MENGGUGAT MAJELIS
PERMUASYAWARATAN RAKYAT (MPR) SEBAGAI LEMBAGA NEGARA[1]
(Konstruksi
Hukum Tata Negara Atas Keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sebagai
Lembaga Negara dan Produk Hukumnya Menurut UUD Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945)
Oleh :
Melkianus E. N.
Benu,SH.,M.Hum.
(Dosen Bagian Hukum Tata Negara UNDANA Kupang)
Email : cuek_maniak@yahoo.co.id
Nomor HP. 081353954752
ABSTRACT
People's Consultative Assembly (MPR) is a state
institution before and after the amendment of the 1945 Constitution Amendment
constitutional change completely due to the duties and responsibilities can not
be maintained anymore. Because if it is connected with the paradigm of good
state governance (good governance), the original terms of efficiency and effectiveness
duty as a state institution can not legally state institutional account
thereof.
Product law of the Assembly as a state institution
even though the material may be linked to the norm of law in stages, but have
not provided space for law enforcement can be done constitutionally and also
testing by state institutions such as the Supreme Court and the Constitution Court.
Keywords: People's Consultative Assembly, State
Institutions, legal product.
PENDAHULUAN
Selama ini kita semua
mengenal lembaga-lembaga negara di Indonesia sebagai mana disebutkan secara
terang-terang di dalam UUD 1945 baik sebelum maupun setelah diamandemen.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menghentikan eksistensi lembaga MPR dalam
menjalankan tugasnya yang dipandang sangat mulia itu. Namun lebih dari pada itu
untuk mengoreksi apa yang harus dilaksanakan oleh MPR sebagai lembaga negara.
Kita tahu bahwa semua lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945 memiliki
tugas dan fungsi baik diatur dalam UUD 1945 maupun dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih spesifik.
Keberadaan MPR sebagai
lembaga sebelum maupun setelah amandemen UUD 1945 apabila dicermati secara
seksama tentunya menimbulkan berbagai tanda tanya, apa lagi dihubungkan dengan
paradigma tata pemerintahan negara yang baik (good governance)[2].
Salah satu prinsip dalam good governance
adalah efisiensi dan efektifitasnya suatu pemerintahan. Yang berarti bahwa
keberadaan MPR sebaiknya dievaluasi menurut prinsip good governance. Dengan
demikian, maka pemikiran prinsip efektifitas dan efisensi suatu kerja dalam hubungannya
tugas dan fungsi MPR sebagai lembaga negara. Hal ini bisa saja dipahami bahwa
apabila MPR bukan harus melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai lembaga negara
maka tentu wajib dihapuskan keberadaannya sebagai lembaga negara tetapi bukan
untuk menjelaskan bahwa keberadaan MPR harus dibubarkan tetapi dicari strategi
dan arah yang jelas tentang kehadiran MPR untuk melaksanakan tugas dan
fungsinya atau kewenangannya sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945.
Memang menjadi
persoalan apabila kita mencermati Tugas dan Kewenangan MPR sebagaimana
disebutkan secara terang-terang di dalam UUD 1945 sebagai lembaga negara.
Bahkan disebutkan sebagai lembaga negara. Melembaga berarti sebagai organ yang
harus melaksanakan tugas dan kewenangannya secara optimal dan efisien. Namun
apabila tidak akan tercapai tugas yang disebutkan sebagaimana didalam UUD 1945
itu maka sebaiknya kita harus sepakat untuk menyatakan MPR bukan sebagai
lembaga negara yang permanen tetapi MPR harus dipandang sebagai perkumpulan
antara DPR dan DPD untuk suatu hal yang berkaitan langsung dengan amandemen UUD
1945, melantik presiden dan wakil presiden terpilih untuk lima tahun, membahas
pendapat DPR tentang dugaan Presiden dan/atau wakil presiden dalam hal
melakukan pelanggaran konstitusi/UUD. Sehingga eksistensi MPR untuk menjalankan
fungsinya sebagai lembaga negara seharusnya tidak lagi. Mungkin saja dengan
merangkumkan ketetapan-ketetapan MPR/MPRS adalah tugas terakhir yang seharusnya
telah berakhir dan tidak lagi MPR bertindak msebagai lembaga negara.
Penulis memilih kata
“kontruksi hukum tata negara” dimaksud untuk menghalusinasi logika hukum atas
keberadaan MPR sebagai lembaga negara yang diparmanenkan oleh UUD 1945 baik
sebelum dan sesudah amandemen. Memang kata kontruksi hukum memiliki arti yang
sangat dekat dengan metode penemuan hukum oleh
hakim, yakni penalaran logis untuk mengembangkan suatu ketentuan dalam
undang-undang yang tidak lagi berpegang pada kata-kata, tetapi tetap harus
memperhatikan hukum sebagai suatu sistem[3].
Sehingga perlu juga kita harus memahami keberadaan MPR sebagai lembaga negara
yang tentu sangat erat kaitannya dengan efektifitas dan efisiensi atas tugas
dan fungsinya sebagaimana dilakukan oleh lembaga-lembaga negara lain secara
melembaga.
