekuatan hukum dari peraturan yang dibentuk lembaga-lembaga/instansi tersebut diakui keberadaaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Memahami UU No.12 Tahun 2011 sebagai pengganti UU No.10 tahun 2004, maka setidaknya beberapa persoalan yang terjadi dalam teknis pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia dibawah UU No.10 Tahun 2004 khususnya terhadap pengeluaran Tap MPR dari jenis dan susunan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia dapat diatasi dan dikembalikan pada posisi yang benar dan konsistensi terhadap tertip hukum kembali ditegakkan. Dan hal ini sejalan dengan apa yang disebutkan dalam penjelasan UU No.12 Tahun 2011, bahwa materi UU No.10 Tahun 2004 banyak menimbulkan kerancuan dan multi tafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum.
Tetapi sekali lagi UU No.12 Tahun 2011 dalam menjelaskan dalam penjelasannya terdapat materi baru yang diatur, dan materi baru itu disebutkan menambahkan Tap MPR sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-Undangan dan hierarkhinya ditempatkan dibawah UUD. Dan hal ini sebenarnya bukan materi baru, melainkan adanya kelalaian dan kealfaan dalam membentuk dan menyusun UU No.10 Tahun 2004. Sebab sudah terang adanya dalam TAP MPR No.III/MPR/2000 sudah ditetapkan Tap MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang kedudukannya setingkat dibawah UUD 1945. Jadi dimasukannya kembali Tap MPR sebagai salah satu jenis Peraturan perundang-undangan dalam UU No.12 Tahun 2011 sesungguhnya bukanlah penambahan materi baru, melainkan memperbaiki kesalahan pembentuk UU dalam menyusun dan membentuk UU sebelumnya yang digantikan UU No.12 tahun 2011.
PENGUJIAN PRODUK HUKUM MPR OLEH LEMBAGA MAHKAMAH KONSTITUSI ATAU SEDERAJAT
Dalam praktek, dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau yang bias disebut sebagai norm control mechanism[23]Ketiganya sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum, yaitu: (i) keputusan normative yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling), (ii) keputusan normative yang berisi dan bersifat penetapan administrative (beschikking), dan (iii) keputusan normative yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis (belanda: vonnis).
Dalam konsep pengujian undang-undang, khususnya berkaitan dengan pengujian oleh kekuasaan kehakiman, perlu dibedakan pula antara istilah judicial review dan judicial previe[24]. Review berarti memandang, menilai, atau menguji kembali, yang berasal dari kata re dan view. Sedangkan pre dan view atau preview adalah kegiatan memandangi sesuatu lebih dulu dari sempurnanya keadaan objek yang dipandang itu[25].
       Kedudukan Makamah Konstitusi dalam hal pengujian Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang dasar 1945, adalah sebagai the constitutionality of legislative law or legislation[26]. Kemunculan kedudukan TAP MPR yang berada dibawah Undang-undang Dasar 1945 pasca lahirnya Undang-undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,  apakah dapat dikatakan adanya kewenangan MK untuk menguji TAP MPR seperti halnya kewenangan MK menguji materiil Peratauran Perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar 1945.
       Hubungan Verfassungsnorm UUD 1945 dengan Norma Hukum Ketetapan MPR, apabila kita melihat teori jenjang norma hukum dari Hans Nawiasky, kita melihat bahwa Negara Republik Indonesia kelompok norma dari staatsgrundgesetz itu terdiri dari Verfassungnorm UUD 1945 yang terdapat dalam Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR, serta hukum Dasar tidak tertulis (Konvensi Ketatanegaraan)[27].
       Norma-norma hukum yang ada dalam Aturan Dasar Negara atau Aturan Pokok Negara, yaitu dalam verfassungsnorm UUD 1945 dan dalam Ketetapan MPR, merupakan norma-norma hukum yang masih berfifat umum dan garis besar serta masih merupakan norma tunggal, jadi belum dilekati oleh sanksi pidana maupun sanksi pemaksa, tetapi kedudukan verfassungsnorm UUD 1945 lebih tinggi dari pada Ketetapan MPR (TAP MPR) walaupun keduanya dibentuk oleh lembaga yang sama yaitu Majelis Permusyawaratan Rakayat sebagai lembaga tinggi di Negara Republik Indonesia.
       Jika melihat kedudukan MK dalam menguji materil Peraturan Perundang-undangan di bawah UUD 1945, tidak berarti menempatkan TAP MPR yang berada di bawah UUD 1945, yang dapat dilakukan pengujiannya oleh MK. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai mengapa MK tidak dapat menguji TAP MPR, yaitu:
1.      Kedudukan TAP MPR di buat oleh lembaga tinggi yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat;
2.      Dalam tata kelembagaan Negara pasca amandeman UUD 1945 sehingga memunculkan Mahkamah Konstitusi, hanya dapat berwenang menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah UUD 1945;
3.      Dalam hal kekuasaan MK tidak terdapat adanya kewenangan MK dapat melakukan uji materiil terhadap TAP MPR;
Jadi hingga saat ini kemunculan kedudukan TAP MPR dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan, dibawah UUD 1945, bukan berarti dapat dilakukan pengujian materiilnya oleh MK, seperti halnya Perundang-undangan yang lain, di bawah UUD 1945.
PENUTUP
Sekalipun MPR dikatakan sebagai lembaga negara menurut UUD 1945 hasil Amandemen harus dikatakan sebagai suatu kebohongan secara konstitusional. Apabila diukur dari kedudukan sebagai lembaga negara maka wajib untuk mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada publik karena semua anggota MPR adalah anggota perwakilan rakyat yang diutus oleh rakyat untuk menjalankan keinginan rakyat, bukan sebaliknya MPR bertindak sebagai lembaga negara yang sulit untuk diukur oleh rakyat hanya karena tidak ada tugas dan tanggung jawab yang jelas secara hukum kelembagaan negara.
Produk hukum dari MPR sebagai lembaga negara sekalipun sebelum Amandemen UUD 1945 mendapat ruang yang kuat secara hukum kelembagaan negara, namun setelah hasil Amandemen UUD 1945 sekalipun di Tahun 2004 kedudukan produk hukum MPR tidak disebutkan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan RI, namun harus dipahaminya sebagai suatu konsolidasi atas kedudukan lembaga negara MPR dalam struktur ketetanegaraan di Indonesia. Apabila dihubungan dengan perjalanan prinsip ketatanegaraan RI maka di Tahun 2011 telah memasukan kedudukan produk hukum MPR sebagai lembaga negara yang dalam penormaannya disebutkan dalam tata urutan perundang-undangan RI sehingga sekalipun masih menjadi persoalan akan tata cara menguji materi dan mekanime pembentukan produk hukum dari MPR sebagai lembaga negara tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, Susanto, 2006, Hukum Acara Perkara Konstitusi Prosedur berperkara pada Mahkamah Konstitusi, CV. Maju Mundur, Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly, 2004, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta.
___________2005, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Kosntitusi Press, Jakarta.
___________2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta.
Baso, Ence, I, H, 2008, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas MK Telaah terhadap Kewenangan MK, PT. Alumni, Bandung.
Benu, Melkianus E.N., Implikasi Pengujian Konstitusional MK terhadap UU, Tesis S2, Pascasarjana Undana Kupang, 2011.
Fatmawati, 2002, Hak Menguji (Toetsingsrecht) Yang Dimilki Dalam Sistem Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada: Jakarta
Fuady, Munir. 2003, Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum), Citra Aditya Bakti: Bandung,
Gultom, Lodewijk, SH.M.H, 2007, Eksistensi MK dalam Struktur Ketatanegaraan di Indonesia (Suatu Kajian dari Aspek Tugas dan Wewenangnya), Penerbit CV. Utomo, Bandung.
Hamid S. Attamimi, 1996, Ilmu Perundang-undangan (Dasar-dasar Pembentukannya – kumpulankuliah), Sekretariat Konsorsium Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Indrawati, Maria Farida 1996, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, Konsorsium Ilmu Hukum, UI.
Latif, Abdulah, 2009, Fungsi Mahkamah Konstitusi Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, Cet.II, Total Media, Jakarta.
Mahfud MD., Moh., 2001, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia.Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Ciptas.
Muchsan, 1982, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan Tata Usaha Negara  Di Indonesia, Liberti, Bandung.
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Makasar : Penerbit Ghalia Indonesia, 2004.
Pira Bunga, Nicolaus, 2009, Hukum Kelembagaan Negara, Penerbit FH Undana Press.
S.H. Sarundayang, 2005, Babak Baru : Sistem Pemerintahan Daerah, Penerbit Baca Kata Jadi Bijak.
Sekjen MPR RI, Panduan kemasyarakatan UUD 1945 Negara KRI, dan ketetapan MPR RI, Sekjen MPR RI, 2011.
Siahaan, Maruarar., 2006, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Konstitusi Press.
Soeprapto, Maria Farida Indrato, 1998, Ilmu Perundang Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Thaib, Dahlan, Jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda., 2005, Teori Dan Hukum Konstitusi, Raja Grafindo Persada: Jakarta.
UU No. 27 Tahun 2009 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3)
UU No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah dengan UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.




[1] Tulisan ini telah dipublikasikan melalui Jurnal Mahkamah Konstitusi RI kerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang Edisi Tahun 2013.
[2] S.H. Sarundayang, 2005, Babak baru Sistem Pemerintahan Daerah, Penerbit Baca Kata Jadi Bijak, hlm. 269.
[3] Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Makasar : Penerbit Ghalia Indonesia, 2004, hlm.144.
[4] Benu, Melkianus E.N., Implikasi Pengujian Konstitusional MK terhadap UU, Tesis S2, Pascasarjana Undana Kupang, 2011, hlm.130.
[5] Sekjen MPR RI, Panduan kemasyarakatan UUD 1945 Negara KRI, dan ketetapan MPR RI, Sekjen MPR RI, 2011, hlm. 198-201.
[6] Ibid
[7] Lihat Pejelasan UUD 1945 sebelum diamandemen dan bandingkan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen.
[8] Lihat bandingkan UUD 1945 hasil perubahan dengan Ketentuan UU No. 27 tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3)
[9] Pira Bunga, Nicolaus, Hukum Kelembagaan Negara, FH Undana Press, 2009,hlm.1.
[10] Lihat Pasal 37 ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen.
[11] Lihat Pasal 3 ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen.
[12] Lihat Pasal 3 ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen.
[13] Lihat Pasal 8 ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen.
[14] Lihat Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen.
[15] Bandingkan dengan ketentuan Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6) dan (7) UUD 1945 hasil amandemen.
[16]  Sekjen MPR RI, Op. Cit. hlm.206.
[17] Ibid
[18] Sarundayang, Op. Cit. hlm.279
[19] Melkianus E. N. Benu, Op. Cit. hlm.132
[20] Lihat Pasal 7 ayat (1) UU No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
[21] Lihat penjelasan UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[22] Melkianus E. N. Benu, Op. Cit. hlm. 134.
[23] Jimmly Asshiddiqie, Hukum Pengujian Konstitusional Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, hlm.1
[24] Ibid.
[25] Ibid
[26] Ibid
[27] Melkianus E. Benu, Op. Cit. hlm. 136.

Tidak ada komentar: