Rabu, 16 Oktober 2013

PEMIKIRAN ALF NIELS CHRISTIAN ROSS TENTANG HUKUM DALAM PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA[1]

 Oleh 
Melkianus E. N. Benu,SH. M.Hum.[2]

A.    Alasan Pemilihan Tokoh
Aliran Realis Skandinavia seperti Denmark dan Swidia, yang dipelopori oleh Hagerstrom (1868-1939) dan Vilhelm Ludstedt (1882-1955), berpandangan bahwa ”hukum adalah putusan hakim yang dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan atau psikologi yang tidak lebih dari reaksi otak[3]. Alasan aliran realis Skandinavia ialah karena dalam pelaksaan hukum itu dilakukan melalui pendekatan pada peringkat yang rasionalisasi akan eksistensi objektif. Hukum dipandang sebagai aspek perilaku hakim, dan menolak konsep kejiwaan dan fenomena mental pada diri hakim dalam melaksanakan tugasnya.
  Disebutkan oleh Marwan Mas,SH.MH[4]. (2004:130) bahwa perbedaan aliran realis Amerika dengan aliran realis Skandinavia terletak pada “putusan hakim” dan “perilaku hakim”. Aliran Realisme Amerika Serikat memandang “hukum terletak pada apa yang diputuskan (dibuat) oleh hakim”, sedangkan realis Skandinavia memandang hukum dari aspek perilaku hakim yang mempengaruhi putusannya”. Sedangkan persamaan terletak pada (1) keduanya menolak keberadaan “das sollen dan das sein” dalam studi hukum, (2) keduanya menolak spekulasi metafisik dalam penyelidikan keadaan-keadaan dari system hukum.
Bertolak dari pandangan tersebut, para ahli realis meninggalkan pembicaraan hukum yang abstrak dan menyibukan diri dengan pertanyaan filsafat hukum, tetapi menggunakan pendekatan sosiologis dengan semboyan : “hukum adalah apa yang dibuat oleh para hakim”. Menurut kaum realis, hakim lebih banyak disebut “peimbuat hukum” dari pada penemu hukum[5].
Dalam kajian ini, penulis ingin lebih luas untuk mempelajari realisme hukum Skandinavia, yang mana aliran realisme ini merambah negara-negara di kawasan Skandinavia. Diterimanya pemikiran yang realis di kawasan ini, disebabkan oleh tulisan-tulisan para yuris negara-negara Nordik, yang mulai kritis terhadap sistem hukumnya sendiri. Mereka melihat, dengan kondisi geografis kawasan Skandinavia yang realtif terisolasi di Eropa ditambah lagi miskinnya hubungan perdagangan Internasional, telah meyakinkan mereka bahwa Roman Law, sebagai hukum yang mendominasi bumi Eropa saat itu, tidak memberikan dampak atau manfaat yang besar bagi perkembangan sistem hukum mereka.
Apabila ditelah secara singkat sistem hukum di kawasan ini, dapat ditemukan bahwa sistem hukum di negara-negara Skandinavia jika dibandingkan dengan sistem hukum di dunia ini memiliki sistem yang berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara yang ada di Eropa, hukum di Skandinavia, adalah yang paling sedikit terkodifikasi, dan kebayakan lebih berorientasi pada putusan-putusan hakim.
Dengan lahirnya gerakan realisme di kawasan Skandinavia ini, disebabkan dengan tradisi emperisme yang berkembang di Inggris, sebab pendekatan emperisme terutama dibidang filsafat termasuk jurisprudence, yang  bernuansa sosiologis, yang berkembang di Inggris serta turut mempengaruhi cara berpikir mengenai hukum di kawasan Skandinava.
Sebagai ciri dari pendekatan aliran realisme hukum Skandinavia lebih dipengaruhi oleh pendekatan psikologi (psikologisme etis). Fokus perhatian aliran ini tidak seperti Amerika yang mempersoalkan praktik hukum para pejabat hukumnya tetapi perilaku orang-orang yang berada dibawah hukum. Oleh sebab itu, ilmu psikologi banyak dimanfaatkan guna menjelaskan fenomena hukum tersebut. Pendekatan yang bersifat psikologis ini diberikan terhadap objek yang bersifat faktual semata. Karena itu, persoalan metafisika disingkirkan dalam aliran ini. Konsep-konsep hukum, seperti validitas hukum, eksistensi hak dan kewajiban hukum, termasuk konsep hak kebendaan dan lain sebagainya, merupakan gagasan imajiner. Gagasan semacam inilah hanya menaruh perhatian yang kuat pada prakiraan-prakiraan terhadap setiap tindakan yudisial, yang didorong oleh alasan-alasan psikologi yang tidak faktual, dimana tindakan yudisial ini berpengaruh secara nyata terhadap setiap orang.
Secara umum, ciri-ciri aliran Realisme Hukum  Skandinavia menurut Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang[6] (2007:157-) adalah
a.      Pemikiran ini berwatak sosiologis, namun dengan warna penolakan terhadap pemikiran yang a priori, dan menekankan tentang pentingnya menempatkan hukum dalam konteks kebutuhan yang faktual dari soscial life. Oleh sebab itu, mereka menolak konsep-konsep hukum yang abstrak, karena hal itu adalah metafisika, bukan faktual yang aktual;
b.      Kepdulian aliran ini amat tinggi terhadap aspek praktis dari jalannya proses peradilan, namun hal tersebut dikaji dengan cara yang bersifat teoritis.
Melalui aliran ini salah satu pendukung terhadap aliran Skandinavia adalah Alf Niels Christian Ross, beliau dengan pemikirannya yang sangat brilian yakni berupaya untuk menjelaskan sikap tindak manusia dapat digolongkan menjadi dua yakni sikap tindak yang ber-interesse dan tidak ber-interesse.  Sikap tindak yang ber-interesse berarti bahwa dalam bersikap tersebut orang merasa sungguh-sungguh terlibat. Sikap tindak itu disesuikan dengan cita-citanya. Sikap tindak ini berdasarkan refleks-refleks fisiologis, sehingga atas dasar proses itu sikap tindak tertentu dapat diramalkan. Sedangkan tidak ber-interesse berarti sikap tindak yang tidak menurut cita-cita sendiri. Dasarnya adalah adat dan sugesti. Sikap tindak ini dilakukan karena terbiasa dan sesuai dengan harapan orang lain. Kesan yang muncul adalah seakan-akan perbuatan-perbuatan tersebut harus dilakukan lepas dari kepentingan sendiri, sehingga dipandang sebagai kewajiban.
Di wilayah Negara Republik Indonesia telah lama dipengaruhi oleh aliran polisitivisme yang mana semua yang disebagai hukum adalah peraturan perundang-undangan. Realisme diberikan ruang apabila setiap orang mengakui dan menghormati hukum adat, sebab hukum adat adalah hukum yang hidup dalam masyarakat setempat. Apabila dilihat dari pihak pengadilan juga belum sepenuhnya menemukan hukum sebagai yang disebutkan sebelumnya tetapi pengadilan berpihak pada undang-undang yang dibuat oleh para legislator. Namun secara formal juga dalam berbagai ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang kewenangan pengadilan  bukan hanya menyatakan hukum adalah undang-undang, tetapi diberikan kekuasaan yang merdeka tanpa harus dipengaruhi oleh satu pihak pun.
Dengan praktek pemikiran pandangan-pandangan realisme Skandinavia telah memperbanyak pandangan bangsa Indonesia untuk lebih melihat hukum yang hidup dan berkembang dalam komunitas bangsa Indonesia, tanpa memikirkan hukum sebagai realitas sosial, sedang hakim-hakim di lembaga pengadilan memandang undang-undang sebagai sesuatu yang paling abadi dan sakral tanpa berupaya menemukan hukum. Berpandangan seperti itulah, penulis ingin menguraikan pemikiran Alf Niels Christian Ross tentang hukum dalam perkembangannya di wilayah Negara Republik Indonesia.  
B.     Latar belakang tokoh[7]
Nama lengkap tokoh ini adalah Alf Niels Christian Ros.  Ia lebih populer cukup dengan nama Alf Roos. Ia lahir pada tanggal 10 Juni 1899 di Kopenhagen. Ia putera dari seorang pegawai pemerintah di sebuah departemen. Pada tahun 1917 ia menamatkan pendidikan menengahnya. Pada mulanya, ia masuk Tehnical University, tetapi belakangan ia meninggalkannya setelah satu semeter, dan kemudian pindah ke bidang hukum. Ia menyelesaikan pendidikan hukumnya pada tahun 1922 dengan penghargaan Laudabilis et qvidem egregoe.
Selepas lulus, ia bekerja disebuah kantor pengacara, tetapi pekerjaan magang itu tidak memuaskan hatinya. Karena itu ia menerima beasiswa dari untuk melanjutkan studi keluar negeri. Beasiswa ini memungkinkan penerimaannya untuk belajar dibeberapa universitas di Jerman, Perancis dan Inggris.
Pada tahun 1923, Ross menikahi Else-Merete Helweg-Lirsen, seorang mahasiswi di Faculty of Humanities. Isterinya kemudian menjalani profesi sebagai guru sekolah menengah atas. Isterinya pun pernah menjadi anggota parlemen (1960-1973), mewakili sebuah partai kecil berpaham liberal.
Petualangan Ross ke Prancis, Inggris dan Austria, tidak dibekali dengan rencana studi yang baik. Modalnya hanya keterpurukan pemikirannya, untuk mempelajatri hukum negara asing, kunjungan ke pengadilan dan diskusi dengan beberapa profesor. Dalam perjalanan itu pula mulai muncul ketertarikan Ross akan filsafat. Ia kemudian amat kagum pada Profesor Hans Kelsen, yang ia jumpai di Wina. Hasil dari studinya itu, berupa traktat berjudul Theorie der Rechtsquellen. Pada tahun 1926, ia mengajukan karyanya ini sebagai disertasi doktoral di university of Copenhagen. Sayangnya rencana ini tidak diterima. Padahal analisis Ross tentang sumber hukum Prancis, Inggris, dan Jerman adalah analisis yang luar biasa. Ia pun menawarkan perihal kebangkitan pemikiran hukum Denmark.
Ross pantang menyerah. Ia mencoba menghubungi Fakultas Filsafat Universitas of Uppsala berkat dukungan Axel Hagerstsrom, profesor bidang pratikal Philosophy. Ia berada disana dari 1928 hingga 1929, dan kemudian dianugerahi gelar doktor filsafat pada tahun 1929, dengan disertasi yang sama; Theorie der rechtsquellen. Disertasi ini kemudian diterbitkan pada tahun yang sama di Leipzig dan Wina, dalam serial tulisan hans Kelsen, Wiener Stiaatund Rechtswissenschaftliche studien. Ross tidak hanya menerima gelar doktor di Uppsala, ia pun menyelesaikan dan meraih gelar dalam bidang pratical phiilosophy.
Ross kemudian menyelesaikan sustu proyak ambisius, sebuah karya yang terdiri dari empat volume. Dua volume pertama diterbitkan dengan judul Kritik der sogenannten praktischen (1933). Sedangkan dua sisanya diterbitkan pada tahun 1934, berjudul Virkelighed og Gyldighed i Retslceren (terjemahannya : Realitas dan Validitas dalam Yurisprudensi). Di kedua buku ini, ia mulai meninggalkan gagasan hukum Kelsen, yang dahulu amat dikagumi oleh Ross. Buku kedua ini kemudian diterbitkan dalam edisi Inggris pada tahun 1936, dengan judul Towrds a Realistic Jurisprudence. Buku ini cukup berpengaruh bagi para pemikir Amerika yang seide dengan Oliver Wendell Holmes, diantaranya adalah Jerome Frank.
Berkat karya terakhir ini pula, Ross memperoleh gelar doktor di universitas Konpenhagen (1935). Pada saat itu pula, ia diangkat sebagai pengajar Jurisprudence. Sebenarnya ia tidak berharap menjadi profesor bidang hukum acara maupun public law, namun ketika sebuah fakultas baru dibidang itu.
Pada tahun 1935 pula, ia menerbitkan buku yang luar biasa, berjudul Ejendomsret ogs Ejendomsovergang (the Transfer of Property Right) selain itu ia menerbitkan tulisannya yang berjudul Om Ret Og Retfcerdighet. Ross menerbitkan Lcerebog (textbook on Internatoinal Law). Dua tahun setelah itu, ia memberikan kuliah-kuliah mengenai buku Karl Olivercona, selama setahun.
Keterlibatan Ross dalam hukum Internasional telah membawa perubahan penting. Ross meninggalkan minat awalnya mengenai Yurisprudece. Ia menulis dua buah buku tentang hukum Internasional, yang pertama, Constitution of the United Nation (1950). Yang kedua diterbitkan dalam bahasa Denmark, berjudul De Forenede Nationer, yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, dan diterbitkan 3 tahun kemudian. Dengan judul The United Nation, peace and Progress. Karya-karya lain yang pernah dipublikasikan adalah A Jurisprudece From the 19th Ceuntury; Om Ret og Retfcerdighed; (On Law and Justice) pada 1953, sebuah karya besar mengenai jurisprudence Denmark; pada tahun 1959-1960, ia menerbitkan karya hukum tata negara Denmark, Densk Staasforfatningret; Hvorfor Demokrati? (why Demokracy?), diterbitkan pada tahun 1946, kemudian diterjemahkan ke dalam 5 bahasa, buku ini mebahas aspek ideologi dari pemerintahan yang demokratis; ia menulis kata pengantar sebagai co-author bagi para muridnya, dan menerbitkannya tahun 1956, pada tahun 1957, ia menulis kata tu’-tu’, sebuah fabel tentang masyarakat primitif, sebuah karya dasar-dasar filosofi dari yurisprudense, berjudul Directives and Norms (1968), ia pun menulis baku hukum pidana, ketika antara 1960-1970, ia mendalami bidang ini, diantaranya Skyld, Ansvar og Straf (1970), kemudian diterjemahkan dalam edisi Inggris berjudul On Straf (Crime and Punisment) yang diterbitkan pada 1974 yang diterbitkan oleh surat kabar dan jurnal yang banyak, apalagi semenjak dia pensiun dari kampus artikel-artikel ini dikompilasikan dalam sebuah buku berjudul Democracy, maggt og Ret (Democracy power and law) yang diterbitkan pada tahun 1974.
Selain, sebagai pengajar Ross juga dikenal sebagai penasehat hukum yang amat dihormati untuk kamar dagang dan Industri Denmark Alf Ross pernah bekerja sebagai Hakim pada European Court of human Rights (1959-1972), ia pansiun tidak mengajar lagi semenjak 1958 sebelumnya pada 1946 Ross pernah bekerja sebagai penasehat hukum untuk Komisi Konstitusi dengan hasil sebuah Undang-Undang dasar Grundlov 1953. pada 1969 ia pesiun dari kampus melanjutkan hidupnya dengan menulis. Dan pada 17 Agustus 1979 Ross tutup usia.
C.    Gambaran singkat tentang pemikirannya
Menurut Alf Niels Christian Ross bahwa yang dimaksudkan dengan hukum adalah[8] :
1.      hukum adalah sistem paksaan yang aktual;
2.      hukum adalah suatu cara berlaku sesuai dengan kecenderungan dan keinginan anggota komunitas; Tahapan ini baru diterapkan apabila orang mulai takut akan paksaan, sehingga selanjutnya paksaan itu mulai ditinggalkan;
3.      hukum adalah sesuatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis yang benar. Ini terjadi karena anggota komunitas sudah terbiasa dengan pola ketaatan terhadap hukum;
4.      Supaya hukum berlaku, harus ada kompetensi pada orang-orang yang membentuknya;
5.      Selain itu, juga menurut Alf Ross[9], Hukum itu Rasa Wajib/takut, yakni ikhwal timbulnya hukum sebagai aturan masyarakat yang bersifat mewajibkan.  
D.    Uraian singkat tentang pemikirannya tentang hukum
Sebagai komponen realisme hukum hukum mazhab Skandinavia, Ross menempatkan hukum dalam kerangka fisio-psikis. Menurut Ross semua gejala yang muncul dalam pengalaman tentang hukum harus diselidiki sebagai gejala yang muncul dalam pengalaman tentang hukum harus harus diselidiki sebagai psiko-fisis. Bagi Ross dan eksponen mazhab Skandinavia lainnya, seperti Axel Hagestom, A.V. Lundstedt, K. Olivecrona, ilmu hukum harus bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan emperis yang relevan dalam bidang hukum. Kenyataan-kenyataan itu, ditemukan dalam perasaan-perasaan psikologis. Perasaan-perasaan itu, tanpa pada rasa wajib, rasa kuasa, maupun rasa takut akan reaksi lingkungan.
Dalam kerangka pemikiran psikologi itulah, Ross menjelaskan ihwal timbulnya hukum sebagai aturan masyarakat yang bersifat mewajibkan. Menurutnya, suatu aturan hukum dirasa mewajibkan karena ada hubungan antara perbuatan yuridis dan sanksinya. Bila saya buat sesuai aturan, maka saya bebas dari sanksi. Pengalaman inilah yang membuat orang memandang hukum sebagai wajib. Berlakuknya hukum tidak lain dari itu, yakni suatu reaksi timbale balik antara sanksi dengan rasa wajib/rasa takut. Maka keharusan yuridis seluruhnya bersangkut paut dengan realitas sosial.[10]
 Kiranya jelas, lewat teori tentang “rasa takut” ini, Ross secara langsung maupun tidak sudah menggugat Kelsen. Seperti diketahui, bagi Kelsen yang Neo-Kantian, keharusan yuridis adalah suatu kategori yang sama sekali lepas dari realitas sosial. Dunia Sollen (seharusnyan) terpisah dari dunia Sein (realitas). Karena pemisahan ini, Kelsen mau tidak mau harus mencari suatu norma dasar (grundnorm) untuk mendasari sifat wajib sebuah norma hukum. Ross menolak keterpilahan seperti itu. Ia menolak teori Kelsen tentang keterpilahan norma hukum dari realitas social. Sifat wajib dari hukum (sebagai dasar dari keberlakuannya), bukan bertakta di dunia sana, di alam berantah grundnorm. Yang benar adalah ia berada dalam kancah realitas social, yakni pengalaman akan “rasa wajib”.
Menurut Ross, timbulnya hukum sebagai aturan yang bersifat wajib, dapat diterangkan menurut empat tahap, yang meliputi
1.      Tahap pertama; hukum adalah sistem paksaan yang aktual; yakni situasi masyarakat diatur melalui paksaan. Masyarakat semacam ini disebut oleh Ross sebagai suatu sistenm aktual paksaan (an actual system of compulsion);
2.      Tahap kedua dimulai bila orang-orang mulai takut akan paksaan. Karena takut akan rasa  ini, anggota-anggota komunitas mengembangkan suatu cara berlaku yang sesuai dengan tuntutan yang diwajibkan kepadanya. Hukum adalah suatu cara berlaku sesuai dengan kecenderungan dan keinginan anggota komunitas; Tahapan ini baru diterapkan apabila orang mulai takut akan paksaan, sehingga selanjutnya paksaan itu mulai ditinggalkan;[11]
3.      Tahap Ketiga adalah situasi dimana orang-orang sudah mulai menjadi biasa dengan cara hidup yang sedemikian dan lama-kelamaan mulai memandang cara hidup itu, sebagai sesuatu yang seharusnya. Maka karena terpengaruh oleh kekuasaan sugestif sosial dan kebiasaan, orang sudah mulai berbicara tentang sesuatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis, (a disinterested behaviour attitude)[12]. hukum adalah sesuatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis yang benar. Ini terjadi karena anggota komunitas sudah terbiasa dengan pola ketaatan terhadap hukum[13];
4.      Tahap Keempat, situasi hidup bersama dimana norma-norma kelakuan ditentukan oleh instansi-instansi yang berwibawa (the authoritative establishment of normas). Orang akhirnya terbiasa merasa wajib untuk mentaati apa yang diputuskan oleh pihak yang berwenang/berwibawa[14]. Supaya hukum berlaku, harus ada kompetensi pada orang-orang yang membentuknya[15];
Jadi, keharusan yuridis memang unsure realitas sosial, dalam mana kita hidup. Keharusan yuridis sebagai realitas sosial, menyatakan diri sebagai suatu totalitas organis dalam mana perbuatan sosial dan psiko-fisis saling berjalin. Ross juga mengkonstatasi bahwa metode akal budi pratis–dianut dalam pendidikan  hukum konvensional yang mengandfalkan doktrin-legalistik, tidak compatible untuk menjelaskan sifat wajib dari hukum.
Dikatakan Ross, ilmu “akal praktis” tersebut, sebenarnya bukan ilmu dalam arti yang sebenarnya. Bagi suatu ilmu yang sungguh-sungguh, selalu telah ada lapangan penyelidikan, sehingga terdapat juga kenyataan-kenyataan yang dicari kebenarannya. Tetapi untyuk ilmu-ilmu akal praktis seperti rechtsdogmatiek, tidak terdapat bahan penyelidikan, sebab norma-norma hukum ditentukan oleh para ilmuan sendiri. Tak dapat dipastikan dari mana kebenarannya. Ilmuwan-ilmuwan yang telah menyusun suatu system ilmiah berdasarkan akal praktis, hanya sampai pada  baying-bayang spekulasi saja.
Jika gugatan Ross terhadap ilmu hukum tertuju pada ketiadaan lapangan penyelidikan, maka Julius Stone menggugat soal ketiadaan metode (ilmiah) dalam ilmu hukum. Menurut Stone, ilmu hukum tidak mempunyai metode penyelidikan sendiri. Oleh karena itu hukum yang berlaku yang terdiri dari perintah-perintah, ideal-ideal, dan teknik-teknik tertentu, harus dipelajari dalam terang pengetahuan yang berasal  dari ilmu-ilmu lain, yakni dari logika, ilmu sejarah, psikologi, sosiologi, dan sebagainya. Dalam ilmu-ilmu ini diselidiki semua hal yang ada hubungannya dengan hukum. Hasil studi logis, histories, psikologis, dan sosiologis tentang hukum misalnya, diambil alaih oleh para sarjana hukum untuk mengolahnya sesuai dengan tujuan mereka. Tujuan itu bersifat praktis semata-mata. Bahan dari ilmu-ilmu diatas, dikemas menjadi aturan sehingga menjadi terang bagi para mahasiswa fakultas hukum dan bagi kaum yuris pada umumnya[16].
Sebagaimana penganut Realisme Hukum Alf Ross, (ahli hukum Denmark) berpendapat bahwa hukum adalah suatu realitas sosial[17]. Ross berusaha membentuk suatu teori hukum  yang emperis belaka, tetapi yang dapat mempertanggungjawabkan keharusan normative sebagai unsure mutlak dari gejala hukum. Hal ini mungkin kalau berlakunya normatif dari peraturan-peraturan hukum ditafsirkan sebagai rasionalisasi atau ungkapan simbolis dari kenyataan-kenyataan fisio-psikis. Maka dalam realitas terdapat hanya kenyataan-kenyataan saja. Keharusan normative yang berupa rasionalisasi dan symbol itu, realitas, melainkan bayangan manusia tentang realitas.
Perkembangan hukum, menurut Alf Niels Christian Ross melewati empat tahapan, yakni
1.      hukum adalah sistem paksaan yang actual;
2.      hukum adalah suatu cara berlaku sesuai dengan kecenderungan dan keinginan anggota komunitas; Tahapan ini baru diterapkan apabila orang mulai takut akan paksaan, sehingga selanjutnya paksaan itu mulai ditinggalkan;
3.      hukum adalah sesuatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis yang benar. Ini terjadi karena anggota komunitas sudah terbiasa dengan pola ketaatan terhadap hukum;
4.      supaya hukum berlaku, harus ada kompetensi pada orang-orang yang membentuknya;
Menurut Huijbers (1988:186-187)[18] walaupun dalam teori Ross terdapat unsur-unsur yang menerangkan timbulnya peraturan-peraturan hukum tertentu, namun pada umumnya ajarannya kurang memuaskan. Ross mau menerima norma hukum, akan tetapi norma-norrna itu ditafsirkannya sebagai gejala psikologi belaka. Itu berarti bahwa norma-norma itu sebenarnya bukan norma-norma yang sesungguhnya, dan juga gejala etis tidak dipahami oleh Ross. Apa yang dilukiskan Ross tentang timbulnya hukum dapat terjadi juga dalam suatu gerombolan gangster, tetapi adat suatu gerombolan gangster tidak pernah menjadi hukum. Karya penting Ross antara lain berjudul : (1) Theorie der Rechtsquellen, (2) Kritik der Sogenannten Praktischen Erkentnis; (3) Towards A Realistic Jurisprudence, dan (4) On Law and Justice.
E.     Kontribusi Tokoh Bagi Hukum Di Indonesia
Paham realisme menyatakan bahwa hukum adalah putusan hakim. Artinya bahwa yang disebut dengan hukum adalah putusan pengadilan.  Hukum tidak bisa dikatakan bahwa adalah undang-undang atau peraturan perundang-undangan. Lain halnya dengan di Indonesia yang mana disebutkan dengan hukum adalah semua peraturan perundang-undangaan yang ditetapkan oleh pemerintah eksekutif dan legislatif, sedangkan pengadilan hanya diberikan wewenang untuk menegakan aturan yang telah ditetapkan oleh negara. Sepanjang hal itu ditetapkan oleh pengadilan belum disebutkan sebagai hukum tetapi keputusan pengadilan atau keputusan hakim.
Paham realisme belum berkembang secara praktis di Negara Indonesia, secara formal telah diakui sebagaimana disebutkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia hakim diberi kebebasan untuk bertindak secara independen. Hal ini dijamin dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang diubah dengan UU No.35 tahun 1999 dan disesuaikan (diubah) lagi melalui UU No. 04 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kemudian, UU No. 08 tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU tentang Komisi Yudicial, dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hakim telah diberikan tempat pada konstitusi negara RI. Amandemen ketiga UUD 1945, Pasal 24 ayat (1) ditegaskan bahwa ”Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggerakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan”; Ayat (2) ”Kekuasaan  dilakukan oleh sebuah Mahkaman Agung dan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan agar hakim dalam melaksanakan tugasnya dapat sungguh-sungguh dan memiliki independensi, secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah atau kekuasaan lain dalam masyaraka.
Kondisi sosial negara Indonesia yang sangat luas dan berbentang luas pulau-pulau yang berada dalam wilayah nusantara, sangat beraneka macam suku dengan tradisi budaya masing-masing. Hal ini menunjukan bahwa hakim tidak harus menyatakan bahwa hukum adalah undang-undang tetapi hukum adalah sesuatu yang ada dalam realitas sosial yang ada.
Lebih jauh dalam pemikiran Alf Niels Christian Ross  dalam pandangan realismenya mengungkapkan bahwa yang dimaksudkan dengan hukum adalah hukum adalah sistem paksaan yang aktual; yakni situasi masyarakat diatur melalui paksaan. Masyarakat semacam ini disebut oleh Ross sebagai suatu sistenm aktual paksaan (an actual system of compulsion). Suasana di Indonesia telah dipraktekan dengan tidak sempurna karena segala aktual tidak dilakukan secara murni sebagai aturan hukum, melainkan sesuatu yang aktual dipandang sebagai fenomena yang harus ditelusuri sebagai dalam berbagai aturan pelaksaan
Hukum adalah suatu cara berlaku sesuai dengan kecenderungan dan keinginan anggota komunitas; Tahapan ini baru diterapkan apabila orang mulai takut akan paksaan, sehingga selanjutnya paksaan itu mulai ditinggalkan, pemikiran ini apabila di Indonesia maka para legislator telah menerapkan secara kolusi berjemah, artinya bahwa kepentingan golongan selalu dikedepankan tanpa harus mempertimbangkan kepentingan bangsa dan Negara. Sekali pun telah diatur secara formal, namun realisasinya tidak pernah berlaku mutlak.
Pemikiran hokum Ross dalam yang tahap ketiga yakni dimana orang-orang sudah mulai menjadi biasa dengan cara hidup yang sedemikian dan lama-kelamaan mulai memandang cara hidup itu, sebagai sesuatu yang seharusnya. Maka karena terpengaruh oleh kekuasaan sugestif sosial dan kebiasaan, orang sudah mulai berbicara tentang sesuatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis, (a disinterested behaviour attitude)[19]. hukum adalah sesuatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis yang benar. Ini terjadi karena anggota komunitas sudah terbiasa dengan pola ketaatan terhadap hukum. Perkembangan dalam komunitas Negara Indonesia, kebalikan dari tahap ini dimana yang disebut yuridis adalah sesuatu yang telah dibakukan baik secara tertulis dan tidak tertulis. Contohnya adalah hukum peraturan perundang-undangan serta aturan-aturan yang disebut adapt kebiasaan.
Selanjutnya tahap Keempat, situasi hidup bersama dimana norma-norma kelakuan ditentukan oleh instansi-instansi yang berwibawa (the authoritative establishment of normas). Orang akhirnya terbiasa merasa wajib untuk mentaati apa yang diputuskan oleh pihak yang berwenang/berwibawa[20]. Supaya hukum berlaku, harus ada kompetensi pada orang-orang yang membentuknya. Wilayah Negara Indonesia telah membaginya dalam berbagai kekuasaan dimana ada kekuasaan untuk membuat hukum atau undang-undang (legislative), ada yang melakukan (eksekutif) dan ada yang berwenang untuk menegakan aturan atau hukum itu yakni yudikatif. Sehingga dengan adanya pandangan tokoh ini maka dalam konteks Negara Indonesia belum murni diterapkan secara baik dan benar sehingga pandangan terhadap keadilan dan hukum masih menjadi sesuatu yang belum berpihak pada rakyat.
F.      Kesimpulan.
Sebagai kesimpulan dari penulisan ini penulis berkesimpulan bahwa Negara Indonesia menganut paham positivisme dimana hukum disebutkan sebagai aturan perundang-undangan. Sehinga segala hal yang berhubungan dengan paksaan atau mewajibkan para pelaksana aturan sudah memahami apa yang dipaksaa, namun tidak semua aturan mempunyai sanksi atau aturan yang mewajibkan.
 Pembentukan hukum juga ditempatkan pada badan legislative atau sedangkan pelaksananya adalah bidang eksekutif dan peradilan atau yudikatif hanya berusaha untuk menegakan aturan yang telah disepakati dalam Negara melalui legislative. Hakim sekalipun telah diberikan kebebasan untuk menegakan hukum atas dasar Ketuhanan untuk keadilan namun hakim masih menjadi corong suatu undang-undang.

DAFTAR PUSTAKA
Rahardjo, Satjipto, 2007, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Marwan Mas,SH.MH. 2004, Pengantar Ilmu Hukum , Penerbit Ghalia Indonesia,
Simorangkir, J.C.T, dkk, 2000, Kamus Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Tanya, Bernard,L, Dr. SH.MH,2006,  Teori Hukum strategi tertib Manusia lintas ruang dan generasi, Penerbit CV. Kita, Surabaya.
Sidharta, Arif, B. SH, (penterjemah), 2007, Meuwissen tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Filsafat Hukum, dan Teori Hukum,   Refika Aditama, Bandung.
Darji, Darmodiharjo, SH dan Shidarta,SH.M.Hum, 2006, Pokok-Pokok Filsafat hukum, apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Utama, Jakarta.
Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Manulang, 2007, Pengantar ke Filsafat Hukum, Penerbit Fajar Interpratama Offset, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 1987, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Penerbit Radja Wali Pers,  Jakarta, Cetakan III.
-------------------------, 1980, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Penerbit PT Radja Grafindo Persada, Jakarta.
Hilman Hadikusuma, 1986, Antropologi Hukum Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung. 
Zainudin, Ali, H. Dr. Prof, 2005, Sosiologi Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Syahrani,Ridwan,H.SH. 2004, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya, Bandung.




[1] Disampaikan dalam diskusi antar mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu hukum Universitas Nusa Cendana Kupang tahun 2008.
[2] Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu hukum Universitas Nusa Cendana Kupang tahun 2008 dan Dosen Tidak tetap Pada Universitas Kristen Artha Wacana Kupang (2004-2010) dan sekarang Dosen HTN dan HAN Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang serta Dosen Tidak Tetap Universitas Pelita Hati Kupang
[3] Marwan Mas,SH.MH. 2004, Pengantar Ilmu Hukum , Penerbit Ghalia Indonesia, halaman 130.
[4] [4] Marwan Mas,SH.MH. ibit ………hal.132
[5] Syahrani,Ridwan,H.SH. 2004, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya, Bandung. Halaman 53.
[6] Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Manulang, 2007, Pengantar ke Filsafat Hukum, Penerbit Fajar Interpratama Offset, Jakarta, halaman 157.
[7] Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Manulang, 2007, Pengantar ke Filsafat Hukum, Penerbit Fajar Interpratama Offset, Jakarta, halaman 174-178.
[8] Darji, Darmodiharjo, SH dan Shidarta,SH.M.Hum, 2006, Pokok-Pokok Filsafat hukum, apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Utama, Jakarta, halaman 145.
[9] Tanya, Bernard,L, Dr. SH.MH,2006,  Teori Hukum strategi tertib Manusia lintas ruang dan generasi, Penerbit CV. Kita, Surabaya, halaman 141.
[10] Tanya, Bernard,L, Dr. SH.MH,2006,  halaman 141.
[11] Penjelasan pendapat antara Bernard Tanya dan Dardji darmodihardjo tentang tahap kedua dari pendapat Ross.
[12] Tanya, Bernard,L, Dr. SH.MH,2006,  Teori Hukum strategi tertib Manusia lintas ruang dan generasi, Penerbit CV. Kita, Surabaya, halaman 142.
[13] Darji, Darmodiharjo, SH dan Shidarta,SH.M.Hum, 2006, Pokok-Pokok Filsafat hukum, apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Utama, Jakarta halaman 145
[14] Tanya, Bernard,L, Dr. SH.MH, op...cip... , halaman 142.
[15] Darji, Darmodiharjo, SH dan Shidarta,SH.M.Hum, 2006, op...cip... halaman 145
[16] Tanya, Bernard,L, Dr. SH.MH,2006,  op...cip.., halaman 143
[17] Darji, Darmodiharjo, SH dan Shidarta,SH.M.Hum,op...cip... halaman 146
[18] Darji, Darmodiharjo, SH dan Shidarta,SH.M.Hum, 2006,op...cop... hal. 146
[19] Tanya, Bernard,L, Dr. SH.MH,2006,  Teori Hukum strategi tertib Manusia lintas ruang dan generasi, Penerbit CV. Kita, Surabaya, halaman 142.
[20] Bernard,L, Dr. SH.MH,2006,  op..cip. hal. 142.

Senin, 14 Oktober 2013

PEMIKIRAN OLIVER WONDELL HOLMES DALAM PEMBANGUNAN HUKUM DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA [1]

 Oleh
Melkianus E. N. Benu,SH.M.Hum.[2]
Dosen HTN dan HAN FH UNDANA
I. PENDAHULUAN
A.    Alasan Pemilihan Tokoh
Aliran-aliran dalam mazhab realisme hukum telah berkembang sejak abad ke 19 hingga abad ke 20 terutama di Amerika serikat dan Skandinavia. Seperti halnya di AS berkembang sejalan dengan paham laissez fair menjadi kepercayaan yang dominan di sana[3]. Segala kegiatan intelektual dalam bidang apapun, termasuk filsafat dan ilmu-ilmu sosial, selalu dipengaruhi oleh pandangan formalisme. Pandangan yang formalis ini sesungguhnya menerapkan prinsip-prinsip logika dan matematika dalam kajian filsafat, ekonomi maupun jurisprudence, tanpa mencoba menghubungkannya dengan fakta-fakta yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
  Sementara itu, kebangkitan dan kemajuan teknologi dan ilmu-ilmu emperis yang mendominasi kehidupan nyata di AS, telah merubah cara kaum intelektual untuk memperlakukan filsafat dan ilmu-ilmu sosial, termasuk logika sebagai kajian emperis, yang yang tidak berakar pada pendekatan-pendekatan yang abtrak ala formalisme.
Perubahan pandangan tadi, menggiring sebuah gerakan baru di AS, yang pada ujungnya merupakan gerakan ”perkembangan melawan formalisme” sebuah aliran pemikiran yang memiliki tendensi atau kecondongan untuk memberikan tekanan lebih kuat pada forma (bentuk) dari pada isi. Pembedaan pada bentuk dan isi untuk pertama kalinya diungkapkan oleh Aristoteles yang sangat berhubungan erat pembedaan aktus dan potensialia. Tokoh-tokoh yang  membangkang melawan formalisme ini cukup banyak, dari latar belakang filsafat atau logika, hingga ahli ekonomi, ahli sejarah, dan seterusnya. Dibidang hukum, antara lain Oliver Wendell Holmes, Jerome Frank dan Benyamin N. Cardozo.
   Cahyadi dan Manullang (2007:155)[4] menyebutkan pemikiran hukum sebagai gerakan pembangkangan intelektual dengan ciri-ciri umumnya adalah sebagai berikut :
1.      Para pemikir realisme hukum AS amat kritis dengan pemikiran emperis yang dikembangkan di Inggris, yang diusung oleh tokoh-tokoh seperti David Hume, Jeremy Betham, Austin,dan juga John Stuard Mill. Para filsuf ini memang para positifis yang menolak pemikiran metafisis. Namun menurut kaum intelektual hukum di AS, mereka tadi dianggap kurang emperis dalam menjelaskan ide-idenya. Para filsuf Inggris tidak mendasarkan argumentasinya pada alasan-alasan yang aktual yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari karena mereka masih mengemukakan konsep-konsep formal yang dianggap masih bernuansa abstrak;
2.      Para pemikir realisme Amerika ini juga amat kritis terhadap gagasan historis yang dikembangkan oleh kaum utilitarian Inggris. Menurut Mazhab Realisme Hukum pengembangan pengetahuan harus dilakukan secara emperis dan selalu mencari jalan penyelesaiaan bagi setiap problem praktis yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Gagasan kaum utilitarian Inggris dianggap belum menjawab hal itu;
3.      Pendekatan dalam realisme hukum Amerika lebih dipengaruhi oleh pendekatan sosiologis (dan juga psikologi sosial). Pendekatan ini mengarah pada satu objek pokok yakni apa yang diaktual terjadi dalam hal ini apa yang terjadi dalam lembaga pengadilan. Bagaimana praktek hukum yang dilaksanakan oleh para hakim dan pegawai pengadilan, menjadi persoalan yang pokok. Merekalah yang membuat hukum secara konkrit, karena dari merekalah, masyarakat melihat adanya hukum yang eksis. Persoalan teoritis, oleh sebab itu, tidak perlu diindahkan.
Satjito Rahardjo[5] (2007:37-36) mengungkapkan lebih dalam dan jauh tentang tempat dan peran pengadilan dalam dinamika perubahan masyarakat. Dari abad ke abad kita melihat betapa peran pengadilan berubah. Untuk berhenti dari peralihan dari abad ke 19 ke abad ke 20, maka disitu kita menyaksikan pelan-pelan terjadinya perubahan dari peran pengadilan sebagai institusi hukum yang sempit dan terisolasi menjadi pengadilan (untuk) rakyat.
Pengadilan yang terisolasi ini juga dinyatakan dalam ungkapan pengadilan sebagai corong undang-undang, tidak lebih dan tidak kurang. Memang sangat liberal dan sangat legalme-positivistik yang sangat kuat di abad ke 19 itu memberikan landasan teori bagi munculnya pengadilan yang terisolasi dari dinamika masyarakat dimana pengadilan berada.
Isolasi tersebut juga mengandung isolasi kearah kediktatoran pengadilan (judicial dictatorship) oleh karena ia memutus semata-mata dengan mengingat apa yang menurut tafsirannya dikehendaki oleh hukum tanpa harus melibatkan kedalam atau mendengarkan dinamika masyarakat tersebut. Itulah sebabnya secara sosiologis pengadilan menjadi terisolasi dari keseluruhan dinamika masyarakatnya dan menjadi benda asing dalam tubuh masyarakat itu.
Sementara dinamika masyarakat menampilkan pengorganisasian baru, seperti perkembangan demokrasi dan bangkitnya kekuatan-kekuatan baru dalam masyarakat, seperti buruh, yang mengubah peta sosial dan politik secara mendalam. Kalau hukum liberal ke 19 banyak dikaitkan pada golongan borjuis, maka menjelang dan memasuki abad ke 20 kata kuncinya adalah rakyat. Naiknya peran dan partisipasi rakyat ini tidak dengan mudah diakomodasikan oleh institusi hukum, termasuk pengadilan. Semestinya pengadilan juga mengubah perannya dari semata-mata menjadi corong undang-undang, kepada pengadilan yang diwakili dan mendengarkan suara rakyat. Bahkan ada ujaran bahwa pengadilan hendaknya menyuarakan mereka atau golongan-golongan yang unrepresented dan under-represented[6].       
Memahami hukum serta menerapkannya dalam perilaku manusia adalah suatu cara dimana para pemikir tentang arti dan makna serta hakekatnya hingga kini belum selesai. Banyak pemikir yang sampai sekarang dengan kemampuan argumentasinya belum selesai dan layak untuk diperbaharui agar menjawab kebutuhan perilaku manusia. Satjipto Rahardjo (2007:32) menguraikan secara sederhana tiga macam berpikir atau kecerdasan yakni rasional, perasaan dan spiritual. Rasional berarti logis, linier, serial dan tidak ada rasa keterlibatan (dispassionate). Perasaan lebih mempertimbangkan lingkungan atau habitatnya, sehingga tidak hanya semata-mata dengan menggunakan logika tetapi yang terpenting adalah konteksnya. Sedangkan kecerdasan secara spiritual lebih menampilkan cara-cara berpikir dalam hukum yang pada gilirannya mempengaruhi tindakan dalam menjalankan hukum.
  Sebagai mana dikemukakan oleh pendapat Bismar Siregar[7] (2007:1) bahwa tidak dipungkiri bahwa ”misi suci” (Mission Sacree) lembaga peradilan di Indonesia bukan untuk menegakan hukum demi hukum itu sendiri, seperti yang dikemukakan oleh Oliver Wendell Holmes, ”The supreme court is not court of justice, it is a court of law”, melainkan untuk menegakan hukum demi keadilan, baik bagi individu maupun bagi masyarakat, bangsa dan negara, bahkan keadilan yang dimaksudkan adalah keadilan demi Tuhan Yang Maha Esa sehingga terciptanya suasana kehidupan bermasyarakat yang aman, tenang, tertib dan damai. Hal ini tercermin dari setiap keputusan hakim di Indonesia, yang diawali dengan ungkapan yang sangat relegius yakni : ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Untuk menjalankan ”misi suci” tersebut maka hakim diberi kekuasaan yang bebes dan mandiri agar putusan-putusannya tidak mudah diintervensi oleh kekuatan ekstra judicial, seperti penguasa dan kekuatan lainnya dalam masyarakat (seperti kekuatan politik dan ekonomi). Hal ini dijamin oleh UUD (yang telah mengalami empat kali perubahan) dan peraturan perundang-undangan yang berlaku positif di Indonesia, antara lain UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang merupakan perubahan terhadap undang-undang No. 14 tahun 1970 dan UU tentang Mahkamah Agung RI No. 5 tahun 2004 sebagai perubahan atas  UU No. 14 tahun 1985.
Berdasarkan isu yang berkembang di tengah masyarakat, maka diperoleh gambaran bahwa tidak semua hakim memiliki kemandirian dalam pengambilan keputusan. Ada sebagian hakim yang dipengaruhi oleh pengausa dan kaum powerfull lainnya (elit ekonomi dan politik) sehingga tidak heran apabila putusan-putusannya jauh dari rasa keadilan. Hal ini tampak dari berbagai ragam tanggapan miring yang dikemukakan oleh masyarakat (wakil rakyat, pakar hukum, praktisi hukum, dan kaum awam) tentang eksistensi lembaga peradilan sebagai benteng terakhir penegakan hukum dan keadilan.
 Berdasarkan pandangan tersebut diatas penulis ingin menggambarkan secara rinci dan lengkap PEMIKIRAN OLIVER WONDELL HOLMES DALAM PEMBANGUNAN HUKUM DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA.
B.     Gambaran singkat tentang pemikirannya
Secara singkat gambaran pemikiran dari Oliver Wendell Holmes tentang hukum sebagai gerakan menentang fomalisasi dari kehendak aturan atau undang-undang adalah :
1.      Hukum adalah keputusan hakim atau keputusan pengadilan[8], yang artinya bahwa “hukum itu apa yang dibuat oleh hakim melalui putusannya, dan hakim lebih banyak disebaut membuat hukum daripada menemukan hukum”.
2.      Pandangan Oliver Wendell Holmes mengenai hukum bermula dari idenya bahwa hukum itu sama halnya dengan pengalaman, seperti juga halnya dengan logika[9].
3.      Hukum adalah kelakuan actual para hakim (patterns of behavior), dimana kelakuan itu ditentukan oleh tiga faktor sebagai hal yang mempengaruhi putusan hakim, yaitu kaidah hukum yang dikonkretkan oleh hakim dengan metode interpretasi dan kontruksi, moral hidup pribadi hakim, dan kepentingan sosial[10].
4.     

MA
 

Putusan
 
aliran hukum Realime skemanya adalah[11] :
 






5.      Esensi dari hukum menurut ajaran realisme dari Holmes adalah perkembangan ilmu hukum itu terletak pada “pengujian fakta-fakta” dan kehidupan hukum pada dasarnya bukan logika, melainkan pengalaman (the life of the law has been, not logic, but experience)[12]; Serta yang dianggap sebagai hukum adalah ramalan tentang apa yang dilakukan oleh pengadilan dalam kenyataan dan tidak ada yang lebih penting dari itu.
C.    Latar belakang tokoh
Lahir Pada Tanggal 8 Maret 1841 in Biston, Massachusetts. Namanya berasal dari bapaknya yang merupakan seorang penulis dan dokter. Kemampuan Intelektualnya yang menakjubkan, untuk mengungkapkan dirinya membuat Oliver Wendell Holmes,Jr. berada dalam pikiran Amerika yang disegani. Ia menjadi anggota Mahkamah Agung Amerika Serikat selama kurang  lebih 30 tahun.
Oliver Wendell Holmes lulus dari Harvard University di tahun 1861 dan bergabung dengan dinas ketentaraan AS saat perang saudara. Pengalaman hidupnya selama dalam perang menjadi modal bagi Oliver Wendell Holmes untuk menjadi seorang realis. Di sana ia melihat betapa penderitaan manusia, sesamanya, sedemikian real/nyata.
Di tahun 1870 Holmes menjadi editor untuk jurnal American Law Review. Pada tahun 1881 dia menerbitkan bukunya edisi pertama dari The Common Law. Tahun 1882, ia menjadi professor di Harvard Law dan hakim pada Pengadilan Tinggi Massachusetts. Di tahun 1899 ia ditunjuk sebagai hakim ketua dari pengadilan Negara. Dia menjadi terkenal karena inovasinya dan keputusannya yang sangat logis yang mencoba menyimbangkan antara hak milik dengan peraturan perundang-undangan. Dia juga terkenal dengan hakim yang mengakui hak para buruh untuk mengorganisasikan diri dalam serikat buruh. Pada hal sebelumnya hak buruh tidak begitu diakui dan malah hak buruh untuk berserikat dianggap secara ilmiah illegal. Kasus ini kemudian sebagai Kasus Lochner v. New York (1905).
Kasus Lochner v. New York (1905) memeng merupakan kasus controversial. Dalam kasus ini Supreme Court Amerika memutuskan bahwa peraturan yang membatasi jam kerja adalah inkonstitusional karena pembatasan itu mencampuri “hak untuk berkontrak” yang tercantum dalam klausul due process. Bagi para penantangnya keputusan tersebut menunjukan betapa Mahkamah Amerika sedemikian berpihak pada ideology personal dan mengesampingkan penafsiran konstitusional yang sah atau legitim.
Faktanya, di Negara bagian New York mengeluarkan undang-undang yang membatasi jumlah jam kerja buruh di pabrik roti yang dapat bekerja selama 60 jam perminggu. Joseph Luchner, sang pemilik pabrik roti di Utika, didenda $20 karena telah mempekerjakan buruhnya lebih dari batas waktu kerja per minggu. Selain didenda ia juga diancam hukuman 50 hari penjara atau ganti denda sebesar $ 50.
Hakim Rufus Wheeler Peckham, yang menulis untuk pendapat mayoritas dari Mahkamah Agung AS dan berarti juga opinion of the court, membebaskan hukuman atas Lochner dan membatalkan undang-undang tersebut karena bagi the court, undang-undang tersebut secara tidak sah melanggar hak untuk melakukan kontrak atau perjanjian (the right to contract), padahal hak atau kemerdekaan untuk itu merupakan salah satu yang dilindungi oleh prinsip legalitas di amandemen ke 14 konstitusi Amerika. Pengadilan tidak menemukan alas an khusus untuk melindungi para buruh itu. Bagi pengadilan mereka adalah urusan Negara bagian. dan menolak bukti yang diberikan Negara bagian  berkaitan dengan alas an kesehatan. (Alasan kesehatan yang diajukan Negara  bagian tidak dapat dipertimbangkan). Pengadilan menyatakan bahwa apabila pengadilan menerima tuduhan yang diajukan Negara bagian dan mengalahkan pengusaha, maka hal itu akan menjadi preseden buruk bagi iklim usaha, karena dapat saja ditafsirkan bahwa ideology anti bisnis (antikapitalis) akan menjadi hokum.
Hakim John Marshall Harlan berbeda pendapat. Ia berpendapat bahwa Negara memiliki alasan untuk mengatur segenap perikehidupan warga negaranya termasuk buruh-buruh pabrik itu, juga karena kesehatan mereka. Hakim Harlan mengutip banyak hasil penelitian terhadap para buruh pabrik itu menyangkut kesehatan pernapasan dan resiko kerja yang mereka hadapi. Hakim Harlan menyatakan bahwa ia lebih memilih dengan menyerahkan keputusan pada para pembentuk undang-undang untuk hal-hal dimana pengadilan tidak mempunyai atau kurang mempunyai kompetensi.
Latar belakang tokoh ini merupakan sebuah gerakan dalam menentang pemikiran formalime yang dengan kekuatan pemikirannya untuk membangkang terhadap idealime positivisme yang berkembang mendahuluinya.
III. PEMBAHASAN
A.    Uraiaan Pemikirannya Tentang Hukum
Pemikiran dari Oliver Wendell Holmes sejak tahun 1870 menjadi editor untuk jurnal American Law Review, dengan menerbitkan bukunya yang pertama tentang ” The Common Law”, selain itu bertugas sebagai Hakim Pada Pengadilan Tinggi Massachusetts. Setelah itu sejak tahun 1899 ditunjuk sebagai Hakim dari Pengadilan Negara.
Sebagaimana telah dikatakan oleh Oliver Wendell Holmes, Jr, bahwa dugaan-dugaan tentang apayang diputuskan oleh pengadilan itulah yang disebutkan dengan hukum. Pendapat holmes ini menggambarkan secara tepat pandangan realis Amerika yang pragmatis itu.
Pendekatan pragmatis tidak percaya pada bekerjanya hukum menurut ketentuan-ketentuan hukum diatas kertas. Hukum bekerja mengikuti peristiwa-peristiwa konkrit yang muncul. Oleh karena itu, dalil-dalil hukum yang universal harus diganti dengan logika yang fleksibel dan ekspreimental sifatnya. Hukum pun tidak bekerja menurut disiplinnya sendiri. Perlu ada pendekatan yang interdisipliner dengan memanfaatkan ilmu-ilmu seperti ekonomi, sosiologi, psikologi, dan kriminologi. Dengan penyelidikan terhadap faktor-faktor social berdasarkan pendekatan tersebut dapat disinkronkan antara apa yang dikehendaki hukum dan fakta-fakat kehidupan sosial. Semua ini diarahkan agar hukum dapat bekerja secara lebih efektif.
Sumber hukum utama aliran ini adalah putusan hakim. Seperti diungkapkan oleh John Chipman Gray[13] : All the law is judge-made-law, semua yang dimaksudkan dengan hukum adalah putusan hakim. Hakim lebih sebagai penemu hukum dari pada pembuat hukum yang mengandalkan peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut, oleh Holmes dalam pendapatnya Dardji Darmodihardjo (2006:138) bahwa seorang sarjana hukum harus menghadapi gejala-gejala hidup secara realistis. Kalau ia ia berusaha mengambil sikap demikian, ia akan sampai pada keyakinan bahwa para penjahat pun sama sekali tidak menaruh minat pada prinsip-prinsip normative hukum, sekalipun kelakuan mereka seharusnya diatur menurut prinsip-prinsip itu. Bagi mereka yang penting manakah kelakuan aktual (patterns of behaviour) seorang hakim yakni pernyataan, apakah seorang hakim akan menerapkan sanksi pada suatu kelakuan tertentu atau tidak.
Kelakuan para hakim pertama-tama ditentukan oleh norma-norma hukum. Berdasarkan tafsiran   lazim norma-norma hukum itu dapat diramalkan, bagaimana kelakuan para hakim dikemudian hari. Disamping norma-norma hukum bersama tafsirannya, moral hidup dan kepentingan sosial ikut menetukan keputusan para hakim tersebut.
Ucapan Holmes yang sangat terkenal, yang dianggap secara tepat menggambarkan realisme hukum Amerika Serikat berbunyi : “the prophecies of what the courts will do in fact and nothing more pretentiour, are what I mean by the law[14]”. (pikiran-pikiran tentang apa yang akan diputuskan oleh pengadilan, itulah yang saya maksudkan dengan hukum)
Pandangan Holmes mengenai hukum bermula dari idenya bahwa hukum itu sama halnya dengan pengalaman, seperti juga halnya dengan logika. Oleh sebab itu, menurutnya hukum hanyalah sebatas prediksi-prediksi terhadap keputusan apa yang akan dibuat oleh pengadilan. Ia menekan tentang pentingnya aspek empiris dan pragmatis dari hukum. Karena itu sebuah police misalnya, yang telah diputuskan atau dibuat menurut Holmes bukan didasarkan pada pembenaran-pembenaran yang alamiah oleh ilmu hukum. Tetapi lebih karena alasan  adanya kepentingan masyarakat (sosial) yang faktual.
Pada tahun 1909, tiga tahun sebelum ia menangani kasus kontroversial di atas, Presiden Theodore Roosevelt menunjuk Holmes sebagai hakim di Supre Court AS. Kata-katanya yang cukup terkenal adalah “jiwa dari hukum bukanlah logika tetapi pengalaman”. Dia menganjurkan agar pengadilan melihat fakta ditengah masyarakat yang yang terus berubah, dari pada hanya sekedar menerapkan slogan-slogan hukum dan formula hukum. Holmes yakin bahwa hukum harus berkembang  dan melayani masyarakat. Dia mempunyai pengaruh yang besar dalam menganjurkan hakim untuk tidak mengadopsi mendapat persoalan mereka. Dokrin semacam ini di AS dikenal sebagai Judicial Restraint.
Schbert[15] (seorang guru besar ilmu politik di Universitas Michigan. AS) mengomentari masalah “ramalan” yang dikemukakan Holmes bahwa ada tiga pendekatan dalam melakukan ramalan yaitu sebagai berikut:
1.          Penggunaan destruktur konversi, yaitu sentral dari proses perbuatan kebijakan pengadilan terletak pada struktur konversi, dimana putusan hakim dipengaruhi oleh hasil interaksi dari suatu kelompok dan pengintergrasian nilai-nilai individu para hakim;
2.          Penggunaan atribut-atribut, yaitu pengaruh pengalaman pribadi seorang hakim, penunjukan politik hakim dan afiliasi partai politik dari hakim;
3.          Penggunaan pengaruh orientasi-sikap, yaitu pengaruh faktor ekonomi dan politik yang berkaitan dengan persoalan vital dan fundamental pribadi dan keluarga hakim;
Hukum sebagai fakta yang emperis, disamping itu harus dibedakan dengan moral. Baginya para praktisi hukum harus diperketat pada persoalan mengenai apa itu hukum, yang bersifat deskriptif, bukan pada persoalan mengenai bagaimana hukum itu seharusnya, hukum itu harus bersifat preskriptif. Jadi yang penting adalah kelakuan aktual seorang hakim akan menerapkan sanksi pada suatu  tindak tertentu atau tidak.
Deskripsi Holmes mengenai prediksi keputusan yang dibuat oleh pengadilan, menempatkan betapa pentingnya peranan hakim dan praktisi hukum. Prediksi-prediksi itu harus dibangun berdasarkan pada aspek emperis, daripada berdasarkan argumentasi logis yang deduktif sifatnya, seperti ideology. Menurut Holmes bahwa yang mempengaruhi hakim dalam memutuskan suatu hal adalah : kaidah-kaidah hukum, moral hidup pribadi, dan kepentingan social.
Menurut Holmes bahwa aturan-aturan hukum hanya menjadi salah satu faktor yang patut dipertimbangkan dalam keputusan yang berbobot. Faktor moral, soal kemanfaatan, dan keutamaan kepentingan social milsalnya, menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam mengambil keputusan yang berisi. Jadi bukan sebuah pantangan, jika demi keputusan yang fungsional dan kontekstual, aturan resmi terpaksa disingkirkan (lebih-lebih jika menggunakan aturan itu justru berakhibat buruk). Holmes menjadi hakim yang monumental dan seminal,, justru karena penderian moralnya itu. Ia menjadi monument dari  a creative lawyer : in accordance with justice and eguality. Dengan kapasitas seperti ini para hakim memiliki kompetensi untuk merubah UU, bila hal itu perlu[16].  
Gagasan Holmes ini memang berpengaruh besar dalam sistim hukum Amerika, karena diterima oleh banyak praktisi disana saat itu. Hal ini juga meliputi gagasan yang brilian tentang peran Hakim Agung yang harus menjadi sensor bagi seluruh legislasi dan beragam aturan hukum dan keputusan yang dibuat di setiap Negara bagian, serta keberadaan peradilan di Amerika yang secara faktual aparat-aparatnya diisi berdasarkan keputusan para politikus. Fakta-fakta ini semakin menguatkan Holmes bahwa pentingnya mempercayai pendekatan yang emperis terhadap proses hukum.
Perbedaan pendapat yang diajukan Hakim Oliver Wendell Holmes, Jr. adalah pendapat yang paling diingat. Ia menyerang para hakim yang mempunyai pendapat mayoritas dan menjadi pendapat pengadilan (opinion of the court). Baginya para hakim itu hanya menerapkan sudut persoalan mereka dalam menanggapi masalah ini. Pandangan mereka sedemikian dijiwai oleh paham ekonomi laissez-faire. Dengan paham liberal itu mereka mencoba menggagalkan peraturan yang telah dibentuk oleh pembentuk undang-undang yang sah. Bagi Holmes keputusan pengadilan itu dibentuk oleh kecurigaan-kecurigaan dan tuduhan-tuduhan yang dimiliki para hakim. Namun demikian konstitusi tidaklah dibuat hanya untuk mengakomodasi sebuah teori ekonomi saja.
Oliver Wendell Holmes, Jr. juga mempersoalkan masalah substantieve due (prinsip legalitas secara substantife). Ia melihat bahwa prinsip itu adalah prinsip kosong yang memperbolehkan hakim secara semena-mena menghalangi pembuatan keputusan yang demokratis (betapa tidak, para pembentuk hukum yang telah sah dan legitim dipilih oleh konstituren Negara bagian yang bersangkutan (demokratis) yang telah bersusah membuat undang-undang ternyata undang-undang tersebut dianulir oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat).
B.     Konribusi Tokoh Bagi Hukum Di Indonesia
Keterbatasan referensi yang ada maka penulis mengungkapkan bahwa bagi Indonesia pemikiran Oliver Wendell Holmes tentang hukum belum menampilkan yang sesungguhnya dalam pola berpikir hakim-hakim di Indonesia untuk menyatakan bahwa hukum adalah keputusan pengadilan. Sehingga pada akhirnya hakim di Republik Indonesia masih memandang undang-undang sebagai sesuatu yang perlu dijunjung tinggi sebagai kebenaran yang abadi dibandingkan dengan sesuatu yang rill didalam dinamika masyarakat.
 Secara formal dalam peraturan perundang-undangan di Republik Indonesia telah menampilkan sesuatu yang dapat menjadi kewenangan mutlak bagi seorang aparat penegak hukum baik itu polisi, jaksa dan hakim dalam menegakan hukum. Sebagaimana diungkapkan oleh Wawan Tunggal Alam,SH[17] (2004;25) bahwa seorang hakim di Indonesia adalah seorang dewi yang dengan menutup mata yang memegangi timbangan. Begitulah simbol keadilan, Dewi Justicia. Menutup mata berarti pengadil tidak memihak, tidak melihat siapa dan dari golongan apa diadili. Sang Dewi Justicia ini akan mengadili siapa saja. Tak peduli pria, wanita, kaya, miskin, rakyat biasa, pengusaha, pendeknya siapa saja dan tak dipandang bulu apa tingkat dan kedudukannya di masyarakat. Oleh sebab itu, sang Dewi Justicia ini memiliki mata tertutup. Yang pada akhirnya mempunyai tugas mengadili seadil-adilnya, seperti timbangan yang tidak berat sebelah.
Akan tetapi, sang Dewi Justicia pengadil tidak bisa langsung menjalankan tugasnya di bumi. Ia butuh orang yang dapat melaksanakan cita-citanya. Maka ditunjuklah hakim. Hakim adalah perpanjangan tangan sang dewi keadilan di bumi. Begitulah simbol Dewi Justicia atau Dewi Pengadil yang diberikan bagi hakim dalam menjalankan tugasnya.
Lebih lanjut Wawan[18] menyatakan bahwa Hakim itu berarti orang yang menegakan keadilan dan kebenaran, menghukum orang yang salah dan membenarkan orang yang benar. Dan, didalam menjalankan tugasnya ia tidak hanya bertanggung jawab kepada pihak-pihak yang berperkara dan menjadi tumpuan harapan pencari keadilan (justiabelen), tetapi juga tanggung jawabnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bukanlah tiap amar putusan hakim selalu didahului : ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa?”.
Kata ”Demi” adalah sumpah. Sumpah dengan mempertaruhkan nama Tuhan. Tentunya, kalimat itu bukan Cuma sekadar wajib dibaca sang pengadil kecuali bagi hakim yang tak percaya adanya Tuhan. Berat memang menjadi hakim. Karena hakim seolah digambarkan sebagai wakil Tuhan di bumi dalam memutuskan subuah sengketa. Ia pun membawa-bawa nama Tuhan. Namun demikian, disisi lain, hakim adalah tetap manusia biasa yang bisa khilaf, keliru, dan salah.
Sekali pun begitu, apapun kontroversinya jabatan hakim : disatu sisi seolah wakil Tuhan dalam memutus sengketa, dan disisi lain adalah manusia biasa yang bisa khilaf, tetap saja tidak dapat ditolerir jika wakil Tuhan di bumi ini melakukan jual beli vonis, suap, korupsi atau praktik-praktik mafia peradilan. Betapa berbahayanya jika hakim mengadili kasus korupsi tetapi berbalas juga korupsi pula. Artinya sang hakim membebaskan terdakwa korupsi lantaran ia kebagian jatah pula dari uang korupsi itu dengan menerima suap. Sehingga, tidak apa tempatnya jika hal ini dikatakan sebagai suatu khilaf.
Betapa mulianya profesi hakim. Karena itu pula, diberbagai negara, hakim sangat dihormati dan diberikan kedudukan yang tinggi di masyarakat. Ia dianggap sebagai orang yang paling bijaksana. Bahkan penghinaan terhadap hakim dapat dihukum berat. Termasuk adanya aturan contempt of court (sekalipun di Indonesia contempt of court belum diatur secara tegas dalam undang-undang) jika penghina hakim ketika ia sedang menjalankan tugasnya di ruang sidang.
Begitu pentingnya profesi hakim, sampai-sampai ruang lingkup tugasnya harus dibuat undang-undang. Tengok saja, dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang diubah dengan UU No.35 tahun 1999 dan disesuaikan (diubah) lagi melalui UU No. 04 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kemudian, UU No. 08 tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU tentang Komisi Yudicial, dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Bahkan dalam menjalankan tugasnya di ruang sidang, hakim terikat dengan aturan hukum, seperti halnya pada Pasal 158 KUHAP yang mengisyaratkan : ”Hakim dilarang menunjukan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa”. Begitu pula dalam menilai alat bukti, undang-undang telah dengan tegas meningkatkan hakim untuk bertindak arif lagi bijaksana” (Pasal 188 ayat (3) KUHAP). Tak hanya itu saja. Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, dan profesional dan berpengalaman dibidang hukum, demikian  bunyi Pasal 32 UU No. 04 tahun 2004.
Profesi hakim merupakan profesi hukum, karena pada hakekatnya merupakan pelayanan kepada manusia dan masyarakat di bidang hukum. Oleh karenanya hakim dituntut memiliki moralitas dan tanggungjawab yang tinggi yang kesemuanya harus dituangkan dalam etika profesi, yang salah satunya adalah pelayanan profesi dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai luhur.
Dengan demikian hakim telah diberikan tempat pada konstitusi negara RI. Dalam Amandemen ketiga UUD 1945, Pasal 24 ayat (1) ditegaskan bahwa ”Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggerakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan”; Ayat (2) ”Kekuasaan  dilakukan oleh sebuah Mahkaman Agung dan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan agar hakim dalam melaksanakan tugasnya dapat sungguh-sungguh dan memiliki independensi, secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah atau kekuasaan lain dalam masyarakat.
Dalam melaksanakan tugasnya, hakim terkadang merupakan terompet undang-undang[19] (meminjam istilah disiplin F. Manao) dalam menangani kasus yang telah jelas ditentukan undang-undang sehingga hakim tinggal menerapkannya. Namun pada saat yang lain, hakim juga harus menafsirkan undang-undang, apabila dalam kasus yang hukumnya tidak atau belum jelas, sehingga memerlukan penafsiran dengan cara metode penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum.
Seorang hakim juga dituntut untuk dapat menentukan hukumnya, yakni saat undang-undang belum mengatur atas kasus tersebut (rechtsvinding). Dengan demikian hakim perlu punya keberanian menem,ukan hukum, manakala hukum positif tidak mengaturnya. Hakim perlu punya kebarian untuk tidak mengikuti aliran dogmatis-yuridis[20].
Dengan demikian hakim tidak boleh menolak untuk mengadili suatu perkara yang diajukan dengan alasan bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan hakim wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Oleh karena itulah seorang hakim sebagai aparat penegak hukum dan keadilan wajib mengadili, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan dapat memeberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Tugas hakim untuk menentukan hukum dan keadilan dalam masyarakat adalah berat tapi mulia. Berat, karena sebagai manusia biasa yang penuh dengan segala kekurangan tapi diberi hak istimewa (prevelige) oleh negara atas nama Tuhan Yang Maha Esa untuk menentukan salah tidaknya, benar tidaknya tindakan seseorang. Bahkan dalam perkara pidana, adakalanya menentukan hidup matinya seseorang. Luhur dan mulia, karena dengan putusannya, seorang hakim diharapkan mampu menampakan cahaya kebenaran dan keadilan masyarakat.
Kendala dan liku-liku yang dihadapi hakim dalam melaksanakan tugasnya, dapat disebabkan oleh sejumlah faktor baik secara internal maupun secara eksternal diri seorang hakim. Seperti disebutkan oleh F. Manao dalam bukunya wawan Tunggal Alam (2004:30) adalah dorongan dari diri pribadi hakim itu sendiri, seperti rasa simpati, empati, antipati, emosi, keinginan, kepentingan, kekuatan dan lain-lain semuanya adalah faktor internal. Sedangkan faktor eksternalnya adalah kondisi yang berasal dari luar diri hakim, seperti persaudaraan, persahabatan, penyuapan, pengarahan, tekanan, ancaman, ancaman, tindakan kekerasan, pembentukan opini, kepentingan politik, kepentingan kelompok, termasuk juga intervensi struktural (melalui undang-undang)[21].
Dari dalam internal pengadilan, fungsi dan tugas hakim yang mempunyai kewenangan dan kekuasaan yang besar dapat menimbulkan potensi penyimpangan berupa perbuatan tercela, kekeliruan teknis, dan pelanggaran hukum. Sedangkan faktor dari luar pengadilan dapat berupa kekosongan atau ketidaksempurnaan aturan hukum dibebankan kepada badan peradilan untuk mengisi fungsinya. Bahkan ada bentuk baru yakni tekanan dari pihak tertentu yang mendesak ketua MA untuk memeriksa setiap Majelis hakim yang memutus perkara yang dirasa kurang sesuai dengan selera masyarakat atau keinginan pihak tertentu.
Untuk mengurangi hal tersebut, oleh Tunggal, Alam, Wawan, SH, (2004 :32)[22] perlu dukungan dan membentengi para hakim agar dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya mengeliminasi kefanaannya dan menangkal intervensi perlu upaya-upaya seperti :
1.      pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang sepadan;
2.      penyediaan sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung pelaksanaan tugas;
3.      pendidikan dan pembinaan yang cukup sehingga dapat menjadikan seorang profesional yang handal;
4.      norma-norma yang baku dan ketentuan-ketentuan mengenai hak dan kewajibannya;
5.      perlindungan atas pelecehan terhadap tugas hakim (contemp of court) dan perlindungan atas ancaman fisik dan teror, serta perlindungan atas intervensi terhadap kemandirian;
6.      pengawasan sebagai sistem kontrol untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan yang tidak diinginkan;
7.      pembebasan dari tuntutan ganti rugi karena adanya kesalahan dalam perbuatan yang merupakan pelaksanaan tugasnya dalam bidang peradilan;
8.      penghargaan bagi yang telah melaksanakan tugasnya dengan baik dan sanksi bagi yang melanggar peraturan;
9.      meningkatkan budaya hukum masyarakat.
Namun demikian, pada akhirnya kunci dari keseluruhannya, adalah terletak pada integritas insan hakim (the man behind the robe) itu sendiri, sebab :
1.      pemenuhan upaya-upaya tersebut diatas, tidak dengan sendirinya akan langsung menjamin kemandirian;
2.      kurangnya pemenuhan tersebut dan banyaknya intervensi tidak dapat dijadikan alasan pembenaran untuk menggoyahkan kemandirian;
3.      kemandirian harus tetap dipertahankan sekalipun pemenuhan upaya-upaya tersebut sangat kurang dan adanya intervensi yang berat;
Integritas yang bersumber pada hati nurani dan profesionalisme yang bersumber pada intelektualitas, keduanya tidak selalu berbanding lurus, bahkan seringkali bertolak belakang. Orang yang kecerdasan intelektualnya tinggi tapi kecerdasan spiritualnya rendah adalah orang yang berbahaya dan membahayakan kehidupan orang lain. Dengan demikian sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang hakim adalah mendengarkan dengan cermat, menjawab secara bijak sana, mempertimbangkan dengan teliti, dan mengambil keputusan tanpa memihak.
IV. PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pada bagian ini penulis menyimpul hal-hal yang berhubungan perkembamngan pemikiran Olever Wendell Holmes dalam pembangunan hukum di Indonesia adalah :
1.      Secara formal kekuasaan hakim di Indonesia telah dimenjamin kemerdekaannya untuk melakukan penemuan hukum dengan menyelesaikan kasus yang ada dalam lapisan masyarakat di Indonesia namun belum terapkan secara  baik dan benar terutama menyeluruh bagi para hakim-hakim yang ada diwilayah Indonesia sehingga hakim-hakim masih dipandang sebagai corong dari undang-undang;
2.      Hukum di Negara Indonesia adalah paham yang menjunjung tinggi paham positivisme sehingga yang dikatakan hukum adalah hukum, sebaliknya kewenangan hakim hanya bersifat sebagai pihak yang berupaya untuk menegakan hukum yang telah ditentukan oleh para pembuat undang-undang.
B.     Saran
Sebagai saran terhadap penulisan ini adalah penulis mengemukakan bahwa dalam wilayah negara Indonesia yang sangat luas dengan pulau-pulau dan beragam enis, budaya serta banyaknya suku bangsa maka apabila hakim masih menjadi corong dari suatu undang-undang maka keadilan sebagai mana disebutkan berdasarkan Ketuhanan Yang Masa Esa tidak akan tercapai. Akhirnya lembaga pengadilan sebagai tempat orang mendapatkan keadilan sangat tidak memberikan keadilan bagi mereka yang akan memperoleh keadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Rahardjo, Satjipto, 2007, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Syahrani,Ridwan,H.SH. 2004, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya, Bandung.
Lubis, K, Suhrawardi, 2002, Etika Profesi Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Supriyadi,SH.M.Hum, 2006, Etika dan Tanggung jawab Profesi Hukum di Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Sunaryo, Sidik, 2005, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang, Malang.
Mulyadi, Lilik,SH.M.H, 2007, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Normatif, Teoritis, Praktis Dan Masalahnya), Penerbit Alumni, Bandung.
Marwan Mas,SH.MH. 2004, Pengantar Ilmu Hukum , Penerbit Ghalia Indonesia,
Simorangkir, J.C.T, dkk, 2000, Kamus Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Kelsen, Hans, (terjemah : Siwi Purwandari), 2007, Pengantar Teori Hukum, Penerbit Nusa Media, Bandung.
Tanya, Bernard,L, Dr. SH.MH,2006,  Teori Hukum strategi tertib Manusia lintas ruang dan generasi, Penerbit CV. Kita, Surabaya.
Salman, Otje, H.R, Dr. Prof, dan Susanto,F, Anton, SH.M.Hum, 2005, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Penerbit Refika Aditama, Bandung.
Sidharta, Arif, B. SH, (penterjemah), 2007, Meuwissen tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Filsafat Hukum, dan Teori Hukum,   Refika Aditama, Bandung.
Tunggal, Alam, Wawan, SH, 2004, Memahami Profesi Hukum (Hakim, Jaksa, Polisi, Notaris, Advokat, Konsultas Hukum Pasar Modal), Penerbit Milenia Populer, Jakarta.
Sudirman, Antonius,SH.M.H, 2007, Hati Nurani Hakim dan Putusannya (suatu pendekatan dari perspektif ilmu hukum perilaku ”Behavioral Jurisprudence” Kasus Hakim Bismar Siregar), Penerbit PT. Citra Adutya, Bandung.
Faisal, Salam, Moch, 2001, Hukum Acara Pidan Dalam Prakter, Penerbit Maju Mundur, Bandung.
Darji, Darmodiharjo, SH dan Shidarta,SH.M.Hum, 2006, Pokok-Pokok Filsafat hukum, apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Utama, Jakarta.
Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Manulang, 2007, Pengantar ke Filsafat Hukum, Penerbit Fajar Interpratama Offset, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 1987, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Penerbit Radja Wali Pers,  Jakarta, Cetakan III.
-------------------------, 1980, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Penerbit PT Radja Grafindo Persada, Jakarta.
Hilman Hadikusuma, 1986, Antropologi Hukum Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung. 
Zainudin, Ali, H. Dr. Prof, 2005, Sosiologi Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.





[1] Disampaikan dalam diskusi antar mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu hukum Universitas Nusa Cendana Kupang tahun 2009.
[2] Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu hukum Universitas Nusa Cendana Kupang tahun 2008 dan Dosen Tidak tetap Pada Universitas Kristen Artha Wacana Kupang (2004-2010) dan sekarang Dosen HTN dan HAN Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang serta Dosen Tidak Tetap Universitas Pelita Hati Kupang.
[3] Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Manulang, Pengantar ke Filsafat Hukum, Penerbit Fajar Interpratama Offset, Jakarta. , 2007, hal. 154.
[4] Ibid….hal 155-156
[5] Rahardjo, Satjipto, 2007, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta,  hal 36-37
[6]Ibit..... Halaman 16-17
[7] Sudirman, Antonius,SH.M.H, Hati Nurani Hakim dan Putusannya (suatu pendekatan dari perspektif ilmu hukum perilaku ”Behavioral Jurisprudence” Kasus Hakim Bismar Siregar), Penerbit PT. Citra Adutya, Bandung. 2007 Hal. 1.

[8] Marwan Mas,SH.MH. Pengantar Ilmu Hukum , Penerbit Ghalia Indonesia, 2004, halaman 128-129.
[9] Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Manulang, 2007, Pengantar ke Filsafat Hukum, Penerbit Fajar Interpratama Offset, Jakarta. Halaman : 158.
[10] Marwan Mas, SH.M.H. 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, halaman, 129.
[11] Syahrani,Ridwan,H.SH. 2004, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya, Bandung. Halaman 59.
[12] Pandangan Holmes tentang kewenangan hakim dalam putusannya tentang hukum dan keadilan sebagai mana telah disebutkan oleh Cahyadi dan Fernando, halaman 157.
[13] Pendapat ini dikemukakan juga oleh Darji, Darmodiharjo, SH dan Shidarta,SH.M.Hum, 2006, Pokok-Pokok Filsafat hukum, apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Utama, Jakarta halaman 136.
[14] Disebutkan oleh Shuchman,1979:73 sebagaimana dikutib oleh Darji, Darmodiharjo, SH dan Shidarta,SH.M.Hum, 2006, Pokok-Pokok Filsafat hukum, apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Utama, Jakarta, halaman 138-139
[15] \Marwan Mas, SH.M.H. 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, halaman, 129-130.
[16] Tanya, Bernard,L, Dr. SH.MH,2006,  Teori Hukum strategi tertib Manusia lintas ruang dan generasi, Penerbit CV. Kita, Surabaya, Halaman 138.
[17] Tunggal, Alam, Wawan, SH, 2004, Memahami Profesi Hukum (Hakim, Jaksa, Polisi, Notaris, Advokat, Konsultas Hukum Pasar Modal), Penerbit Milenia Populer, Jakarta. Halaman 25-36
[18] Ibit..... halaman  30.
[19] Ibit.... halaman  29.
[20] Ibit ….halaman 30
[21] Ibit…. Halaman 31.
[22] Ibit….halaman 31