Oleh
A. Alasan
Pemilihan Tokoh
Aliran Realis Skandinavia
seperti Denmark dan Swidia, yang dipelopori oleh Hagerstrom
(1868-1939) dan Vilhelm Ludstedt (1882-1955),
berpandangan bahwa ”hukum adalah putusan hakim yang dipengaruhi oleh
kondisi kejiwaan atau psikologi yang tidak lebih dari reaksi otak”[3]. Alasan
aliran realis Skandinavia ialah karena dalam pelaksaan hukum itu dilakukan
melalui pendekatan pada peringkat yang rasionalisasi akan eksistensi objektif.
Hukum dipandang sebagai aspek perilaku hakim, dan menolak konsep kejiwaan dan
fenomena mental pada diri hakim dalam melaksanakan tugasnya.
Disebutkan
oleh Marwan Mas,SH.MH[4]. (2004:130) bahwa
perbedaan aliran realis Amerika dengan aliran realis Skandinavia terletak pada “putusan
hakim” dan “perilaku hakim”. Aliran
Realisme Amerika Serikat memandang “hukum terletak pada apa yang
diputuskan (dibuat) oleh hakim”, sedangkan realis Skandinavia memandang
hukum dari aspek perilaku hakim yang mempengaruhi putusannya”. Sedangkan
persamaan terletak pada (1) keduanya menolak keberadaan “das sollen dan
das sein” dalam studi hukum, (2) keduanya menolak spekulasi metafisik
dalam penyelidikan keadaan-keadaan dari system hukum.
Bertolak dari pandangan tersebut, para ahli realis meninggalkan
pembicaraan hukum yang abstrak dan menyibukan diri dengan pertanyaan filsafat
hukum, tetapi menggunakan pendekatan sosiologis dengan semboyan : “hukum
adalah apa yang dibuat oleh para hakim”. Menurut kaum realis, hakim
lebih banyak disebut “peimbuat hukum” dari pada
penemu hukum[5].
Dalam kajian ini, penulis
ingin lebih luas untuk mempelajari realisme hukum Skandinavia, yang mana aliran
realisme ini merambah negara-negara di kawasan Skandinavia. Diterimanya
pemikiran yang realis di kawasan ini, disebabkan oleh tulisan-tulisan para yuris
negara-negara Nordik, yang mulai kritis terhadap sistem hukumnya sendiri.
Mereka melihat, dengan kondisi geografis kawasan Skandinavia yang realtif terisolasi
di Eropa ditambah lagi miskinnya hubungan perdagangan Internasional, telah
meyakinkan mereka bahwa Roman Law, sebagai hukum yang mendominasi bumi Eropa
saat itu, tidak memberikan dampak atau manfaat yang besar bagi perkembangan
sistem hukum mereka.
Apabila ditelah secara
singkat sistem hukum di kawasan ini, dapat ditemukan bahwa sistem hukum di negara-negara
Skandinavia jika dibandingkan dengan sistem hukum di dunia ini memiliki sistem
yang berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara yang ada di Eropa, hukum di
Skandinavia, adalah yang paling sedikit terkodifikasi, dan kebayakan lebih
berorientasi pada putusan-putusan hakim.
Dengan lahirnya gerakan
realisme di kawasan Skandinavia ini, disebabkan dengan tradisi emperisme yang
berkembang di Inggris, sebab pendekatan emperisme terutama dibidang filsafat
termasuk jurisprudence, yang bernuansa
sosiologis, yang berkembang di Inggris serta turut mempengaruhi cara berpikir
mengenai hukum di kawasan Skandinava.
Sebagai ciri dari
pendekatan aliran realisme hukum Skandinavia lebih dipengaruhi oleh pendekatan
psikologi (psikologisme etis). Fokus perhatian aliran ini tidak seperti Amerika
yang mempersoalkan praktik hukum para pejabat hukumnya tetapi perilaku
orang-orang yang berada dibawah hukum. Oleh sebab itu, ilmu psikologi banyak
dimanfaatkan guna menjelaskan fenomena hukum tersebut. Pendekatan yang bersifat
psikologis ini diberikan terhadap objek yang bersifat faktual semata. Karena
itu, persoalan metafisika disingkirkan dalam aliran ini. Konsep-konsep hukum,
seperti validitas hukum, eksistensi hak dan kewajiban hukum, termasuk konsep
hak kebendaan dan lain sebagainya, merupakan gagasan imajiner. Gagasan semacam
inilah hanya menaruh perhatian yang kuat pada prakiraan-prakiraan terhadap
setiap tindakan yudisial, yang didorong oleh alasan-alasan psikologi yang tidak
faktual, dimana tindakan yudisial ini berpengaruh secara nyata terhadap setiap
orang.
Secara umum, ciri-ciri
aliran Realisme Hukum Skandinavia
menurut Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang[6]
(2007:157-) adalah
a.
Pemikiran
ini berwatak sosiologis, namun dengan warna penolakan terhadap pemikiran yang a
priori, dan menekankan tentang pentingnya menempatkan hukum dalam konteks
kebutuhan yang faktual dari soscial life. Oleh sebab itu, mereka menolak
konsep-konsep hukum yang abstrak, karena hal itu adalah metafisika, bukan
faktual yang aktual;
b.
Kepdulian
aliran ini amat tinggi terhadap aspek praktis dari jalannya proses peradilan,
namun hal tersebut dikaji dengan cara yang bersifat teoritis.
Melalui aliran ini salah
satu pendukung terhadap aliran Skandinavia adalah Alf Niels Christian
Ross, beliau dengan pemikirannya yang sangat brilian yakni berupaya
untuk menjelaskan sikap tindak manusia dapat digolongkan menjadi dua yakni sikap
tindak yang ber-interesse dan tidak ber-interesse. Sikap tindak yang ber-interesse berarti bahwa
dalam bersikap tersebut orang merasa sungguh-sungguh terlibat. Sikap tindak itu
disesuikan dengan cita-citanya. Sikap tindak ini berdasarkan refleks-refleks
fisiologis, sehingga atas dasar proses itu sikap tindak tertentu dapat
diramalkan. Sedangkan tidak ber-interesse berarti sikap tindak yang tidak
menurut cita-cita sendiri. Dasarnya adalah adat dan sugesti. Sikap tindak ini
dilakukan karena terbiasa dan sesuai dengan harapan orang lain. Kesan yang
muncul adalah seakan-akan perbuatan-perbuatan tersebut harus dilakukan lepas
dari kepentingan sendiri, sehingga dipandang sebagai kewajiban.
Di wilayah Negara
Republik Indonesia telah lama dipengaruhi oleh aliran polisitivisme yang mana
semua yang disebagai hukum adalah peraturan perundang-undangan. Realisme
diberikan ruang apabila setiap orang mengakui dan menghormati hukum adat, sebab
hukum adat adalah hukum yang hidup dalam masyarakat setempat. Apabila dilihat
dari pihak pengadilan juga belum sepenuhnya menemukan hukum sebagai yang
disebutkan sebelumnya tetapi pengadilan berpihak pada undang-undang yang dibuat
oleh para legislator. Namun secara formal juga dalam berbagai ketentuan
perundang-undangan yang mengatur tentang kewenangan pengadilan bukan hanya menyatakan hukum adalah
undang-undang, tetapi diberikan kekuasaan yang merdeka tanpa harus dipengaruhi
oleh satu pihak pun.
Dengan praktek pemikiran
pandangan-pandangan realisme Skandinavia telah memperbanyak pandangan bangsa
Indonesia untuk lebih melihat hukum yang hidup dan berkembang dalam komunitas
bangsa Indonesia, tanpa memikirkan hukum sebagai realitas sosial, sedang
hakim-hakim di lembaga pengadilan memandang undang-undang sebagai sesuatu yang
paling abadi dan sakral tanpa berupaya menemukan hukum. Berpandangan seperti
itulah, penulis ingin menguraikan pemikiran Alf Niels Christian Ross
tentang hukum dalam perkembangannya di wilayah Negara Republik Indonesia.
B.
Latar
belakang tokoh[7]
Nama lengkap tokoh ini
adalah Alf Niels Christian Ros. Ia lebih populer cukup dengan nama Alf Roos.
Ia lahir pada tanggal 10 Juni 1899 di Kopenhagen. Ia putera dari seorang
pegawai pemerintah di sebuah departemen. Pada tahun 1917 ia menamatkan
pendidikan menengahnya. Pada mulanya, ia masuk Tehnical University, tetapi
belakangan ia meninggalkannya setelah satu semeter, dan kemudian pindah ke
bidang hukum. Ia menyelesaikan pendidikan hukumnya pada tahun 1922 dengan
penghargaan Laudabilis et qvidem egregoe.
Selepas lulus, ia bekerja
disebuah kantor pengacara, tetapi pekerjaan magang itu tidak memuaskan hatinya.
Karena itu ia menerima beasiswa dari untuk melanjutkan studi keluar negeri.
Beasiswa ini memungkinkan penerimaannya untuk belajar dibeberapa universitas di
Jerman, Perancis dan Inggris.
Pada tahun 1923, Ross
menikahi Else-Merete Helweg-Lirsen, seorang mahasiswi di Faculty
of Humanities. Isterinya kemudian menjalani profesi sebagai guru sekolah
menengah atas. Isterinya pun pernah menjadi anggota parlemen (1960-1973), mewakili
sebuah partai kecil berpaham liberal.
Petualangan Ross
ke Prancis, Inggris dan Austria, tidak dibekali dengan rencana studi yang baik.
Modalnya hanya keterpurukan pemikirannya, untuk mempelajatri hukum negara
asing, kunjungan ke pengadilan dan diskusi dengan beberapa profesor. Dalam
perjalanan itu pula mulai muncul ketertarikan Ross akan filsafat. Ia
kemudian amat kagum pada Profesor Hans Kelsen, yang ia jumpai di Wina. Hasil
dari studinya itu, berupa traktat berjudul Theorie der Rechtsquellen. Pada
tahun 1926, ia mengajukan karyanya ini sebagai disertasi doktoral di university
of Copenhagen. Sayangnya rencana ini tidak diterima. Padahal analisis
Ross tentang sumber hukum Prancis, Inggris, dan Jerman adalah analisis yang
luar biasa. Ia pun menawarkan perihal kebangkitan pemikiran hukum Denmark.
Ross pantang menyerah. Ia
mencoba menghubungi Fakultas Filsafat Universitas of
Uppsala berkat dukungan Axel Hagerstsrom,
profesor bidang pratikal Philosophy. Ia berada disana dari 1928
hingga 1929, dan kemudian dianugerahi gelar doktor filsafat pada tahun 1929,
dengan disertasi yang sama; Theorie der rechtsquellen. Disertasi
ini kemudian diterbitkan pada tahun yang sama di Leipzig dan Wina,
dalam serial tulisan hans Kelsen, Wiener Stiaatund Rechtswissenschaftliche
studien. Ross tidak hanya menerima gelar doktor di Uppsala,
ia pun menyelesaikan dan meraih gelar dalam bidang pratical phiilosophy.
Ross kemudian
menyelesaikan sustu proyak ambisius, sebuah karya yang terdiri dari empat
volume. Dua volume pertama diterbitkan dengan judul Kritik der
sogenannten praktischen (1933). Sedangkan dua sisanya diterbitkan pada
tahun 1934, berjudul Virkelighed og Gyldighed i Retslceren (terjemahannya
: Realitas dan Validitas dalam Yurisprudensi). Di kedua buku ini,
ia mulai meninggalkan gagasan hukum Kelsen, yang dahulu amat dikagumi oleh Ross.
Buku kedua ini kemudian diterbitkan dalam edisi Inggris pada tahun 1936, dengan
judul Towrds a Realistic Jurisprudence. Buku ini cukup
berpengaruh bagi para pemikir Amerika yang seide dengan Oliver Wendell
Holmes, diantaranya adalah Jerome Frank.
Berkat karya terakhir ini
pula, Ross memperoleh gelar doktor di universitas Konpenhagen (1935). Pada saat
itu pula, ia diangkat sebagai pengajar Jurisprudence. Sebenarnya
ia tidak berharap menjadi profesor bidang hukum acara maupun public law, namun
ketika sebuah fakultas baru dibidang itu.
Pada tahun 1935 pula, ia
menerbitkan buku yang luar biasa, berjudul Ejendomsret ogs Ejendomsovergang (the
Transfer of Property Right) selain itu ia menerbitkan tulisannya yang
berjudul Om Ret Og Retfcerdighet. Ross menerbitkan Lcerebog
(textbook on Internatoinal Law). Dua tahun setelah itu, ia memberikan
kuliah-kuliah mengenai buku Karl Olivercona, selama setahun.
Keterlibatan Ross dalam
hukum Internasional telah membawa perubahan penting. Ross meninggalkan minat
awalnya mengenai Yurisprudece. Ia menulis dua buah buku tentang
hukum Internasional, yang pertama, Constitution of the United Nation (1950).
Yang kedua diterbitkan dalam bahasa Denmark, berjudul De Forenede
Nationer, yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, dan
diterbitkan 3 tahun kemudian. Dengan judul The United Nation, peace and
Progress. Karya-karya lain yang pernah dipublikasikan adalah A
Jurisprudece From the 19th Ceuntury; Om Ret og Retfcerdighed; (On Law and
Justice) pada 1953, sebuah karya besar mengenai jurisprudence Denmark;
pada tahun 1959-1960, ia menerbitkan karya hukum tata negara Denmark, Densk
Staasforfatningret; Hvorfor Demokrati? (why Demokracy?), diterbitkan pada
tahun 1946, kemudian diterjemahkan ke dalam 5 bahasa, buku ini mebahas aspek
ideologi dari pemerintahan yang demokratis; ia menulis kata pengantar sebagai co-author
bagi para muridnya, dan menerbitkannya tahun 1956, pada tahun 1957, ia menulis
kata tu’-tu’, sebuah fabel tentang masyarakat primitif, sebuah
karya dasar-dasar filosofi dari yurisprudense, berjudul Directives
and Norms (1968), ia pun menulis baku hukum pidana, ketika antara
1960-1970, ia mendalami bidang ini, diantaranya Skyld, Ansvar og Straf (1970),
kemudian diterjemahkan dalam edisi Inggris berjudul On Straf
(Crime and Punisment) yang diterbitkan pada 1974 yang diterbitkan oleh
surat kabar dan jurnal yang banyak, apalagi semenjak dia pensiun dari kampus artikel-artikel
ini dikompilasikan dalam sebuah buku berjudul Democracy, maggt og Ret
(Democracy power and law) yang diterbitkan pada tahun 1974.
Selain, sebagai pengajar Ross
juga dikenal sebagai penasehat hukum yang amat dihormati untuk kamar dagang dan
Industri Denmark Alf Ross pernah bekerja sebagai Hakim pada European
Court of human Rights (1959-1972), ia pansiun tidak mengajar lagi semenjak
1958 sebelumnya pada 1946 Ross pernah bekerja sebagai penasehat hukum untuk
Komisi Konstitusi dengan hasil sebuah Undang-Undang dasar Grundlov
1953. pada 1969 ia pesiun dari kampus melanjutkan hidupnya dengan menulis. Dan
pada 17 Agustus 1979 Ross tutup usia.
C. Gambaran
singkat tentang pemikirannya
1. hukum
adalah sistem paksaan yang aktual;
2. hukum
adalah suatu cara berlaku sesuai dengan kecenderungan dan keinginan anggota
komunitas; Tahapan ini baru diterapkan apabila orang mulai takut akan paksaan,
sehingga selanjutnya paksaan itu mulai ditinggalkan;
3. hukum
adalah sesuatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis yang benar. Ini
terjadi karena anggota komunitas sudah terbiasa dengan pola ketaatan terhadap
hukum;
4. Supaya
hukum berlaku, harus ada kompetensi pada orang-orang yang membentuknya;
5. Selain
itu, juga menurut Alf Ross[9], Hukum itu Rasa
Wajib/takut, yakni ikhwal timbulnya hukum sebagai aturan masyarakat yang
bersifat mewajibkan.
D. Uraian
singkat tentang pemikirannya tentang hukum
Sebagai komponen realisme hukum hukum mazhab Skandinavia, Ross
menempatkan hukum dalam kerangka fisio-psikis. Menurut Ross semua gejala
yang muncul dalam pengalaman tentang hukum harus diselidiki sebagai gejala yang
muncul dalam pengalaman tentang hukum harus harus diselidiki sebagai psiko-fisis.
Bagi Ross dan eksponen mazhab Skandinavia lainnya, seperti Axel Hagestom,
A.V. Lundstedt, K. Olivecrona, ilmu hukum harus bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan
emperis yang relevan dalam bidang hukum. Kenyataan-kenyataan itu, ditemukan
dalam perasaan-perasaan psikologis. Perasaan-perasaan itu, tanpa pada rasa
wajib, rasa kuasa, maupun rasa takut akan reaksi lingkungan.
Dalam kerangka pemikiran psikologi itulah, Ross
menjelaskan ihwal timbulnya hukum sebagai aturan masyarakat yang bersifat
mewajibkan. Menurutnya, suatu aturan hukum dirasa mewajibkan karena ada
hubungan antara perbuatan yuridis dan sanksinya. Bila saya buat sesuai aturan,
maka saya bebas dari sanksi. Pengalaman inilah yang membuat orang memandang
hukum sebagai wajib. Berlakuknya hukum tidak lain dari itu, yakni suatu reaksi
timbale balik antara sanksi dengan rasa wajib/rasa takut. Maka keharusan
yuridis seluruhnya bersangkut paut dengan realitas sosial.[10]
Kiranya jelas, lewat
teori tentang “rasa takut” ini, Ross secara langsung
maupun tidak sudah menggugat Kelsen. Seperti diketahui, bagi Kelsen
yang Neo-Kantian, keharusan yuridis adalah suatu kategori yang sama sekali
lepas dari realitas sosial. Dunia Sollen (seharusnyan) terpisah
dari dunia Sein (realitas). Karena pemisahan ini, Kelsen
mau tidak mau harus mencari suatu norma dasar (grundnorm) untuk
mendasari sifat wajib sebuah norma hukum. Ross menolak keterpilahan seperti
itu. Ia menolak teori Kelsen tentang keterpilahan norma hukum dari
realitas social. Sifat wajib dari hukum (sebagai dasar dari keberlakuannya),
bukan bertakta di dunia sana, di alam berantah grundnorm. Yang benar adalah ia
berada dalam kancah realitas social, yakni pengalaman akan “rasa wajib”.
Menurut Ross, timbulnya hukum sebagai aturan yang bersifat
wajib, dapat diterangkan menurut empat tahap, yang meliputi
1. Tahap
pertama; hukum adalah sistem paksaan yang aktual;
yakni situasi masyarakat diatur melalui paksaan. Masyarakat semacam ini disebut
oleh Ross sebagai suatu sistenm aktual paksaan (an actual system of
compulsion);
2. Tahap
kedua dimulai bila orang-orang mulai takut akan paksaan. Karena takut
akan rasa ini, anggota-anggota komunitas
mengembangkan suatu cara berlaku yang sesuai dengan tuntutan yang diwajibkan
kepadanya. Hukum adalah suatu cara berlaku sesuai dengan kecenderungan dan
keinginan anggota komunitas; Tahapan ini baru diterapkan apabila orang mulai
takut akan paksaan, sehingga selanjutnya paksaan itu mulai ditinggalkan;[11]
3. Tahap
Ketiga adalah situasi dimana orang-orang sudah mulai menjadi biasa dengan
cara hidup yang sedemikian dan lama-kelamaan mulai memandang cara hidup itu,
sebagai sesuatu yang seharusnya. Maka karena terpengaruh oleh kekuasaan
sugestif sosial dan kebiasaan, orang sudah mulai berbicara tentang sesuatu yang
berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis, (a disinterested
behaviour attitude)[12]. hukum adalah sesuatu
yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis yang benar. Ini terjadi karena
anggota komunitas sudah terbiasa dengan pola ketaatan terhadap hukum[13];
4. Tahap
Keempat, situasi hidup bersama dimana norma-norma kelakuan ditentukan
oleh instansi-instansi yang berwibawa (the authoritative establishment of
normas). Orang akhirnya terbiasa merasa wajib untuk mentaati apa yang
diputuskan oleh pihak yang berwenang/berwibawa[14]. Supaya hukum berlaku,
harus ada kompetensi pada orang-orang yang membentuknya[15];
Jadi, keharusan yuridis memang unsure realitas sosial, dalam
mana kita hidup. Keharusan yuridis sebagai realitas sosial, menyatakan diri
sebagai suatu totalitas organis dalam mana perbuatan sosial dan psiko-fisis
saling berjalin. Ross juga mengkonstatasi bahwa metode akal budi pratis–dianut
dalam pendidikan hukum konvensional yang
mengandfalkan doktrin-legalistik, tidak compatible untuk
menjelaskan sifat wajib dari hukum.
Dikatakan Ross, ilmu “akal praktis”
tersebut, sebenarnya bukan ilmu dalam arti yang sebenarnya. Bagi suatu ilmu
yang sungguh-sungguh, selalu telah ada lapangan penyelidikan, sehingga terdapat
juga kenyataan-kenyataan yang dicari kebenarannya. Tetapi untyuk ilmu-ilmu akal
praktis seperti rechtsdogmatiek, tidak terdapat bahan penyelidikan, sebab
norma-norma hukum ditentukan oleh para ilmuan sendiri. Tak dapat dipastikan
dari mana kebenarannya. Ilmuwan-ilmuwan yang telah menyusun suatu system ilmiah
berdasarkan akal praktis, hanya sampai pada baying-bayang spekulasi saja.
Jika gugatan Ross terhadap ilmu hukum tertuju pada
ketiadaan lapangan penyelidikan, maka Julius Stone menggugat soal ketiadaan
metode (ilmiah) dalam ilmu hukum. Menurut Stone, ilmu hukum tidak mempunyai
metode penyelidikan sendiri. Oleh karena itu hukum yang berlaku yang terdiri
dari perintah-perintah, ideal-ideal, dan teknik-teknik tertentu, harus
dipelajari dalam terang pengetahuan yang berasal dari ilmu-ilmu lain, yakni dari logika, ilmu
sejarah, psikologi, sosiologi, dan sebagainya. Dalam ilmu-ilmu ini diselidiki
semua hal yang ada hubungannya dengan hukum. Hasil studi logis, histories,
psikologis, dan sosiologis tentang hukum misalnya, diambil alaih oleh para
sarjana hukum untuk mengolahnya sesuai dengan tujuan mereka. Tujuan itu
bersifat praktis semata-mata. Bahan dari ilmu-ilmu diatas, dikemas menjadi
aturan sehingga menjadi terang bagi para mahasiswa fakultas hukum dan bagi kaum
yuris pada umumnya[16].
Sebagaimana penganut Realisme Hukum Alf Ross,
(ahli hukum Denmark) berpendapat bahwa hukum adalah suatu realitas sosial[17]. Ross berusaha membentuk
suatu teori hukum yang emperis belaka,
tetapi yang dapat mempertanggungjawabkan keharusan normative sebagai unsure
mutlak dari gejala hukum. Hal ini mungkin kalau berlakunya normatif dari
peraturan-peraturan hukum ditafsirkan sebagai rasionalisasi atau ungkapan
simbolis dari kenyataan-kenyataan fisio-psikis. Maka dalam realitas terdapat
hanya kenyataan-kenyataan saja. Keharusan normative yang berupa rasionalisasi
dan symbol itu, realitas, melainkan bayangan manusia tentang realitas.
Perkembangan hukum, menurut Alf Niels Christian Ross
melewati empat tahapan, yakni
1. hukum
adalah sistem paksaan yang actual;
2. hukum
adalah suatu cara berlaku sesuai dengan kecenderungan dan keinginan anggota
komunitas; Tahapan ini baru diterapkan apabila orang mulai takut akan paksaan,
sehingga selanjutnya paksaan itu mulai ditinggalkan;
3. hukum
adalah sesuatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis yang benar. Ini
terjadi karena anggota komunitas sudah terbiasa dengan pola ketaatan terhadap
hukum;
4. supaya
hukum berlaku, harus ada kompetensi pada orang-orang yang membentuknya;
Menurut Huijbers (1988:186-187)[18] walaupun dalam teori Ross
terdapat unsur-unsur yang menerangkan timbulnya peraturan-peraturan hukum
tertentu, namun pada umumnya ajarannya kurang memuaskan. Ross mau menerima
norma hukum, akan tetapi norma-norrna itu ditafsirkannya sebagai gejala
psikologi belaka. Itu berarti bahwa norma-norma itu sebenarnya bukan
norma-norma yang sesungguhnya, dan juga gejala etis tidak dipahami oleh Ross.
Apa yang dilukiskan Ross tentang timbulnya hukum dapat terjadi juga dalam suatu
gerombolan gangster, tetapi adat suatu gerombolan gangster tidak pernah menjadi
hukum. Karya penting Ross antara lain berjudul : (1) Theorie der
Rechtsquellen, (2) Kritik der Sogenannten Praktischen Erkentnis; (3)
Towards A Realistic Jurisprudence, dan (4) On Law and
Justice.
E.
Kontribusi
Tokoh Bagi Hukum Di Indonesia
Paham realisme
menyatakan bahwa hukum adalah putusan hakim. Artinya bahwa yang disebut dengan hukum
adalah putusan pengadilan. Hukum tidak
bisa dikatakan bahwa adalah undang-undang atau peraturan perundang-undangan. Lain
halnya dengan di Indonesia yang mana disebutkan dengan hukum adalah semua
peraturan perundang-undangaan yang ditetapkan oleh pemerintah eksekutif dan
legislatif, sedangkan pengadilan hanya diberikan wewenang untuk menegakan
aturan yang telah ditetapkan oleh negara. Sepanjang hal itu ditetapkan oleh pengadilan
belum disebutkan sebagai hukum tetapi keputusan pengadilan atau keputusan
hakim.
Paham realisme belum
berkembang secara praktis di Negara Indonesia, secara formal telah diakui sebagaimana
disebutkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Negara Republik
Indonesia hakim diberi kebebasan untuk bertindak secara independen. Hal ini
dijamin dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang diubah dengan UU No.35 tahun
1999 dan disesuaikan (diubah) lagi melalui UU No. 04 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Kemudian, UU No. 08 tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), UU tentang Komisi Yudicial, dan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Hakim telah diberikan
tempat pada konstitusi negara RI. Amandemen ketiga UUD 1945, Pasal 24 ayat (1)
ditegaskan bahwa ”Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggerakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan”; Ayat (2) ”Kekuasaan dilakukan oleh sebuah Mahkaman Agung dan
peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Hal ini dimaksudkan untuk
memberikan jaminan agar hakim dalam melaksanakan tugasnya dapat sungguh-sungguh
dan memiliki independensi, secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah atau kekuasaan lain dalam masyaraka.
Kondisi
sosial negara Indonesia yang sangat luas dan berbentang luas pulau-pulau yang
berada dalam wilayah nusantara, sangat beraneka macam suku dengan tradisi
budaya masing-masing. Hal ini menunjukan bahwa hakim tidak harus menyatakan
bahwa hukum adalah undang-undang tetapi hukum adalah sesuatu yang ada dalam
realitas sosial yang ada.
Lebih
jauh dalam pemikiran Alf Niels Christian Ross dalam pandangan realismenya mengungkapkan
bahwa yang dimaksudkan dengan hukum adalah hukum
adalah sistem paksaan yang aktual; yakni situasi masyarakat diatur melalui
paksaan. Masyarakat semacam ini disebut oleh Ross sebagai suatu sistenm aktual
paksaan (an actual system of compulsion). Suasana di Indonesia
telah dipraktekan dengan tidak sempurna karena segala aktual tidak dilakukan
secara murni sebagai aturan hukum, melainkan sesuatu yang aktual dipandang
sebagai fenomena yang harus ditelusuri sebagai dalam berbagai aturan pelaksaan
Hukum adalah suatu cara berlaku sesuai
dengan kecenderungan dan keinginan anggota komunitas; Tahapan ini baru
diterapkan apabila orang mulai takut akan paksaan, sehingga selanjutnya paksaan
itu mulai ditinggalkan, pemikiran ini apabila di Indonesia maka para legislator
telah menerapkan secara kolusi berjemah, artinya bahwa kepentingan golongan
selalu dikedepankan tanpa harus mempertimbangkan kepentingan bangsa dan Negara.
Sekali pun telah diatur secara formal, namun realisasinya tidak pernah berlaku
mutlak.
Pemikiran hokum Ross dalam yang tahap
ketiga yakni dimana orang-orang sudah mulai menjadi biasa dengan cara hidup
yang sedemikian dan lama-kelamaan mulai memandang cara hidup itu, sebagai
sesuatu yang seharusnya. Maka karena terpengaruh oleh kekuasaan sugestif sosial
dan kebiasaan, orang sudah mulai berbicara tentang sesuatu yang berlaku dan
mewajibkan dalam arti yuridis, (a disinterested behaviour
attitude)[19]. hukum adalah sesuatu
yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis yang benar. Ini terjadi karena
anggota komunitas sudah terbiasa dengan pola ketaatan terhadap hukum.
Perkembangan dalam komunitas Negara Indonesia, kebalikan dari tahap ini dimana
yang disebut yuridis adalah sesuatu yang telah dibakukan baik secara tertulis
dan tidak tertulis. Contohnya adalah hukum peraturan perundang-undangan serta
aturan-aturan yang disebut adapt kebiasaan.
Selanjutnya tahap Keempat, situasi hidup
bersama dimana norma-norma kelakuan ditentukan oleh instansi-instansi yang
berwibawa (the authoritative establishment of normas). Orang
akhirnya terbiasa merasa wajib untuk mentaati apa yang diputuskan oleh pihak
yang berwenang/berwibawa[20]. Supaya hukum berlaku,
harus ada kompetensi pada orang-orang yang membentuknya. Wilayah Negara
Indonesia telah membaginya dalam berbagai kekuasaan dimana ada kekuasaan untuk
membuat hukum atau undang-undang (legislative), ada yang melakukan (eksekutif)
dan ada yang berwenang untuk menegakan aturan atau hukum itu yakni yudikatif. Sehingga
dengan adanya pandangan tokoh ini maka dalam konteks Negara Indonesia belum
murni diterapkan secara baik dan benar sehingga pandangan terhadap keadilan dan
hukum masih menjadi sesuatu yang belum berpihak pada rakyat.
F. Kesimpulan.
Sebagai kesimpulan dari penulisan ini penulis berkesimpulan
bahwa Negara Indonesia menganut paham positivisme dimana hukum disebutkan
sebagai aturan perundang-undangan. Sehinga segala hal yang berhubungan dengan
paksaan atau mewajibkan para pelaksana aturan sudah memahami apa yang dipaksaa,
namun tidak semua aturan mempunyai sanksi atau aturan yang mewajibkan.
Pembentukan hukum juga
ditempatkan pada badan legislative atau sedangkan pelaksananya adalah bidang
eksekutif dan peradilan atau yudikatif hanya berusaha untuk menegakan aturan
yang telah disepakati dalam Negara melalui legislative. Hakim sekalipun telah
diberikan kebebasan untuk menegakan hukum atas dasar Ketuhanan untuk keadilan
namun hakim masih menjadi corong suatu undang-undang.
DAFTAR PUSTAKA
Rahardjo, Satjipto, 2007,
Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Marwan Mas,SH.MH. 2004, Pengantar Ilmu Hukum ,
Penerbit Ghalia Indonesia,
Simorangkir, J.C.T, dkk,
2000, Kamus Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Tanya, Bernard,L, Dr.
SH.MH,2006, Teori Hukum strategi
tertib Manusia lintas ruang dan generasi, Penerbit CV. Kita, Surabaya.
Sidharta, Arif, B. SH,
(penterjemah), 2007, Meuwissen tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum,
Filsafat Hukum, dan Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung.
Darji, Darmodiharjo, SH
dan Shidarta,SH.M.Hum, 2006, Pokok-Pokok Filsafat hukum, apa dan
bagaimana filsafat hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Utama,
Jakarta.
Cahyadi, Antonius dan E.
Fernando M. Manulang, 2007, Pengantar ke Filsafat Hukum, Penerbit
Fajar Interpratama Offset, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 1987, Sosiologi
Hukum Dalam Masyarakat, Penerbit Radja Wali Pers, Jakarta, Cetakan III.
-------------------------, 1980, Pokok-pokok
Sosiologi Hukum, Penerbit PT Radja Grafindo
Persada, Jakarta.
Hilman Hadikusuma, 1986, Antropologi
Hukum Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung.
Zainudin, Ali, H. Dr. Prof, 2005, Sosiologi
Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Syahrani,Ridwan,H.SH.
2004, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya,
Bandung.
[1] Disampaikan dalam diskusi antar mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu
hukum Universitas Nusa Cendana Kupang tahun 2008.
[2] Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu hukum Universitas Nusa Cendana
Kupang tahun 2008 dan Dosen Tidak tetap Pada Universitas Kristen Artha Wacana
Kupang (2004-2010) dan sekarang Dosen HTN dan HAN Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang serta Dosen Tidak Tetap Universitas Pelita Hati Kupang
[3] Marwan Mas,SH.MH. 2004, Pengantar Ilmu Hukum ,
Penerbit Ghalia Indonesia, halaman 130.
[4] [4] Marwan
Mas,SH.MH. ibit ………hal.132
[5] Syahrani,Ridwan,H.SH.
2004, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya,
Bandung. Halaman 53.
[6] Cahyadi,
Antonius dan E. Fernando M. Manulang, 2007, Pengantar ke Filsafat Hukum,
Penerbit Fajar Interpratama Offset, Jakarta, halaman 157.
[7] Cahyadi,
Antonius dan E. Fernando M. Manulang, 2007, Pengantar ke Filsafat Hukum,
Penerbit Fajar Interpratama Offset, Jakarta, halaman 174-178.
[8] Darji,
Darmodiharjo, SH dan Shidarta,SH.M.Hum, 2006, Pokok-Pokok Filsafat hukum,
apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia
Utama, Jakarta, halaman 145.
[9] Tanya,
Bernard,L, Dr. SH.MH,2006, Teori
Hukum strategi tertib Manusia lintas ruang dan generasi, Penerbit CV.
Kita, Surabaya, halaman 141.
[11] Penjelasan pendapat antara Bernard Tanya dan Dardji darmodihardjo
tentang tahap kedua dari pendapat Ross.
[12] Tanya,
Bernard,L, Dr. SH.MH,2006, Teori
Hukum strategi tertib Manusia lintas ruang dan generasi, Penerbit CV.
Kita, Surabaya, halaman 142.
[13] Darji,
Darmodiharjo, SH dan Shidarta,SH.M.Hum, 2006, Pokok-Pokok Filsafat hukum,
apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia
Utama, Jakarta halaman 145
[19] Tanya,
Bernard,L, Dr. SH.MH,2006, Teori
Hukum strategi tertib Manusia lintas ruang dan generasi, Penerbit CV.
Kita, Surabaya, halaman 142.
[20] Bernard,L, Dr.
SH.MH,2006, op..cip. hal. 142.