PEMIKIRAN
KONSOLIDASI LEMBAGA NEGARA TENTANG MPR SESUAI UUD 1945
Apabila kita membuat
suatu telaah perbandingan antar lembaga-lembaga negara sebagaimana diatur dalam
UUD 1945 sebelum dan sesudah perubahan, terutama melalui sistem check and balance maka tentu harus
diakui bahwa MPR tidak akan mempertanggungjawabkan kinerjanya sesuai tugas dan
kewenangan sebagaimana diatur menurut UUD 1945. Memang selama ini sebelum
diamandemen UUD 1945 secara struktur kelembagaan negara, MPR dipandang sebagai
lembaga negara tertinggi setelah lembaga-lembaga lain seperti DPR, Presiden,
BPK, MA dan MK dan lain-lain sebagainya namun setelah amandemen UUD 1945
tentunya apabila kita menyelidiki secara seksama tuntutan terhadap
prinsip-prinsip tata pemerintahan negara yang baik (good goverment) harus
menjadi ukuran untuk menilai biaya belanja negara kepada tunjangan pejabat MPR,
seperti jabatan Ketua MPR, jabatan Wakil Ketua MPR, jabatan Sekretaris MPR dan jabatan
anggota-anggota MPR harus dibebankan belanja tunjangan secara permanen oleh
APBN setiap bulan sementara mereka tidak melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya secara optimal, maka hal itu dapat saja kita pandang sebagai
pembohongan kepada negara dan konstitusi. Bisa saja adanya pandangan negatif
yang harus diberikan kepada setiap tunjangan yang diterima kepada anggota
maupun para pejabat di MPR yang tidak akan melaksanakan tugas dan fungsinya
secara efisien dan efektif sebagaimana diatur didalam UUD 1945 dan UU tentang
susunan dan kedudukan MPR sebagai tindak pidana korupsi, karena mereka
ditunjang oleh negara tanpa harus melaksanakan tugas dan fungsinya secara
optimal atan berkesinambungan[4].
KEDUDUKAN
MPR SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN UUD 1945 SEBAGAI LEMBAGA NEGARA
Kedudukan, tugas dan
wewenang MPR sebagaimana diatur Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (sebelum perubahan), berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2), Pasal 2
ayat (1), Pasal 3, Pasal 6, Pasal 37,
dan Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kedudukan MPR sebelum
perubahan UUD 1945 adalah penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dan merupakan
lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.
Tugas dan wewenang MPR
(sebelum perubahan)[5]
ialah:
a.
menetapkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan garis-garis besar dari pada haluan negara,
serta mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
menetapkan garis-garis besar haluan
negara;
c.
memilih dan mengangkat Presiden dan
Wakil Presiden;
d.
membuat putusan-putusan yang tidak dapat
dibatalkan oleh lembaga negara yang lain, termasuk penetapan garis-garis besar
haluan negara;
e.
memberikan penjelasan yang bersifat
penafsiran terhadap putusan-putusan Majelis;
f.
menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya
mengangkat Presiden dan Wakil Presiden;
g.
meminta pertanggungjawaban dari Presiden
mengenai pelaksanaan garis-garis besar haluan negara dan menilai
pertanggungjawaban tersebut;
h.
mencabut kekuasaan dan memberhentikan
Presiden dalam masa jabatannya apabila Presiden sungguh-sungguh melanggar
Undang-Undang Dasar dan/atau garis-garis besar haluan negara;
i.
menetapkan Peraturan Tata Tertib
Majelis;
j.
menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih
dari dan oleh Anggota;
k.
mengambil dan/atau memberi keputusan
terhadap Anggota yang melanggar sumpah/janji Anggota.
Kedudukan, tugas dan
wewenang tersebut telah menjadikan MPR memiliki posisi yang sangat menentukan
dan penting dalam dinamika ketatanegaraan. Kedudukan, tugas dan wewenang inilah
yang memberikan otoritas MPR untuk membentuk Ketetapan-Ketetapan MPR, yang
semenjak tahun 1960 – 2002 berjumlah 139 Ketetapan[6].
MPR sebelum adanya
Amandemen UUD 1945 kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara, serta
satu-satunya lembaga negara yang dapat menentukan ruang geraknya
penyelenggaraan negara yang disebut dengan istilah supremasi MPR, kemudian
berubah menjadi supremasi hukum dalam konteks negara hukum. Sekalipun
penjelasan UUD 1945 sebelum diamandemen mengatur bahwa negara Indonesia adalah
negara hukum (rechtstaat)[7],
namun kehadiran MPR sebagai lembaga negara tertinggi menghilangkan status
negara hukum tersebut, karena MPR yang memilih presiden dan wakil presiden
serta menetapkan Garis-garis Besar haluan Negara (GBHN). Hasil keputusan MPR
sebagai ketatapan MPR itulah diserahkan kepada presiden dan wakil presiden
untuk melaksanakannya sebagai mandataris MPR. Rakyat hanya memilih partai
politik sehingga segala urusan mengenai keanggotaan MPR diatur oleh partai politik (Partai Golkar).
Kedudukan MPR sebelum
amandemen UUD 1945 senyatanya dianggap baik karena sebagai lembaga tertinggi
negara sehingga segala tugas dan kewenangannya dapat terlaksana secara efektif.
Hal ini bisa diukur dengan harus memilih presiden dan wakil presiden sekaligis
menyusun GBHN untuk menyerahkannya kepada presiden sebagai mandataris MPR serta
menetapkan berbagai kebijakan yang dipandang sangat strategis untuk menyerahkannya
kepada lembaga-lembaga tinggi negara untuk melaksanakannya.
Kedudukan, Tugas Dan Wewenang MPR Setelah Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3), Pasal 7B ayat (6), Pasal 8 dan Pasal 37 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Kedudukan MPR setelah perubahan adalah lembaga
permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara yakni memiliki
tugas dan wewenang sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Tugas dan wewenang MPR[8]
ialah:
a.
mengubah dan menetapkan Undang-Undang
Dasar;
b.
melantik Presiden dan Wakil Presiden;
c.
memutuskan usul DPR berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden;
d.
melantik Wakil Presiden menjadi Presiden
apabila Presiden mangkat, berhenti, atau diberhentikan, atau tidak dapat
melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya;
e.
memilih dan melantik Wakil Presiden dari
dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil
Presiden selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari;
f.
memilih dan melantik Presiden dan Wakil
Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya dari
dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh Partai Politik
atau gabungan partai politik yang paket calon presiden dan Wakil Presidennya
meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya sampai
habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari;
g.
menetapkan Peraturan Tata Tertib dan
Kode Etik;
h.
memilih dan menetapkan Pimpinan Majelis;
i.
membentuk alat kelengkapan Majelis.
Kedudukan MPR sebagai
lembaga juga dipahaminya dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum
amandemen, yakni “kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya
oleh MPR”, pada hal kedaulatan apabila dipahami maka sebetulnya sebagai
wewenang tertinggi yang menentukan segala wewenang yang ada dalam suatu negara[9].
Dengan MPR memiliki kedaulatan penuh atas nama rakyat menunjukan bahwa negara
Indonesia menganut supremasi kekuasaan bukan supremasi hukum seperti yang
dipraktekan sekarang. MPR dengan kehilangan status untuk melaksanakan
kedaulatan rakyat maka seharus setelah diamandemen UUD 1945 juga kehadiran MPR
untuk membuat keketatapan hanya bisa dihitung berdasarkan jumlah kewenangan yang diberikan oleh UU atau
konstitusi seperti mengubah dan menetapkan UUD[10], melantik
presiden dan wakil presiden[11],memberhentikan
presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya menurut UUD[12],
memilih wakil presiden dari dua calon yang diusulkan oleh presiden dalam hal
terjadi kekosongan kekuasaan wakil presiden[13], memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya
meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya,
sampai berakhir masa jabatannya, jika Presiden dan Wakil Presiden
dari mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak
dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana
tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan
Menteri Pertahanan secara bersama-sama[14].
Uraian tentang
kewenangan MPR seperti diatas tidak bersifat permanen, apalagi dikaitkan dengan
keberadaan MPR yang harus qorum untuk bisa menghasilkan suatu keputusan tentang
ketetapan harus mengikuti petunjuk UUD 1945[15],
maka tentu keberadaan MPR sebagai lembaga negara tidak sangat-sangat logis.
KEBABLASAN
MPR DENGAN HARUS MENJALANKAN TUGAS LAIN UNTUK MENJALANKAN TUGAS SEBAGAI LEMBAGA
NEGARA
MPR setelah
merangkumkan hasil ketetapan-ketetapan MPR/MPRS yang telah dikeluarkan sejak
tahun 1945 sampai dengan tahun 2003, dan tidak ada kerjaan lain, sementara
diakuinya sebagai lembaga negara dalam UUD 1945, maka akhirnya berupaya mencari
simpati publik dengan melakukan sosialisasi atas hasil-hasil perubahan UUD
1945, Pancasila, NKRI, Bhinneka Tungga Ika, kepada masyarakat di wilayah NKRI.
Tentu dianggap tindakan ini kebablasan sebab berbagai kegiatan pemerintahan
terutama lingkup pendidikan dasar sampai pada pendidikan tinggi telah
dijelaskan oleh para pengajar. Tetapi kemudian MPR masih mengeluarkan energi
untuk menjelskan hal itu tentu meninggalkan preseden buruk bagi dirinya sebagai
anggota legislatif yang tidak menjaga kewibawaannya.
Memang amanat dari
reformasi salah satunya MPR merubah UUD 1945 namun hal itu membutuhkan
pemikiran yang sangat mendalam dan matang sehingga tidak menimbulkan spekulasi
negatif atas keinginan MPR yang memegang tanggung jawab tersebut. Forum
Permusyawaratan Sidang-sidang MPR periode 1999 – 2004 telah berhasil meninjau
materi dan status hukum Ketetapan MPR RI dari tahun 1960 – 2002.
Perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pada tataran implementasi, membawa
perubahan baik penghapusan maupun pembentukan lembaga-lembaga negara, kedudukan
masing-masing Lembaga Negara tergantung kepada tugas dan wewenang yang
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dampak
perubahan terhadap MPR sebagai lembaga negara terutama tampak pada kedudukan,
tugas dan wewenangnya. Kedudukan MPR setelah perubahan Undang-Undang Dasar
Negera Republik Indonesia Tahun 1945 tidak lagi menjadi sebuah lembaga yang
memegang dan melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Walaupun demikian, dalam
hal pelaksanaan fungsi konstitusional, hanya MPR yang dapat merubah dan
menetapkan peraturan perundang-undangan tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan mempunyai tugas dan wewenang yaitu
memilih dan melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila berhalangan dalam masa jabatannya.
Perubahan-perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 baik substansi maupun
latar belakang serta implikasinya, belum menjangkau dan belum dipahami oleh
seluruh elemen masyarakat. Di sinilah arti penting sosialisasi yang dimaksudkan
sebagai upaya pembelajaran bagi masyarakat untuk memperoleh pengetahuan yang
memadai tentang konstitusi, pada khususnya, dan tentang dinamika ketatanegaraan
pada umumnya, yang dapat menumbuhkan sikap dan perilaku masyarakat luas untuk
menjawab tantangan-tantangan ke depan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
MPR saat ini hanya
karena tidak mempunyai tugas yang permanen maka kemudian konsentrasi untuk
melakukan penjelasan kepada publik tentang bentuk-bentuk tindakan hukum yang
harus diambil apabila adanya kegiatan adalah jenis Putusan MPR adalah[16]:
a.
Perubahan
dan penetapan Undang-Undang Dasar;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sosialisasi Putusan
MPR, tidaklah semata-mata mengenai isi atau substansi dari Putusan MPR,
melainkan juga menyangkut latar belakang, dasar hukum, proses dan mekanisme
pembentukan Putusan MPR, serta perkembangan lebih lanjut mengenai posisi dan
status hukum Putusan MPR saat ini dan di masa yang akan datang.
Kesulitan yang telah
dibuat MPR saat inilah yang akhirnya harus terpaksa membuat rangkuman terhadap
status dan kedudukan ketetapan MPR/MPRS yang selama ini dilaksanakan hingga
saat ini. Bahkan berkeliling wilayah NKRI untuk menjelaskan bagaimana MPR
membuat ketetapan MPR sebagai lembaga negara. Adapun ketetapan MPR yang sering
dijelaskan kepada publik adalah mengenai, yaitu[17]:
1.
Ketetapan
MPR RI Nomor I/MPR/2003 Tentang Peninjauan Terhadap Materi Dan Status Hukum
Ketetapan MPRS Dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002.
2.
Keputusan
MPR RI Nomor 1/MPR/2010 Tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI.
3.
Keputusan
MPR RI Nomor 2/MPR/2004 Tentang Kode Etik MPR RI.
Penentuan ketiga putusan MPR tersebut di atas sebagai bahan materi
yang akan disosialisasikan karena ketiga putusan tersebut masih memiliki
relevansi dan berlaku sampai saat ini.
KEDUDUKAN
PRODUK HUKUM DARI MPR SEBAGAI LEMBAGA NEGARA SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN UUD
1945
Sejak Negara Indonesia merdeka tanggal 17
Agustus 1945 sesuai pembacaan proklamasi kemerdekaan Indonesia, maka keesokan
harinya tanggal 18 Agustus 1945 MPR ditentukan sebagai lembaga negara tertinggi
dalam UUD 1945. Lembaga MPR ini bekerja dan menghasilkan banyak
ketetapan-ketetapan MPR. Hasil-hasil ketetapan MPR itu diserahkan atau
dilimpahkan kepada lembaga-lembaga tinggi negara seperti Presiden, DPR, MA, BPK
untuk dilaksanakan, dan Presiden dianggap sebagai mandatarisnya.
Setelah
Amandemen UUD 1945 maka keberadaan MPR sebagai lembaga negara yang kedudukannya
juga sama dengan lembaga negara lain yang disebutkan atau diatur dalam UUD
1945. MPR sekalipun tetap dipertahankan dalam UUD 1945 sebagai lembaga negara,
namun perlu dipahami bahwa tugas dan kewenangan yang dimiliki tidak sebagai
lembaga negara yang bersifat permanen. Artinya bahwa kedudukan MPR saat ini
dalam UUD 1945 sebagai lembaga namun dalam pelaksanaan kinerjanya tidak harus
dianggap sebagai lembaga negara. Sebab apabila disebut sebagai lembaga negara
maka tentu akan membingungkan dengan adanya pemikiran baru dalam tata
pemerintahan negara yang baik (good governance)[18].
Salah satu prinsip good governance adalah setiap lembaga negara
harus berperan secara maksimal agar melahirkan sesuatu yang bisa diukur
berdasarkan efektifitas dan efisiensi proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga
membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan
sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin. Selain, itu perlu adanya
akuntabilitas para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan
organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat
maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan.
Bentuk
pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis
organisasi yang bersangkutan. Lembaga tersebut juga harus memiliki visi
strategis para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh
ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta
kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut.
Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan,
budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
Tentu dengan
adanya MPR yang tidak akan melaksanakan tugasnya secara permanen itulah harus
diefaluasi keberadaannya. Sebelum Amandemen UUD 1945 MPR yang berkedudukan
sebagai lembaga tertinggi negara tentu sangat potensial dengan kinerjanya namun
setelah Amandemen UUD 1945, keberadaan MPR sebagai lembaga negara kedudukan
hanya melaksanakan beberapa tugas dan kewenangan tidak terlaksana secara
berulang-ulang atau secara berkontinyu. Hasil-hasil ketetapan MPR yang ada
sebelum dan sesudah Amandemen UUD 1945 masih tetap ada sebagai dokumen hukum
yang patut dijaga kewibawaannya. Hal yang paling penting adalah keberadaan
ketetapan-ketetapan MPR itulah yang perlu diklasifikasikan untuk ditentukan
mana yang harus disebutkan statusnya sebagai keputusan MPR, ketetapan MPR,
peraturan MPR, sehingga hal ini merupakan tugas berat yang harus dilakukan oleh
MPR sekarang. Bagaimana pun juga hasil keputusan MPR sebagai ketetapan MPR itu
harus dikodifikasikan untuk dilindungi kewibawaannya dalam konteks supremasi
hukum.
UU No.10
tahun 2004 sebelumnya tidak menyebutkan atau mengatur ketetapan MPR dalam tata
urutan perundang-undangan sehingga dengan adanya pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang diatur di dalam UU No.12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah
menyebutkan bahwa ketatapan MPR juga merupakan salah satu bentuk produk aturan
perundang-undangan.
Mengenai
pembentukan peraturan perundang-undangan, adalah merupakan suatu nilai yang penting, yang diharapkan setiap proses awal hingga
selesainya suatu rancangan perundag-undngan dapat dilaksanakan sesuai dengan
nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat secara umum, serta memiliki
nilai “esensial of law”.[19]
Mengenai
hierarki perundang-undang telah diatur sebelumnya di dalam UU N0.10 tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu terdapat pada Pasal 7
ayat (1), yang menyebutkan bahwa jenis
hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah[20]:
a.
Undang-undang Dasar Negara Rpublik Indonesia Tahun
1945;
b.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
c.
Peraturan Pemerintah;
b.
Peraturan Presiden;
c.
Peraturan Daerah.
Pada
hierarki yang terdapat pada UU No.10 tahun 2004 tersebut, terlihat bahwa tidak
dikutsertakannya TAP MPR dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan.
Undang-undang ini pada dasarnya dimaksudkan untuk membentuk suatu ketentuan
yang baku mengenai tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan, serta
untuk memenuhi perintah Pasal 22 A Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor
III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Setelah
munculnya Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, dalam hierarki peraturan perundang-undangan tertuang pada Pasal
7 ayat (1), Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri
atas:
a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
d.
Peraturan Pemerintah;
e.
Peraturan Presiden;
f.
Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pada pasa7
ayat (2)nya menyebutkan
tentang kekuatan hukum dari
tingkatan peraturan-perundang-undangan tersebut “ Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan
sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Adanya perbedaan dalam tingkat hierarki perundang-undangan terlihat pada
dimaksukkannya kembali TAP MPR dalam hierarki perundang-undangan, di mana pada
UU No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, TAP MPR
tidak termasuk di dalam tingkatan atau hierarki perundang-undangan.
Keberadaan
kembali TAP MPR di dalam hierarki perundang-undangan seperti yang tertuang
pada No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Pasal 7 ayat (1), tentunya menjadi hal yang
penting, Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003[21].
Undang-Undang tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan didasarkan pada pemikiran bahwa Negara Indonesia
adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang
kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus
berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hokum nasional. Sistem hukum
nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang
saling menunjang satu dengan yang lain dalam angkamengantisipasi dan mengatasi
permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan penyempurnaan
terhadap kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2004, yaitu antara
lain:
a.
materi dari Undang-Undang No.10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan kerancuan atau
multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum;
b.
teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten;
c.
terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan
perkembangan atau kebutuhan hukum dalam Pembentukan Peraturan
Perundangundangan; dan
d.
penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap
bab sesuai dengan sistematika.
Sebagai penyempurnaan terhadap
Undang-Undang sebelumnya, terdapat materi muatan baru yang ditambahkan dalam
Undang-Undang ini, yaitu antara lain[22]:
a.
penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan hierarkinya
ditempatkan setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
perluasan cakupan perencanaan Peraturan
Perundang-undangan yang tidak hanya untuk Prolegnas dan Prolegda melainkan juga
perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan
Perundang-undangan lainnya;
c.
pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan
Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.
pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan
dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
e.
pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan
Perundangundangan, peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan; dan
f.
penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam
Lampiran I Undang-Undang ini.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, atau disingkat Ketetapan MPR atau TAP MPR, adalah bentuk
putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
berisi hal-hal yang bersifat penetapan (beschikking). Pada masa sebelum
Perubahan (Amandemen) UUD 1945, Ketetapan
MPR merupakan Peraturan Perundangan yang
secara hierarki berada di bawah UUD 1945 dan di atas Undang-Undang. Pada masa
awal reformasi, ketetapan MPR tidak lagi termasuk urutan hierarki Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia. Namun pada tahun 2011,
berdasarkan Undang-Undang No.12 Tahun 2011, Tap MPR kembali menjadi Peraturan Perundangan yang
secara hierarki berada di bawah UUD 1945. Pimpinan MPR sempat menyatakan bahwa
kembali berlakunya Tap MPR pun tidak serta-merta mengembalikan posisi MPR
seperti kondisi sebelumnya, dikarenakan pada era reformasi pembuatan Tap MPR
baru tidak akan seperti masa yang sebelumnya, mengingat peran pembuatan Undang-Undang
(legislatif) pada era reformasi diserahkan sepenuhnya kepada Presiden dan DPR.
Perubahan UUD 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan
wewenang MPR. MPR yang dahulu berkedudukan
sebagai lembaga tertinggi negara, kini berkedudukan sebagai lembaga negara yang
setara dengan lembaga negara lainnya (seperti Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK).
Dikeluarkannya
atau tidak dimasukkannya Tap MPR sebagai jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan tersebut tidak banyak diperdebatkan, meskipun sangat
esensial bagi tertip dan kehidupan hukum di Indonesia. Soal tata susunan
(hierarki) norma hukum sangat berpengaruh pada kehidupan hukum suatu negara,
apalagi bagi negara yang menyatakan dirinya sebagai negara hukum. Susunan norma
hukum dari negara manapun juga termasuk Indonesia selalu berlapis-lapis atau berjenjang. Sejak Indonesia merdeka dan
ditetapkannya UUD 1945 sebagai konstitusi, maka sekaligus terbentuk pula sistem
norma hukum negara Indonesia. Dalam kaitannya dengan sistem norma hukum di
Indonesia itu, maka Tap MPR merupakan salah satu norma hukum yang secara
hirakhis kedudukannya dibawah UUD 1945.
Meskipun
secara hirakhir Tap MPR berada dibawah UUD 1945, namun Tap MPR selain masih
bersifat umum dan garis besar dan belum dilekatkan oleh sanksi pidana maupun
sanksi pemaksa. Kemudian baik UUD 1945 maupun Tap MPR dibuat atau ditetapkan
oleh lembaga yang sama, yakni MPR. Dalam hubungan ini keberadaan Tap MPR
setingkat lebih rendah dari UUD 1945 pada dasarnnya bisa dipahami dengan
mengedepankan fungsi-fungsi yang dimiliki MPR. Dalam konteksnya dengan sistem
norma hukum Indonesia tersebut, berdasarkan TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 dalam
lampiran II-nya Tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
berdasarkan UUD 1945 sebagai berikut; UUD 1945 Ketetapan MPR
Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Peraturan Pemerintah
Keputusan Presiden Peraturan Pelaksana lainnya; seperti Peraturan Menteri,
Instruksi Mentri dan lain-lainnya. Demikian pula halnya setelah reformasi dan
setelah UUD 1945, Tap MPR tetap ditempatkan sebagai salah satu jenis peraturan
perundang-undangan yang kedudukannya dibawah UUD 1945, walaupun ada perubahan
atas jenis peraturan perundang-undangan. Hal ini sebagaimana ddituangkan dalam
TAP MPR No.III/MPR/2000 yang menyebutkan
tata urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut; UUD 1945 Ketetapan
MPR Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Peraturan
Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Daerah Dari kedua TAP MPR tersebut
terlihat, bahwa jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan TAP MPR
tetap dipandang sebagai suatu peraturan perundang-undangan yang penting .
Tetapi entah
kenapa, keberadaan Tap MPR “dihilangkan” atau dikeluarkan dari jenis dan tata
urutan peraturan perundang-undangan di dalam UU No.10 Tahun 2004. Dalam hubungan ini, UU No.10 Tahun 2004 menyebutkan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai
berikut; UUD 1945 UU/Peraturan Pemerinta Pengganti Undang-Undang Peraturan
Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Daerah Tidak jelas apa yang menjadi
pertimbangan dari pembentuk UU No.10 Tahun 2004 tidak memasukkan Tap MPR sebagai salah jenis peraturan
perundang-undangan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.
Dari sisi
yuridis tentu kebijakan dari pembentuk UU No.10 Tahun 2004 tentulah suatu kebijakan yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip norma hukum yang berjenjang, artinya ketentuan UU No.10 Tahun 2004 itu bertentangan dengan Tap MPR No.III/MPR/2000 yang berkedudukan lebih tinggi dari UU No.10 Tahun 2004. Tetapi yang pasti pembentukkan UU No.10 Tahun 2004 tersebut sepertinya mengabaikan keberadaan Tap MPR
No.III/MPR/2000, dimana dalam konsideran UU No.10 Tahun 2004 tidak disebut-sebut TAP MPR No.III/MPR/2000 sebagai salah satu dasar dari pembentukan UU No.10 Tahun 2004.
Tetapi anehnya dalam Penjelasannya disebutkan bahwa pembentukan UU No.10 Tahun 2004 itu guna memenuhi perintah ketentuan Pasal 6 tap MPR No.III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum Tertip Hukum.
Disisi lain,
apa yang terjadi pada pembentukkan UU No.10 Tahun 2004 yang mengeluarkan Tap MPR dari tata urutan peraturan
perundang-undangan sebagaimana telah ditetapkan dalam Tap MPRNo.III/MPR/2000
jelas memperlihatkan adanya ketidak-konsistenan pembentuk UU dalam membentuk
suatu UU dengan memperhatikan ketentuan yang sudah ada, apalagi berupa suatu
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dari UU. Kekeliruan
mengeluarkan Tap MPR dari jenis dan tata susunan peraturan perundang-undangan
sejak diundangkannya UU No.10 Tahun
2004 itu akhirnya disadari pembentuk UU. Hal ini ditandai dengan di
undangkannya UU No.12 Tahun
2011 yang diundangkan tanggal 12 Agustus 2011 lalu yang memaksukannya kembali
Tap MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Meskipun UU No.12 Tahun 2011 dalam pertimbangannya menyebutkan dalam konsideran adanya
kekurangan pada UU No.10 Tahun
2004, namun sebenarnya lebih tepat kalau disebut adanya kekeliruan dalam
menyusun dan membentuk UU No.10 Tahun 2004, khususnya berkaitan dengan dikeluarkannya Tap MPR sebagai
salah satu jenis dan dari susunan peraturan perundang-undangan. Dalam hubungan
ini UU No.12 Tahun 2011 menyebutkan tata
urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: UUD 1945 Ketetapan MPR
UU/peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Peraturan Pemerintah Peraturan
Presiden Peraturan daerah Propinsi Peraturan Daerah Kabupaten /Kota. Dalam UU
No.12 Tahun 2011 tersebut ditegaskan pula, bahwa kekuatan hukum peraturan
perundang-undangan sesuai dengan hierarkinya. Artinya ketentuan ini memulihkan
kembali keberadaan Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan yang kekuatan
hukumnya lebih kuat dari UU. Tetapi disisi lain, dengan dipecahnya kedudukan
Peraturan Daerah yang tadinya dalam Tap MPR No.III/MPR/2000 hanya disebut Peraturan Daerah (Perda) saja tanpa
membedakannya Perda Propinsi dengan Perda Kabupaten/Kota.
Dengan
dipercahnya Perda menjadi Perda Propinsi dan dibawahnya Perda kabupaten Kota,
maka tentu keberadaan Perda Kabupaten/Kota lebih rendak kedudukannya dari Perda
Propinsi dan sekaligus mengandung makna Perda kabupaten/Kota tidak boleh
bertentangan dengan Perda Propinsi. Sebelumnnya dalam UU No.10 Tahun 2004 dan sejalan dengan Tap MPR No.III/MPR/2000 kedudukan Perda Propinsi maupun Perda Kabupaten Kota berda
dalam satu kotak dan tidak hirarkhis. Ini bahkan terlihat jelas dalam ketentuan
Pasal 7 ayat (5) UU No.10 Tahun 2004. Akan tetapi dengan dipecahnya Perda
menjadi Perda Propinsi dan Perda kabupaten Kota, scara hierarkhi, maka secara
tidak lansung terkait dengan persoalan regulasi dalam implementasi otonomi
daerah.
Persoalan
ini tentu menjadi masalah sendiri dan akan kita bahas dalam kesempatan lain.
Kembali ke soal l Tap MPR yang sudah dimasukkan kembali ke dalam tata urutan
peraturan perundang-undangan dalam UU No.12 Tahun 2011. Suatu hal yang baru dalam UU No.12 Tahun 2011 adalah adanya peraturan lain selain dari jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan yang sudah disebutkan. Peraturan lain tersebut
yakni mencakup peraturan yang ditetapkan MPR, DPR, MA, MK, BPK, KY, BI,
Menteri, Badan, Lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UU,
DPRD Pripvinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa
atau yang setingkat. Kedudukan dan kekuatan hukum dari peraturan yang dibentuk
lembaga-lembaga/instansi tersebut diakui keberadaaannya dan mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat sepanjang sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Memahami UU No.12 Tahun 2011 sebagai
pengganti UU No.10 tahun 2004, maka setidaknya beberapa persoalan yang terjadi
dalam teknis pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia dibawah UU
No.10 Tahun 2004 khususnya terhadap
pengeluaran Tap MPR dari jenis dan susunan Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia dapat diatasi dan dikembalikan pada posisi yang benar dan konsistensi
terhadap tertip hukum kembali ditegakkan. Dan hal ini sejalan dengan apa yang
disebutkan dalam penjelasan UU No.12 Tahun 2011, bahwa materi UU No.10 Tahun 2004 banyak menimbulkan kerancuan dan multi tafsir sehingga tidak
memberikan suatu kepastian hukum.
Tetapi
sekali lagi UU No.12 Tahun
2011 dalam menjelaskan dalam penjelasannya terdapat materi baru yang diatur,
dan materi baru itu disebutkan menambahkan Tap MPR sebagai salah satu jenis
Peraturan Perundang-Undangan dan hierarkhinya ditempatkan dibawah UUD. Dan hal
ini sebenarnya bukan materi baru, melainkan adanya kelalaian dan kealfaan dalam
membentuk dan menyusun UU No.10 Tahun
2004. Sebab sudah terang adanya dalam TAP MPR No.III/MPR/2000 sudah ditetapkan Tap MPR sebagai salah satu jenis peraturan
perundang-undangan yang kedudukannya setingkat dibawah UUD 1945. Jadi
dimasukannya kembali Tap MPR sebagai salah satu jenis Peraturan perundang-undangan
dalam UU No.12 Tahun 2011 sesungguhnya
bukanlah penambahan materi baru, melainkan memperbaiki kesalahan pembentuk UU
dalam menyusun dan membentuk UU sebelumnya yang digantikan UU No.12 tahun 2011.
PENGUJIAN
PRODUK HUKUM MPR OLEH LEMBAGA MAHKAMAH KONSTITUSI ATAU SEDERAJAT
Dalam
praktek, dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau yang bias
disebut sebagai norm control mechanism[23]. Ketiganya
sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan
keputusan hukum, yaitu: (i) keputusan normative yang berisi dan bersifat
pengaturan (regeling), (ii) keputusan normative yang berisi dan
bersifat penetapan administrative (beschikking), dan (iii) keputusan
normative yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang
biasa disebut vonis (belanda: vonnis).
Dalam konsep
pengujian undang-undang, khususnya berkaitan dengan pengujian oleh kekuasaan
kehakiman, perlu dibedakan pula antara istilah judicial review dan judicial
previe[24]. Review berarti memandang,
menilai, atau menguji kembali, yang berasal dari kata re dan view. Sedangkan pre dan view atau preview adalah
kegiatan memandangi sesuatu lebih dulu dari sempurnanya keadaan objek yang
dipandang itu[25].
Kedudukan
Makamah Konstitusi dalam hal pengujian Peraturan
Perundang-undangan di bawah Undang-Undang dasar 1945, adalah sebagai the constitutionality of legislative law or legislation[26]. Kemunculan kedudukan TAP MPR yang berada dibawah Undang-undang Dasar 1945
pasca lahirnya Undang-undang No.12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, apakah dapat dikatakan adanya kewenangan MK untuk menguji TAP MPR seperti halnya
kewenangan MK menguji materiil Peratauran Perundang-undangan di bawah
Undang-Undang Dasar 1945.
Hubungan Verfassungsnorm UUD
1945 dengan Norma Hukum Ketetapan MPR, apabila kita melihat teori jenjang norma
hukum dari Hans Nawiasky, kita melihat bahwa Negara Republik Indonesia kelompok
norma dari staatsgrundgesetz itu terdiri dari Verfassungnorm UUD
1945 yang terdapat dalam Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR, serta hukum Dasar tidak tertulis (Konvensi Ketatanegaraan)[27].
Norma-norma
hukum yang ada dalam Aturan Dasar Negara atau Aturan Pokok Negara, yaitu
dalam verfassungsnorm UUD 1945 dan dalam Ketetapan MPR,
merupakan norma-norma hukum yang masih berfifat umum dan garis besar serta
masih merupakan norma tunggal, jadi belum dilekati oleh sanksi pidana maupun
sanksi pemaksa, tetapi kedudukan verfassungsnorm UUD 1945 lebih tinggi dari pada Ketetapan MPR (TAP MPR) walaupun keduanya dibentuk oleh lembaga yang sama yaitu Majelis Permusyawaratan Rakayat
sebagai lembaga tinggi di Negara Republik Indonesia.
Jika
melihat kedudukan MK dalam menguji materil Peraturan Perundang-undangan di
bawah UUD 1945, tidak berarti menempatkan TAP MPR yang berada di bawah UUD
1945, yang dapat dilakukan pengujiannya oleh MK. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai mengapa MK tidak dapat
menguji TAP MPR, yaitu:
1.
Kedudukan TAP MPR di buat oleh lembaga tinggi yaitu
Majelis Permusyawaratan Rakyat;
2.
Dalam tata kelembagaan Negara pasca amandeman UUD 1945
sehingga memunculkan Mahkamah Konstitusi, hanya dapat berwenang menguji
Peraturan Perundang-undangan di bawah UUD 1945;
3.
Dalam hal kekuasaan MK tidak terdapat adanya
kewenangan MK dapat melakukan uji materiil terhadap TAP MPR;
Jadi hingga saat ini kemunculan kedudukan TAP MPR dalam hierarki Peraturan
Perundang-undangan, dibawah UUD 1945, bukan berarti dapat dilakukan pengujian
materiilnya oleh MK, seperti halnya Perundang-undangan yang lain, di bawah UUD
1945.
PENUTUP
Sekalipun MPR dikatakan
sebagai lembaga negara menurut UUD 1945 hasil Amandemen harus dikatakan sebagai
suatu kebohongan secara konstitusional. Apabila diukur dari kedudukan sebagai
lembaga negara maka wajib untuk mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada publik
karena semua anggota MPR adalah anggota perwakilan rakyat yang diutus oleh
rakyat untuk menjalankan keinginan rakyat, bukan sebaliknya MPR bertindak
sebagai lembaga negara yang sulit untuk diukur oleh rakyat hanya karena tidak
ada tugas dan tanggung jawab yang jelas secara hukum kelembagaan negara.
Produk hukum dari MPR
sebagai lembaga negara sekalipun sebelum Amandemen UUD 1945 mendapat ruang yang
kuat secara hukum kelembagaan negara, namun setelah hasil Amandemen UUD 1945
sekalipun di Tahun 2004 kedudukan produk hukum MPR tidak disebutkan dalam tata
urutan peraturan perundang-undangan RI, namun harus dipahaminya sebagai suatu
konsolidasi atas kedudukan lembaga negara MPR dalam struktur ketetanegaraan di
Indonesia. Apabila dihubungan dengan perjalanan prinsip ketatanegaraan RI maka
di Tahun 2011 telah memasukan kedudukan produk hukum MPR sebagai lembaga negara
yang dalam penormaannya disebutkan dalam tata urutan perundang-undangan RI
sehingga sekalipun masih menjadi persoalan akan tata cara menguji materi dan
mekanime pembentukan produk hukum dari MPR sebagai lembaga negara tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Agung,
Susanto, 2006, Hukum Acara Perkara Konstitusi Prosedur berperkara pada Mahkamah
Konstitusi, CV. Maju Mundur, Jakarta.
Asshiddiqie,
Jimly, 2004, Format
Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII
Press, Yogyakarta.
___________2005,
Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Kosntitusi
Press, Jakarta.
___________2006,
Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta.
Baso,
Ence, I, H, 2008, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas MK Telaah
terhadap Kewenangan MK, PT. Alumni, Bandung.
Benu, Melkianus
E.N., Implikasi Pengujian Konstitusional MK terhadap UU, Tesis S2, Pascasarjana
Undana Kupang, 2011.
Fatmawati, 2002,
Hak Menguji (Toetsingsrecht)
Yang Dimilki Dalam Sistem Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada:
Jakarta
Fuady, Munir.
2003, Aliran Hukum Kritis (Paradigma
Ketidakberdayaan Hukum), Citra Aditya Bakti: Bandung,
Gultom, Lodewijk, SH.M.H, 2007, Eksistensi MK dalam
Struktur Ketatanegaraan di Indonesia (Suatu Kajian dari Aspek Tugas dan
Wewenangnya), Penerbit CV. Utomo, Bandung.
Hamid
S. Attamimi, 1996, Ilmu
Perundang-undangan (Dasar-dasar Pembentukannya – kumpulankuliah),
Sekretariat Konsorsium Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Indrawati,
Maria Farida 1996, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya,
Konsorsium Ilmu Hukum, UI.
Latif,
Abdulah, 2009, Fungsi Mahkamah Konstitusi Upaya Mewujudkan Negara Hukum
Demokrasi, Cet.II, Total Media, Jakarta.
Mahfud
MD., Moh., 2001, Dasar Dan Struktur
Ketatanegaraan Indonesia.Edisi
Revisi. Jakarta: Rineka Ciptas.
Muchsan,
1982, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan Tata
Usaha Negara Di Indonesia, Liberti,
Bandung.
Marwan
Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Makasar : Penerbit Ghalia Indonesia, 2004.
Pira Bunga,
Nicolaus, 2009, Hukum Kelembagaan Negara, Penerbit FH Undana Press.
S.H.
Sarundayang, 2005, Babak Baru : Sistem Pemerintahan Daerah, Penerbit Baca Kata
Jadi Bijak.
Sekjen MPR RI,
Panduan kemasyarakatan UUD 1945 Negara KRI, dan ketetapan MPR RI, Sekjen MPR
RI, 2011.
Siahaan,
Maruarar., 2006, Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Konstitusi Press.
Soeprapto,
Maria Farida Indrato, 1998, Ilmu Perundang Undangan Dasar-Dasar dan
Pembentukannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Thaib, Dahlan, Jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda., 2005, Teori Dan Hukum Konstitusi, Raja
Grafindo Persada: Jakarta.
UU
No. 27 Tahun 2009 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU
MD3)
UU
No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana
diubah dengan UU No. 12 tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[1] Tulisan ini telah dipublikasikan
melalui Jurnal Mahkamah Konstitusi RI kerja sama dengan Fakultas Hukum
Universitas Nusa Cendana Kupang Edisi Tahun 2013.
[2] S.H. Sarundayang, 2005, Babak
baru Sistem Pemerintahan Daerah, Penerbit Baca Kata Jadi Bijak, hlm. 269.
[3] Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Makasar : Penerbit Ghalia Indonesia, 2004,
hlm.144.
[4] Benu, Melkianus E.N., Implikasi Pengujian Konstitusional MK
terhadap UU, Tesis S2, Pascasarjana Undana Kupang, 2011, hlm.130.
[5] Sekjen MPR RI, Panduan kemasyarakatan UUD 1945 Negara KRI,
dan ketetapan MPR RI, Sekjen MPR RI, 2011, hlm. 198-201.
[6] Ibid
[7] Lihat Pejelasan UUD 1945 sebelum
diamandemen dan bandingkan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen.
[8] Lihat bandingkan UUD 1945 hasil
perubahan dengan Ketentuan UU No. 27 tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
(UU MD3)
[9] Pira Bunga, Nicolaus, Hukum Kelembagaan Negara, FH Undana
Press, 2009,hlm.1.
[10] Lihat Pasal 37 ayat (1) UUD 1945
hasil amandemen.
[11] Lihat Pasal 3 ayat (2) UUD 1945
hasil amandemen.
[12] Lihat Pasal 3 ayat (3) UUD 1945
hasil amandemen.
[13] Lihat Pasal 8 ayat (2) UUD 1945
hasil amandemen.
[14] Lihat Pasal 8 ayat (3) UUD 1945
hasil amandemen.
[15] Bandingkan dengan ketentuan
Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6) dan (7) UUD 1945 hasil amandemen.
[16]
Sekjen MPR RI, Op. Cit. hlm.206.
[17] Ibid
[18] Sarundayang, Op. Cit. hlm.279
[19] Melkianus E. N. Benu, Op. Cit. hlm.132
[20] Lihat Pasal 7 ayat (1) UU No.10
Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
[22] Melkianus E. N. Benu, Op. Cit.
hlm. 134.
[23] Jimmly Asshiddiqie, Hukum
Pengujian Konstitusional Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, hlm.1
[24] Ibid.
[25] Ibid
[26] Ibid
[27] Melkianus E. Benu, Op. Cit. hlm.
136.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar